Sayang sekali ruang inap ayahnya dan kantin rumah sakit jaraknya cukup jauh. Jadi Wina harus lari mengejar waktu sebelum pukul 12 siang.
11.57!
Hosh..hosh
Melihat Rizal duduk di kursi ujung kantin, Wina segera berlari dan berhenti tepat di belakang Rizal sambil menata nafasnya.
“11.58! Dua menit lagi perjanjian hangus,” tegur Rizal sambi melihat jam tangan tanpa menoleh ke arah Wina.
Sembari menyeka keringat, Wina berjalan dengan wajah cengengesan. Tanpa disuruh, ia duduk di kursi sebrang laki-laki yang mengenakan kemeja merah maroon yang sudah tidak rapi. Belum lagi matanya yang sangat terlihat sayu. Ngantuk katanya.
“Kan masih ada last minute, Dok.”
“Jadi?” tanya Rizal menagih jawaban begitu selesai menyeruput separuh gelas jus jambu.
Dengan senyum yang dibuat manis, Wina menggeser gelas milik Rizal yang masih terasa dingin ke arah kiri. Ia mengulurkan tangan kanannya pada Rizal.
“Deal!” Akhirnya, Wina mengambil keputusan yang tanpa ia sadari akan mengubah rute hidupnya.
Begitu mereka bersalaman sebagai simbol kesepakatan, Rizal tersenyum penuh kemenangan. Salah satu jalan untuk mengalahkan lawannya sudah terbuka.
Ia sudah sangat ingin segera menjalankan rencananya. Sudah lelah rasanya, jika setiap pertemuan keluarga selalu dibanding-bandingkan dengan Dirga. Sudah lelah saat cintanya bertepuk sebelah tangan, dan lagi-lagi tersaingi oleh sepupunya sendiri.
Rizal sangat yakin bahwa “rekan kerjanya” kali ini akan sangat membantu melancarkan rencananya. Tapi tiba-tiba...
“Tapiii ... caranya gimana ya, Dok?” Wina bertanya dengan wajah tanpa berdosa, nyengir lagi!
Ambyar!
Terjun langsung angan-angan Rizal yang terlalu yakin berharap pada Wina. Seketika ia meragukan kemampuan rekan kerjanya.
“Aku tahu, badan kamu emang minisize. Tapi please, otak kamu jangan kayak anak SD juga!” Sungut Rizal mendengar pertanyaan bodoh Wina.
Sabarrr Win, ini dokter emang mulutnya kaya cabe setan. Batinnya
“Gini lho, Pak Dokter yang saya hormati. Sebelum kita menyerang target, kita sudah harus paham dulu bagaimana karakteristiknya. Biar tepat sasaran,” untuk mengurangi rasa kesalnya, Wina memaksakan tersenyum dengan amat-sangat manis.
“Pokoknya apapun cara kamu menjalankan misi, terserah kamu! Nanti aku kirimkan surat perjanjian kita sekalian apa-apa yang harus kamu ketahui tentang target. Jadi nanti kirimkan alamat e-mail kamu lewat nomor yang ada di kartu nama kemarin.” Tanpa menunggu jawaban Wina, Rizal bangkit dari duduknya. Mengambil snelinya yang tersampir di sandaran kursi kantin.
“Tapi, Dok. Masih ada yang—“
“Tanyakan lewat telepon saja. Kita tidak boleh sering ketemuan di rumah sakit.”
***
Sepeninggal Rizal, Wina kembali ke ruang inap ayahnya karena ingat ada Edo yang masih menunggu untuk makan siang.
“Lama banget sih, Win. Udah tinggal separo aja nih baksoku!” Semprot Edo begitu Wina membuka pintu. “Itu sih, kamunya aja yang laper. Ditinggal sebentar tinggal bungkusnya.” Wina kembali membuka bakso yang belum dicampur sambal ataupun kecap.
Edo membantu Wina meracik baksonya sebelum ia melanjutkan menyendokkan bakso pedas ke mulutnya. “Jadi, gimana keputusan kamu?” Tanya Edo dengan mulut penuh irisan bakso, meski suara yang dihasilkan kurang jelas.
“Telen dulu, Do,” tegur Wina.
“Bentar lagi semester baru, nih. Jangan diperpanjang ya Win, cutinya,” pinta Edo.
Meski mulutnya mulai terasa terbakar, tapi Wina tetap berpikir. Mungkin benar juga apa kata Edo. Ia harus masuk kuliah lagi, ngajuin judul, terus wisuda deh. Setidaknya begitu sih rencana simplenya.
Lagian sebentar lagi tidak perlu memikirkan biaya “tidur” ayahnya dan masih dapat uang dari part-time yang dijanjikan dokter Rizal. Sementara untuk jaga ayahnya Wina bisa gantian dengan Ibunya saat ia kerja.
“Sepertinya mulai sekarang, aku harus mikirin judul skripsi, deh. Jadi nanti pas masuk lagi, udah ada muka buat ketemu sama pak Gun yang kangen berat sama aku, haha.”
Mereka berdua serempak tertawa mendengar lelucon Wina. Sambil Edo mengupas buah jeruk, mereka melanjutkan obrolannya dengan lebih serius.
“Gitu dong. Masalah biaya, mungkin aku emang gak bisa bantu. Tapi kalau urusan skripsi, pasti aku bantu, kok.” Janji Edo dengan sungguh-sungguh.
Keadaan ekonomi Edo dan Wina memang tidak jauh berbeda. Hanya saja, saat ini Wina sedang sangat membutuhkan banyak biaya. Jadi terpaksa ia harus mengambi cuti kuliah.
“Beneran dibantuin lho, ya. Soalnya aku mau cari part-time, gitu.”
“Good luck deh, kalau perlu bantuan langsung ngomong aja.”
Mendapat dukungan dari sahabatnya, Wina menjadi semakin yakin dengan keputusannya.
Yaa..meski ia belum tahu bahwa ada resiko besar yang akan dihadapi nantinya.
Seperginya Edo, Wina segera menghubungi Rizal untuk mengirimkan e-mail tentang perjanjian kerjasama aneh mereka. Kerjasama ini merupakan pekerjaan ter-absurd yang pernah ia temui. Tapi harus ia terima karena sedang membutuhkan biaya banyak. Semester ini memang bulan-bulan terberat bagi Wina dan keluarganya. Bahkan ia pernah berpikir untuk berhenti kuliah karena tidak tega melihat ibunya harus bekerja keras mencari nafkah, mengurus rumah, memikirkan suami dan anaknya. Ketika Wina meminta izin untuk berhenti kuliah dan memutuskan untuk bekerja, ibunya langsung menolak dengan tegas. Bagi ibunya, jika ia tidak bisa memenuhi kebutuhan anaknya, maka ia tidak ingin menambah beban anaknya. Ting! Bunyi pesan di ponselnya membuyarkan lamunan Wina. Pesan melalui e-mail dari Rizal tentang perjanjian kerjasamanya. Ia segera membuka dan membacanya dengan seksama. PERJANJIAN KEJASAMA Misi Rahasia Nama : Rizal Dwi Hermanto Selanjutnya disebut sebagai pihak PERTAMA Nama : Wina Widyawati Selan
Saat ini Wina sedang berada di minimarket untuk membeli beberapa camilan ringan. Lebih tepatnya camilan murah, sih. Ia sangat terkejut karena melihat Dirga—Target Misinya—sedang mengantri di kasir. Winapun langsung bersembunyi di rak-rak jajan sambil mengawasi targetnya. Ia juga melihat si Dokter Cerobong Asap menenteng snack, lalu merogoh uang bergambar dua tokoh proklamator Indonesia. Memang sih, Wina juga ragu kalau sang dokter masih mengingatnya. Tapi untuk berjaga-jaga, ia bersembunyi dengan bergeser ke bagian mesin penyeduh kopi dan mie instan. Lumayan deh buat hangat-hangat mie-nya. Setelah beberapa menit Wina yakin Dirga sudah pergi, ia pun berniat untuk membayar di kasir. Tapi naas, mie instan dalam cup yang masih panas tumpah karena ia menabrak laki-laki di belakangnya. “Oh, Shit!” teriak laki-laki yang tingginya 30 centi di atas Wina. “Maaf-maaf,” ucap Wina dengan tangan sibuk membersihkan mie instan yang berserakan menempel di kemeja biru langit milik laki-laki kini se
Dirga membanting pintu ruangannya dengan emosi yang siap meledak. Melemparkan kantong plastik berisi aneka snack di atas sofa panjang. Buru-buru ia membuka kancing kemeja dan segera membersihkan diri di washtafle. Beruntung ia masih menyimpan baju cadangan di loker, jadi tidak perlu repot balik lagi ke apartement-nya. Andai sebentar lagi tidak ada jadwal operasi, ia lebih memilih untuk segera mengejar si Bocah SMP yang sudah dua kali menipunya terang-terangan. Dan bodohnya, dia selalu tertipu. Selesai berganti pakaian, Dirga menatap wajahnya di cermin cukup lama. Ia membasuh mukanya untuk meredam amarah. Memang sih, uang yang dilepaskan bukanlah jumlah yang besar, tapi caranya itu, lho. Dirga tidak habis fikir, kok bisa ada anak kecil otaknya selicik itu? Ting! Pesan dari senior sekaligus dosennya yang dari tadi meminta untuk menggantikan operasinya bersama anak-anak koas membuat Dirga sedikit menurunkan amarahnya. Proffesor Riko—dokter spesialis bedah—itu memang sudah tidak sekuat
“Sekarang siapa lagi korban penipuan kamu?” Tanya Dirga begitu berdiri tepat di depan Wina. Perasaan tadi aku udah menghindar, kenapa ketemu lagi sih? Gerutu Wina dalam hati. Iya, sebenarnya tadi Wina sudah melihat Dirga di loby rumah sakit, dan untuk menghindarinya Wina buru-buru lari ke taman. Ia merasa belum siap ketemu Dirga karena belum menyusun strategi untuk melakukan misi. Bahkan detail data diri Dirga sebagai amunisi saja belum Wina dapatkan dari Rizal. Jadi untuk sementara ia harus terus berpura-pura untuk jadi si Bocah SMP. “Kenapa diem aja?! Apapun keadaannya, perbuatan kamu itu tetap tidak bisa dibenarkan!” Mereka saling menatap dalam diam. Dirga yang menunggu jawaban, dan Wina yang tidak ingin menjawab. Kebetulan keadaan di taman lumayan ramai dengan orang-orang yang sedang menikmati matahari pagi. Tiba-tiba terlintas sebuah ide untuk Wina lari dari keadaan ini. Masa harus kaya gitu si? “eeeee...” “Kenapa? Gak bisa jawab kan?!” Hardik Dirga tak sabar menunggu jawa
Tin! Tin! Wina menoleh pada mobil berwarna silver yang berhenti tepat di depannya. Saat ini Wina berada di parkiran rumah sakit. Menunggu ‘Om Dokter Cerobong Asap’ sesuai perjanjian kemarin. Sebenarnya Wina sedikit deg-degan. Bagaimana tidak, hari ini—atau mulai hari ini—ia harus bisa berpura-pura menjadi anak SMP. Tangan Wina sibuk memilin tali tas kecil yang ia selempangkan di bahu kirinya. Bibirnya terus begumam lirih mengucapkan: “Aku anak SMP, anak SMP, anak SMP—” Tiiiiin! Gumamannya berhenti, berganti gerutuan. “Apaan sih berisik banget,” gerutunya lirih. Kemudian ia menggerakkan kepalanya ke kanan, kiri, dan sekitarnya. Memastikan tidak ada orang lain di dekatnya. Wina pikir, titik dimana ia menegakkan kaki bukanlah tempat yang mengganggu lalu-lalang kendaraan. Aah, apa itu adalah taksi online? Tapi aku kan gak order, batinnya. Tin, tin, tiiiiiin! Lagi-lagi suara klakson mobil silver itu membuatnya kesal. Tak hanya berkali-kali, kali ini suaranya juga semakin memekakkan
“Kamu sekolah di SMP mana?” ... “A-ada deh, disana. Jauh. Om Dokter gak bakalan tahu,” jawab Wina asal. “Om, puter musik dong!” Pinta Wina untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi sayang, laki-laki yang memegang kemudi itu tetap diam saja. Wina melirik, memilih ikut menutup mulut sambil menikmati angin dari jendela mobil. Sepanjang perjalanan, suasana menjadi sangat hening. Hanya terdengar deru mesin mobil yang tidak seberapa berisiknya. Meski bibir sama-sama terkatup, tapi isi kepala mereka sama-sama berkelana. Sampai-sampai Wina senyum-senyum sendiri mengingat apa yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Selain dengan mengubah gaya berpakaiannya, Wina saat ini mencoba mendalami peran dengan menata rambutnya seperti anak-anak. Sungguh, kepang dua sedikit ribet menurutnya. Tapi kayaknya udah gaya bocah banget nih, akunya sambil mematut dirinya di kaca spion tengah mobil. Tingkahnya tersebut sukses menarik atensi Dirga. Di matanya, Wina benar-benar terlihat layaknya bocil yang beranjak
Wina duduk di cafe tempat perjanjiannya dengan Rizal. Tapi sudah hampir habis 2 gelas jus jambu, seseorang yang membuat janji belum juga menampakkan wujudnya. Hingga seorang waitress menghampirinya. Wina pikir ia akan diusir karena sedari tadi hanya memesan minuman dengan harga paling murah saja. “Maaf, Kak. Pak Dwi menunggu di dalam,” tutur waitres itu lembut. Wina malah bingung, karena merasa tidak mengenal nama tersebut. “Sepertinya salah orang deh, Kak. Soalnya saya janjiannya sama Rizal. Orangnya udah booking meja ini, kok.” Waitress dengan name tag ‘Karin’ itu tersenyum, “Pak Dwi sama Pak Rizal itu satu orang, Kak.” Oh, iya. Wina baru ingat kalau nama lengkap Dokter Rizal itu Rizal Dwi Hermanto. Wina meringis. Jadi malu’kan? Kemudian Wina mengikuti Karin ke dalam. Melewati area staff, lalu naik ke lantai dua. “Silakan, Kak!” Ucap sang waitress ketika sudah berada di depan pintu bertuliskan ‘DILARANG MASUK’. *** Berkat tulisan yang menggantung di daun pintu dan desain pint
Flashback Isi Paket Datang Setelah membalas pesan dari Rizal, Wina mengedarkan pandangan sekitarnya memastikan si empunya rumah belum keluar kamar. Kemudian ia mendekati kotak paket, memastikan tadi tidak salah baca. SEX TOYS Begitu isi paket yang tertulis di kolom deskripsi barang. Sungguh Wina tidak menduga. Dari tampangnya, Dirga seperti orang yang lempeng-lempeng saja. Masih belum percaya, Wina pun membaca nama penerima paket. Memang tidak salah kok. Itu nama Dirga, si Dokter Cerobong Asap yang ia kenal. “Paket apaan, sih?!” Wina hampir saja berteriak kaget mendengar suara Dirga yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya. “Perasaan tidak pesan apa-apa,” ucap Dirga. Tapi tak urung ia meraih paket yang tergeletak di atas meja ruang tamu. “Astaga!” Teriak Dirga langsung melempar kardus begitu membaca deskripsi barangnya. “Ka-kamu udah lihat?” tanya Dirga was-was. Dalam hati ia berdoa semoga ART dadakannya ini belum membaca. Andai sudah membaca, ia berharap asistennya yang masih