“Kau menuduhku berzina!?”
Usai mengucapkan itu, tanpa menunggu respons dari Syarif, Syafa melanjutkan, "Dengar, Tuan! Aku memang mencintai Ben dan kami berpacaran. Tapi aku masih cukup waras untuk tidak melakukan hal bejat itu."
Nada suara gadis itu meninggi.
"Orang tuaku mendidikku dengan sangat baik, jadi aku tidak akan melakukan hal serendah itu!"
Sorot mata Syafa tampak tajam, menghunjam tepat di manik mata Syarif, sementara pria itu masih duduk dengan santai di hadapannya.
Bahkan, kini Syarif justru tersenyum!
Ada gurat kelegaan dalam senyum pria berusia 33 tahun tersebut.
"Baiklah," ucap Syarif dengan tenang. "Aku paham."
Syafa mengernyit. Apakah pria itu paham sanggahannya tentang apa yang ia tuduhkan tadi, atau mengerti bahwa Syafa ingin perjodohan ini dibatalkan?
Jawaban dari pertanyaan dalam kepala Syafa tersebut langsung ia dapatkan beberapa saat kemudian.
“Saya menerima perjodohan ini.”
Bahu Syafa langsung turun, tubuhnya melemas.
Gadis itu bagaikan disambar petir di siang bolong. Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh pria bak model profesional di sampingnya tersebut. Pria tampan yang begitu sempurna bagi banyak gadis itu, tidak ubahnya seperti seorang psikopat di mata Syafa.
Bagaimana tidak? Bahkan setelah mendengar semua kenyataan yang telah dia sampaikan tadi, pria itu masih menerima perjodohan ini. Seolah segala keluh kesah dan curahan hatinya tadi, bukanlah sesuatu yang penting.
Pria mana yang mau menikahi wanita yang mencintai lelaki lain!?
"Abi boleh mengatur pernikahan kami,” lanjut Syarif dengan wajah datar kemudian. “Tapi tolong lakukan semua sebelum keberangkatanku ke Eropa."
"Alhamdulillah,”.ucap ibu Syarif dengan senyum bahagia. Beliau menggenggam tangan Syafa. “Terima kasih, Nak. Kau membuat putra kami akhirnya mau menikah,"
"Semoga Allah memberikan berkah dan rahmatNya ada kalian berdua," ucap Ny. Annisa lagi dengan mata berembun.
Semua orang merasa sangat bahagia, kecuali Syafa. Dia menjadi satu-satunya orang yang merasa dipermainkan dan dijebak saat ini.
Tadinya Syafa berpikir, jika dia berkata jujur tentang hubungannya dan Ben. Syarif akan jadi tidak suka atau minimal kasihan padanya. Tapi ternyata semua itu salah.
"Itu bukan urusanku."
Kata-kata Syarif masih terus terngiang di benak Syafa. Kata-kata yang seolah ringan, tetapi memiliki makna yang terlalu dalam.
Pria itu tidak main-main dengan semua yang dikatakannya. Jika dia bilang bukan urusannya, itu artinya dia memang tidak mau peduli apa pun.
Pertemuan itu berakhir dengan banyak senyuman dan kepuasan. Baik dari pihak keluarganya, maupun keluarga Syarif. Namun, meninggalkan luka dan tangis di hati sang calon pengantin wanita.
Inilah pertama kali Syafa merasa diabaikan, dan tidak dihiraukan dalam hidupnya.
***
"Syarif akan berangkat ke Eropa bulan depan. Keluarga mereka mengatakan, jika pernikahan kalian akan digelar 3 Minggu lagi di Bali," kata Ny. Fatima pada putri semata wayangnya, yang masih terlihat murung sejak pertemuan keluarga beberapa hari lalu. Beliau kemudian menuturkan detail persiapan pernikahan.
"Jangan banyak melamun, Nak. Kita tetap harus ber-khusnudzon,” tegurnya kemudian pada Syafa karena putrinya tidak merespons. “Mama lihat keluarga mereka sangat baik. Meskipun termasuk keluarga kaya dan terpandang, mereka bersikap ramah dan sederhana. Mama tidak merasa terintimidasi sama sekali.”
"Sejak kapan Mama jadi suka memuji orang?" tanya Syafa dengan nada kesal mendengar sang ibu memuji keluarga calon besannya.
"Nak Syarif itu ganteng, lho, Fa. Mama sempat perhatikan dia kemarin.” Ny. Fatima tersenyum mengingat bagaimana ekspresi calon menantunya itu, saat menatap putrinya. “Wajahnya bahkan tidak kalah dari para model dan bintang film. Mama lihat juga, dia sepertinya mengagumimu."
Sebagai seorang ibu, wanita berhijab lebar itu paham makna dari tatapan Syarif. Bukan sebuah tatapan penuh nafsu yang liar, tetapi pandangan kekaguman yang menenangkan.
Dari cara Syarif melihat putrinya saat itu, Ny. Fatima merasa lega dan yakin, jika pria itu memang baik untuk Syafa.
"Mama menyukai pria menyebalkan itu?" Suara Syafa terdengar kesal.
"Mama menyukai sikap dan sopan santunnya. Mama jadi tenang, karena kamu akan bersama orang yang baik."
"Baik? Kita bahkan baru bertemu mereka sekali, Ma. Masih jauh jika harus mengatakan dia pria yang baik."
Percakapannya dengan sang ibu kali ini, membuat Syafa merasa semakin kesal dan suasana hatinya buruk.
Bagaimana mungkin ibunya justru membela pria asing itu. Pria yang bagi Syafa sangat menyebalkan, karena meskipun dia telah mengungkap masalahnya dengan jujur, pria itu masih tidak peduli pada kebahagiaannya.
"Dia egois dan tidak punya empati, Ma. lihat saja nanti, kalau aku hidup menderita setelah menjadi istri orang itu. Mama dan Papa yang harus bertanggung jawab!"
Gadis itu benar-benar kesal dan marah, dia merasa hidupnya sedang dipermainkan. Kalau bukan karena rasa cintanya kepada kedua orang tua. Dia pasti akan kabur dan hidup bersama Ben di luar negeri. Namun, dia tidak ingin menyakiti hati orang tuanya.
Rumah sakit Ibnu Sina, adalah warisan leluhur mereka. Pendahulunya membangun semua itu dengan darah dan keringat. Syafa tahu jika rumah sakit itu sangat berharga untuk papanya. Jika Ibnu Sina harus berakhir di generasinya, sang ayah tidak akan mampu menanggung derita dan kekecewaan. Karena itu, Syafa berusaha untuk menekan egonya sendiri, demi kebaikan semua.
Meskipun dengan begitu dia harus mengorbankan rasa cinta dan perasaannya. Mencoba mengikuti kemana arah takdir membawanya. Karena saat dia memutuskan untuk menurut, baginya hidup sedah bukan dalam kendalinya lagi.
"Bisakah kau datang? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan sebelum kita menikah," kata Syafa, malam ini selepas salat Isyak dia menghubungi Syarif. “Sekarang.”
“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan.”"Baik," jawab Syarif dengan singkat dari seberang sana.Setelah itu panggilan diputuskan secara sepihak. Membuat Syafa kembali merasa kesal. Setiap kali dia berusaha untuk berbicara dan berinteraksi dengan calon suaminya itu. Selalu saja gagal, Syarif hampir tidak pernah membalas pesan dan mengangkat teleponnya.Meskipun Syafa tahu pria itu sedang sibuk bekerja. Dia pikir bukankah akan lebih baik jika mereka meluangkan waktu untuk saling mengenal. Agar hubungan mereka tidak terlalu kaku? Toh mereka akan menikah juga akhirnya. Untung saja malam ini dia menerima panggilannya. Jika tidak Syafa berencana nekad menemuinya di hotel tempatnya menginap.Benar saja kurang dari satu jam, Syarif telah tiba di rumahnya sendirian. Pria itu tampak gagah dengan balutan kemeja biru dan celana jeans hitam. Penampilannya sederhana seperti biasa, tetapi Syarif memang memiliki aura dan pesona yang kuat. Segala gerak gerik putra kedua keluarga Abdullah Al-Ghif
“Kita akan menikah, bukan bermain drama.”Syafa yang tadinya merasa percaya diri dengan rencananya kini terdiam. Perlahan semua keberaniannya memudar, saat melihat bagaimana calon suaminya itu bersikap. Di satu sisi pria itu tenang dan datar, tetapi dia tegas dan mengintimidasi dalam waktu yang bersamaan."Aku sudah tanda tangan, sekarang apa masih ada lagi syarat yang ingin kau ajukan?" tanya Syarif sambil meletakkan kembali map dan pena di meja."Tidak," jawab Syafa singkat."Kalau begitu, aku akan kembali ke hotel," ucap Syarif sambil berdiri. “Asalamualaikum.”"Wa alaikumsalam," jawab Syafa pelan, masih tetap duduk di tempatnya.Membiarkan Syarif melangkah menuju pintu, dan memutar kunci. Pria itu keluar dari ruang perpustakaan dengan diam. Meninggalkan Syafa yang masih tak bergeming ditempatnya.Setelah beberapa saat, gadis itu baru bisa kembali tenang. Perlahan dia membuka map berisi perjanjian pranikah yang dia siapkan tadi. Syarif telah menandatangani tepat di atas materinya.
Malam ini rombongan keluarga Abdullah Al-Ghifary terbang meninggalkan Bali. Semua orang harus kembali bekerja besok, setelah cuti seminggu penuh. Hanya tinggal Syarif dan Syafa yang masih tinggal di kediaman keluarga Musthofa Altaf. Mereka akan kembali ke Kalimantan besok siang."Kau ingin mampir dulu, atau langsung pulang?" tanya Syarif, ketika mobil mereka baru saja keluar dari tempat parkir bandara.Syarif memutuskan untuk menyetir, agar mereka memiliki waktu pribadi. Sehingga dapat mengutarakan isi hati tanpa takut terdengar oleh siapapun. Seperti ketika berada di rumah keluarga Musthofa Altaf selama dua hari terakhir."Pulang saja, kepalaku pusing," jawab Syafa sambil memijat pelipisnya.Ucapan ibu mertuanya tadi masih terus terngiang di kepalanya. Sesaat sebelum mereka masuk kedalam pesawat pribadi. Wanita itu membisikan sesuatu yang membuatnya merasa frustasi."Berikan kami bayi lucu dan sehat."Perkataan itu seilah terus berulang di benaknya. Membuat Syafa semakin tertekan dan
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Syarif dari balik pintu.Pria itu sejak tadi menunggu istrinya keluar dari kamar mandi.Namun, sudah hampir satu jam, Syafa belum juga keluar. Sehingga membuat Syarif merasa sedikit khawatir, karena tidak biasanya Syafa berlama-lama di kamar mandi."A-aku baik," ucap Syafa gugup."Apa kau masih lama? Aku butuh ke kamar mandi," kata Syarif lagi, setelah yakin istrinya memang baik-baik saja."Sebentar." Syafa kembali berteriak dari dalam.Dia segera menyelesaikan ritual mandinya, dan buru-buru berpakaian.Setelah lima belas menit, gadis itu keluar dengan hanya memakai dress selutut berlengan pendek.Sebenarnya Syafa tidak ingin memakai baju itu, tetapi tadi dia terlalu buru-buru mengambil baju ganti, sehingga tidak teliti.Syarif menatap istrinya, pria itu selalu merasakan getaran aneh tiap kali melihat Syafa tanpa hijab. Sesuatu yang selalu membuat hati dan otaknya sulit untuk dikendalikan.Syarif segera masuk ke kamar mandi, untuk menutupi kegugupannya
"Kita berangkat lusa," kata Syarif sambil memberikan amplop coklat pada istrinya.Malam itu seperti biasa setelah sholat Isyak berjamaah di kamar, mereka duduk sambil sibuk dengan ponsel masing-masing.Syafa membuka amplop tersebut, yang ternyata berisi visa Schengen untuknya.Syafa sedikit terkejut, karena Syarif bisa mengurus semua ini dengan sangat cepat. Tidak sampai dua hari. Padahal biasanya akan butuh waktu lama untuk seseorang bisa mendapatkan bisa visa tersebut."Ternyata memang benar, uang bisa melancarkan segalanya," ucap Syafa dengan senyum sarkas. "Terima kasih," lanjutnya.Syarif tidak tertarik untuk menjawab perkataan istrinya. Dia hanya fokus di depan laptop, sambil sesekali melihat ponsel. Pria itu tidak akan pernah beralih fokus, ketika sedang bekerja.Sementara Syafa, segera menyimpan mengambil koper besar miliknya, dan bersiap mengepak berbagai barang keperluannya sendiri. Karena Syarif sudah seminggu lebih menyiapkan keperluannya. Syafa memang pernah berkunjung k
Pria itu semakin menarik dagu istrinya mendekat, sampai kedua bibir mereka saling bersentuhan. Tok tok tok,"Tuan Rasyid memanggil anda ke ruang kerjanya sekarang, Tuan,"ucap seseorang yang berada dibalik pintu.Sebuah pesan yang bagaikan malaikat penolong untuk Syafa. Karena setelah mendengar pesan tersebut, Syarif langsung melepaskan cengkeramannya. Pria itu segera berjalan keluar kamar."Alhamdulillah, Ya Allah," gumam Syafa dengan perasaan sangat lega.Dengan gemetaran gafus itu berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Tubuhnya masih terasa sangat lemas, dengan detak jantung yang tak beraturan. ***Hujan deras mengguyur kota Balikpapan sore ini. Suasana sedikit suram dan dingin. Syarif berdiri menatap keluar, dari balik jendela kaca besar ruang kerjanya. Pria itu baru saja selesai meeting dengan dewan direksi.Pertemuan yang membahas kerja sama yang akan mereka lakukan dengan pihak Swiss dan Austria. Besok pagi dia, Syafa dan beberapa orang tim dari Al-Hassan Energi & Batubara
"Oslo Gardermoen Airport," gumam Syafa ketika pesawat mereka memasuki area bandara."Kita tidak pulang?" tanya Syafa menatap suaminya."Kau ingin melihat Aurora, 'kan?" Syarif tersenyum menjawab pertanyaan istrinya.Sedangkan Syafa kembali menatap ke bawah. Melihat kesibukan yang berada di area bandara terbesar dan tersibuk di Norwegia tersebut."Dia menganggap ocehanku serius," bisik Syafa dalam hati.Gadis itu sudah curiga ada yang tidak beres, ketika masuk pesawat tadi pagi. Tim Al-Hassan yang berangkat bersama mereka, tidak ada dalam jet milik keluarga suaminya tersebut. Mereka hanya berdua, selain crew dan pilot pesawat."Kita hanya transit selama empat jam, untuk mengisi Avtur dan makan siang." Syarif seolah menjawab rasa penasaran Syafa. "Setelah itu kita langsung menuju Tromso-Langnes Airport," lanjutnya.Syafa hanya diam dan mendengarkan.Tetapi dalam hati gagus itu bersorak gembira, karena akan segera melihat Aurora. Sesuatu yang sejak lama dia inginkan. Syafa hanya terlalu
Lima hari berada di Tromso, Syafa seolah melupakan segala kegalauan dan kesedihannya. Sepanjang waktu dia begitu bersemangat berburu Aurora. Dengan mobil khusus yang di sewa Syarif. Mereka berkeliling desa, mencari spot-spot terbaik untuk menyaksikan keindahan Aurora. Gadis itu mengabadikan hampir setiap momen yang dia lalui di tempat itu. Sementara Syarif hanya tersenyum, memperhatikan dan menuruti semua keinginan istrinya. Karena setiap tour guide mereka bilang ada tempat bagus, Syafa langsung meminta untuk mengunjungi tempat itu. Suhu minus 25 derajat lebih, seolah tidak dihiraukannya. Dagis itu kedinginan, tetapi dia enggan kembali pulang ke cottage, sebelum puas.Sore itu cuaca tampak cukup cerah, sehingga Syafa mengajak Syarif pergi berdua tanpa tour guide. Niat awal mereka hanya untuk jalan-jalan di sekitar cottage dan memotret Aurora. Beberapa orang pengunjung juga melakukan hal yang sama. Mereka menikmati setiap momen di tempat itu. Sampai terdengar sirine tanda bahaya