Share

Bab 3

Penulis: Rieyukha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-07 05:20:15

Jantung Sarah berdegup kencang, bukan karena rindu, tetapi karena amarah dan sakit hati yang tiba-tiba menyerang lagi.

Liam masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya—tinggi, tampan, dengan sorot mata yang dulu membuat Sarah jatuh cinta. Tapi kini, mata itu justru membuat dadanya terasa sesak.

“Mau apa kamu kesini?” suara Sarah terdengar datar.

Liam menatapnya dengan ekspresi penuh penyesalan. “Sarah, kita harus bicara.”

Sarah tertawa pendek, penuh sinisme. “Bicara? Seharusnya kamu bicara sebelum aku tau kalau kamu sudah menikah.”

“Aku bisa jelasin—”

“Nggak perlu.” Sarah menyela, tangannya mulai gemetar, tapi ia menahannya agar tidak terlihat lemah di depan pria ini. “Pergi, Liam. Aku nggak mau lihat kamu.”

“Aku mohon, cuma lima menit.”

Sarah ingin menutup pintu, tetapi Liam menahan dengan tangannya.

“Lima menit aja, Sarah,” suaranya nyaris bergetar.

Sarah memejamkan mata, mencoba menahan emosi yang kembali menyeruak.

“Liam, tolong jangan buat ini semakin rumit.”

“Aku cinta kamu, Sarah,” suara Liam nyaris seperti bisikan.

Sarah terdiam. Dulu, mendengar kata-kata itu adalah hal terindah baginya. Tapi kini, rasanya seperti pisau yang ditusukkan ke dadanya.

Ia menatap Liam dengan sorot mata yang tak bisa ditebak. “Kalau kamu benar-benar cinta aku, kamu nggak akan memperlakukan aku kayak gini.”

Liam menatapnya dengan penuh kepasrahan. “Aku nggak bisa kehilangan kamu.”

“Kamu sudah kehilangan aku, Liam,” bisik Sarah. “Sejak kamu pilih untuk merahasiakan yang sebenarnya dari aku."

Mereka saling menatap dalam keheningan. Sarah bisa melihat ketulusan di mata Liam, tetapi ia juga tahu bahwa ketulusan itu tidak cukup untuk membenarkan apa yang sudah terjadi.

Dengan satu tarikan napas panjang, Sarah akhirnya berkata, “Sebaiknya kamu pergi, Liam. Ini terakhir kalinya kita bicara.”

Liam masih berdiri di depan pintunya, wajahnya penuh keputusasaan, tetapi juga tekad yang tak tergoyahkan.

"Aku nggak akan pergi sampai kamu dengarkan aku," kata Liam, suaranya berat dan dalam.

Sarah menghela napas panjang. Ada pertempuran hebat dalam dirinya—antara keinginannya untuk menutup pintu dan mengusir Liam selamanya, atau membiarkannya bicara dan mendengar penjelasan yang sebenarnya tak lagi ia butuhkan.

Namun, pada akhirnya, hatinya yang lebih dulu menyerah. Ia masih mencintai Liam. Dan itu menyakitkan.

Dengan langkah enggan, Sarah membiarkan pintu tetap terbuka dan melangkah mundur, memberi isyarat pada Liam untuk masuk. Liam menatapnya penuh syukur, tetapi Sarah tidak membalas. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan Liam berbicara.

"Aku dijodohkan, Sarah," suara Liam terdengar lelah. "Pernikahan itu bukan keinginan aku. Aku nggak pernah cinta dia—sedetik pun nggak."

Sarah tetap diam.

"Aku nggak pulang ke rumah," lanjut Liam. "Aku cuma pulang kalau orang tua atau mertua aku datang. Kami hidup seperti orang asing dalam satu atap, tanpa cinta, tanpa kebersamaan."

Sarah mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Kota yang gemerlap di luar sana terasa begitu kontras dengan kehampaan yang kini ia rasakan.

"Terus kenapa kamu nggak bercerai?" tanyanya akhirnya.

Liam terdiam. Ia menghela napas berat, jelas ada beban besar dalam pikirannya. "Ini bukan sesuatu yang mudah, Sarah. Keluarga aku, keluarganya… semua terlalu rumit."

Sarah tertawa kecil, sarkastik. "Jadi kamu pilih jalan lain? Bohongi aku, menjalin hubungan di belakang istri kamu?"

"Aku nggak pernah bermaksud bohongi kamu," Liam menatapnya dalam-dalam. "Aku… aku jatuh cinta sama kamu, Sarah. Kamu satu-satunya yang buat aku merasa hidup."

Sarah menggeleng, mencoba menahan emosinya. "Tapi aku tetap bukan siapa-siapa. Aku cuma perempuan lain dalam cerita pernikahan kamu."

"Nggak!" Liam segera meraih tangannya, tetapi Sarah dengan cepat menarik diri. "Aku mau sama kamu, Sarah. Aku akan lakukan apa pun supaya kita bisa sama-sama. Aku akan perjuangkan kamu."

Sarah merasakan matanya mulai memanas. "Tapi aku nggak mau jadi alasan hancurnya rumah tangga orang, Liam. Aku nggak mau jadi perusak."

"Terus aku harus gimana?" Liam menatapnya penuh keputusasaan. "Aku nggak bisa lepaskan kamu, Sarah. Aku sangat mencintai kamu."

"Kamu nggak perlu lakukan apa pun," suara Sarah hampir berbisik. "Karena kita udah selesai."

Liam tampak ingin menolak, tetapi ia tidak punya argumen. Ia tahu Sarah benar. Tidak peduli seberapa dalam perasaannya, tidak peduli seberapa besar cinta di antara mereka—mereka tetap tidak bisa bersama. Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik.

Hingga akhirnya, dengan suara nyaris tak terdengar, Liam bertanya, "Jadi kita benar-benar selesai?"

Sarah menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah. "Iya," jawabnya dengan suara bergetar.

Sarah menatap Liam dengan mata nanar. Hatinya masih berantakan, pikirannya kacau. Ia ingin Liam, ingin memberinya kesempatan untuk membuktikan segalanya. Tetapi logikanya berkata lain.

"Aku akan menyelesaikan semuanya, Sarah." Suara Liam penuh tekad. "Aku akan menceraikan dia. Aku hanya butuh waktu."

Sarah menggeleng, mencoba meredam gejolak emosinya. "Liam, kamu tau ini salah. Aku tau ini salah. Aku nggak bisa…"

"Tapi kamu masih cinta aku, kan?" Liam memotong cepat.

Sarah terdiam. Itu adalah pertanyaan yang tidak ingin ia jawab.

Liam tersenyum tipis, seolah sudah memahami jawabannya meskipun Sarah tidak mengatakannya. "Aku tahu kamu masih cinta aku. Itu udah cukup buat aku."

"Liam—"

"Aku akan kembali, Sarah." Liam menatapnya dengan penuh keyakinan. "Aku janji."

Sarah menghela napas panjang. Kepalanya mulai terasa berat. "Jangan buat janji yang belum tentu bisa kamu tepati."

Belum sempat Liam membalas, suara dorongan keras di pintu mengalihkan perhatian mereka berdua.

BRAK!

Pintu terbuka ketika Sarah akan melangkah ke arahnya. Dylan berdiri di sana, napasnya sedikit tersengal seperti habis berlari. Matanya langsung menangkap sosok Liam, lalu bergeser ke arah Sarah yang masih berdiri dalam kebimbangan.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 33

    Sarah melahirkan dengan perjuangan luar biasa. Setiap tarikan napasnya semakin berat, dan rasa sakit semakin intens. Namun, ia tak pernah melepaskan genggaman tangan Liam, yang terus memberikan kata-kata semangat. "Kamu kuat, Sarah. Bayimu butuh kamu," Liam berbisik, berusaha mengalihkan pikirannya dari kepedihan yang menyelimuti tubuh Sarah. Ia melihat wajahnya yang tertekuk, berjuang melawan rasa sakit, dan merasa tak bisa berbuat banyak selain berada di sisinya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, tangisan seorang bayi memenuhi ruang persalinan. Bayi itu, yang akhirnya keluar dengan selamat, menangis keras, membangkitkan perasaan lega yang luar biasa dalam diri Sarah. Matanya yang kelelahan menatap bayi kecilnya dengan cinta yang mendalam. "Selamat, Ibu Sarah," kata dokter dengan senyum penuh kebahagiaan. "Ini bayi perempuan, sehat, sempurna." Sarah mengangguk pelan, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Liam yang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 32

    Sejak malam itu, Liam semakin sering berkunjung. Selalu dengan alasan yang masuk akal—membawa makanan, membantu Sarah dengan kehamilannya, atau sekadar menemani Noah bermain. Suatu malam, ketika Noah sudah tertidur, Sarah dan Liam duduk di balkon apartemen, menikmati udara malam yang sejuk. "Sarah," Liam membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna. "Aku tau kamu masih menunggu Dylan. Aku nggak akan pernah paksa kamu untuk lupain dia. Tapi... izin kan aku ada di sisi kamu. Aku mau kamu tau, aku di sini bukan sekadar sebagai teman." Sarah terdiam, menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Liam... aku nggak bisa." Liam menatapnya dalam. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tau aku selalu ada buat kamu." Hati Sarah semakin bimbang. Di satu sisi, ia masih berpegang pada keyakinannya bahwa Dylan akan kembali. Namun di sisi lain, kehadiran Liam yang begitu konsisten perlahan mulai menggoyahkan pertahanannya. Beberapa minggu berlalu. Kehidupan Sarah berjalan sep

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 31

    Sarah duduk di sudut kafe dekat jendela, menyesap teh hangatnya sambil sesekali melirik ke arah gerbang sekolah Noah. Hari ini, Noah ada kegiatan baby class, jadi ia harus menunggu diluar. Saat matanya menyapu sekitar, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Di seberang jalan, di antara kerumunan orang yang lalu-lalang, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dylan.Sarah nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ia memicingkan mata, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Pria itu berjalan cepat, mengenakan jaket gelap dan celana kasual. Rambutnya lebih panjang dari yang ia ingat, dan wajahnya tampak lebih tirus. Tapi itu Dylan. Ia yakin. Tanpa berpikir panjang, Sarah bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang. “Dylan…?” suaranya hampir tak terdengar saat ia melangkah keluar kafe, mengikuti sosok itu yang mulai menjauh. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan yang melintas. Namun, saat ia sampai di t

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 30

    Enam bulan berlalu sejak kepergian Dylan. Waktu terus berjalan, meski bagi Sarah, rasanya masih seperti kemarin. Noah kini sudah mulai berjalan. Langkah-langkah kecilnya sering kali membuat Sarah terharu, terutama saat ia terjatuh lalu bangkit lagi dengan semangat. Setiap kali melihat Noah, hatinya terasa hangat sekaligus pedih. Wajah putranya adalah versi kecil dari Dylan—dengan mata yang tajam namun lembut, senyum yang khas, dan ekspresi yang begitu familiar. Seolah Dylan masih ada di sini, hidup dalam diri Noah. Suatu sore, Sarah duduk di lantai ruang tamu, memperhatikan Noah yang berusaha berjalan menuju dirinya. "Ayo, Sayang… sini ke Mama," panggilnya lembut. Noah tertawa kecil, melangkah perlahan dengan tangan terangkat, mencari keseimbangan. Saat berhasil mencapai Sarah, ia langsung meraih wajah ibunya dengan tangan mungilnya, tertawa senang. Sarah tersenyum, matanya terasa panas. Ia memeluk Noah erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu s

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 29

    Sebulan berlalu sejak kepulangan mereka dari luar negeri, tetapi tidak ada kabar baik yang datang. Dylan tetap dinyatakan hilang. Namun, di hati Sarah, keyakinannya belum pudar. Suatu pagi, saat Noah tertidur di kamar, Sarah duduk di ruang tamu bersama Kate. Udara terasa berat, sama seperti beban di hati mereka. Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kate, kamu nggak usah terlalu khawatir soal aku dan Noah. Aku bisa jaga diri." Kate menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menggeleng tegas. "Aku nggak bisa, Sarah. Aku udah janji sama Dylan. Salah satu permintaannya sebelum pergi adalah memastikan kamu dan Noah baik-baik saja." Sarah menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. "Aku tahu, tapi kamu juga punya kehidupan, Kate. Aku nggak mau kamu terus merasa bertanggung jawab untuk sesuatu yang seharusnya bukan beban kamu." Kate terdiam sejenak sebelum menatap Sarah penuh arti. "Ini bukan beban, Sarah. Kamu itu sahabat aku. Noah seperti ke

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 28

    Kabar yang datang pagi itu masih belum membawa kepastian. Tim pencari hanya menemukan beberapa barang milik Dylan—jam tangan, ponselnya yang rusak, dan sebagian pakaian yang diyakini miliknya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditemukan. Ayah dan ibu tiri Dylan tampak frustrasi dengan perkembangan pencarian yang terasa lambat. Mereka memutuskan untuk terbang langsung ke luar negeri untuk mengurus pencarian secara langsung. Sarah, yang tak bisa tinggal diam, memutuskan untuk ikut bersama Noah dan Kate. Perjalanan itu terasa panjang bagi Sarah. Duduk di pesawat dengan Noah tertidur di pangkuannya, pikirannya terus dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika Dylan benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan kehilangan pria yang baru saja ia sadari betapa besar cintanya? Kate menggenggam tangannya erat, seolah bisa merasakan kegundahan yang berputar di benaknya. “Sarah, kita belum tau apa pun dengan pasti. Jangan berpikir yang buruk dulu.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status