Share

Part 4-Pertimbangan Wina

Setelah obrolan semalam dengan dokter Rizal, Wina jadi tidak bisa tidur nyenyak. Kartu nama yang semalam diselipkan di saku jaketnya hanya dibolak-balikkan hingga salah satu ujungnya tak lagi runcing.

Tawaran itu sungguh menggiurkan, tapi beresiko dan sulit.

Ia meletakkan kartu nama berwarna biru itu di atas nakas dekat dengan piring yang hanya berisi 3 buah jeruk. Kemudian ia mengambil smartphone-nya dan kembali membuka 2 pesan yang belum dibalasnya.

Kata Pak Gun kamu harus secepatnya ngajuin judul skripsi. Ngejar target wisuda semester ini. GAK USAH CUTI LAGI!

Pesan dari Edo—teman kuliahnya—membuatnya tersenyum pedih mengingat alasan mengapa ia cuti kuliah. Semester kemarin, seharusnya ia disibukkan dengan skripsi dan persiapan wisuda dari pendidikan strata 1 jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial.

Tapi kecelakaan sepeda motor yang ditumpangi ayahnya, ibunya, dan adik pertamanya membuat Wina sibuk di rumah sakit. Ayahnya selamat, tapi sudah lebih dari 4 bulan terbaring koma. Adik perempuannya yang berumur 8 tahun tidak bisa selamat.

Sedangkan ibunya tidak luka parah. Namun psikisnya sungguh hancur. Ia selalu menyalahkan diri sendiri karena merasa tidak bisa melindungi putri kecilnya. Bahkan ia harus menjalani terapi dengan psikiater.

Tidak hanya itu, ekonomi keluarga pun lumpuh. Di tengah masa penyembuhan psikisnya,  Ratih—Ibu Wina—harus bertahan untuk menghidupi Wina dan anak laki-lakinya yang belum genap 5 tahun dengan berjualan jajanan pasar. Beruntung pengobatan suaminya terkadang dibantu kakak iparnya.

Ibu berencana untuk menjual tanah milik ayah. Hutang kita sudah terlalu banyak. Kamu juga harus segera selesaikan kuliahnya.

Pesan dari ibunya itu juga tidak kunjung ia balas dari semalam. Wina melirik ayahnya yang tubuhnya masih terpasang banyak peralatan medis. Ia sungguh dilema. Ia tidak bisa berdiam diri, sementara ibunya harus berjuang sendiri.

Sebenarnya kalau gak berbuat kriminial, paling resikonya cuma dimusuhin dokter cerobong asap itu sih. Pikirnya menyemangati diri sendiri.

“Kayaknya itu jeruk di meja cuma buat hiasan aja, ya?!”

Suara bariton yang tiba-tiba muncul membuat lamunan Wina buyar. Meskipun tanpa menoleh, ia tahu siapa laki-laki yang ada di belakangnya. Benar saja, laki-laki seumurannya dengan kaos polos hitam dan celan jeans robek-robek sedang tersenyum di pintu ruangan ayah Wina.

“Sengaja. Itu buah’kan buat yang jagain ayah, sama buat yang jengukin. Yaa ... meskipun gak ada yang jengukin juga, sih,” Wina tertawa sumbang di akhir kalimatnya.

“Emangnya keluarga atau teman-teman ayah kamu, gak ada yang jenguk?” Tanya laki-laki itu sambil menarik kursi plastik di bawah ranjang untuk duduk.

“Ayah’kan bukan baru aja nginep 3 hari di rumah sakit. Siapa juga yang mau jengukin orang yang udah rebahan 4 bulan lebih di kamar bau obat ini,” kelakar Wina dengan senyum pedih di bibirnya.

Wina mengulurkan tangannya untuk menerima bingkisan dari laki-laki yang pesannya belum dibalas sejak semalam. Saat hendak meletakkan bingkisan itu di nakas, ia seperti tidak asing dengan isinya. Wina mendekat dan mengendus-ngendus makanan yang masih terbungkus rapi.

Melihat reaksi Wina, Edo tersenyum sendiri. Senang rasanya bisa membuat teman sekelasnya tersenyum bahagia hanya karena makanan.

“Tanpa dibuka, pasti kamu udah tahu’kan isinya apa?”

“Bakso Urat Mbok Nem!” Ucap Wina dan Edo bersamaan, lalu keduanya tertawa tanpa suara mengingat masih di rumah sakit.

“Makasih banget, lho. Aku tuh udah kangen banget tahu sama bakso langganan minggat kelas kita.” Wina mulai membuka bakso dalam wadah sterofoam. Aroma wangi dari bakso urat terasa sangat lezat di hidung Wina hingga ia memejamkan mata.

“Sengaja beli sekalian buat makan siang kamu,” kata Edo sambil ikut membuka bakso satunya lagi.

Namun mendengar kata makan siang, gerakan tangan Wina yang mau menyuapkan bakso berhenti tiba-tiba. Ia mengingat sesuatu yang sejak semalam dipikirkan. Diliriknya jam dinding yang berada di atas ranjang ayahnya. Matanya langsung terbuka lebar.

11.56!

Gila!

“Do, sorry banget ya. Aku tinggal bentar. Bentar aja!” Tanpa menjawab pertanyaan Edo, Wina bergegas keluar ruangan. Tidak lupa ia menyambar ponsel dan kartu nama berlogo makanan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status