Arc 1. Hidup Dan Mati (Bab 1 -20)
Tahun ke-15 Jing, Kekaisaran Bìxiāo, di Lán Guāng Lǐtáng, Lán Tiān Gōng Jian Huànyǐng, pemuda berusia dua puluh dua tahun itu, berdiri di tengah-tengah aula yang megah dan tertawa getir, suaranya bergema di antara dinding marmer yang berkilauan. Dia menyeka darah di sudut mulutnya, merasa asin dan hangat bercampur dengan udara dingin yang menusuk. "Apakah kalian ingin membunuhku?" desisnya penuh kemarahan. Meski tubuhnya telah terluka, tidak satu pun dari orang-orang yang mengelilinginya berani menyerang seorang diri. Jian Huànyǐng, Tuan Muda Kelima dari Klan Jian, Sekte Aliran Pemecah Langit. Kultivator muda terkuat di klan setelah kakaknya, Jian Wei sang Tiānyù Jiànzhàn. Dia tahu bahwa jika harus berhadapan satu lawan satu, mereka tidak akan mampu membunuhnya. "Jian Huànyǐng, menyerahlah! Yang Mulia pasti akan mengampunimu!" Seorang pria muda membujuknya dengan ucapan yang terdengar sangat bijaksana. Namun, Jian Yi tahu itu hanya tipuan belaka. "Serahkan Heibing Hùfú! Yang Mulia pasti akan mengampunimu, Jian Huànyǐng!" Suara lain membujuknya lagi, entah dari mana asalnya, tapi Jian Huanying tidak peduli. Jian Huànyǐng tersenyum getir. Menahan rasa amarah, sedih, kecewa, dan putus asa yang berkecamuk di dalam dadanya. Dia datang ke Istana Langit Biru untuk meminta keadilan, tetapi justru dihadapkan pada maut. Ironi yang menyakitkan hatinya yang selalu murni dan tulus. "Kalian ingin aku mati, bukan? Seperti kalian membantai seluruh keluargaku," desisnya dalam kemarahan dan kepedihan yang tak tertahankan. Kedua tangannya mengepal erat, darah menetes di sela-sela jarinya. Tak ada lagi sakit yang dirasakannya, karena luka di tubuhnya tak seberapa dibandingkan luka di hatinya. Jian Huànyǐng memejamkan mata, rahangnya mengeras. Perlahan dia merapal mantra, angin kencang tiba-tiba bertiup. Terdengar gemeretak laksana ribuan pedang menyerbu aula megah itu. Namun, hanya sekejap karena tiba-tiba tubuh Jian Huànyǐng limbung dan jatuh ke lantai. Pada saat yang sama, sepasang tangan kokoh menggapai dan menahan tubuhnya. Jubah putih dengan bordiran pola kupu-kupu biru, aroma harum cendana hitam yang memikat, dan sentuhan hangat nan lembut yang sangat dikenalnya membuat Jian Huànyǐng berusaha membuka matanya untuk terakhir kali. "Jian Yi," gumam pemilik sepasang tangan kokoh yang kini menahan tubuhnya. "Chénxī, aku tidak menyesal meski harus mati hari ini. Maaf dan terima kasih," bisik Jian Huànyǐng di sela-sela napasnya yang terputus-putus. "Aku adalah angin yang bebas kemana pun aku ingin pergi. Raga dan rohku kuserahkan pada angin beserta niat pedangku," ucapan Jian Huànyǐng berlalu seiring tubuhnya yang berbaur dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi. "Jian Yi!" teriakan Yuè Tiānyin tak mampu merayu angin untuk tidak membawa tubuh dan roh sahabatnya pergi meninggalkan dunia. Hari itu, sepasang sahabat sejati, Jian Huànyǐng dan Yuè Tiānyin, sang Penyihir Iblis dan Dàoyì Zhenjun, penguasa kebenaran sejati, terpisahkan oleh kematian. Sebuah kisah yang kelak akan selalu dikenang dan diceritakan turun temurun kepada generasi berikutnya. Tahun ke-30 Jing, Kekaisaran Bìxiāo. Lima belas tahun kemudian, di sudut terpencil halaman belakang Kediaman Bangsawan Murong, Kota Shanyue. "Jian Huànyǐng, kuserahkan jiwa dan ragaku untukmu dengan mantra pengikat roh. Kau bisa hidup lagi dan aku bisa membalas dendam. Bukankah itu sama-sama menguntungkan?" gumaman pelan lebih mirip racauan seseorang terdengar dari sebuah kamar terlantar. Angin yang bertiup kencang di luar terdengar bergemeretak, memekakkan telinga. Pada saat seperti ini, tidak ada satu pun rumah yang terbuka pintunya. Menurut mitos, angin ini membawa roh Jian Huanying terbang mengelilingi kota, menunggu untuk dibangkitkan kembali. "Untuk apa aku hidup lagi? Aku tidak menginginkan apapun lagi," suara bergema di telinga si peracau yang meringkuk di sudut kamar. Tubuh kurus penuh luka, terbaring di tengah genangan darah dan kekacauan di sudut kamar. Seakan-akan dia hanyalah seonggok daging tak berarti. Murong Yi, tuan muda pertama keluarga Murong, sore itu berada di ambang kematian. Setelah berhari-hari menerima siksaan bertubi-tubi, protesnya atas tindakan Selir Ying, selir kesayangan ayahnya, berakhir dengan dirinya yang harus meregang nyawa tanpa ada yang peduli. "Apa kau tidak ingin tahu siapa yang telah menjebak Jian Wei lima belas tahun lalu? Kau benar-benar tidak ingin mengetahui siapa yang berada di balik pembantaian Keluarga Jian?" Murong Yi bergumam di sela-sela giginya yang bergemeletuk. "Murong Yi, apa yang kau ketahui tentang itu? Lima belas tahun lalu, kau bahkan masih seorang bocah. Apa yang bisa kau ceritakan padaku?" Suara itu berdengung kembali di telinga pemuda malang itu. Suara Jian Huànyǐng, kultivator terkutuk dari Klan Pemecah Langit yang telah mati lima belas tahun lalu. Kultivator muda yang kuat dan ditakuti, yang dijuluki Penyihir Iblis dan telah membunuh banyak nyawa tak berdosa saat menuntut keadilan di Istana Langit Biru. Sayangnya, dia berakhir dalam kematian. "Aku tahu! Aku tahu semuanya! Karena mereka orang yang sama yang membuatku seperti ini!" Murong Yi berteriak kencang. Di luar, angin terus bertiup kencang, membawa aroma anyir darah ke penjuru kota. "Baiklah! Aku terima tawaranmu, dan aku harap kau tak menyesal," suara itu melemah, iba terhadap sosok yang putus asa dan tidak memiliki harapan selain dirinya. "Jian Huànyǐng! Balaskan dendamku dan aku tidak akan menyesal!" Dengan teriakan yang menggema di seluruh ruangan, Murong Yi terkulai lemah dan tidak sadarkan diri. "Aku adalah angin yang bebas kemana pun aku ingin pergi. Raga dan rohku kuserahkan pada angin beserta niat pedangku," suara bak mantra itu terdengar begitu merdu di seluruh ruangan gelap yang sepi. Seiring angin yang perlahan-lahan semilir tak menderu lagi, suasana tiba-tiba kembali tenang seakan tidak terjadi apa-apa. Tidak ada yang menyadari, telah terjadi pertukaran maut. Yang hidup telah mati dan yang telah mati hidup kembali. Noted : Lán Guāng Lǐtáng : Aula Cahaya Biru Lán Tiān Gōng : Istana Langit Biru Heibing Hùfú : Amulet Es Hitam *Ada beberapa karakter yang memiliki lebih dari satu nama, nama lahir, kehormatan dan julukan. *Jian Yi dan Yue Chenxi adalah nama lahir. Jian Huanying dan Yue Tianyin adalah nama kehormatan. *Tiānyù Jiànzhàn bermakna Pejuang Pedang Alam Surga, julukan Jian Wei, kakak Jian Huanying. *Dianggap tidak sopan jika memanggil dengan nama lahir, kecuali bagi yang memiliki hubungan akrab, meski bukan saudara. *Selain itu ada juga nama julukan yang akan muncul di bab-bab selanjutnya.Cahaya bulan yang menyeruak masuk melalui celah jendela kayu memberikan penerangan lembut di dalam ruangan sederhana itu. Keheningan malam hanya dipecah oleh suara napas teratur dari dua kultivator yang tengah bermeditasi.Sudah hampir dua shichen berlalu sejak mereka mulai bermeditasi. Tiānyin duduk bersila dengan postur sempurna, punggungnya tegak lurus seperti bambu yang tidak pernah tunduk pada angin. Energi spiritual mengalir stabil di dalam tubuhnya, mengatur ulang qi yang terganggu akibat pertarungan dengan roh tadi.Di sampingnya, Huànyǐng juga duduk dengan posisi yang sama, namun energi spiritualnya terasa tidak se-stabil milik Tiānyin. Sesekali alis pemuda itu mengerut halus, pertanda dia sedang bergulat dengan sesuatu di dalam dirinya.Lama-kelamaan, tubuh Huànyǐng mulai condong ke samping. Kepalanya yang awalnya tegak perlahan-lahan miring hingga akhirnya terantuk lembut di bahu Tiānyin.Sentuhan ringan itu membuat Tiānyin keluar dari
Ruang tamu yang luas dipenuhi aroma teh melati yang harum. Tiānyin duduk dengan postur tegap di kursi kayu mahoni yang diukir indah, sementara Huànyǐng dengan santai bersandar di sampingnya, sesekali meraih kue kering yang tersaji di atas meja bundar. Tuan Ma, pemilik rumah yang telah memperkenalkan diri sebelumnya, tidak berhenti menuangkan teh hangat ke dalam cangkir porselen putih bermotif naga. Wajahnya masih menampakkan kelegaan yang mendalam setelah roh mengerikan itu berhasil disegel. "Gōngzǐ, hidangan ini mungkin tidak sebanding dengan santapan di Kediaman Aroma Wisteria, tetapi ini adalah yang terbaik yang bisa kami sajikan," ujar Tuan Ma dengan penuh hormat, tangannya sedikit gemetar saat menuangkan teh. Huànyǐng mengangkat cangkirnya dan menyeruput teh dengan perlahan. "Ini sangat enak, Tuan Ma. Terima kasih atas keramahannya." Di sudut ruangan, para yunior duduk dengan sikap kaku dan formal. Mata mereka sesekali
Keheningan yang menyelimuti halaman rumah megah itu tiba-tiba terpecah oleh suara pintu kayu yang berderit. Satu per satu, pintu-pintu di komplek bangunan yang mewah itu terbuka dengan perlahan, seakan pemiliknya masih ragu untuk keluar.Kemudian, seperti air bah yang jebolkan bendungan, orang-orang berhamburan keluar dari berbagai sudut bangunan. Mereka berlarian dengan wajah lega namun masih dipenuhi ketakutan sisa, mata mereka sesekali melirik ke arah tempat roh itu tadi bertarung.Seorang pria paruh baya berpakaian berkualitas tinggi keluar paling depan. Jubah sutra biru tuanya yang meski agak kusut masih menampakkan kemewahan, menandakan bahwa dia adalah pemilik rumah ini. Tanpa ragu, dia langsung berlutut di hadapan Tiānyin dan Huànyǐng dengan penuh hormat."Gōngzǐ, terima kasih telah menyegel roh itu!" serunya dengan suara bergetar karena kelegaan. "Kami sudah terjebak di dalam rumah selama berhari-hari, tidak bera
"Chénxī," Huànyǐng bergumam pelan, suaranya hampir tertelan angin yang bertiup di halaman sunyi itu.Tiānyin mengerti maksud panggilannya. Dengan gerakan yang pelan dan anggun, dia menyimpan guqin ke dalam kantong pundi dimensi yang tergantung di pinggangnya. Mata birunya tidak pernah lepas dari roh yang berdiri di hadapan mereka.Sementara itu, roh tersebut menatap kipas di tangan Huànyǐng dengan pandangan yang sulit diartikan. Pedang hitamnya masih terangkat, ujungnya mengarah pada kipas yang menghalangi jalur serangannya menuju Tiānyin. Ada kilatan aneh dalam mata merahnya—seakan mengenali sesuatu.Tanpa bersuara, roh itu menggerakkan pedangnya dengan gerakan pelan namun mematikan, kali ini mengarah langsung pada Huànyǐng.Huànyǐng berputar dengan lincah, tubuhnya bergerak seperti dedaunan yang terbawa angin. Kipasnya berkilau ketika digunakan untuk menangkis serangan pedang hitam, menciptakan percik
Roh itu tersenyum menyeringai, memperlihatkan gigi yang menguning. Lalu dengan gerakan yang elegan dan lincah, dia mengacungkan pedang hitamnya pada Tiānyin.Dalam sekejap, tubuhnya berputar dan menyerang dengan kecepatan yang mengejutkan. Pedang hitam itu menebas udara, menciptakan jejak energi gelap yang mengerikan.Huànyǐng terdiam memperhatikan gerakan roh tersebut. Jurus pedangnya memang bagus—bahkan sangat bagus untuk ukuran makhluk yang sudah mati. Tetapi sayangnya, yang dia hadapi adalah Yuè Tiānyin, sang Dàoyì Zhenjun. Kultivator yang pernah menghancurkan Lan Tian Gōng dalam sekali jentik saja dengan melodi Penghancurnya yang legendaris.Jurus pedang sekaliber itu sama sekali tidak berarti bagi Tiānyin.Dengan denting guqin yang tajam dan presisi, roh itu berkali-kali menderita. Tubuhnya terpental ke berbagai arah, menabrak pohon dan tembok batu. Tetapi dia tetap gigih dan terus bangkit, menyerang Tiānyin dengan semangat yang tidak pernah
Huànyǐng menatap hutan lebat di bawahnya. Pohon-pohon rimbun membentang hingga ke cakrawala, diselingi aliran sungai kecil yang berkilau terkena sinar matahari. Semua sudah berubah dari lima belas tahun yang lalu.Wajar saja, pikir Huànyǐng. Lima belas tahun berlalu, tentu ada banyak perubahan di Kekaisaran Bìxiāo. Bahkan jalur perdagangan yang dulu dia hafal di luar kepala kini tampak asing."Arahnya dari sana!" Tiānyin menunjuk sebuah lembah sepi di depan mereka. Kabut tipis menyelimuti area tersebut, membuatnya tampak misterius dan sunyi.Huànyǐng mengerutkan kening. Rasanya tempat itu tidak asing baginya, tetapi entahlah. Dia melupakan banyak hal yang terjadi selama beberapa tahun terakhir dalam hidupnya, kecuali tahun terakhir—musim salju yang berdarah itu."Chénxī, apa nama lembah itu?" tanyanya dengan hati-hati."Tidak ada yang tahu. Hanya ada sebuah kota kecil di sana," sahut Tiānyin sambil mengarahka