Share

5.

Pagi ini aku bangun seperti biasa, setelah mandi aku langsung berkutat di dapur untuk membuat sarapan. Bedanya dimulai hari ini aku hanya membuat sarapan untuk diriku sendiri.

Sedikit memekik saat membuka lemari pendingin aku baru sadar kalau isi di dalamnya sudah ludes tak bersisa. Ah iya, aku dan Lista sudah menghabiskannya kemarin.

Bingung ingin sarapan apa akhirnya aku memutuskan untuk membuat mie goreng saja, kebetulan masih ada stok beberapa bungkus mie instan yang aku beli minggu lalu. Cukup butuh waktu beberapa menit saja untuk mengolah mie goreng dan selesai.

Menaruhnya ke dalam piring dan langsung saja untuk mengeksekusinya, biar lebih mantap aku juga membuat kopi susu panas untuk teman makan mie.

Saat asyiknya menikmati sarapan aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Sedikit mendengkus aku mencoba untuk mengabaikannya, itu pasti mas Tala.

"Sedang apa kau disini?" pertanyaan lantang itu terlontar begitu saja.

Aku melirik sekilas lalu menunjukkan piringku ke hadapannya tanpa repot-repot menjawab. Aku rasa mas Tala mengerti apa yang sedang ku lakukan, bukan?

"Masak lagi?"

Kali ini pertanyaannya tak ku hiraukan, tentu saja. Lebih baik aku menikmati mie goreng ini.

"Berapa kali aku bilang padamu untuk tak perlu memasak lagi karena aku—"

"Tidak ingin memakannya," sahutku cepat memotong ucapannya.

"Lihat!" aku menunjukkan kembali piringku padanya, "aku cuma membuat satu porsi sarapan untukku saja. Apakah juga salah?"

Ku lihat ekspresi mas Tala sedikit terkejut dengan mata yang terbelalak kaget, namun dengan cepat juga ia merubah air mukanya menjadi santai.

"Tetap salah, kau telah menggunakan tempat ini hingga membuat dapur menjadi kotor serta berantakan hanya karena masakanmu yang tak enak juga tak higienis." setelah mengatakan itu mas Tala berlalu pergi meninggalkanku yang tercengang hebat.

Hah, apa maksudnya ... aku juga tidak boleh menggunakan dapur lagi untuk memasak?

Astaga, keterlaluan!

Ucapan mas Tala benar-benar mempengaruhi diriku hingga membuat nafsu makanku hilang tak bersisa. Sepertinya apapun yang ku lakukan selalu salah di depan mas Tala.

Sempat terlintas di pikiranku tadi saat mas Tala berjalan menghampiriku, ku pikir dia akan marah karena aku tidak membuatkannya sarapan. Nyatanya mas Tala malah nampak senang dan malah mengatakan hal-hal pedas.

Tapi, baiklah, kalaupun menggunakan dapur juga tidak boleh maka aku tidak akan menginjakkan kaki lagi ke sini.

*****

"Bete?" tanya Lista yang ku angguki. Saat ini aku dan Lista tengah hang out bareng di sebuah cafe.

"Kenapa?"

"Mas Tala," sahutku lirih tak bersemangat.

"Kenapa lagi sama suamimu? Buat ulah kembali?"

Aku mengendikkan kedua bahuku, "entahlah Lis. Aku juga tidak mengerti dengan sifat mas Tala. Semakin lama semakin kejam, aku merasa setiap apapun yang ku lakukan selalu baginya."

"Haduh, kan udah gue bilang minta cerai aja. Lu sih ngotot banget pingin mempertahankan pernikahan ini."

Aku memutar bola mata jengah mendengar ucapan Lista, "gak segampang itu, Lis."

"Siapa bilang? Pisah itu gampang kok, lagian apa sih yang ingin lu pertahanin? Lu cinta sama Tala?"

Aku mendelik mendengarnya, "sejujurnya sih belum. Tapi entah jika nanti."

"Haduh, berharap banget dah jatuh cinta sama laki-laki model kayak begituan. Lan, cowok model macam Tala itu pantasnya di hempaskan saja." kata Lista tampak berang, "sumpah gue geram banget pas lu udah ceritain semuanya tentang pria berengsek—aissh, sialnya suami lu."

"Kalau bukan suami aku, kenapa Lis?"

"Ya udah gue buat hancurlah, ini gimana gue mau ngancurin kalau lu-nya aja gak tegaan begini."

Aku tertawa lirih, "kata siapa? Aku juga bisa kejam loh."

"Masa?" Lista menyipitkan matanya menatap curiga padaku.

Aku kembali tertawa, "Lis, kamu bisa bantu aku gak?"

"Bantu apa? Gue selalu siap kok bantuin lu dari yang gampang sampai yang sulit sekalipun. Asyeek, mantap banget dah bacotan gue," Lista terkekeh di akhir kalimatnya.

"Jadi, bantuan apa?"

"Cara ngelupain hal-hal yang berbau kesedihan."

"Bunuh diri—awhh!" tepat setelah tiga detik Lista mengatakan dua kata itu aku langsung menyubit cukup kuat lengannya.

"Canda!" katanya meringis perih, "tuh kan merah." Lista menunjukkan lengannya yang memerah bekas cubitanku.

"Habis bercandamu seram banget. Memang mau nih aku bunuh diri?"

"Ya, enggaklah, enggak salah lagi maksudnya." Lista tertawa sementara aku melotot marah.

"Lagian lu ada-ada aja sih minta tolongnya kayak yang begituan."

"Itu kan gak aneh, Lis."

"Lu salah bilangnya. Yang bener tuh gini, hal apa saja yang bisa bikin kita merasa bahagia."

"Memang apa?" tanyaku penasaran.

"Setiap orang pasti punya cara tersendiri untuk merasa bahagia. Ada yang benar-benar bahagia dan ada juga yang pura-pura bahagia."

"Dan kamu salah satu orang yang seperti apa?"

"Keduanya. Kadang aku hanya pura-pura bahagia dan kadang malah sangat bahagia." aku tertegun mendengarnya.

"Lan, ngelihat lu kayak gini gue jadi ragu buat menerima permintaan kedua orangtua gue."

"Maksudnya?"

Lista menarik napas sesaat sebelum bicara, "gue... dijodohin sama laki-laki anak sahabat orangtua gue."

Mataku berbinar bahagia mendengarnya, "wah serius?"

Lista mengangguk lemah, "tapi gue takut."

"Takut kenapa?"

"Takut nasib pernikahan gue kayak lu. Masa iya nambah lagi penantian seorang istri yang kedua." cibir Lista yang sebenarnya tak benar-benar bermaksud untuk menyindirku.

Aku mengerti jika Lista pastilah ikut merasakan dampak dari semua yang aku ceritakan kemarin. Ya, akhirnya aku menceritakan semuanya pada Lista setelah dia berhasil membujukku untuk mengatakannya.

"Gak semuanya pernikahan yang dilandasi perjodohan berakhir menyedihkan, Lis. Ada juga beberapa pasangan yang dijodohkan berakhir manis dan hidup bahagia."

"Memang perjalanan kisah cinta lu udah berakhir?"

"Itu—aku rasa belum." sahutku sambil membayangkan kehidupan pernikahan yang bahagia bersama mas Tala dan juga anak-anak kami kelak.

Hah, biarlah walaupun aku hanya bisa berandai-andai saja sambil menghayal. Siapa tahu kali ini khayalanku menjadi kenyataan. Mas Tala berubah dan bisa menerimaku, menerima pernikahan ini dan mulai mencintaiku.

"Hei!" aku tersentak sadar dari lamunanku, "pantesan diajak ngomong udah gak konek lagi. Ternyata oh ternyata melamun, lagi ngelamunin apaan sih?"

"Tidak ada."

"Bohong banget, pasti lagi melamun hal-hal yang jorok ya? Hayoo, ngaku!"

"Astaga, Lista, enggak!"

"Iya."

"Enggak."

"Iya."

Terus seperti itu, kami berdebat tiada henti hingga tanpa terasa waktu sudah sore. Aku memutuskan untuk pulang dengan diantar Lista menggunakan mobilnya. Memang tadi saat pergi pun Lista yang datang ke rumah menjemputku.

Aku tiba di rumah pukul lima sore, tepat setelah menutup pintu rumah aku dikejutkan dengan suara mas Tala.

"Darimana saja kamu?"

Aku membalikkan badan dan melihat mas Tala berdiri di belakangku sembari berkacak pinggang.

"Mas Tala sudah pulang?" aku malah balik bertanya, "tumben," sambungku santai dan hendak melangkah pergi.

Tap!

Sebuah tarikan tangan mencengkeram pergelangan tanganku, dan tentu saja pelakunya mas Tala.

"Lepas—"

"Mama dan Papa ingin menginap di sini," ucap mas Tala yang saat itu langsung membuat kedua bola mataku melotot sempurna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status