Share

Bab 5

Author: Rieyukha
last update Huling Na-update: 2024-12-07 05:22:35

"Aku cinta kamu, Sarah."

Sarah terdiam. Alisnya berkerut mencoba memahami kata-kata itu, pikirannya tidak sepenuhnya sadar. "Aku juga sayang kamu, Dylan… sebagai sahabat."

Dylan menggeleng pelan. "Bukan. Aku nggak mau jadi sahabat kamu, Sarah. Aku cinta kamu, lebih dari itu."

Sarah menatap Dylan dengan pandangan kabur. Kata-kata itu terasa asing, tetapi juga menggetarkan sesuatu di dalam dirinya.

Dengan ragu, ia mendekatkan wajahnya ke Dylan. Ia tahu hatinya masih terikat pada Liam, tetapi ada sesuatu dalam diri Dylan yang membuatnya merasa nyaman. Mungkin ini hanya efek alkohol, atau mungkin ia hanya butuh pelarian.

"Aku cinta Liam, Dylan," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.

Namun, entah mengapa, dirinya tetap saja bergerak mendekati Dylan. Dan saat bibir mereka akhirnya bertemu, Sarah merasa dunianya berputar. Awalnya itu hanya ciuman lembut, namun ketika Sarah mulai menggoda Dylan dengan hisapan kecil, pria itu kehilangan kendali.

Sarah terhuyung sedikit ketika Dylan menariknya lebih dekat, napas mereka saling membaur, hangat dan menggelitik kulit. Kedua tangan Dylan bertumpu di pinggangnya, menahan tubuh Sarah agar tetap berada dalam genggamannya. Mata pria itu berkilat dalam redupnya cahaya apartemen.

Mereka tenggelam dalam ciuman yang semakin panas. Dylan menarik Sarah ke pangkuannya, sementara tangannya mulai menjelajahi kulitnya di balik pakaian. Sarah menggigit bibirnya, matanya setengah tertutup oleh efek minuman dan gejolak yang baru ia sadari.

Sarah, dengan kesadaran yang kabur, menatap pria di depannya. Dylan, sahabatnya selama bertahun-tahun, kini menatapnya dengan cara yang berbeda. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat jantung Sarah berdegup lebih cepat. Efek alkohol membuat tubuhnya terasa ringan, seakan terombang-ambing di antara kenyataan dan keberanian yang tak biasa.

“Aku cinta kamu, Sarah… dari dulu,” bisik Dylan, suaranya serak dan nyaris putus asa.

Sarah menelan ludah, hatinya bergetar. "Aku mencintai Liam, Dylan," ucapnya lirih.

Namun, entah karena alkohol atau ketertarikan yang selama ini terpendam, Sarah tidak mundur ketika Dylan semakin mendekat. Jarak di antara mereka menguap, dan bibir mereka kembali bersentuhan. Awalnya lembut, namun berubah menjadi lebih menuntut, lebih dalam, lebih penuh gairah.

Tangan Dylan bergerak dengan naluri, menelusuri lekuk tubuh Sarah dengan sentuhan yang membuatnya gemetar. Ia menariknya ke dalam dekapannya, mendekap erat seakan takut kehilangan momen ini.

Sarah membiarkan dirinya tenggelam dalam sensasi itu. Jemarinya menyusuri rahang Dylan, lalu turun ke leher dan bahunya. Napas mereka memburu, dan dengan satu gerakan, Dylan mengangkatnya dalam gendongan kuat. Sarah mengaitkan tangannya di leher Dylan, merasakan bagaimana tubuh mereka saling berpadu dengan sempurna.

Dylan membawa Sarah ke kamar, meletakkannya perlahan di atas ranjang. Tatapan mereka bertemu, seakan bertanya tanpa kata-kata apakah mereka benar-benar menginginkannya. Namun, tidak ada yang menarik diri. Keputusan sudah dibuat.

Mereka membiarkan malam itu berjalan tanpa hambatan, mengikuti hasrat tersembunyi. Setiap sentuhan, setiap ciuman semakin membakar gairah di antara mereka. Sarah tidak menyadari kapan pakaian mereka menghilang, yang ia tahu hanyalah sensasi panas dari kulit Dylan yang menempel di kulitnya.

Dylan menelusuri wajahnya, mengecupnya lembut sebelum turun ke leher dan bahunya, mengukir jejak yang membakar Sarah dari dalam. Tubuhnya menegang saat Dylan mengeksplorasi setiap inci dirinya dengan penuh kehati-hatian, seakan ingin menghafalkan segalanya.

Ketika akhirnya mereka menyatu, Dylan sempat terhenti sejenak, matanya membulat saat menyadari sesuatu. "Sarah… kamu…"

Namun, Sarah yang sudah terbawa oleh euforia malam itu hanya menariknya lebih dekat. "Jangan berhenti, Dylan," bisiknya.

Dylan menurut. Dan malam itu, mereka melebur dalam satu kesatuan, menghapus batasan di antara mereka, tanpa menyadari bahwa pagi akan membawa kenyataan yang jauh lebih rumit.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 33

    Sarah melahirkan dengan perjuangan luar biasa. Setiap tarikan napasnya semakin berat, dan rasa sakit semakin intens. Namun, ia tak pernah melepaskan genggaman tangan Liam, yang terus memberikan kata-kata semangat. "Kamu kuat, Sarah. Bayimu butuh kamu," Liam berbisik, berusaha mengalihkan pikirannya dari kepedihan yang menyelimuti tubuh Sarah. Ia melihat wajahnya yang tertekuk, berjuang melawan rasa sakit, dan merasa tak bisa berbuat banyak selain berada di sisinya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, tangisan seorang bayi memenuhi ruang persalinan. Bayi itu, yang akhirnya keluar dengan selamat, menangis keras, membangkitkan perasaan lega yang luar biasa dalam diri Sarah. Matanya yang kelelahan menatap bayi kecilnya dengan cinta yang mendalam. "Selamat, Ibu Sarah," kata dokter dengan senyum penuh kebahagiaan. "Ini bayi perempuan, sehat, sempurna." Sarah mengangguk pelan, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Liam yang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 32

    Sejak malam itu, Liam semakin sering berkunjung. Selalu dengan alasan yang masuk akal—membawa makanan, membantu Sarah dengan kehamilannya, atau sekadar menemani Noah bermain. Suatu malam, ketika Noah sudah tertidur, Sarah dan Liam duduk di balkon apartemen, menikmati udara malam yang sejuk. "Sarah," Liam membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna. "Aku tau kamu masih menunggu Dylan. Aku nggak akan pernah paksa kamu untuk lupain dia. Tapi... izin kan aku ada di sisi kamu. Aku mau kamu tau, aku di sini bukan sekadar sebagai teman." Sarah terdiam, menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Liam... aku nggak bisa." Liam menatapnya dalam. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tau aku selalu ada buat kamu." Hati Sarah semakin bimbang. Di satu sisi, ia masih berpegang pada keyakinannya bahwa Dylan akan kembali. Namun di sisi lain, kehadiran Liam yang begitu konsisten perlahan mulai menggoyahkan pertahanannya. Beberapa minggu berlalu. Kehidupan Sarah berjalan sep

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 31

    Sarah duduk di sudut kafe dekat jendela, menyesap teh hangatnya sambil sesekali melirik ke arah gerbang sekolah Noah. Hari ini, Noah ada kegiatan baby class, jadi ia harus menunggu diluar. Saat matanya menyapu sekitar, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Di seberang jalan, di antara kerumunan orang yang lalu-lalang, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dylan.Sarah nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ia memicingkan mata, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Pria itu berjalan cepat, mengenakan jaket gelap dan celana kasual. Rambutnya lebih panjang dari yang ia ingat, dan wajahnya tampak lebih tirus. Tapi itu Dylan. Ia yakin. Tanpa berpikir panjang, Sarah bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang. “Dylan…?” suaranya hampir tak terdengar saat ia melangkah keluar kafe, mengikuti sosok itu yang mulai menjauh. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan yang melintas. Namun, saat ia sampai di t

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 30

    Enam bulan berlalu sejak kepergian Dylan. Waktu terus berjalan, meski bagi Sarah, rasanya masih seperti kemarin. Noah kini sudah mulai berjalan. Langkah-langkah kecilnya sering kali membuat Sarah terharu, terutama saat ia terjatuh lalu bangkit lagi dengan semangat. Setiap kali melihat Noah, hatinya terasa hangat sekaligus pedih. Wajah putranya adalah versi kecil dari Dylan—dengan mata yang tajam namun lembut, senyum yang khas, dan ekspresi yang begitu familiar. Seolah Dylan masih ada di sini, hidup dalam diri Noah. Suatu sore, Sarah duduk di lantai ruang tamu, memperhatikan Noah yang berusaha berjalan menuju dirinya. "Ayo, Sayang… sini ke Mama," panggilnya lembut. Noah tertawa kecil, melangkah perlahan dengan tangan terangkat, mencari keseimbangan. Saat berhasil mencapai Sarah, ia langsung meraih wajah ibunya dengan tangan mungilnya, tertawa senang. Sarah tersenyum, matanya terasa panas. Ia memeluk Noah erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu s

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 29

    Sebulan berlalu sejak kepulangan mereka dari luar negeri, tetapi tidak ada kabar baik yang datang. Dylan tetap dinyatakan hilang. Namun, di hati Sarah, keyakinannya belum pudar. Suatu pagi, saat Noah tertidur di kamar, Sarah duduk di ruang tamu bersama Kate. Udara terasa berat, sama seperti beban di hati mereka. Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kate, kamu nggak usah terlalu khawatir soal aku dan Noah. Aku bisa jaga diri." Kate menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menggeleng tegas. "Aku nggak bisa, Sarah. Aku udah janji sama Dylan. Salah satu permintaannya sebelum pergi adalah memastikan kamu dan Noah baik-baik saja." Sarah menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. "Aku tahu, tapi kamu juga punya kehidupan, Kate. Aku nggak mau kamu terus merasa bertanggung jawab untuk sesuatu yang seharusnya bukan beban kamu." Kate terdiam sejenak sebelum menatap Sarah penuh arti. "Ini bukan beban, Sarah. Kamu itu sahabat aku. Noah seperti ke

  • Penantian Pertama sang CEO   Bab 28

    Kabar yang datang pagi itu masih belum membawa kepastian. Tim pencari hanya menemukan beberapa barang milik Dylan—jam tangan, ponselnya yang rusak, dan sebagian pakaian yang diyakini miliknya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditemukan. Ayah dan ibu tiri Dylan tampak frustrasi dengan perkembangan pencarian yang terasa lambat. Mereka memutuskan untuk terbang langsung ke luar negeri untuk mengurus pencarian secara langsung. Sarah, yang tak bisa tinggal diam, memutuskan untuk ikut bersama Noah dan Kate. Perjalanan itu terasa panjang bagi Sarah. Duduk di pesawat dengan Noah tertidur di pangkuannya, pikirannya terus dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika Dylan benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan kehilangan pria yang baru saja ia sadari betapa besar cintanya? Kate menggenggam tangannya erat, seolah bisa merasakan kegundahan yang berputar di benaknya. “Sarah, kita belum tau apa pun dengan pasti. Jangan berpikir yang buruk dulu.”

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status