"Ngapain dia disini?" suara Dylan dingin,
Liam mendengus pelan, jelas tidak menyukai interupsi itu. "Ini bukan urusan kamu." Dylan berjalan masuk, menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari yang diperlukan. "Salah. Ini jelas juga urusan aku. Karena Sarah sahabat aku, dan aku nggak akan diam aja lihat dia terjebak dalam hubungan yang menyakitinya." Sarah menunduk, merasa canggung di antara dua pria itu. "Liam, sebaiknya kamu pergi." Sarah bersuara dengan pelan. "Aku belum selesai bicara Sarah," Liam bersikeras. Dylan menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya tajam. "Selesaikan urusan pernikahan kamu dulu. Jangan datang ke sini kasih janji-janji kosong dan membuat Sarah semakin terluka." Liam mengeratkan rahangnya. Ia jelas ingin melawan, tapi pada akhirnya ia tahu Dylan benar. Ia menoleh ke arah Sarah sekali lagi. "Aku akan menepati janji aku." Sarah tetap diam, tidak ingin memberi harapan ataupun menutup kemungkinan. Akhirnya, Liam berbalik dan pergi. Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Dylan mendesah berat, lalu berjalan mendekati Sarah. "Kamu nggak apa-apa?" Sarah mengangguk, meski ekspresinya masih kosong. "Jangan bohong," Dylan menatapnya lekat-lekat. Sarah tersenyum tipis, mencoba menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, meskipun dalam hatinya ia tahu itu kebohongan. Dylan tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya meraih Sarah ke dalam pelukannya, memberikan kenyamanan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sarah membiarkan dirinya bersandar, mencoba menenangkan hatinya yang masih bergejolak. Ia tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang pasti—ia harus menemukan cara untuk menyembuhkan dirinya sendiri, sebelum ia bisa memikirkan kemungkinan apa pun bersama Liam. --- Malam semakin larut. Dylan masih menemani Sarah di apartemennya. Ia tidak ingin meninggalkannya sendirian, terutama setelah kejadian tadi dengan Liam. Sarah butuh seseorang, dan Dylan bersedia menjadi orang itu. Tanpa diduga, Kate datang dengan wajah lelah tetapi penuh semangat. Ia menjelaskan bahwa kakaknya sudah ditangani oleh keluarga dan suaminya, jadi ia bisa kembali menemani Sarah. Namun, begitu matanya menangkap keberadaan Dylan di apartemen, ekspresi Kate berubah sedikit terkejut. "Wah, ternyata ada Dylan juga?" Ia terkekeh, lalu mengangkat sesuatu dari dalam tasnya—sebotol anggur merah. Dylan langsung mengernyit. "Kate, kamu serius mau minum?" "Ayolah, ini cuma untuk senang-senang," Kate meletakkan botol itu di meja. "Sarah butuh hiburan." Sarah hanya tersenyum tipis, masih dalam keadaan emosional yang labil. Kate tidak menyerah, ia menuangkan anggur ke dalam gelas dan menyerahkannya pada Sarah. "Minum, satu gelas aja buat rileks." Dylan menghela napas, tetapi tidak bisa menghentikan Sarah yang sudah menerima gelas itu. Ia memperhatikan dengan cemas saat Sarah meneguk minuman itu, sementara Kate juga ikut minum. "Ayo, Dylan, kamu juga harus minum," kata Kate sambil mengulurkan gelas padanya. Dylan menolak dengan sopan. "Aku harus jaga Sarah." Kate tertawa kecil. "Dylan, please. Minum, ini cuma sedikit aja. Lagian, Sarah juga butuh teman." Dylan mendesah, akhirnya menyerah dan mengambil gelasnya. Tapi ia hanya menyesap sedikit, tidak ingin mabuk seperti mereka. Seiring waktu, Kate semakin banyak bicara. Ia berceloteh tanpa henti hingga akhirnya ponselnya berdering. Ia menerima telepon dari orang tuanya yang memintanya kembali menjaga kakaknya karena suaminya yang baru datang perlu beristirahat. "Ugh, mereka selalu aja begini," gerutunya. Dengan enggan, Kate berdiri dan meraih tasnya. "Aku harus pergi lagi. Kalian jangan terlalu serius, ya!" Lalu, begitu saja, Kate pergi tanpa sempat Sarah dan Dylan untuk menahannya. Setelah Kate pergi, Sarah mulai meracau, efek minuman mulai terasa. "Liam itu bajingan," gumamnya, menatap kosong ke depan. "Tapi aku bodoh, kan? Masih aja cinta sama dia." Dylan, yang dicekoki Kate juga mulai terpengaruh alkohol, menghela napas. "Kamu nggak bodoh, Sarah. Kamu cuma mencintai orang yang salah." Sarah tersenyum miris. "Kamu selalu ada buat aku ya, Dylan?" Dylan menatapnya dalam. Mungkin ini pengaruh alkohol, atau mungkin karena ia sudah terlalu lama menyimpan perasaannya, tetapi kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. "Aku cinta kamu, Sarah." ***Sarah melahirkan dengan perjuangan luar biasa. Setiap tarikan napasnya semakin berat, dan rasa sakit semakin intens. Namun, ia tak pernah melepaskan genggaman tangan Liam, yang terus memberikan kata-kata semangat. "Kamu kuat, Sarah. Bayimu butuh kamu," Liam berbisik, berusaha mengalihkan pikirannya dari kepedihan yang menyelimuti tubuh Sarah. Ia melihat wajahnya yang tertekuk, berjuang melawan rasa sakit, dan merasa tak bisa berbuat banyak selain berada di sisinya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, tangisan seorang bayi memenuhi ruang persalinan. Bayi itu, yang akhirnya keluar dengan selamat, menangis keras, membangkitkan perasaan lega yang luar biasa dalam diri Sarah. Matanya yang kelelahan menatap bayi kecilnya dengan cinta yang mendalam. "Selamat, Ibu Sarah," kata dokter dengan senyum penuh kebahagiaan. "Ini bayi perempuan, sehat, sempurna." Sarah mengangguk pelan, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Liam yang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan
Sejak malam itu, Liam semakin sering berkunjung. Selalu dengan alasan yang masuk akal—membawa makanan, membantu Sarah dengan kehamilannya, atau sekadar menemani Noah bermain. Suatu malam, ketika Noah sudah tertidur, Sarah dan Liam duduk di balkon apartemen, menikmati udara malam yang sejuk. "Sarah," Liam membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna. "Aku tau kamu masih menunggu Dylan. Aku nggak akan pernah paksa kamu untuk lupain dia. Tapi... izin kan aku ada di sisi kamu. Aku mau kamu tau, aku di sini bukan sekadar sebagai teman." Sarah terdiam, menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Liam... aku nggak bisa." Liam menatapnya dalam. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tau aku selalu ada buat kamu." Hati Sarah semakin bimbang. Di satu sisi, ia masih berpegang pada keyakinannya bahwa Dylan akan kembali. Namun di sisi lain, kehadiran Liam yang begitu konsisten perlahan mulai menggoyahkan pertahanannya. Beberapa minggu berlalu. Kehidupan Sarah berjalan sep
Sarah duduk di sudut kafe dekat jendela, menyesap teh hangatnya sambil sesekali melirik ke arah gerbang sekolah Noah. Hari ini, Noah ada kegiatan baby class, jadi ia harus menunggu diluar. Saat matanya menyapu sekitar, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Di seberang jalan, di antara kerumunan orang yang lalu-lalang, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dylan.Sarah nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ia memicingkan mata, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Pria itu berjalan cepat, mengenakan jaket gelap dan celana kasual. Rambutnya lebih panjang dari yang ia ingat, dan wajahnya tampak lebih tirus. Tapi itu Dylan. Ia yakin. Tanpa berpikir panjang, Sarah bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang. “Dylan…?” suaranya hampir tak terdengar saat ia melangkah keluar kafe, mengikuti sosok itu yang mulai menjauh. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan yang melintas. Namun, saat ia sampai di t
Enam bulan berlalu sejak kepergian Dylan. Waktu terus berjalan, meski bagi Sarah, rasanya masih seperti kemarin. Noah kini sudah mulai berjalan. Langkah-langkah kecilnya sering kali membuat Sarah terharu, terutama saat ia terjatuh lalu bangkit lagi dengan semangat. Setiap kali melihat Noah, hatinya terasa hangat sekaligus pedih. Wajah putranya adalah versi kecil dari Dylan—dengan mata yang tajam namun lembut, senyum yang khas, dan ekspresi yang begitu familiar. Seolah Dylan masih ada di sini, hidup dalam diri Noah. Suatu sore, Sarah duduk di lantai ruang tamu, memperhatikan Noah yang berusaha berjalan menuju dirinya. "Ayo, Sayang… sini ke Mama," panggilnya lembut. Noah tertawa kecil, melangkah perlahan dengan tangan terangkat, mencari keseimbangan. Saat berhasil mencapai Sarah, ia langsung meraih wajah ibunya dengan tangan mungilnya, tertawa senang. Sarah tersenyum, matanya terasa panas. Ia memeluk Noah erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu s
Sebulan berlalu sejak kepulangan mereka dari luar negeri, tetapi tidak ada kabar baik yang datang. Dylan tetap dinyatakan hilang. Namun, di hati Sarah, keyakinannya belum pudar. Suatu pagi, saat Noah tertidur di kamar, Sarah duduk di ruang tamu bersama Kate. Udara terasa berat, sama seperti beban di hati mereka. Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kate, kamu nggak usah terlalu khawatir soal aku dan Noah. Aku bisa jaga diri." Kate menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menggeleng tegas. "Aku nggak bisa, Sarah. Aku udah janji sama Dylan. Salah satu permintaannya sebelum pergi adalah memastikan kamu dan Noah baik-baik saja." Sarah menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. "Aku tahu, tapi kamu juga punya kehidupan, Kate. Aku nggak mau kamu terus merasa bertanggung jawab untuk sesuatu yang seharusnya bukan beban kamu." Kate terdiam sejenak sebelum menatap Sarah penuh arti. "Ini bukan beban, Sarah. Kamu itu sahabat aku. Noah seperti ke
Kabar yang datang pagi itu masih belum membawa kepastian. Tim pencari hanya menemukan beberapa barang milik Dylan—jam tangan, ponselnya yang rusak, dan sebagian pakaian yang diyakini miliknya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditemukan. Ayah dan ibu tiri Dylan tampak frustrasi dengan perkembangan pencarian yang terasa lambat. Mereka memutuskan untuk terbang langsung ke luar negeri untuk mengurus pencarian secara langsung. Sarah, yang tak bisa tinggal diam, memutuskan untuk ikut bersama Noah dan Kate. Perjalanan itu terasa panjang bagi Sarah. Duduk di pesawat dengan Noah tertidur di pangkuannya, pikirannya terus dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika Dylan benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan kehilangan pria yang baru saja ia sadari betapa besar cintanya? Kate menggenggam tangannya erat, seolah bisa merasakan kegundahan yang berputar di benaknya. “Sarah, kita belum tau apa pun dengan pasti. Jangan berpikir yang buruk dulu.”