Share

4. Perjanjian Pranikah

“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan.”

"Baik," jawab Syarif dengan singkat dari seberang sana.

Setelah itu panggilan diputuskan secara sepihak. Membuat Syafa kembali merasa kesal. 

Setiap kali dia berusaha untuk berbicara dan berinteraksi dengan calon suaminya itu. Selalu saja gagal, Syarif hampir tidak pernah membalas pesan dan mengangkat teleponnya.

Meskipun Syafa tahu pria itu sedang sibuk bekerja. Dia pikir bukankah akan lebih baik jika mereka meluangkan waktu untuk saling mengenal. Agar hubungan mereka tidak terlalu kaku? Toh mereka akan menikah juga akhirnya. 

Untung saja malam ini dia menerima panggilannya. Jika tidak Syafa berencana nekad menemuinya di hotel tempatnya menginap.

Benar saja kurang dari satu jam, Syarif telah tiba di rumahnya sendirian. Pria itu tampak gagah dengan balutan kemeja biru dan celana jeans hitam. Penampilannya sederhana seperti biasa, tetapi Syarif memang memiliki aura dan pesona yang kuat. Segala gerak gerik putra kedua keluarga Abdullah Al-Ghifary tersebut, tampak berkelas dan mahal.

"Terima kasih sudah datang, sebaiknya kita bicara di tempat lain," kata Syafa tanpa basa-basi.

Gadis itu mengajak calon suami yang akan menikahinya besok lusa itu, kedalam ruang perpustakaan rumahnya. Setelah mereka masuk, gadis itu langsung mengunci ruang itu dari dalam. Membuat Syarif menautkan kedua alisnya.

Pria itu merasa gelagat gadis yang menarik perhatiannya tersebut, sedikit aneh dan mencurigakan. Memintanya datang di malam hari dan membawanya masuk ke ruangan dan menguncinya. Meskipun penasaran, tetapi Syarif berusaha tenang dan menunggu tindakan selanjutnya, dari sang calon istri.

"Duduklah!" perintah Syafa, yang diikuti tanpa banyak bertanya oleh Syarif.

Setelah Syarif duduk, Syafa membuka laci meja tulis yang ada di ruangan tersebut. Gadis itu mengeluarkan map merah dan sebuah pena. Dengan cepat berjalan ke arah Syarif sambil menyodorkan map dan pena tersebut.

Melihat tingkah Syafa, Syarif menatap gadis itu dengan pandangan bertanya. Dia tidak langsung menerima map dan pena tersebut, tetapi justru memandang curiga pada calon istrinya. Sesuatu yang membuat Syafa merasa semakin kesal.

"Lihat, baca, dan tanda tangani!" ucapnya tidak sabar.

Mendengar itu, Syarif baru menerima map dan pena tersebut. Pria itu membuka dan membaca isi dari selembar kertas yang ada di dalam map merah. Sementara Syafa menunggu dengan wajah sedikit tegang dan cemas.

"Kau sudah membacanya? Itu adalah syarat dariku. Aku ingin kita membuat perjanjian pranikah, sebelum benar-benar menjadi suami istri," kata Syafa tegas, sambil menatap Syarif.. “Aku sudah menandatanganinya, sekarang giliranmu.”

Sementara pria itu memandang gadis di hadapannya tersebut, dengan pandangan menelisik. 

Dia paham apa yang diinginkan oleh calon istrinya, tetapi dia masih belum ingin mengatakan apa pun.

"Kau tahu aku sudah punya pacar, kau telah memisahkan pasangan yang saling mencintai. Bahkan sepertinya kau sama sekali tidak merasa bersalah. Jadi kau harus menanggung konsekuensinya. Karena kau sendiri yang menginginkan pernikahan ini," ungkap Syafa dengan percaya diri.

"Aku tidak melakukan kesalahan, tidak perlu merasa bersalah," jawab Syarif dengan tenang, suara dan ekspresinya datar.

"Kau tidak merasa bersalah, karena telah membuat dua orang yang saling mencintai terpisah? Di mana perasaanmu? Bagaimana jika posisinya terbalik, kau yang harus berpisah dengan wanita yang kau cintai. Apa kau bisa meninggalkannya demi menikahi orang asing?" Kali ini Syafa mengatakan semua itu dengan tatapan kebencian.

Gadis itu merasa kesal karena Syarif bersikap seolah semua yang dilakukan itu benar. Membuatnya harus berpisah dengan Ben. Membuat mimpinya untuk menjadi dokter, harus berhenti walau tinggal selangkah lagi.

"Bagaimana aku bisa memisahkan seseorang dari hubungan yang tidak pernah ada?" tanya Syarif, masih dengan nada tenang.

"Apa?" Syafa hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri.

"Dia kekasihku, kami saling mencintai," kata Syafa lagi.

"Tidak ada hubungan pacaran dalam Islam,” kata Syarif dengan wajah serius. “Hubungan yang kalian jalin tidak ada hubungannya dengan perjodohan ini. Jika kalian merasa disakiti, itu karena kalian telah membiarkan diri kalian terjebak, pada hal yang tidak sepatutnya terjadi sebelum ikatan pernikahan.”

Nada bicara dan ekspresi datarnya berubah seketika. Membuat Syafa hampir lupa bagaimana cara bernafas. Mata hitam teduh itu tiba-tiba berubah tajam dan menghujam. Syarif seperti  sedang memperlihatkan sisi lain dalam dirinya.

"Jika kau ingin perjanjian ini, aku mengabulkannya. Kau boleh melanjutkan studi doktermu, kita juga akan tinggal terpisah dari orang tua setelah menikah," kata Syarif tegas, dengan ekspresi yang tidak bisa dibantah. “Tetapi poin kedua, aku tidak bisa mengabulkannya. Kita akan menikah, bukan bermain drama.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status