Penantian Pertama sang CEO

Penantian Pertama sang CEO

last updateLast Updated : 2025-04-23
By:  RieyukhaOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
2 ratings. 2 reviews
33Chapters
291views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Satu malam, satu kesalahan, satu kehidupan yang tak lagi sama. Sarah hancur saat mengetahui bahwa lelaki yang selama ini dicintainya ternyata adalah milik orang lain. Dalam keterpurukan, Dylan—sahabat lamanya—berusaha menghiburnya. Namun, di tengah malam yang penuh luka dan mabuk emosi, Sarah dan Dylan terseret dalam pusaran gairah yang tak seharusnya terjadi. Ketika pagi datang, yang tersisa hanyalah kebingungan dan keputusasaan. Namun, segalanya berubah saat Sarah mengetahui bahwa ia hamil. Dylan bersikeras bertanggung jawab, tapi Sarah ragu—bagaimana ia bisa menjalani hidup dengan pria yang tidak ia cintai? Atau... benarkah ia tak pernah melihat Dylan lebih dari seorang sahabat? Bagi Dylan, ini adalah kesempatan yang tak pernah ia harapkan tapi diam-diam ia impikan. Sejak awal, hatinya telah lama terpaut pada Sarah. Kini, ia harus berjuang untuk membuat Sarah melihatnya bukan hanya sebagai sahabat, melainkan sebagai pria yang bisa ia cintai. Mereka terjebak dalam kisah yang tidak mereka rencanakan. Bisakah cinta tumbuh di antara luka dan tanggung jawab? Ataukah mereka hanya akan bertahan demi seorang anak tanpa pernah benar-benar memiliki satu sama lain?

View More

Chapter 1

Bab 1

"Bagus!"

Suara pintu yang dibuka dengan kasar membuat Sarah tersentak. Jari-jarinya yang semula mengetik di keyboard laptop kini terhenti, dan matanya mendongak, menatap heran ke arah pintu.

Seorang wanita cantik berdiri di sana, mengenakan pakaian berkelas dengan wajah penuh amarah. Matanya nanar menatap Sarah, seolah ingin menelanjanginya hidup-hidup.

Sarah berdiri, merasa ada yang tidak beres. Belum sempat ia mengucapkan sepatah kata pun, wanita itu sudah melangkah maju dan melemparkan beberapa lembar foto ke mejanya.

Dengan alis berkerut, Sarah menunduk, mengambil foto-foto yang berserakan. Itu fotonya bersama Liam—kekasihnya. Tidak ada yang aneh di dalamnya. Mereka sedang sarapan di kafe, menikmati kopi sebelum berangkat kerja, makan siang bersama, berjalan santai, hingga makan malam romantis seminggu lalu sebelum Liam pergi ke luar negeri.

Sarah menatap wanita di depannya dengan kebingungan. “Kamu siapa? Dari mana kamu dapat foto-foto ini?”

Wanita itu mendengus sinis. "Jangan pura-pura bodoh!" suaranya tajam seperti belati. "Jangan bilang kau nggak tau siapa aku!"

Sarah semakin tidak mengerti. Dia hanya berdiri diam, menunggu wanita itu menjelaskan lebih lanjut.

"Aku istrinya."

Dunia Sarah seakan runtuh dalam sekejap. Ia merasakan tubuhnya melemas. Kakinya tak sanggup menopang, membuatnya terduduk kembali di kursi. Kepalanya terasa kosong, dadanya sesak. Matanya tertuju pada foto-foto yang kini berserakan di mejanya, tetapi semuanya tampak buram.

Sementara itu, wanita di depannya terus menghujaninya dengan kata-kata penuh kemarahan. Mengutuknya, menuduhnya, seolah Sarah adalah wanita jalang yang telah merebut suaminya.

Padahal, Sarah sama sekali tidak tahu apa-apa. Liam telah berbohong padanya. Lelaki yang selama ini ia cintai ternyata milik orang lain.

---

Malam semakin larut. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul sebelas, tapi Sarah masih terduduk diam di ruangannya, membiarkan dunia di sekitarnya terus berjalan tanpa dirinya.

Fotonya bersama Liam masih tergeletak di atas meja, persis seperti saat wanita—yang mengaku sebagai istri Liam—melemparkannya dengan penuh kemarahan. Sejak kejadian itu, Sarah tidak bergerak. Hanya menatap kosong ke depan, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

Di samping laptopnya, ponselnya terus berkedip. Puluhan pesan masuk, panggilan tak terjawab, semua kebanyakan dari nomor yang sama. Liam. Tapi Sarah tak punya tenaga untuk membalas, apalagi mengangkatnya. Bahkan melihat namanya saja membuat hatinya berdenyut sakit.

Ketukan di pintu mengusik kesunyiannya, tapi Sarah tetap diam. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan seseorang masuk.

“Sarah, kenapa kamu nggak angkat telepon atau balas pesan aku? Aku udah…” Suara pria itu terhenti saat melihat Sarah.

Dylan—atasan sekaligus sahabatnya—menatap Sarah dengan alis berkerut. Wajah Sarah tampak kusut, matanya sembab dengan bekas air mata yang masih tersisa di pipinya. Itu bukan pemandangan biasa. Sarah bukan tipe yang mudah menangis, apalagi di kantor.

Dylan langsung mendekat, menarik kursi di seberangnya. “Hei, kamu kenapa?” tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

Sarah tidak menjawab. Ia hanya menatap meja, ke arah foto-foto yang masih berserakan. Dylan mengikuti arah pandangannya dan mengernyit. “Ini… foto kamu sama Liam?”

“Sarah, ada apa? Liam kenapa?” Dylan bertanya lagi, kali ini lebih cemas.

Dylan semakin bingung. Ia tau Sarah punya kekasih, dan selama ini ia juga tau Liam bukan pria beristri. Tapi kalau bukan sesuatu hal yang besar, Sarah tidak mungkin sampai seperti ini.

Sarah mengangkat wajahnya perlahan, menatap Dylan dengan mata yang masih merah. Bibirnya sedikit bergetar sebelum akhirnya ia berbisik, “Dia sudah menikah, Dylan.”

Dylan terdiam sejenak, berusaha mencerna kata-kata itu. “Apa?”

Sarah menelan ludah, suaranya pecah. “Liam sudah menikah. Tadi istrinya datang ke sini dan menunjukkan foto-foto ini sama aku.”

Keheningan menyelimuti ruangan selama beberapa detik. Dylan akhirnya menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya. Rahangnya mengeras, matanya menatap Sarah dengan iba sekaligus marah.

“Brengsek,” gumamnya.

Sarah tersenyum pahit. “Aku bodoh, ya?”

Dylan menggeleng. “Bukan kamu yang bodoh. Dia yang bajingan.”

Sarah menunduk, jemarinya meremas satu sama lain. “Aku nggak tahu, Dylan. Aku benar-benar nggak tahu kalau dia udah nikah. Dia nggak pernah cerita, dia nggak pernah tunjukkan tanda-tanda…”

Dylan menggeser kursinya lebih dekat, menggenggam tangan Sarah. “Aku percaya kamu, Sarah. Aku tahu kamu nggak akan pernah mau sama pria beristri. Ini bukan salah kamu.”

Tapi Sarah tetap merasa sesak.

“Apa aku benar-benar nggak peka, sampai nggak menyadari semua ini?” desahnya.

Dylan menggeleng lagi. “Liam yang pintar menutupinya. Jangan salahkan diri kamu atas kebohongannya.”

Sarah menghela napas panjang, lalu menatap Dylan dengan tatapan kosong. “Aku harus apa sekarang?”

Dylan diam sejenak sebelum menjawab, “Lupakan dia.”

Sarah tersenyum miris. “Gampang bilangnya.”

“Memang nggak mudah,” Dylan mengakui. “Tapi kamu harus. Kamu berhak lebih dari ini, Sarah. Kamu bukan wanita kedua, bukan seseorang yang bisa dimanfaatkan begitu saja.”

Sarah terdiam, dadanya terasa sesak. Ia ingin marah, ingin membenci Liam, tapi yang ia rasakan sekarang hanya kehampaan.

Lalu, suara ponselnya kembali berbunyi. Nama Liam berkedip di layar. Sarah dan Dylan sama-sama menatapnya. Sarah menggigit bibirnya, tangannya gemetar saat mencoba meraih ponselnya.

“Jangan angkat,” kata Dylan cepat.

Sarah menatapnya. “Aku harus dengar penjelasannya.”

Dylan menatapnya tajam. “Untuk apa? Kamu pikir dia bakal ngaku dan minta maaf? Atau malah cari alasan buat membenarkan semua ini?”

Sarah terdiam.

Dylan mengambil ponselnya dan tanpa ragu mematikan panggilan itu. “Liam nggak layak dapat penjelasan. Dia yang mengkhianati kamu. Dia nggak pantas dapat kesempatan kedua.”

Sarah mengalihkan pandangannya ke foto-foto di mejanya. Tangannya meraih salah satunya—foto di mana Liam menatapnya dengan penuh kasih sayang di kafe favorit mereka. Kasih sayang yang ternyata palsu.

Matanya memanas lagi, tapi kali ini ia tidak ingin menangis. Ia ingin marah. Ia ingin menutup lembaran ini dan pergi sejauh mungkin dari Liam. Dengan napas gemetar, Sarah mengambil semua foto itu, meremasnya, lalu melemparkannya ke tempat sampah.

Dylan tersenyum tipis. “Itu baru Sarah yang aku kenal.”

Sarah menghela napas panjang. “Aku harus lupakan dia.”

Dylan menepuk punggungnya dengan lembut. “Aku bakal pastiin kamu berhasil.”

Dan malam itu, setelah berjam-jam, Sarah merasa sedikit lebih kuat.

Saat pulang Dylan bersikeras mengantarkan Sarah ke apartemennya. Ia tidak ingin membiarkan sahabatnya pulang sendiri dalam keadaan seperti ini—terlalu rapuh, terlalu hancur.

Di sepanjang perjalanan, Sarah hanya diam, menatap kosong ke luar jendela. Lampu-lampu kota yang berkelap-kelip seakan tak memberi arti apa-apa baginya malam ini.

Dylan meliriknya sekilas sebelum menghela napas dan meraih ponselnya. Ia menelpon seseorang, seseorang yang dulu menjadi bagian dari lingkaran mereka saat kuliah hingga kini.

“Aku perlu bantuan kamu,” kata Dylan begitu panggilan tersambung. “Sarah lagi nggak baik-baik aja. Aku mau kamu temani dia malam ini.”

Sarah menoleh, menatap Dylan dengan alis berkerut. “Dylan, nggak usah…”

Dylan menatapnya tajam, memberi isyarat agar ia tidak membantah.

“Apartemennya atau dimana?” suara di ujung telepon bertanya.

“Apartemennya. Aku lagi otw ke sana,” jawab Dylan.

“Oke, aku ke sana.”

Dylan mengakhiri panggilan dan meletakkan ponselnya di dasbor. Sarah mendesah pelan.

“Kamu nggak perlu repot-repot nelpon dia,” katanya lemah. “Aku bisa sendirian.”

Dylan menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. “Nggak. Aku nggak mau kamu sendirian malam ini.”

“Aku baik-baik aja, Dylan.”

“Bohong.”

Sarah terdiam.

“Aku tahu kamu, Sarah. Kamu mungkin kelihatan diam dan tenang sekarang, tapi di dalam, aku tahu kamu sedang berusaha menahan semuanya. Dan aku nggak mau besok pagi dengar kabar kalau kamu pingsan karena nggak makan atau nggak tidur semalaman.”

Sarah tersenyum kecil, tapi tidak sampai ke matanya. “Kamu terlalu khawatir.”

“Karena aku peduli.”

***

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Rieyukha
Terima kasih buat yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk membaca novel saya, mohon dukungannya yaa. Happy reading ...
2024-12-17 11:00:55
2
user avatar
Rieyukha
Terima kasih buat yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk membaca novel saya, mohon dukungannya yaa. Happy reading ...
2024-12-13 15:50:15
2
33 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status