Share

Part 5-Keputusan

Sayang sekali ruang inap ayahnya dan kantin rumah sakit jaraknya cukup jauh. Jadi Wina harus lari mengejar waktu sebelum pukul 12 siang.

11.57!

Hosh..hosh

Melihat Rizal duduk di kursi ujung kantin, Wina segera berlari dan berhenti tepat di belakang Rizal sambil menata nafasnya.

“11.58! Dua menit lagi perjanjian hangus,” tegur Rizal sambi melihat jam tangan tanpa menoleh ke arah Wina.

Sembari menyeka keringat, Wina berjalan dengan wajah cengengesan. Tanpa disuruh, ia duduk di kursi sebrang laki-laki yang mengenakan kemeja merah maroon yang sudah tidak rapi. Belum lagi matanya yang sangat terlihat sayu. Ngantuk katanya.

“Kan masih ada last minute, Dok.”

“Jadi?” tanya Rizal menagih jawaban begitu selesai menyeruput separuh gelas jus jambu.

Dengan senyum yang dibuat manis, Wina menggeser gelas milik Rizal yang masih terasa dingin ke arah kiri. Ia mengulurkan tangan kanannya pada Rizal.

“Deal!” Akhirnya, Wina mengambil keputusan yang tanpa ia sadari akan mengubah rute hidupnya.

Begitu mereka bersalaman sebagai simbol kesepakatan, Rizal tersenyum penuh kemenangan. Salah satu jalan untuk mengalahkan lawannya sudah terbuka.

Ia sudah sangat ingin segera menjalankan rencananya. Sudah lelah rasanya, jika setiap pertemuan keluarga selalu dibanding-bandingkan dengan Dirga. Sudah lelah saat cintanya bertepuk sebelah tangan, dan lagi-lagi tersaingi oleh sepupunya sendiri.

Rizal sangat yakin bahwa “rekan kerjanya” kali ini akan sangat membantu melancarkan rencananya. Tapi tiba-tiba...

“Tapiii ... caranya gimana ya, Dok?” Wina bertanya dengan wajah tanpa berdosa, nyengir lagi!

Ambyar!

Terjun langsung angan-angan Rizal yang terlalu yakin berharap pada Wina. Seketika ia meragukan kemampuan rekan kerjanya.

“Aku tahu, badan kamu emang minisize. Tapi please, otak kamu jangan kayak anak SD juga!” Sungut Rizal mendengar pertanyaan bodoh Wina.

Sabarrr Win, ini dokter emang mulutnya kaya cabe setan. Batinnya

“Gini lho, Pak Dokter yang saya hormati. Sebelum kita menyerang target, kita sudah harus paham dulu bagaimana karakteristiknya. Biar tepat sasaran,” untuk mengurangi rasa kesalnya, Wina memaksakan tersenyum dengan amat-sangat manis.

“Pokoknya apapun cara  kamu menjalankan misi, terserah kamu! Nanti aku kirimkan surat perjanjian kita sekalian apa-apa yang harus kamu ketahui tentang target. Jadi nanti kirimkan alamat e-mail kamu lewat nomor yang ada di kartu nama kemarin.” Tanpa menunggu jawaban  Wina, Rizal bangkit dari duduknya. Mengambil snelinya yang tersampir di sandaran kursi kantin.

“Tapi, Dok. Masih ada yang—“

“Tanyakan lewat telepon saja. Kita tidak boleh sering ketemuan di rumah sakit.”

***

Sepeninggal Rizal, Wina kembali ke ruang inap ayahnya karena ingat ada Edo yang masih menunggu untuk makan siang.

“Lama banget sih, Win. Udah tinggal separo aja nih baksoku!” Semprot Edo begitu Wina membuka pintu. “Itu sih, kamunya aja yang laper. Ditinggal sebentar tinggal bungkusnya.” Wina kembali membuka bakso yang belum dicampur sambal ataupun kecap.

Edo membantu Wina meracik baksonya sebelum ia melanjutkan menyendokkan bakso pedas ke mulutnya. “Jadi, gimana keputusan kamu?” Tanya Edo dengan mulut penuh irisan bakso, meski suara yang dihasilkan kurang jelas.

“Telen dulu, Do,” tegur Wina.

“Bentar lagi semester baru, nih. Jangan diperpanjang ya Win, cutinya,” pinta Edo.

Meski mulutnya mulai terasa terbakar, tapi Wina tetap berpikir. Mungkin benar juga apa kata Edo. Ia harus masuk kuliah lagi, ngajuin judul, terus wisuda deh. Setidaknya begitu sih rencana simplenya.

Lagian sebentar lagi tidak perlu memikirkan biaya “tidur” ayahnya dan masih dapat uang dari part-time yang dijanjikan dokter Rizal. Sementara untuk jaga ayahnya Wina bisa gantian dengan Ibunya saat ia kerja.

“Sepertinya mulai sekarang, aku harus mikirin judul skripsi, deh. Jadi nanti pas masuk lagi, udah ada muka buat ketemu sama pak Gun yang kangen berat sama aku, haha.”

Mereka berdua serempak tertawa mendengar lelucon Wina. Sambil Edo mengupas buah jeruk, mereka melanjutkan obrolannya dengan lebih serius.

“Gitu dong. Masalah biaya, mungkin aku emang gak bisa bantu. Tapi kalau urusan skripsi, pasti aku bantu, kok.” Janji Edo dengan sungguh-sungguh.

Keadaan ekonomi Edo dan Wina memang tidak jauh berbeda. Hanya saja, saat ini Wina sedang sangat membutuhkan banyak biaya. Jadi terpaksa ia harus mengambi cuti kuliah.

“Beneran dibantuin lho, ya. Soalnya aku mau cari part-time, gitu.”

Good luck deh, kalau perlu bantuan langsung ngomong aja.”

Mendapat dukungan dari sahabatnya, Wina menjadi semakin yakin dengan keputusannya.

Yaa..meski ia belum tahu bahwa ada resiko besar yang akan dihadapi nantinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status