“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan.”
"Baik," jawab Syarif dengan singkat dari seberang sana.
Setelah itu panggilan diputuskan secara sepihak. Membuat Syafa kembali merasa kesal.
Setiap kali dia berusaha untuk berbicara dan berinteraksi dengan calon suaminya itu. Selalu saja gagal, Syarif hampir tidak pernah membalas pesan dan mengangkat teleponnya.
Meskipun Syafa tahu pria itu sedang sibuk bekerja. Dia pikir bukankah akan lebih baik jika mereka meluangkan waktu untuk saling mengenal. Agar hubungan mereka tidak terlalu kaku? Toh mereka akan menikah juga akhirnya.
Untung saja malam ini dia menerima panggilannya. Jika tidak Syafa berencana nekad menemuinya di hotel tempatnya menginap.
Benar saja kurang dari satu jam, Syarif telah tiba di rumahnya sendirian. Pria itu tampak gagah dengan balutan kemeja biru dan celana jeans hitam. Penampilannya sederhana seperti biasa, tetapi Syarif memang memiliki aura dan pesona yang kuat. Segala gerak gerik putra kedua keluarga Abdullah Al-Ghifary tersebut, tampak berkelas dan mahal.
"Terima kasih sudah datang, sebaiknya kita bicara di tempat lain," kata Syafa tanpa basa-basi.
Gadis itu mengajak calon suami yang akan menikahinya besok lusa itu, kedalam ruang perpustakaan rumahnya. Setelah mereka masuk, gadis itu langsung mengunci ruang itu dari dalam. Membuat Syarif menautkan kedua alisnya.
Pria itu merasa gelagat gadis yang menarik perhatiannya tersebut, sedikit aneh dan mencurigakan. Memintanya datang di malam hari dan membawanya masuk ke ruangan dan menguncinya. Meskipun penasaran, tetapi Syarif berusaha tenang dan menunggu tindakan selanjutnya, dari sang calon istri.
"Duduklah!" perintah Syafa, yang diikuti tanpa banyak bertanya oleh Syarif.
Setelah Syarif duduk, Syafa membuka laci meja tulis yang ada di ruangan tersebut. Gadis itu mengeluarkan map merah dan sebuah pena. Dengan cepat berjalan ke arah Syarif sambil menyodorkan map dan pena tersebut.
Melihat tingkah Syafa, Syarif menatap gadis itu dengan pandangan bertanya. Dia tidak langsung menerima map dan pena tersebut, tetapi justru memandang curiga pada calon istrinya. Sesuatu yang membuat Syafa merasa semakin kesal.
"Lihat, baca, dan tanda tangani!" ucapnya tidak sabar.
Mendengar itu, Syarif baru menerima map dan pena tersebut. Pria itu membuka dan membaca isi dari selembar kertas yang ada di dalam map merah. Sementara Syafa menunggu dengan wajah sedikit tegang dan cemas.
"Kau sudah membacanya? Itu adalah syarat dariku. Aku ingin kita membuat perjanjian pranikah, sebelum benar-benar menjadi suami istri," kata Syafa tegas, sambil menatap Syarif.. “Aku sudah menandatanganinya, sekarang giliranmu.”
Sementara pria itu memandang gadis di hadapannya tersebut, dengan pandangan menelisik.
Dia paham apa yang diinginkan oleh calon istrinya, tetapi dia masih belum ingin mengatakan apa pun.
"Kau tahu aku sudah punya pacar, kau telah memisahkan pasangan yang saling mencintai. Bahkan sepertinya kau sama sekali tidak merasa bersalah. Jadi kau harus menanggung konsekuensinya. Karena kau sendiri yang menginginkan pernikahan ini," ungkap Syafa dengan percaya diri.
"Aku tidak melakukan kesalahan, tidak perlu merasa bersalah," jawab Syarif dengan tenang, suara dan ekspresinya datar.
"Kau tidak merasa bersalah, karena telah membuat dua orang yang saling mencintai terpisah? Di mana perasaanmu? Bagaimana jika posisinya terbalik, kau yang harus berpisah dengan wanita yang kau cintai. Apa kau bisa meninggalkannya demi menikahi orang asing?" Kali ini Syafa mengatakan semua itu dengan tatapan kebencian.
Gadis itu merasa kesal karena Syarif bersikap seolah semua yang dilakukan itu benar. Membuatnya harus berpisah dengan Ben. Membuat mimpinya untuk menjadi dokter, harus berhenti walau tinggal selangkah lagi.
"Bagaimana aku bisa memisahkan seseorang dari hubungan yang tidak pernah ada?" tanya Syarif, masih dengan nada tenang.
"Apa?" Syafa hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri.
"Dia kekasihku, kami saling mencintai," kata Syafa lagi.
"Tidak ada hubungan pacaran dalam Islam,” kata Syarif dengan wajah serius. “Hubungan yang kalian jalin tidak ada hubungannya dengan perjodohan ini. Jika kalian merasa disakiti, itu karena kalian telah membiarkan diri kalian terjebak, pada hal yang tidak sepatutnya terjadi sebelum ikatan pernikahan.”
Nada bicara dan ekspresi datarnya berubah seketika. Membuat Syafa hampir lupa bagaimana cara bernafas. Mata hitam teduh itu tiba-tiba berubah tajam dan menghujam. Syarif seperti sedang memperlihatkan sisi lain dalam dirinya.
"Jika kau ingin perjanjian ini, aku mengabulkannya. Kau boleh melanjutkan studi doktermu, kita juga akan tinggal terpisah dari orang tua setelah menikah," kata Syarif tegas, dengan ekspresi yang tidak bisa dibantah. “Tetapi poin kedua, aku tidak bisa mengabulkannya. Kita akan menikah, bukan bermain drama.”
“Kita akan menikah, bukan bermain drama.”Syafa yang tadinya merasa percaya diri dengan rencananya kini terdiam. Perlahan semua keberaniannya memudar, saat melihat bagaimana calon suaminya itu bersikap. Di satu sisi pria itu tenang dan datar, tetapi dia tegas dan mengintimidasi dalam waktu yang bersamaan."Aku sudah tanda tangan, sekarang apa masih ada lagi syarat yang ingin kau ajukan?" tanya Syarif sambil meletakkan kembali map dan pena di meja."Tidak," jawab Syafa singkat."Kalau begitu, aku akan kembali ke hotel," ucap Syarif sambil berdiri. “Asalamualaikum.”"Wa alaikumsalam," jawab Syafa pelan, masih tetap duduk di tempatnya.Membiarkan Syarif melangkah menuju pintu, dan memutar kunci. Pria itu keluar dari ruang perpustakaan dengan diam. Meninggalkan Syafa yang masih tak bergeming ditempatnya.Setelah beberapa saat, gadis itu baru bisa kembali tenang. Perlahan dia membuka map berisi perjanjian pranikah yang dia siapkan tadi. Syarif telah menandatangani tepat di atas materinya.
Malam ini rombongan keluarga Abdullah Al-Ghifary terbang meninggalkan Bali. Semua orang harus kembali bekerja besok, setelah cuti seminggu penuh. Hanya tinggal Syarif dan Syafa yang masih tinggal di kediaman keluarga Musthofa Altaf. Mereka akan kembali ke Kalimantan besok siang."Kau ingin mampir dulu, atau langsung pulang?" tanya Syarif, ketika mobil mereka baru saja keluar dari tempat parkir bandara.Syarif memutuskan untuk menyetir, agar mereka memiliki waktu pribadi. Sehingga dapat mengutarakan isi hati tanpa takut terdengar oleh siapapun. Seperti ketika berada di rumah keluarga Musthofa Altaf selama dua hari terakhir."Pulang saja, kepalaku pusing," jawab Syafa sambil memijat pelipisnya.Ucapan ibu mertuanya tadi masih terus terngiang di kepalanya. Sesaat sebelum mereka masuk kedalam pesawat pribadi. Wanita itu membisikan sesuatu yang membuatnya merasa frustasi."Berikan kami bayi lucu dan sehat."Perkataan itu seilah terus berulang di benaknya. Membuat Syafa semakin tertekan dan
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Syarif dari balik pintu.Pria itu sejak tadi menunggu istrinya keluar dari kamar mandi.Namun, sudah hampir satu jam, Syafa belum juga keluar. Sehingga membuat Syarif merasa sedikit khawatir, karena tidak biasanya Syafa berlama-lama di kamar mandi."A-aku baik," ucap Syafa gugup."Apa kau masih lama? Aku butuh ke kamar mandi," kata Syarif lagi, setelah yakin istrinya memang baik-baik saja."Sebentar." Syafa kembali berteriak dari dalam.Dia segera menyelesaikan ritual mandinya, dan buru-buru berpakaian.Setelah lima belas menit, gadis itu keluar dengan hanya memakai dress selutut berlengan pendek.Sebenarnya Syafa tidak ingin memakai baju itu, tetapi tadi dia terlalu buru-buru mengambil baju ganti, sehingga tidak teliti.Syarif menatap istrinya, pria itu selalu merasakan getaran aneh tiap kali melihat Syafa tanpa hijab. Sesuatu yang selalu membuat hati dan otaknya sulit untuk dikendalikan.Syarif segera masuk ke kamar mandi, untuk menutupi kegugupannya
"Kita berangkat lusa," kata Syarif sambil memberikan amplop coklat pada istrinya.Malam itu seperti biasa setelah sholat Isyak berjamaah di kamar, mereka duduk sambil sibuk dengan ponsel masing-masing.Syafa membuka amplop tersebut, yang ternyata berisi visa Schengen untuknya.Syafa sedikit terkejut, karena Syarif bisa mengurus semua ini dengan sangat cepat. Tidak sampai dua hari. Padahal biasanya akan butuh waktu lama untuk seseorang bisa mendapatkan bisa visa tersebut."Ternyata memang benar, uang bisa melancarkan segalanya," ucap Syafa dengan senyum sarkas. "Terima kasih," lanjutnya.Syarif tidak tertarik untuk menjawab perkataan istrinya. Dia hanya fokus di depan laptop, sambil sesekali melihat ponsel. Pria itu tidak akan pernah beralih fokus, ketika sedang bekerja.Sementara Syafa, segera menyimpan mengambil koper besar miliknya, dan bersiap mengepak berbagai barang keperluannya sendiri. Karena Syarif sudah seminggu lebih menyiapkan keperluannya. Syafa memang pernah berkunjung k
Pria itu semakin menarik dagu istrinya mendekat, sampai kedua bibir mereka saling bersentuhan. Tok tok tok,"Tuan Rasyid memanggil anda ke ruang kerjanya sekarang, Tuan,"ucap seseorang yang berada dibalik pintu.Sebuah pesan yang bagaikan malaikat penolong untuk Syafa. Karena setelah mendengar pesan tersebut, Syarif langsung melepaskan cengkeramannya. Pria itu segera berjalan keluar kamar."Alhamdulillah, Ya Allah," gumam Syafa dengan perasaan sangat lega.Dengan gemetaran gafus itu berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Tubuhnya masih terasa sangat lemas, dengan detak jantung yang tak beraturan. ***Hujan deras mengguyur kota Balikpapan sore ini. Suasana sedikit suram dan dingin. Syarif berdiri menatap keluar, dari balik jendela kaca besar ruang kerjanya. Pria itu baru saja selesai meeting dengan dewan direksi.Pertemuan yang membahas kerja sama yang akan mereka lakukan dengan pihak Swiss dan Austria. Besok pagi dia, Syafa dan beberapa orang tim dari Al-Hassan Energi & Batubara
"Oslo Gardermoen Airport," gumam Syafa ketika pesawat mereka memasuki area bandara."Kita tidak pulang?" tanya Syafa menatap suaminya."Kau ingin melihat Aurora, 'kan?" Syarif tersenyum menjawab pertanyaan istrinya.Sedangkan Syafa kembali menatap ke bawah. Melihat kesibukan yang berada di area bandara terbesar dan tersibuk di Norwegia tersebut."Dia menganggap ocehanku serius," bisik Syafa dalam hati.Gadis itu sudah curiga ada yang tidak beres, ketika masuk pesawat tadi pagi. Tim Al-Hassan yang berangkat bersama mereka, tidak ada dalam jet milik keluarga suaminya tersebut. Mereka hanya berdua, selain crew dan pilot pesawat."Kita hanya transit selama empat jam, untuk mengisi Avtur dan makan siang." Syarif seolah menjawab rasa penasaran Syafa. "Setelah itu kita langsung menuju Tromso-Langnes Airport," lanjutnya.Syafa hanya diam dan mendengarkan.Tetapi dalam hati gagus itu bersorak gembira, karena akan segera melihat Aurora. Sesuatu yang sejak lama dia inginkan. Syafa hanya terlalu
Lima hari berada di Tromso, Syafa seolah melupakan segala kegalauan dan kesedihannya. Sepanjang waktu dia begitu bersemangat berburu Aurora. Dengan mobil khusus yang di sewa Syarif. Mereka berkeliling desa, mencari spot-spot terbaik untuk menyaksikan keindahan Aurora. Gadis itu mengabadikan hampir setiap momen yang dia lalui di tempat itu. Sementara Syarif hanya tersenyum, memperhatikan dan menuruti semua keinginan istrinya. Karena setiap tour guide mereka bilang ada tempat bagus, Syafa langsung meminta untuk mengunjungi tempat itu. Suhu minus 25 derajat lebih, seolah tidak dihiraukannya. Dagis itu kedinginan, tetapi dia enggan kembali pulang ke cottage, sebelum puas.Sore itu cuaca tampak cukup cerah, sehingga Syafa mengajak Syarif pergi berdua tanpa tour guide. Niat awal mereka hanya untuk jalan-jalan di sekitar cottage dan memotret Aurora. Beberapa orang pengunjung juga melakukan hal yang sama. Mereka menikmati setiap momen di tempat itu. Sampai terdengar sirine tanda bahaya
Syafa perlahan membuka mata, tubuhnya masih terasa sakit dan kaku. Rasa dingin yang menyiksa sudah tidak terlalu ia rasakan, walau belum hilang sama sekali. Gadis itu mengerjab beberapa kali, sebelum benar-benar bisa melihat keadaan di sekitarnya. "Ya Allah," ucap Syafa pelan ketika menyadari sesuatu yang berbeda. Dokter muda itu, sudah tidak ada di cottage mereka. Ruangan hangat dan nyaman itu terasa asing baginya. Perlahan Syafa mencoba duduk dan memperhatikan semuanya lebih jelas lagi. Hal pertama yang dia rasakan adalah nyeri di bagian tubuh bawahnya. Kemudian nyeri di tangan kirinya yang terpasang selang infus. "Rumah sakit?" guman gadis itu pelan, ketika telah seratus persen sadar dimana dirinya saat ini. Manik mata birunya memindai seluruh ruangan. Sampai pandangannya berhenti pada sosok sang suami, yang tengah terlelap di sofa panjang tepat di samping tempat tidurnya. Syafa yang kembali merasakan nyeri dan tidak nyaman di beberapa bagian tubuhnya. Mencoba untuk kemba