Share

3. Sebuah Kesepakatan

“Kau menuduhku berzina!?”

Usai mengucapkan itu, tanpa menunggu respons dari Syarif, Syafa melanjutkan, "Dengar, Tuan! Aku memang mencintai Ben dan kami berpacaran. Tapi aku masih cukup waras untuk tidak melakukan hal bejat itu." 

Nada suara gadis itu meninggi.

"Orang tuaku mendidikku dengan sangat baik, jadi aku tidak akan melakukan hal serendah itu!"

Sorot mata Syafa tampak tajam, menghunjam tepat di manik mata Syarif, sementara pria itu masih duduk dengan santai di hadapannya.

Bahkan, kini Syarif justru tersenyum!

Ada gurat kelegaan dalam senyum pria berusia 33 tahun tersebut.

"Baiklah," ucap Syarif dengan tenang. "Aku paham."

Syafa mengernyit. Apakah pria itu paham sanggahannya tentang apa yang ia tuduhkan tadi, atau mengerti bahwa Syafa ingin perjodohan ini dibatalkan?

Jawaban dari pertanyaan dalam kepala Syafa tersebut langsung ia dapatkan beberapa saat kemudian.

“Saya menerima perjodohan ini.”

Bahu Syafa langsung turun, tubuhnya melemas. 

Gadis itu bagaikan disambar petir di siang bolong. Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh pria bak model profesional di sampingnya tersebut. Pria tampan yang begitu sempurna bagi banyak gadis itu, tidak ubahnya seperti seorang psikopat di mata Syafa. 

Bagaimana tidak? Bahkan setelah mendengar semua kenyataan yang telah dia sampaikan tadi, pria itu masih menerima perjodohan ini. Seolah segala keluh kesah dan curahan hatinya tadi, bukanlah sesuatu yang penting.

Pria mana yang mau menikahi wanita yang mencintai lelaki lain!?

"Abi boleh mengatur pernikahan kami,” lanjut Syarif dengan wajah datar kemudian. “Tapi tolong lakukan semua sebelum keberangkatanku ke Eropa." 

"Alhamdulillah,”.ucap ibu Syarif dengan senyum bahagia. Beliau menggenggam tangan Syafa. “Terima kasih, Nak. Kau membuat putra kami akhirnya mau menikah," 

"Semoga Allah memberikan berkah dan rahmatNya ada kalian berdua," ucap Ny. Annisa lagi dengan mata berembun.

Semua orang merasa sangat bahagia, kecuali Syafa. Dia menjadi satu-satunya orang yang merasa dipermainkan dan dijebak saat ini. 

Tadinya Syafa berpikir, jika dia berkata jujur tentang hubungannya dan Ben. Syarif akan jadi tidak suka atau minimal kasihan padanya. Tapi ternyata semua itu salah. 

"Itu bukan urusanku."

Kata-kata Syarif masih terus terngiang di benak Syafa. Kata-kata yang seolah ringan, tetapi memiliki makna yang terlalu dalam. 

Pria itu tidak main-main dengan semua yang dikatakannya. Jika dia bilang bukan urusannya, itu artinya dia memang tidak mau peduli apa pun.

Pertemuan itu berakhir dengan banyak senyuman dan kepuasan. Baik dari pihak keluarganya, maupun keluarga Syarif. Namun, meninggalkan luka dan tangis di hati sang calon pengantin wanita. 

Inilah pertama kali Syafa merasa diabaikan, dan  tidak dihiraukan dalam hidupnya.

***

"Syarif akan berangkat ke Eropa bulan depan. Keluarga mereka mengatakan, jika pernikahan kalian akan digelar 3 Minggu lagi di Bali," kata Ny. Fatima pada putri semata wayangnya, yang masih terlihat murung sejak pertemuan keluarga beberapa hari lalu. Beliau kemudian menuturkan detail persiapan pernikahan.

"Jangan banyak melamun, Nak. Kita tetap harus ber-khusnudzon,” tegurnya kemudian pada Syafa karena putrinya tidak merespons. “Mama lihat keluarga mereka sangat baik. Meskipun termasuk keluarga kaya dan terpandang, mereka bersikap ramah dan sederhana. Mama tidak merasa terintimidasi sama sekali.”

"Sejak kapan Mama jadi suka memuji orang?" tanya Syafa dengan nada kesal mendengar sang ibu memuji keluarga calon besannya.

"Nak Syarif itu ganteng, lho, Fa. Mama sempat perhatikan dia kemarin.” Ny. Fatima tersenyum mengingat bagaimana ekspresi calon menantunya itu, saat menatap putrinya. “Wajahnya bahkan tidak kalah dari para model dan bintang film. Mama lihat juga, dia sepertinya mengagumimu." 

Sebagai seorang ibu, wanita berhijab lebar itu paham makna dari tatapan Syarif. Bukan sebuah tatapan penuh nafsu yang liar, tetapi pandangan kekaguman yang menenangkan. 

Dari cara Syarif melihat putrinya saat itu, Ny. Fatima merasa lega dan yakin, jika pria itu memang baik untuk Syafa.

"Mama menyukai pria menyebalkan itu?" Suara Syafa terdengar kesal.

"Mama menyukai sikap dan sopan santunnya. Mama jadi tenang, karena kamu akan bersama orang yang baik."

"Baik? Kita bahkan baru bertemu mereka sekali, Ma. Masih jauh jika harus mengatakan dia pria yang baik."

Percakapannya dengan sang ibu kali ini, membuat Syafa merasa semakin kesal dan suasana hatinya buruk. 

Bagaimana mungkin ibunya justru membela pria asing itu. Pria yang bagi Syafa sangat menyebalkan, karena meskipun dia telah mengungkap masalahnya dengan jujur, pria itu masih tidak peduli pada kebahagiaannya.

"Dia egois dan tidak punya empati, Ma. lihat saja nanti, kalau aku hidup menderita setelah menjadi istri orang itu. Mama dan Papa yang harus bertanggung jawab!"

Gadis itu benar-benar kesal dan marah, dia merasa hidupnya sedang dipermainkan. Kalau bukan karena rasa cintanya kepada kedua orang tua. Dia pasti akan kabur dan hidup bersama Ben di luar negeri. Namun, dia tidak ingin menyakiti hati orang tuanya.

Rumah sakit Ibnu Sina, adalah warisan leluhur mereka. Pendahulunya membangun semua itu dengan darah dan keringat. Syafa tahu jika rumah sakit itu sangat berharga untuk papanya. Jika Ibnu Sina harus berakhir di generasinya, sang ayah tidak akan mampu menanggung derita dan kekecewaan. Karena itu, Syafa berusaha untuk menekan egonya sendiri, demi kebaikan semua.

Meskipun dengan begitu dia harus mengorbankan rasa cinta dan perasaannya. Mencoba mengikuti kemana arah takdir membawanya. Karena saat dia memutuskan untuk menurut, baginya hidup sedah bukan dalam kendalinya lagi.

"Bisakah kau datang? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan sebelum kita menikah," kata Syafa, malam ini selepas salat Isyak dia menghubungi Syarif. “Sekarang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status