Kamar itu sunyi senyap, begitu tenang hingga seolah dunia telah melupakannya. Suasana dingin dan tak bersahabat melingkupi ruang sempit yang kacau dan berantakan itu. Dinding-dinding yang lusuh dan bernoda bercak darah kering menjadi saksi bisu dari penderitaan yang tak terucapkan. Tak ada angin yang berani menyelinap, apalagi cahaya kehidupan. Tempat ini lebih mirip penjara daripada kamar seorang manusia.
Terdengar erangan pelan, nyaris seperti bisikan di tengah hening. Sesosok tubuh yang meringkuk di sudut kamar itu menggeliat, gerakannya lemah, seperti dilanda kelelahan yang amat sangat. Perlahan, sepasang mata yang sayu terbuka, hanya untuk segera menyipit karena cahaya matahari yang menyelinap dari celah atap terasa terlalu terang. Sosok itu, Jian Huanying ,mencoba mengerjap, menyesuaikan diri dengan kenyataan yang mendadak terasa asing. Ketika pandangannya mulai jelas, ia mendapati sesuatu yang mengusik. Tepat di hadapannya, sebuah lingkaran mantra berwarna merah darah, terlihat mencolok di atas lantai. Tulisan-tulisan dan simbol-simbol yang tertera cukup dikenalinya dengan jelas. “Mantra ini…” bisiknya sedikit lebih keras. Tatapannya menajam. Ia mengenali ini. Mantra pengikat roh, pengorbanan untuk roh jahat untuk sebuah tujuan. Itu bukan mantra biasa tetapi mantra yang terlarang bahkan dirinya pun dilarang keras untuk menggunakan mantra itu meski tahu cara mempraktekkannya. Betapa nekatnya pemuda yang telah memanggilnya, hingga rela mempertaruhkan segalanya. "Murong Yi, kau pasti begitu menderita hingga memilih jalan iblis ini," bisik Jian Huanying suaranya mengandung campuran simpati dan kesedihan. Ia menghela napas panjang. Dalam diam, ia menyadari kenyataan pahit. Jian Huanying, yang kini terjebak dalam tubuh Murong Yi, adalah roh yang telah dipanggil. Namun, bukan itu yang mengganggunya. Yang lebih mengusik adalah istilah 'roh jahat' yang digunakan untuknya. “Sejak kapan aku menjadi roh jahat?” tanyanya pada dirinya sendiri, meringis. Selama lima belas tahun terakhir, ia bahkan tidak tahu apa artinya menjadi roh yang bebas. Ia terperangkap di suatu tempat yang tak dikenalnya, hanya ada kehampaan. Ia tidak menghantui, tidak menakuti, bahkan tidak menyentuh kehidupan siapa pun. Pandangannya kembali mengitari kamar yang sepi itu. Setelah memastikan tidak ada siapa pun di dekatnya, ia mulai memeriksa tubuh yang kini ia tempati. Tubuh Murong Yi penuh dengan bekas penderitaan. Tidak hanya lemah, tubuh ini bahkan kehilangan sesuatu yang lebih penting—permata jiwa, sumber kognisi spiritual para kultivator. "Aiyo," gumamnya dengan nada getir, menggeleng. "Tuan muda malang ini sungguh dirundung nestapa." Namun, Jian Huanying tidak tenggelam dalam keprihatinan terlalu lama. Ia tahu tugasnya. Tuan muda Murong Yi telah menawarkan tubuhnya melalui mantra pemanggilan roh ini, dan Jian Huanying terikat oleh kesepakatan yang tak bisa ia ingkari. Hanya dengan menuntaskan dendam pemuda itu, ia bisa melangkah bebas. “Baiklah,” katanya pada dirinya sendiri, menggulung lengan bajunya. Ia mulai merapal mantra sederhana, dan seketika sebuah kantong pundi dimensi muncul di tangannya. Wajah Jian Huanying langsung berbinar melihat benda itu, meski kondisinya masih jauh dari sempurna. “Pil penguat energi,” gumamnya ketika ia merogoh pundi dan mengeluarkan sebuah pil putih. "Ini cukup untuk langkah pertama." Ia memasukkan pil itu ke mulutnya, dan rasa pahit yang menusuk langsung menyebar di lidah. Namun, ia tetap menelannya dengan hati-hati, lalu duduk bersila untuk bermeditasi. Beberapa saat kemudian, tubuhnya mulai terasa lebih bertenaga, meski masih jauh dari kata kuat. Jian Huanying berdiri dan berjalan ke pintu kamar. Ia membukanya perlahan, dan udara segar langsung menyeruak masuk, meski tidak membawa aroma kehidupan. Jalan setapak berlapis batu bata yang terbentang di hadapannya tampak lengang, dikelilingi taman liar yang tak terurus. Langkahnya terhenti ketika terdengar teriakan dari belakang. “Eh, hantu!” seru seseorang dengan nada panik, sebelum tiba-tiba sosok itu melayangkan pukulan. Jian Huanying hampir tidak sempat menghindar. "Aiyo! Berhenti memukulku!" protesnya sambil mundur, tetapi pria itu tidak mengindahkannya. Pukulan terus menghujani. Jian Huanying sungguh merasa kesal. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dan dia tidak ingin mati konyol untuk kedua kalinya hanya karena Murong Yi yang malang nasibnya. Dengan cepat dia merapal mantra dan seketika orang yang memukulinya terdiam tak lagi bergerak maupun bersuara. Jian Huanying tersenyum, menatap pria yang sepertinya hanyalah seorang pelayan. "Ada gunanya juga mantra yang diajarkan Kakak Mo sekarang," gumamnya seraya menggerakkan tangannya di depan wajah pria itu untuk meyakinkan bahwa dia sama sekali tidak meresponnya. "Aiyo, sekarang aku harus mencari tahu bagaimana kehidupan Tuan Muda Murong Yi di manor ini." Jian Huanying kemudian meninggalkan pria itu, melenggang pergi, berjalan santai seakan tidak terjadi sesuatu. Langkahnya membawanya ke halaman kosong di sisi manor. Sebuah kolam berair jernih tampak berkilauan di sudut halaman. Jian Huanying membungkuk, mencuci wajahnya, dan menatap bayangannya di permukaan air. Ia tertegun sejenak. "Aiyo," katanya pelan, tersenyum pahit. "Ternyata wajah Murong Yi cukup mirip denganku dulu, hanya saja lebih tampan… atau mungkin lebih cantik." Ia menyeringai kecil, mengakui keunggulan pemuda malang itu meski dalam hati merasa iri. Tubuh Murong Yi yang kurus dan lemah menjadi pengingat bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Tentu akan lebih baik jika dia bisa melatih tubuh ini menjadi sekuat dirinya dahulu. Namun, Jian Huanying tidak akan mundur. Dalam bayangannya, ia melihat bukan hanya wajah, tetapi juga dendam yang harus ia tuntaskan—entah pada siapa, atau bagaimana caranya.Tiānyin berjalan mendekati teras dengan langkah yang tegap dan berirama. Setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang khas, sesuatu yang bahkan sulit ditiru oleh siapapun, bahkan oleh Héxié Zhìzūn atau Hòu Jūn yang telah lama mengamatinya. Ada ketenangan dalam langkahnya, seolah setiap jejak kaki telah diperhitungkan dengan matang."Aku kira kau akan membiarkanku kelaparan," keluh Huànyǐng dengan nada manja yang sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu."Ayo masuk!" Tiānyin tidak menanggapi kelahannya, namun nada suaranya terdengar lembut. Dia mengisyaratkan Huànyǐng untuk mengikutinya kembali ke dalam kamar."Yuè Èr Gēge, kau memang yang paling mengerti diriku..." Huànyǐng bersorak gembira ketika mereka masuk ke dalam kamar dan Tiānyin mulai membuka keranjang bambu di atas meja rendah.Satu persatu hidangan dikeluarkan dengan hati-hati. Sup kepiting asparagus yang masih mengepul hangat, daging asam manis
Huànyǐng duduk bersila di hadapan meja rendah yang hanya dihiasi secawan teh yang telah lama tak mengepul. Uap hangat yang dulu membubung tipis kini telah sirna, meninggalkan cairan yang dingin dan pahit. Perutnya menggeliat lapar, mengingatkannya pada kenyataan bahwa sejak tadi sore dia belum menyantap apapun.Shengyuan tadi hanya berkata, "Dàoyì Zhenjun berkata tidak perlu menghidangkan makanan untuk Murong Gōngzǐ," setelah pemuda itu membantu mengatur pakaian gantinya. Kini dia sendirian di Shuǐyùn Tíng, kelaparan meski tubuhnya tak merasakan dingin berkat energi Heibing Hùfú yang masih mengalir dalam tubuh Murong Yi."Meow..." Yu Shi mengeong pelan dari sudut kamar, suaranya terdengar seperti bertanya."Ada apa?" Huànyǐng menoleh pada kucing spiritual berbulu putih itu dengan suara yang hampir berbisik.Yu Shi melompat dengan lincah ke pangkuannya, mata keemasan itu menatapnya dengan tatapan tajam yang khas kucing spiritual tingkat tinggi. "Hei bocah, kemana saja kau selama ini?"
"Chénxī, turunkan aku ya," pinta Huànyǐng memelas, suaranya berubah menjadi lembut dan penuh harap. "Aku tidak akan berbuat macam-macam, janjinya.""Sebentar lagi kita sampai," sahut Tiānyin mengabaikan permintaan Huànyǐng, langkahnya tidak melambat sedikit pun."Shuǐyùn Tíng, masih jauh," sahut Huànyǐng dengan nada yang mulai putus asa.Tiānyin berhenti di tengah jalan yang diapit oleh pohon-pohon bambu yang bergoyang lembut tertiup angin sore. Lalu dengan perlahan menurunkan Huànyǐng.Huànyǐng tersenyum senang lalu meregangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah lama berada dalam posisi yang tidak nyaman. Dia menggerakkan leher dan bahunya untuk melemaskan otot-otot yang tegang."Chénxī, aku tinggal di Zǐténg Ju saja ya?" pintanya lagi dengan nada yang penuh harap.Tiānyin menggelengkan kepala dengan tegas, tatapannya dingin dan tidak bisa dibantah.
Héxié Zhìzūn tersenyum menatap sang adik yang tak bergeming meski orang yang dipanggulnya terus memukuli punggungnya dengan gerakan yang tidak beraturan. Tiānyin berjalan dengan langkah yang mantap, tidak terpengaruh sedikit pun oleh protes keras dari pemuda yang dipanggulnnya."Sepertinya Tiānyin sedang merasa sangat bahagia," gumamnya pelan lalu menggelengkan kepalanya dan melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda.Sementara itu Tiānyin membawa Huànyǐng masuk ke Kediaman Aroma Wisteria. Bangunan-bangunan bambu yang sederhana namun indah menjulang di antara pepohonan yang rimbun. Konstruksi bambu yang dianyam dengan rapi menampilkan keindahan arsitektur yang asri dan menyatu dengan alam.Mereka menaiki tangga batu yang menanjak, melewati jalan setapak berlapis batu yang dinaungi pohon wisteria. Cabang-cabang wisteria yang berbunga lebat membentuk lorong ungu yang memukau, kelopak-kelopak yang berguguran menari-nari di udara seperti hujan bunga.Aroma wisteria yang lembut berca
Huànyǐng menatap sosok berjubah biru langit itu dan tiba-tiba sebuah kerinduan menyeruak dalam hatinya yang membuatnya hampir tak sanggup menahan tangis. Héxié Zhìzūn, sahabat karib sang kakak, Jiàn Wéi, yang juga merupakan kakak Tiānyin dan sudah dianggap sebagai kakak olehnya."Héxié Zhìzūn," gumamnya pelan, suaranya bergetar menahan haru.Tiānyin mengangguk lalu mengajak Huànyǐng mendekat. Langkah mereka melambat, seolah enggan mengganggu ketenangan sore yang mulai turun."Xiōngzhǎng!" dengan sopan Tiānyin memberi hormat diikuti murid-muridnya yang mengekor di belakang.Héxié Zhìzūn tersenyum lembut, matanya yang bijaksana menatap ramah pemuda bertopeng jelek di sebelah Tiānyin. "Kau membawa tamu rupanya!" ucapnya dengan nada hangat yang khas.Tiba-tiba saja, tanpa bisa dicegah oleh Tiānyin, Huànyǐng menubruk Héxié Zhìzūn dengan gerakan yang tak terkendali. Tubuhnya yang masih lema
Perahu kayu kecil bergoyang perlahan saat menyentuh dermaga batu di tepi Sungai Ungu Gelap. Tiānyin segera berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Huànyǐng turun dari perahu. Langit sore mewarnai permukaan air dengan kilau keemasan yang memukau."Aku bisa berjalan sendiri, Chénxī," bisik Huànyǐng lirih, meski tangannya berpegangan erat di pinggang pria itu.Tiānyin tidak berkata apa-apa dan hanya memapahnya dengan hati-hati. Gerakan kakinya stabil, memastikan Huànyǐng tidak terjatuh saat melangkah di atas dermaga batu yang licin.Para yunior mengikuti mereka dengan patuh dan diam, meski ada banyak pertanyaan berkelebat di benak mereka. Hòu Jūn dan Shengyuan saling bertukar pandang, masih penasaran mengapa guru mereka begitu perhatian pada pemuda bertopeng jelek yang tampak aneh itu.Huànyǐng melirik mereka dan tersenyum kecil di balik topengnya. "Mereka sangat patuh, sama seperti dirimu dulu," ucapnya pelan sambil memandang kedua pemuda yang berjalan di belakang mereka.Tiāny