Share

Part 5-Keputusan

Author: eLFa Zara
last update Last Updated: 2022-03-06 12:50:24

Sayang sekali ruang inap ayahnya dan kantin rumah sakit jaraknya cukup jauh. Jadi Wina harus lari mengejar waktu sebelum pukul 12 siang.

11.57!

Hosh..hosh

Melihat Rizal duduk di kursi ujung kantin, Wina segera berlari dan berhenti tepat di belakang Rizal sambil menata nafasnya.

“11.58! Dua menit lagi perjanjian hangus,” tegur Rizal sambi melihat jam tangan tanpa menoleh ke arah Wina.

Sembari menyeka keringat, Wina berjalan dengan wajah cengengesan. Tanpa disuruh, ia duduk di kursi sebrang laki-laki yang mengenakan kemeja merah maroon yang sudah tidak rapi. Belum lagi matanya yang sangat terlihat sayu. Ngantuk katanya.

“Kan masih ada last minute, Dok.”

“Jadi?” tanya Rizal menagih jawaban begitu selesai menyeruput separuh gelas jus jambu.

Dengan senyum yang dibuat manis, Wina menggeser gelas milik Rizal yang masih terasa dingin ke arah kiri. Ia mengulurkan tangan kanannya pada Rizal.

“Deal!” Akhirnya, Wina mengambil keputusan yang tanpa ia sadari akan mengubah rute hidupnya.

Begitu mereka bersalaman sebagai simbol kesepakatan, Rizal tersenyum penuh kemenangan. Salah satu jalan untuk mengalahkan lawannya sudah terbuka.

Ia sudah sangat ingin segera menjalankan rencananya. Sudah lelah rasanya, jika setiap pertemuan keluarga selalu dibanding-bandingkan dengan Dirga. Sudah lelah saat cintanya bertepuk sebelah tangan, dan lagi-lagi tersaingi oleh sepupunya sendiri.

Rizal sangat yakin bahwa “rekan kerjanya” kali ini akan sangat membantu melancarkan rencananya. Tapi tiba-tiba...

“Tapiii ... caranya gimana ya, Dok?” Wina bertanya dengan wajah tanpa berdosa, nyengir lagi!

Ambyar!

Terjun langsung angan-angan Rizal yang terlalu yakin berharap pada Wina. Seketika ia meragukan kemampuan rekan kerjanya.

“Aku tahu, badan kamu emang minisize. Tapi please, otak kamu jangan kayak anak SD juga!” Sungut Rizal mendengar pertanyaan bodoh Wina.

Sabarrr Win, ini dokter emang mulutnya kaya cabe setan. Batinnya

“Gini lho, Pak Dokter yang saya hormati. Sebelum kita menyerang target, kita sudah harus paham dulu bagaimana karakteristiknya. Biar tepat sasaran,” untuk mengurangi rasa kesalnya, Wina memaksakan tersenyum dengan amat-sangat manis.

“Pokoknya apapun cara  kamu menjalankan misi, terserah kamu! Nanti aku kirimkan surat perjanjian kita sekalian apa-apa yang harus kamu ketahui tentang target. Jadi nanti kirimkan alamat e-mail kamu lewat nomor yang ada di kartu nama kemarin.” Tanpa menunggu jawaban  Wina, Rizal bangkit dari duduknya. Mengambil snelinya yang tersampir di sandaran kursi kantin.

“Tapi, Dok. Masih ada yang—“

“Tanyakan lewat telepon saja. Kita tidak boleh sering ketemuan di rumah sakit.”

***

Sepeninggal Rizal, Wina kembali ke ruang inap ayahnya karena ingat ada Edo yang masih menunggu untuk makan siang.

“Lama banget sih, Win. Udah tinggal separo aja nih baksoku!” Semprot Edo begitu Wina membuka pintu. “Itu sih, kamunya aja yang laper. Ditinggal sebentar tinggal bungkusnya.” Wina kembali membuka bakso yang belum dicampur sambal ataupun kecap.

Edo membantu Wina meracik baksonya sebelum ia melanjutkan menyendokkan bakso pedas ke mulutnya. “Jadi, gimana keputusan kamu?” Tanya Edo dengan mulut penuh irisan bakso, meski suara yang dihasilkan kurang jelas.

“Telen dulu, Do,” tegur Wina.

“Bentar lagi semester baru, nih. Jangan diperpanjang ya Win, cutinya,” pinta Edo.

Meski mulutnya mulai terasa terbakar, tapi Wina tetap berpikir. Mungkin benar juga apa kata Edo. Ia harus masuk kuliah lagi, ngajuin judul, terus wisuda deh. Setidaknya begitu sih rencana simplenya.

Lagian sebentar lagi tidak perlu memikirkan biaya “tidur” ayahnya dan masih dapat uang dari part-time yang dijanjikan dokter Rizal. Sementara untuk jaga ayahnya Wina bisa gantian dengan Ibunya saat ia kerja.

“Sepertinya mulai sekarang, aku harus mikirin judul skripsi, deh. Jadi nanti pas masuk lagi, udah ada muka buat ketemu sama pak Gun yang kangen berat sama aku, haha.”

Mereka berdua serempak tertawa mendengar lelucon Wina. Sambil Edo mengupas buah jeruk, mereka melanjutkan obrolannya dengan lebih serius.

“Gitu dong. Masalah biaya, mungkin aku emang gak bisa bantu. Tapi kalau urusan skripsi, pasti aku bantu, kok.” Janji Edo dengan sungguh-sungguh.

Keadaan ekonomi Edo dan Wina memang tidak jauh berbeda. Hanya saja, saat ini Wina sedang sangat membutuhkan banyak biaya. Jadi terpaksa ia harus mengambi cuti kuliah.

“Beneran dibantuin lho, ya. Soalnya aku mau cari part-time, gitu.”

Good luck deh, kalau perlu bantuan langsung ngomong aja.”

Mendapat dukungan dari sahabatnya, Wina menjadi semakin yakin dengan keputusannya.

Yaa..meski ia belum tahu bahwa ada resiko besar yang akan dihadapi nantinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penakluk Hati Om Dokter   Part 119-Lagi Anget-Angetnya

    “Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si

  • Penakluk Hati Om Dokter   Part 118-Resmi

    “Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen

  • Penakluk Hati Om Dokter   Part 117-Pacaran, Yuk!

    Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda

  • Penakluk Hati Om Dokter   Part 116-Pacar Dokter Dirga, Katanya

    “Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat

  • Penakluk Hati Om Dokter   Part 115-Calon Suami Datang

    Rumah sakit pada saat menjelang jam istirahat masih sangat ramai. Termasuk pada Poli Obgyn, dimana Sheryl sedang bertugas. Namun, belum waktunya beristirahat asistennya memberitahu bahwa ada orang yang mencarinya. “Siapa? Pasien?” Tanya Sheryl pada wanita berseragam perawat itu. Asistennya menggeleng, “Katanya penting. Orangnya ganteng, Dok.” Seloroh sang asisten dengan senyum menggoda. “Namanya kalau tidak salah Johan,” imbuhnya. Sheryl langsung menegakkan duduknya kala mendengar nama itu. Nama yang akhir-akhir ini membuatnya berantakan dan bertindak tak biasa. Hatinya mendadak tak tenang. Apa sebenarnya tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya? Tak cukupkah teror yang selama ini ia berikan pada pria itu? “Suruh nunggu saja, Sus. Nanggung sebentar lagi istirahat,” perintah Sheryl pada sang asisten. Setelah asistennya pergi, buru-buru ia mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk segera datang ke poli obgyn saat istirahat. *** Tak perlu menunggu lama, dokter kandungan cantik itu b

  • Penakluk Hati Om Dokter   Part 114-Kata Ibu

    Wina merebahkan tubuhnya di kasurnya yang tak begitu empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Dirga tadi pagi di pemakaman. Ingin rasanya tadi memeluknya atau sekedar menyapa memberi semangat. Tapi ia sadar, tadi bukan waktunya untuk ikut campur. Mungkin lain kali?“Nduk, makan dulu!” Ajak ibunya dari arah dapur. Ya, tadi selesai jam kerjanya di caffe, gadis itu memilih pulang ke rumah. Kangen rumah, kangen keluarga kecilnya juga. Sedikit jenuh juga dengan suasana malam di rumah sakit.“Iya, Bu!” Sahutnya sedikit berteriak. Kemudian ia bangkit. Melepaskan hoodienya yang sedari tadi masih menempel di tubuh mungilnya.Aroma opor ayam yang lezat langsung menyeruak di indra penciumnnya begitu kakinya tiba di dapur. Ibunya sibuk memindahkan hasil masakannya dari panci ke meje makan. Tidak ada meja makan mewah di rumah sederhana itu, hanya meja kecil dengan empat kursi yang sama-sama terbuat dari kayu.“Adek mana, Bu?” Tan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status