Di inggris, seorang pria berusia delapan belas tahun sedang menangis tersedu-sedu di pusaran makam sang ayah. Ia merupakan anak dari hasil perselingkuhan antara sang milyarder dengan mantan kekasihnya yang bernama Caroline.
Pria yang baru beranjak dewasa ini, masih menangis sembari berjongkok. Sedangkan sang ibu hanya berdiri di belakangnya.
“Dad, mengapa kau begitu cepat meninggalkanku?” (dalam bahasa inggris)
Pria itu bernama Mattew Osborne. Sang ayah mengalami kecelakan tunggal saat bersama ibunya atau sang GranMa. Mattew dan Caroline baru bisa mengujungi makam sang ayah, setelah keluarga Osborne benar-benar pergi.
“Bagaimana aku menjalani hidup ini tanpamu, Dad.” Ucap Matt menangis.
Kakak lelaki Matt yang bernama David sudah pulang lebih dulu bersama rombongan keluarga besar Osborne yang lainnya. Sejak kecil David tidak pernah tahu bahwa sang ayah yang baru saja tiada ini telah menikah lagi bahkan memiliki seorang anak. Mereka lahir dari ibu yang berbeda.
Sang ayah yang bernama Jason menyukai seorang buruh tenaga kerja wanita asal Indonesia yang bekerja di pabrik miliknya. Lalu, Jason menikahi Elvira, padahal Samuel yang merupakan adik Jason sudah menyimpan rasa pada Elvira jauh sebelum sang kakak mengenal wanita itu.
Menurut David, ibunya meninggalkannya dengan laki-laki lain. Padahal sang ayah yang telah berselingkuh dan menikah dengan Caroline, hingga lahirlah Matt. Padahal saat itu sang milyarder yang memiliki pabrik olahan makanan terbesar di Inggris itu menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya hingga mengandung. Ibu David pun merasa sakit hati, lalu wanita itu kembali ke negaranya dan meninggalkan sang putra, di bantu oleh adik dari sang ayah beserta sahabatnya.
Walau begitu David dan Matt selalu mengagungkan sang ayah. Mereka memang di besarkan secara terpisah, karena David tinggal di kediaman utama keluarga Osborne, sementara Matt dan ibunya di villa yang juga cukup mewah. Sang ayah selalu menuruti apapun yang putra-putranya inginkan, tidak pernah marah, dan sangat menyayangi mereka. Ia bisa membagi waktu untuk kedua putranya, hingga tak ada kecurigaan bahwa sang ayah memiliki rahasia besar. Hal itu pula yang membuat kedua putranya ketergantungan oleh sosok sang ayah dan ketika ia pergi untuk selama-lamanya, kedua putranya ini seolah tidak lagi memiliki pegangan.
Keluarga Osborne adalah keluarga yang sangat terpandang di Inggris. Bisnisnya mencakup segala bahan-bahan pokok di negeri itu. Walau Jason, ayah dari Matt dan David yang sudah tiada itu memiliki adik, tapi semua bisnis di kelola oleh Jason, karena kemampuan Jason selalu di atas sang adik.
Beberapa hari setelah sepeninggal ayah dan neneknya. Kediaman Osborn menjadi sepi. David juga bosan tinggal di rumah ini. Ia ingin mencari kesenangan diri dengan keliling dunia.
“Dav, kamu ingin kemana?” Tanya Nancy, seorang maid yang sudah mengabdikan hidupnya pada keluarga Osborne sejak dua puluh tahun yang lalu.
“Aku ingin ke Indonesia, Nancy.” Jawab David.
“Mencari ibumu?” Tanya Nancy, karena David telah di tinggal sang ibu sejak ia berusia sepuluh tahun.
David menggeleng. “Tidak, saya ingin ke Bali, salah satu kota besar yang ada di negara itu. Saya bosan di sini. Saya ingin menikmati hidup dan bersenang-senang.”
“Bagaimana dengan bisnis ayahmu?” Tanya Nancy lagi.
“Ada paman Sam. Pikiranku sedang tidak baik, Nancy. Aku ingin menenangkannya dulu.”
Nancy hanya bisa menghelakan nafas. Tuan mudanya ini memang tidak bisa di nasehati.
****
“Matt, come on. Ukir dadamu seperti ini. It so beautiful.” Teman Matt yang bernama Mike menunjukkan dadanya yang bergambar dragon.
“Oke.” Matt membuka kaosnya dan berbaring.
Tak ada yang spesial pada gambar yang akan mengukir dadanya itu. Ia hanya ingin kebebasan, sama seperti yang sudah kakaknya lakukan setahun yang lalu.
Setelah hampir satu jam, Matt berbaring menunggu dadanya di ukir. Akhirnya selesai juga.
“Bagaimana?” Tanya Matt pada kedua sahabatnya, sembari memeperlihatkan dada yang masih kurus itu.
“That’s good.” Ucap Mike.
“Lumayan.” Kata Harry.
Matt adalah siswa paling bandel dan urakan. Begitu juga Mike, tapi tidak dengan Harry. Harry adalah siswa kutu buku yang sering di bully di sekolahnya. Namun, Matt selalu membantu Harry, hingga akhirnya pria itu menjadi teman dekatnya sampai sekarang.
Setelah mentato, Matt, Mike, dan Harry memasuki sebuah bar. Matt mengedarkan pandangannya. Di sana terlihat sosok sang kakak yang tengah menikmati gemerlap malam kota London.
“Hei bukankah dia kakakmu?” Tanya Mike yang tahu betul keluarga Osborne. Mike dan Matt berteman sejak usia mereka berusia sepuluh tahun, karena Mike tinggal tak jauh dari Villa yang Jason berikan. Sementara Harry mulai menjadi sahabat Matt sejak di high school.
Matt melihat ke arah yang di tunjuk Mike. Ia mengangguk.
“Apa hingga saat ini, dia tidak tahu bahwa kau adiknya?” Tanya Harry.
“No.” Jawab Matt santai.
Mike, Matt, dan Harry berjalan menuju meja bar dan duduk di kursi yang cukup dekat dengan David.
“Hai, Dav. Aku kira kau sudah berangkat ke Bali?’ Tanya teman David yang bicara dengan sangat kencang, hingga Matt dan teman-temannya yang duduk di samping pun mendengar percakapan itu.
“Aku berangkat lusa.” Jawab David sembari menyesap minumannya.
“Wow, aku pun akan menyusulmu ke sana nanti. Kata orang, di sana sudah seperti surga dunia, alamnya indah, dan wanitanya cantik-cantik.”
“Yes, I Know.”
“Kau akan lama di sana, Dav?”
“Entahlah, mungkin.” David mengangkat bahunya.
Matt mendengar semua percakapan sang kakak, walau sang kakak tak menyadari bahwa yang duduk di sampingnya adalah sang adik dari ibu yang berbeda.
Lalu, Matt melihat David pergi dan meninggalkan bar itu.
“Kau tahu, dia terkenal pria paling brengsek.” Kata Harry.
Matt terdiam.
“Apa nantinya kau akan sama berengseknya dengan kakakmu?” Tanya Mike tertawa.
“Mungkin, bisa jadi lebih.” Mike dan Harry kembali tertawa.
Sedangkan Matt masih terdiam.
“Mike, Bali itu di mana?” Tanya Matt
“Oh my good. Kau tidak tahu Bali?” Mike balik tertanya.
“Indonesia.” Jawab Harry, sambil kembali meneguk minumannya.
“Kelak aku pun ingin ke sana.” Kata Matt.
“Aku juga.” Sambung Mike sembari menghabiskan minuman itu hanya dengan sekali teguk.
“Lalu Bagaimana ibumu? Apa dia masih sering membawa pria ke rumah?” Tanya Harry pada Matt, ketika mereka mendudukkan dirinya di sofa yang tak jauh dari tempat David duduk.
Matt mengangkat bahunya. Paska meninggalnya Jason, Caroline memang sering membawa pria ke rumah, bahkan ibu kandung Matt itu tak segan-segan untuk melakukan hubungan intim di dalam kamarnya, kamar yang biasa ia gunakan bersama suaminya dulu. Hal itu juga yang membuat Matt muak. Alasan Caroline melakukan itu karena untuk mengusir kesedihan yang telah kehilangan sang suami. Namun, lama kelamaan, Matt pun merasa itu bukanlah alasan yang sesungguhnya. Sepertinya hal itu bukan untuk menghilangkan kesedihan, melainkan memang itu adalah sifat asli sang ibu yang telah di pendam sejak lama.
Setelah menghabiskan malam di bar bersama kedua temannya, Matt mengantar Harry dan juga Mike. Lalu, ia kembali ke rumah. Rumah yang cukup jauh dari pusat kota.
Brak.
Matt membuka pintu utama Vila sang ayah. setelah mengantar kedua temannya. Ia segera melangkahkan kakinya ke kamar, tapi saat melewati kamar sang ibu, lagi-lagi ia mendengar desahan sang ibu yang berada di dalam kamarnya.
“Ah.. Faster.. Ah."
“Uh..”
“Hmm.. Yeah.”
Matt sungguh muak mendengar suara desahan itu. Ia menutup telinganya dan berjalan cepat untuk sampai ke kamarnya. Ia tahu apa yang sedang sang ibu lakukan di dalam kamar itu. Matt memang sudah melepas keperjakaannya sejak satu tahun yang lalu. Justru ia menjadi pria terakhir yang melepas keperjakaanya, setelah semua teman pria di kelasnya sudah melakukan itu. Ia pun melakukannya dengan wanita paling hits di sekolah, wanita yang memang telah lama mengincar dirinya, mengincar keperjakaannya.
“Adakah wanita baik di dunia ini?” Tanya Matt pada dirinya sendiri.
Sungguh ia tidak tertarik dengan wanita seperti ibunya, atau seperti teman-teman wanitanya di sekolah yang famous. Ia menginginkan wanita yang lembut dan unik. Wanita yang belum di jamah siapapun.
“Apa mungkin aku mendapatkan wanita seperti itu?” Matt kembali bertanya pada dirinya sendiri, sembari memandang langit yang gelap dari sudut kamar.
Ia berharap kelak ketika dewasa, ia akan mendapatkan wanita yang ia inginkan.
Matt dan Nina berada di dalam mobil. Mereka hendak pergi ke Bandung untuk menemui orang tua dan keluarga Nina yag berada di desa itu.Sesekali Nina melirik ke arah Matt yang serius menyetir. Matt pun ikut melirik ke arah Nina, sesaat mereka saling berpandangan dan tersenyum.“Kenapa?” tanya Matt.Nina menggeleng. “Ngga apa-apa.”Matt mengeryitkan dahinya.“Aku tuh suka takut sama pria yang bertato.” Ucap Nina yang memang selalu melihat ke arah leher Matt yang terdapat garis berbentuk Z.“Keluargamu juga takut dengan pria bertato sepertiku?” tanya Matt.Nina mengangguk, tapi tetap tersenyum.“Tidak semua pria bertato itu jahat, Sayang,” ucap Matt.“Iya, tapi di tempatku itu desa banget. Tidak modern dan pastinya kamu adalah orang asing yang baru datang di desaku.”“Oh ya? Pasti seru,” ucap Matt santai.“Bye the way, kit
Pagi ini Dinda bersiap untuk kembali ke Bali. Ia tak melihat Tristan sejak semalam. Entah pamannya itu marah atau tidak padany, ia tak peduli. Untung, hari ini ia akan kembali ke Bali dan tak melihat pamannya lagi.“Ma, Tristan sudah berangkat?” tanya Melati pada ibunya saat di meja makan.“Sudah, dia berangkat dengan penerbangan paling pagi,” jawab Nenek Dinda.“Oh.”“Memang Om Trsitan kemana, Ma?” tanya Dinda ingin tahu..“Om mu sudah berangkat lagi ke Australia. Ternyata kantor pusatnya di sana, menarik dia kembali ke sana, karena teman yang menggantikan posisinya di sana kecelakaan,” jawab Kakek Dinda.Tristan memang berkuliah di Australia dan mendapatkan pekerjaan di sana. Sudah cukup lama Tristan bekerja di negara itu, hingga mendapatkan posisi yang bagus. Pernah ia mencoba untuk berhenti dari pekerjaannya dan ingin menetap di Malang saat Dinda lulus SMA, tapi akhirnya Tristan
Matt mengendarai mobilnya hingga sampai di halaman rumah sang kakak. Di sana, sudah terlihat mobil David yang terparkir. Matt masih tersenyum mengingat betapa anehnya wanita yang baru saja ia antar pulang dari bandara.Setelah mematikan mesin mobil, Matt keluar dan mendapati Nina tengah bermain bersama Melvin dan Quinza di halaman rumah itu.“Melvin mana ya.. Quinza cantik.” Nina di tutup kedua matanya dengan kain dan berusaha menangkap Melvin dan Quinza yang sedang berlarian mengelilinginya.Matt tersenyum ke arah gadis lembut itu.“Ssstt.” Matt menutup bibirnya dengan jari telunjuk ke arah Melvin dan Quinza.Melvin dan Quinza hanya tertawa cekikikan tanpa suara, pasalnya Matt sengaja berjongkok agar Nina mengira bahwa dirinya adalah Melvin.“Nah, ya. Melvin ke tangkepetangkep.” Nina memeluk kepala Matt yang ia kira adalah Melvin.Matt merasa di atas angin, karena Nina memeluknya kepalanya erat sam
Dinda masih belum pulang ke Bali. Ia meminta izin pada Tasya dan rekan-rekannya yang ada di sana untuk bermalam dua hari lagi di Jakarta, karena hari ini ia mengantarkan Ardi untuk berangkat ke Florida.“Matt, Supir Mas David tidak bisa ke sini karena sedang mengantarkan klien. Bisakah kau mengantarku untuk mengantarkan Ardi ke bandara?” tanya kakak iparnya.Matt mengangguk. “Apa Nina juga ikut?”Sari menggeleng. “Dia menjaga anak-anak saja di rumah, sekalian memberi arahan pada pengasuh baru yang akan menggantinya nanti.”Matt kembali menganggukkan kepalanya.Tak lama kemudian, Matt mengganti baju dan bersiap untuk mengantarkan Sari menjemput keluarganya di Panti asuhan, lalu mengantar Ardi ke Bandara. Sementara di tempat yang berbeda, Dinda pun bersiap ke Bandara untuk melepas kekasihnya di sana.“Din, Mama tidak bisa menemanimu ke Bandara, karena mendadak mama harus menemani papa, saudara jauh pap
David beserta istri dan anaknya melajukan mobil menuju Panti asuhan milik ibu David yang kini di kelola oleh orang tua Sari. sedangkan Matt, mengikuti mobil sang kakak bersama Nina.“Rumahmu di mana Nin?” tanya Matt pada Nina, kerena di mobil ini hanya ada mereka berdua.“Di Bandung. Tapi di Desanya.”“Bandung itu di mana?” tanya Matt lagi.“Di Jawa Barat, tempatnya sejuk. Nanti akan aku ajak kamu ke sana.”“Boleh, kapan?”“Apanya?” Nina tadi yang mengajak Matt ke kampungnya, tapi dia juga yang bingung jika ternyata Matt benar-benar akan datang ke sana. Pasalnya tadi, Nina hanya sekedar berbasa basi.“Ke rumahmu.”“Untuk apa?” tanya Nina.“Bertemu keluargamu.”“Untuk apa?” tanya Nina lagi.“Kamu maunya untuk apa? Melamar?” Matt tersenyum jahil.Sontak Nina terkejut. Seda
Dinda bersama kedua orang tua dan Kakek Neneknya sedang menikmati makan malam.“Berapa lama kamu di Bali, Din?” tanya Baskoro, Kakek Dinda.“Kalau cepat dua tahun, Opa,” jawab Dinda.“Semoga cepat selesai ya, sayang. Terus kamu visa praktek di sini,” imbuh Risma, Nenek Dinda.“Belum, Oma. Perjalanan Dinda masih jauh kalau ingin praktek. Dinda belum ikut tes Ujian Kompetensi Dokter Indonesia. Setelah mendapatkan itu, baru Dinda bisa praktek dan benar-benar menjadi dokter,” jawab Dinda.“Memang untuk meraih cita-cita itu harus sabar dan penuh perjuangan, Din,” kata Wisnu, Ayah Dinda.Sejak kecil, ia memang ingin sekali menjadi seorang dokter. Dulu, ia sering main dokter-dokteran dengan sang paman dan beberapa kali Tristan meminta di periksa alat vitalnya kala itu. Dinda yang masih kecil pun hanya memegang dan memijat seperti arahan sang paman tanpa mengerti maksudnya.Tak lama