Setelah obrolan semalam dengan dokter Rizal, Wina jadi tidak bisa tidur nyenyak. Kartu nama yang semalam diselipkan di saku jaketnya hanya dibolak-balikkan hingga salah satu ujungnya tak lagi runcing.
Tawaran itu sungguh menggiurkan, tapi beresiko dan sulit.
Ia meletakkan kartu nama berwarna biru itu di atas nakas dekat dengan piring yang hanya berisi 3 buah jeruk. Kemudian ia mengambil smartphone-nya dan kembali membuka 2 pesan yang belum dibalasnya.
Kata Pak Gun kamu harus secepatnya ngajuin judul skripsi. Ngejar target wisuda semester ini. GAK USAH CUTI LAGI!
Pesan dari Edo—teman kuliahnya—membuatnya tersenyum pedih mengingat alasan mengapa ia cuti kuliah. Semester kemarin, seharusnya ia disibukkan dengan skripsi dan persiapan wisuda dari pendidikan strata 1 jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial.
Tapi kecelakaan sepeda motor yang ditumpangi ayahnya, ibunya, dan adik pertamanya membuat Wina sibuk di rumah sakit. Ayahnya selamat, tapi sudah lebih dari 4 bulan terbaring koma. Adik perempuannya yang berumur 8 tahun tidak bisa selamat.
Sedangkan ibunya tidak luka parah. Namun psikisnya sungguh hancur. Ia selalu menyalahkan diri sendiri karena merasa tidak bisa melindungi putri kecilnya. Bahkan ia harus menjalani terapi dengan psikiater.
Tidak hanya itu, ekonomi keluarga pun lumpuh. Di tengah masa penyembuhan psikisnya, Ratih—Ibu Wina—harus bertahan untuk menghidupi Wina dan anak laki-lakinya yang belum genap 5 tahun dengan berjualan jajanan pasar. Beruntung pengobatan suaminya terkadang dibantu kakak iparnya.
Ibu berencana untuk menjual tanah milik ayah. Hutang kita sudah terlalu banyak. Kamu juga harus segera selesaikan kuliahnya.
Pesan dari ibunya itu juga tidak kunjung ia balas dari semalam. Wina melirik ayahnya yang tubuhnya masih terpasang banyak peralatan medis. Ia sungguh dilema. Ia tidak bisa berdiam diri, sementara ibunya harus berjuang sendiri.
Sebenarnya kalau gak berbuat kriminial, paling resikonya cuma dimusuhin dokter cerobong asap itu sih. Pikirnya menyemangati diri sendiri.
“Kayaknya itu jeruk di meja cuma buat hiasan aja, ya?!”
Suara bariton yang tiba-tiba muncul membuat lamunan Wina buyar. Meskipun tanpa menoleh, ia tahu siapa laki-laki yang ada di belakangnya. Benar saja, laki-laki seumurannya dengan kaos polos hitam dan celan jeans robek-robek sedang tersenyum di pintu ruangan ayah Wina.
“Sengaja. Itu buah’kan buat yang jagain ayah, sama buat yang jengukin. Yaa ... meskipun gak ada yang jengukin juga, sih,” Wina tertawa sumbang di akhir kalimatnya.
“Emangnya keluarga atau teman-teman ayah kamu, gak ada yang jenguk?” Tanya laki-laki itu sambil menarik kursi plastik di bawah ranjang untuk duduk.
“Ayah’kan bukan baru aja nginep 3 hari di rumah sakit. Siapa juga yang mau jengukin orang yang udah rebahan 4 bulan lebih di kamar bau obat ini,” kelakar Wina dengan senyum pedih di bibirnya.
Wina mengulurkan tangannya untuk menerima bingkisan dari laki-laki yang pesannya belum dibalas sejak semalam. Saat hendak meletakkan bingkisan itu di nakas, ia seperti tidak asing dengan isinya. Wina mendekat dan mengendus-ngendus makanan yang masih terbungkus rapi.
Melihat reaksi Wina, Edo tersenyum sendiri. Senang rasanya bisa membuat teman sekelasnya tersenyum bahagia hanya karena makanan.
“Tanpa dibuka, pasti kamu udah tahu’kan isinya apa?”
“Bakso Urat Mbok Nem!” Ucap Wina dan Edo bersamaan, lalu keduanya tertawa tanpa suara mengingat masih di rumah sakit.
“Makasih banget, lho. Aku tuh udah kangen banget tahu sama bakso langganan minggat kelas kita.” Wina mulai membuka bakso dalam wadah sterofoam. Aroma wangi dari bakso urat terasa sangat lezat di hidung Wina hingga ia memejamkan mata.
“Sengaja beli sekalian buat makan siang kamu,” kata Edo sambil ikut membuka bakso satunya lagi.
Namun mendengar kata makan siang, gerakan tangan Wina yang mau menyuapkan bakso berhenti tiba-tiba. Ia mengingat sesuatu yang sejak semalam dipikirkan. Diliriknya jam dinding yang berada di atas ranjang ayahnya. Matanya langsung terbuka lebar.
11.56!
Gila!
“Do, sorry banget ya. Aku tinggal bentar. Bentar aja!” Tanpa menjawab pertanyaan Edo, Wina bergegas keluar ruangan. Tidak lupa ia menyambar ponsel dan kartu nama berlogo makanan.
Sayang sekali ruang inap ayahnya dan kantin rumah sakit jaraknya cukup jauh. Jadi Wina harus lari mengejar waktu sebelum pukul 12 siang. 11.57! Hosh..hosh Melihat Rizal duduk di kursi ujung kantin, Wina segera berlari dan berhenti tepat di belakang Rizal sambil menata nafasnya. “11.58! Dua menit lagi perjanjian hangus,” tegur Rizal sambi melihat jam tangan tanpa menoleh ke arah Wina. Sembari menyeka keringat, Wina berjalan dengan wajah cengengesan. Tanpa disuruh, ia duduk di kursi sebrang laki-laki yang mengenakan kemeja merah maroon yang sudah tidak rapi. Belum lagi matanya yang sangat terlihat sayu. Ngantuk katanya. “Kan masih ada last minute, Dok.” “Jadi?” tanya Rizal menagih jawaban begitu selesai menyeruput separuh gelas jus jambu. Dengan senyum yang dibuat manis, Wina menggeser gelas milik Rizal yang masih terasa dingin ke arah kiri. Ia mengulurkan tangan kanannya pada Rizal. “Deal!” Akhirnya, Wina mengambil keputusan yang tanpa ia sadari akan mengubah rute hidupnya. Be
Seperginya Edo, Wina segera menghubungi Rizal untuk mengirimkan e-mail tentang perjanjian kerjasama aneh mereka. Kerjasama ini merupakan pekerjaan ter-absurd yang pernah ia temui. Tapi harus ia terima karena sedang membutuhkan biaya banyak. Semester ini memang bulan-bulan terberat bagi Wina dan keluarganya. Bahkan ia pernah berpikir untuk berhenti kuliah karena tidak tega melihat ibunya harus bekerja keras mencari nafkah, mengurus rumah, memikirkan suami dan anaknya. Ketika Wina meminta izin untuk berhenti kuliah dan memutuskan untuk bekerja, ibunya langsung menolak dengan tegas. Bagi ibunya, jika ia tidak bisa memenuhi kebutuhan anaknya, maka ia tidak ingin menambah beban anaknya. Ting! Bunyi pesan di ponselnya membuyarkan lamunan Wina. Pesan melalui e-mail dari Rizal tentang perjanjian kerjasamanya. Ia segera membuka dan membacanya dengan seksama. PERJANJIAN KEJASAMA Misi Rahasia Nama : Rizal Dwi Hermanto Selanjutnya disebut sebagai pihak PERTAMA Nama : Wina Widyawati Selan
Saat ini Wina sedang berada di minimarket untuk membeli beberapa camilan ringan. Lebih tepatnya camilan murah, sih. Ia sangat terkejut karena melihat Dirga—Target Misinya—sedang mengantri di kasir. Winapun langsung bersembunyi di rak-rak jajan sambil mengawasi targetnya. Ia juga melihat si Dokter Cerobong Asap menenteng snack, lalu merogoh uang bergambar dua tokoh proklamator Indonesia. Memang sih, Wina juga ragu kalau sang dokter masih mengingatnya. Tapi untuk berjaga-jaga, ia bersembunyi dengan bergeser ke bagian mesin penyeduh kopi dan mie instan. Lumayan deh buat hangat-hangat mie-nya. Setelah beberapa menit Wina yakin Dirga sudah pergi, ia pun berniat untuk membayar di kasir. Tapi naas, mie instan dalam cup yang masih panas tumpah karena ia menabrak laki-laki di belakangnya. “Oh, Shit!” teriak laki-laki yang tingginya 30 centi di atas Wina. “Maaf-maaf,” ucap Wina dengan tangan sibuk membersihkan mie instan yang berserakan menempel di kemeja biru langit milik laki-laki kini se
Dirga membanting pintu ruangannya dengan emosi yang siap meledak. Melemparkan kantong plastik berisi aneka snack di atas sofa panjang. Buru-buru ia membuka kancing kemeja dan segera membersihkan diri di washtafle. Beruntung ia masih menyimpan baju cadangan di loker, jadi tidak perlu repot balik lagi ke apartement-nya. Andai sebentar lagi tidak ada jadwal operasi, ia lebih memilih untuk segera mengejar si Bocah SMP yang sudah dua kali menipunya terang-terangan. Dan bodohnya, dia selalu tertipu. Selesai berganti pakaian, Dirga menatap wajahnya di cermin cukup lama. Ia membasuh mukanya untuk meredam amarah. Memang sih, uang yang dilepaskan bukanlah jumlah yang besar, tapi caranya itu, lho. Dirga tidak habis fikir, kok bisa ada anak kecil otaknya selicik itu? Ting! Pesan dari senior sekaligus dosennya yang dari tadi meminta untuk menggantikan operasinya bersama anak-anak koas membuat Dirga sedikit menurunkan amarahnya. Proffesor Riko—dokter spesialis bedah—itu memang sudah tidak sekuat
“Sekarang siapa lagi korban penipuan kamu?” Tanya Dirga begitu berdiri tepat di depan Wina. Perasaan tadi aku udah menghindar, kenapa ketemu lagi sih? Gerutu Wina dalam hati. Iya, sebenarnya tadi Wina sudah melihat Dirga di loby rumah sakit, dan untuk menghindarinya Wina buru-buru lari ke taman. Ia merasa belum siap ketemu Dirga karena belum menyusun strategi untuk melakukan misi. Bahkan detail data diri Dirga sebagai amunisi saja belum Wina dapatkan dari Rizal. Jadi untuk sementara ia harus terus berpura-pura untuk jadi si Bocah SMP. “Kenapa diem aja?! Apapun keadaannya, perbuatan kamu itu tetap tidak bisa dibenarkan!” Mereka saling menatap dalam diam. Dirga yang menunggu jawaban, dan Wina yang tidak ingin menjawab. Kebetulan keadaan di taman lumayan ramai dengan orang-orang yang sedang menikmati matahari pagi. Tiba-tiba terlintas sebuah ide untuk Wina lari dari keadaan ini. Masa harus kaya gitu si? “eeeee...” “Kenapa? Gak bisa jawab kan?!” Hardik Dirga tak sabar menunggu jawa
Tin! Tin! Wina menoleh pada mobil berwarna silver yang berhenti tepat di depannya. Saat ini Wina berada di parkiran rumah sakit. Menunggu ‘Om Dokter Cerobong Asap’ sesuai perjanjian kemarin. Sebenarnya Wina sedikit deg-degan. Bagaimana tidak, hari ini—atau mulai hari ini—ia harus bisa berpura-pura menjadi anak SMP. Tangan Wina sibuk memilin tali tas kecil yang ia selempangkan di bahu kirinya. Bibirnya terus begumam lirih mengucapkan: “Aku anak SMP, anak SMP, anak SMP—” Tiiiiin! Gumamannya berhenti, berganti gerutuan. “Apaan sih berisik banget,” gerutunya lirih. Kemudian ia menggerakkan kepalanya ke kanan, kiri, dan sekitarnya. Memastikan tidak ada orang lain di dekatnya. Wina pikir, titik dimana ia menegakkan kaki bukanlah tempat yang mengganggu lalu-lalang kendaraan. Aah, apa itu adalah taksi online? Tapi aku kan gak order, batinnya. Tin, tin, tiiiiiin! Lagi-lagi suara klakson mobil silver itu membuatnya kesal. Tak hanya berkali-kali, kali ini suaranya juga semakin memekakkan
“Kamu sekolah di SMP mana?” ... “A-ada deh, disana. Jauh. Om Dokter gak bakalan tahu,” jawab Wina asal. “Om, puter musik dong!” Pinta Wina untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi sayang, laki-laki yang memegang kemudi itu tetap diam saja. Wina melirik, memilih ikut menutup mulut sambil menikmati angin dari jendela mobil. Sepanjang perjalanan, suasana menjadi sangat hening. Hanya terdengar deru mesin mobil yang tidak seberapa berisiknya. Meski bibir sama-sama terkatup, tapi isi kepala mereka sama-sama berkelana. Sampai-sampai Wina senyum-senyum sendiri mengingat apa yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Selain dengan mengubah gaya berpakaiannya, Wina saat ini mencoba mendalami peran dengan menata rambutnya seperti anak-anak. Sungguh, kepang dua sedikit ribet menurutnya. Tapi kayaknya udah gaya bocah banget nih, akunya sambil mematut dirinya di kaca spion tengah mobil. Tingkahnya tersebut sukses menarik atensi Dirga. Di matanya, Wina benar-benar terlihat layaknya bocil yang beranjak
Wina duduk di cafe tempat perjanjiannya dengan Rizal. Tapi sudah hampir habis 2 gelas jus jambu, seseorang yang membuat janji belum juga menampakkan wujudnya. Hingga seorang waitress menghampirinya. Wina pikir ia akan diusir karena sedari tadi hanya memesan minuman dengan harga paling murah saja. “Maaf, Kak. Pak Dwi menunggu di dalam,” tutur waitres itu lembut. Wina malah bingung, karena merasa tidak mengenal nama tersebut. “Sepertinya salah orang deh, Kak. Soalnya saya janjiannya sama Rizal. Orangnya udah booking meja ini, kok.” Waitress dengan name tag ‘Karin’ itu tersenyum, “Pak Dwi sama Pak Rizal itu satu orang, Kak.” Oh, iya. Wina baru ingat kalau nama lengkap Dokter Rizal itu Rizal Dwi Hermanto. Wina meringis. Jadi malu’kan? Kemudian Wina mengikuti Karin ke dalam. Melewati area staff, lalu naik ke lantai dua. “Silakan, Kak!” Ucap sang waitress ketika sudah berada di depan pintu bertuliskan ‘DILARANG MASUK’. *** Berkat tulisan yang menggantung di daun pintu dan desain pint