Dirga menahan kantuk sejak semalam ia mendapat shift malam. Secangkir kopi instan terhidang untuk menhan kantuknya. Berkali-kali ia melihat alroji yang terpasang di tangan. Sudah lewat jam 6, tapi orang yang di tunggu belum juga datang.Ia meraih ponselnya, bermaksud menghubungi seseorang yang seharusnya sudah ada di apartemennya untuk bekerja. Namun tiba-tiba pintu utama terbuka, muncullah Wita, seseorang yang sudah ditunggunya sejak pulang kerja.Dirga yang duduk di ruang tamu memberi kode pada Wita lewat tatapan matanya untuk duduk di sofa. Wita sedikit penasaran, kenapa majikannya menyambutnya dengan wajah serius.“Maaf, tadi dari pasar dulu. Kata Wina kulkas sudah kosong,” jelasnya tanpa diminta. Kemudian ia maletakkan barang belanjaannya di pantry sebelum menyusul Dirga di ruang tamu.Saat sudah di dekatnya, Wita bisa melihat dengan jelas luka yang ada di leher majikannya. Diamatinya sejenak, “itu, kenapa, Pak?” Wita berpura-pura tidak tahu.Ya, sebenarnya ia tahu persis asal us
Dengan terpaksa, Wita masuk ke kamar majikannya. Memeriksa bawah ranjang king size tersebut. Ia berjalan ragu. Lampu kamar ia nyalakan semua. Gorden dan jendela ia buka lebar-lebar.Sedikit was-was, ia mengendap-endap seperti maling. Tak lupa tangannya memegang sapu dengan erat. Perlahan ia jongkok. Merapalkan beberapa kata untuk menenangkan dirinya.“Sendirinya juga takut. Sok-soan ngerjain orang,” ledek sang empunya kamar dari ambang pintu.Ssttt!Dengan pedenya pria berusia menjelang kepala tiga itu masuk sambil menenteng camilan. Seakan pekerjaan Wita adalah tontonan menarik.“Tapi aku gak naruh bunyi-bunyian,” Wita menatap horor ranjang majikannya. Apalagi saat terdengar bunyi dari kolong tempat tidur.Buk buk buk!Dirga ikut mendengar dengan seksama. Melihat wajah ketakutan ART-nya, keberaniannya menguap. Ia mengambil ancang-ancang siap lari.Berbekal lampu senter dari ponselnya, Wita memeriksa kolong ranjang yang hanya berjarak 20 cm dari lantai. Begitu cahaya senter menerangi
Semenjak tragedi file tesis yang menghilang tanpa jejak, pola hidup Dirga memang sangat berantakan. Masa ‘berkabungnya’ bahkan sampai satu minggu. Alkohol dan rokok tidak pernah absen seharipun. Ditambah setelah masuk kerja, ia langsung mendapat jatah 2 kali shift malam berturut-turut. Tidurnyapun jelas terganggu.Jadi, tak heran jika tubuhnya langsung protes.Tadi pagi saat menunggu Wita, sebenarnya tubuhnya sudah demam. Sayangnya, terjadilah peristiwa burung hantu plus tubrukan Wita yang membuatnya jatuh. Jadi ia harus menunggu beberapa saat untuk merebahkan tubuhnya di kasur empuknya.Ternyata tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Dirga juga enggan meminta bantuan pada asistennya yang tengah berkutat membersihkan kamarnya. Akhirnya ia memilih sofa panjang sebagai tempat berlabuh—meski tidak bisa menampung seluruh kakinya.Setelah tertidur cukup lama, ia merasakan goncangan pelan di lengannya. Sebenarnya ia sadar dan dengar suara-suara di sekitarnya. Termasuk suara Wita yang memanggilnya
Mansion utama keluarga Hermanto terbangun di atas tanah yang luasnya hampir mencapai satu hektare. Setiap sudutnya menegaskan kemewahan dan kekayaan pemiliknya. Fasilitasnya pun tak kalah lengkap. Berjejer 20 kamar, ruang tamu mewah bertema Eropa klasik, ruang keluarga yang mampu menampung hingga 50 orang lebih, dan banyak lagi ruangan-ruangan berkapasitas besar.Jangan lupakan fasilitas gym, jogging track, kolam renang, taman, rumah kaca, garasi mobil dan kendaraan lainnya, mini studio foto, home teater, gudang wine berusia lebih dari 20 tahun, air terjun buatan di halaman belakang, serta masih banyak lagi.Tentunya paviliun sendiri di sayap kanan mansion khusus para pembantu, tukang kebun, dan pegawai lainnya.Namun di balik semua kemawahan ada satu ruangan yang paling dihindari oleh semua penghuni mansion dan anak-cucu Hermanto.Ruang pribadi Hermanto.Hanya ada dua kemungkinan alasan seseorang dipanggil ke ruangan tersebut yakni 20 persen akan mendapatkan hadih, dan sisanya akan
“Mau aku bantu dapatkan Dirga?”Sheryl menoleh, mencari suara bariton yang tiba-tiba menghampirinya. Tadinya dokter ber-IQ 140 itu enggan menggubris pria yang mendekatinya. Namun mendengar nama Dirga disebut, ia tertarik untuk sekedar mendengarnya.Pagi itu, Sheryl sedang menunggu supirnya. Ia baru saja lari pagi di tempat biasanya Dirga lari pagi. Sayangnya sudah lebih dari tiga putaran ia lari, pria yang ditunggu tak juga datang. Sheryl menyerah dan meminta supirnya segera menjemputnya.Saat sedang menunggu di pinggir jalan sembari menggulir layar ponselnya, pria yang ia tahu merupakan sepupu Dirga mengatakan hal yang menarik atensinya.Mereka tidak perlu saling mengenalkan diri. Karena meski tak berteman, mereka pernah beberapa kali bertemu saat bermain bersama Dirga. Atau saat ada acara keluarga Hermanto.“Maaf, saya tidak tertarik.”Tentu saja Sheryl tak langsung percaya. Terlebih lagi pada sepupu Dirga satu ini yang terkenal paling ‘gila’. Selain itu Ia juga harus menjaga image-
Di kamar yang sengaja masih dibuat temaram. Dirga sebenarnya sudah terbangun sejak sejam yang lalu. Tapi ia masih betah memandang gadis mungil yang semalam menjadi gulingnya. Meski sudah lewat jam 7, Wina masih betah merem.Iya Wina.Saat terbangun Dirga sampai berpikir itu mimpi. Seingatnya, kemarin yang membereskan kekacauan adalah Wita. Bahkan sebelum ia benar-benar terlelap, ia masih mendengar Wita berbicara melalui telepon.Begitu bangun Dirga memastikan bahwa yang ada didekapannya benar-benar Wina. Wajahnya yang bersih tanpa riasan dan pakaiannya yang khas ala bocil. Tentu itu bukan Wita.Ketika terbangun, Dirga cukup bingung dengan diri sendiri. Biasanya ketika sakit, ia hanya bisa terlelap saat ditemani bundanya. Namun sejak ia gagal sidang, rasanya ia belum berani mengunjungi orangtuanya. Dirga masih malu. Saat bertemu di mansion utamapun mereka hanya sedikit mengobrol.Namun dengan Wina, ia bisa tidur saat sakit. Bahkan tidur nyenyak.Dirga meraba dahinya lalu tersenyum. Bag
Hingga beberapa saat, Wina dan Dirga masih saling pandang. Tak sadar, diam-diam keduanya saling mengagumi. Wina melihat dengan seksama wajah tampan majikannya. Sementara Dirga masih setia memperhatikan bibir tipis Wina.Tiba-tiba Wina memejamkan matanya, Dirgapun refleks mendekatkan wajahnya. Namun sebelum ekspektasi Dirga terwujudkan ....HATCHUI!Wina bersin dengan brutalnya. Tepat di wajah Dirga, hingga seluruh wajah dokter tampan itu basah.Dirga sampai memejamkan matanya menahan malu dan kesal.“WINAAA!” Teriaknya tak kalah kencang dari suara bersin gadis mungil di depannya.Sedangkan pelakunya sudah kelabakan, panik atas ulahnya sendiri. Ia berniat membersihkan wajah majikannya yang basah karena bersinnya. Namun belum sempat menyentuh, Dirga buru-buru menahan. Dicengkeramnya pergelangan tangan mungil itu.“Tangan. Kamu. Kotor!” ucap Dirga penuh penekanan di setiap katanya.Raut wajah dokter berahang tegas itu sudah sangat tidak bersahabat. Wina hanya bisa tersenyum kecut karena
Tidak mungkin seseorang pergi berperang tanpa adanya strategi dan senjata. Begitu pula dengan Aldo yang tidak mungkin menumbangkan Dirga tanpa persiapan. Oleh karena itu, ia harus meminta saran dari yang lebih expert. Dan satu-satunya orang yang paling bisa dipercaya adalah papanya.Selama ini aldo memang terkenal sebagai anak yang nakal dan masa bodoh dengan keadaan sekitarnya. Namun tanpa banyak orang tahu, di balik sikapnya yang hanya tahu main-main, Aldo adalah pengamat yang cerdik. Baik pengamat dalam hal bisnis maupun kehidupan pribadi setiap anggota keluarga besar Hermanto.Termasuk kehidupan papanya."Papa kira, Aldo tidak tahu siapa dalang di balik hancurnya keluarga Rizal?" cecarnya kala papanya masih menolak untuk membantunya.Kemudian tanpa diminta, pria berwajah oriental itu menceritakan apa saja yang ia ketahui tentang perbuatan papanya di masa lalu. Sehingga mau tidak mau papanya bersedia bergabung dalam agenda untuk menyingkirkan Dirga, sang cucu emas."Bagaimana denga