Aku segera menepiskan cekalan tangan mas Tala. "Apa, Mas? Mama dan Papa mau datang menginap disini?"
"Ya, dan mereka sudah dijalan menuju kemarin." sahut mas Tala, "aku syok mendengarnya saat Papa menghubungiku. Karena itulah aku pulang cepat untuk langsung mengatakannya padamu."
"Kemana saja kau ini sebenarnya, huh? Nomor ponsel tidak aktif, apa kau tidak tahu betapa paniknya aku hanya untuk menyampaikan berita tentang ini?" ucap mas Tala berang.
Aku terperangah mendengarnya, mas Tala panik tapi bukan padaku melainkan karena tak bisa menyampaikan pesan jika orang tuanya akan datang menginap di rumah kami.
"Maaf, ponselku mati Mas. Kehabisan baterainya sepertinya," tukasku menjelaskan agar mas Tala tak salah paham.
Mas Tala mengibaskan sebelah tangannya, "lupakan. Itu tidak penting sekarang ini, yang terpenting saat ini adalah kita harus membereskan semua kekacauan yang terjadi."
Dahiku berkerut bingung, "kekacauan apa?"
"Ikut aku!" titah mas Tala menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya.
Jalanku terseok-seok mengikuti langkah kaki mas Tala yang cepat-cepat seperti ini.
"Mas, pelan-pelan," cicitku pelan memperingati mas Tala agar sedikit memelankan langkahnya.
Namun bukannya menurut mas Tala malah semakin melangkah lebih cepat dari sebelumnya. Oh, astaga!
Aku terhenyak kaget saat mas Tala ternyata membawaku masuk ke dalam kamarnya. Tempat yang sangat dilarang untuk ku masuki.
"Kenapa kesini, Mas?" tanyaku gugup.
Ada apa gerangan suamiku membawaku kesini? batinku berkecamuk dipenuhi oleh segudang pertanyaan.
"Malam ini kita akan tidur satu kamar," ucap mas Tala mengejutkanku. "Untuk sementara waktu, selama Mama dan Papa menginap disini." imbuh mas Tala menjelaskan maksud dari ucapannya yang mengajakku untuk tidur bersama dalam satu kamar.
Hufffh, padahal tadi aku nyaris memekik senang dengan ajakan mas Tala. Namun setelah tahu alasan yang sebenarnya dibalik ajakan itu aku kembali murung.
"Hei, kau mengerti kan?" tanya mas Tala berdecak kesal.
Aku mengangguk pasrah, "baiklah."
"Sekarang, ayo kita beres-beres."
"Dimulai dari apa dulu?" tanyaku bingung bercampur panik begitu teringat bahwa waktu yang kami miliki tidaklah banyak sebelum mama dan papa mertuaku tiba.
"Pindahin semua barang-barangmu yang ada di kamarmu kesini."
Aku mengangguk dan lekas berlalu menuju kamarku, mengambil semua barang-barangku untuk di pindahin sesuai ucapan mas Tala.
Dua puluh menit ku habiskan hanya bolak-balik dari kamarku ke kamar mas Tala hanya untuk memindahkan barang saja.
"Sudah semua di pindahin kemari?"
"Belum semua, Mas. Masih ada beberapa lagi." sahutku menjawab pertanyaan mas Tala.
"Memangnya barang apalagi yang belum?"
"Uhm, buku-buku novel, komik dan resep makanan, Mas."
"Ya sudah, yang itu biar aku saja yang pindahkan." kata mas Tala yang tak lama gantian dia yang berlalu meninggalkanku sendirian di kamarnya.
Aku memindahkan semua pakaianku ke dalam lemari pakaian mas Tala. Tersenyum puas saat melihat semua pakaianku berdampingan dengan pakaian milik mas Tala.
Semua barang-barang milikku benar-benar seperti menyatu dengan barang-barang milik mas Tala yang lainnya.
Hmm, semoga saja setelah ini kami yang menyatu. Eh, astaga, pikiran kotorku kambuh!
"Kau kenapa?" tanya mas Tala tiba-tiba menganggetkanku.
"Gak ada, Mas." bohongku menggeleng malu saat mas Tala memergokiku yang tengah memukuli pelan kepalaku. Tak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya pada mas Tala.
"Aku sudah memindahkan semua buku-bukumu di ruangan perpustakaanku."
Aku terbelalak mendengarnya, "benarkah? Memang Mas tidak keberatan jika semua buku-bukuku disana?"
"Ya, kalau hanya untuk sementara saja tidak masalah. Setidaknya selama Papa dan Mama tinggal disini. Jadi, kau jangan terlalu percaya diri."
"Iya." sahutku lemah mendengar kata 'hanya untuk sementara'
Tidak bisakah mas Tala menggantinya dengan kata 'untuk selamanya saja?'
"Dan ya, satu lagi...."
"Akhh!" aku meringis perih ketika mas Tala mencengkeram lenganku lumayan kuat.
"Jangan bertingkah aneh saat orang tuaku disini, kau mengerti kan?!" ucap mas Tala menatapku tajam.
Aku balik menatapnya tajam. Tidak, bahkan lebih garang.
"Tingkah aneh seperti apa memangnya?"
"Semuanya. Tingkahmu sangat aneh dan juga menyebalkan."
Aku melepaskan cekalan tangan mas Tala, "sesuai dengan keinginanmu Mas. Aku sudah tidak pernah lagi menyentuh pakaianmu, baik yang kotor maupun bersih. Aku bahkan juga sudah tidak memasak lagi ataupun menyentuh dapur. Begitu kan yang kamu inginkan?!"
"Kalau Mama dan Papa ada disini, maka bersikaplah seperti istri yang sesungguhnya. Kau boleh melakukan tugas-tugas yang tadi kau sebutkan—"
"Aku tidak mau! Kamu yang sudah melarangku untuk melakukan itu semua. Jadi, aku tidak mau!" ucapku lantang menolak permintaannya.
Yang benar saja, dia menyuruh dan juga melarangku sesuka hatinya saja.
Lagian, bukannya semakin bagus jika mertuaku melihat kehidupan pernikahan kami yang berantakan? Kenapa mas Tala malah ketakutan?
"Kau!" Mas Tala mendorong cukup kuat diriku hingga punggungku membentur dinding tembok.
"Awhh!" aku kembali meringis saat punggungku terasa perih.
"Jangan coba-coba kau melakukan itu, kau tahu jika keadaan Papa belum membaik sepenuhnya kan? Penyakit jantungnya bisa kambuh jika dia sampai tahu tentang—" mas Tala tak melanjutkan ucapannya lagi. Dadanya terlihat naik turun seperti menahan gejolak amarah.
Kepalaku seakan terhantam batu besar saat teringat akan sosok papa mertuaku. Hampir saja aku melupakan fakta tentang riwayat penyakit jantung papa.
Tak sepatutnya aku melampiaskannya pada orangtua, yang melukaiku adalah anaknya. Jadi, seharusnya aku membalaskan rasa sakitku pada mas Tala dan bukan yang lainnya.
"Lana, please...."
Ucapan mas Tala membuatku bingung, dan tiba-tiba ia memegang kedua telapak tanganku.
"Tolong rahasiakan tentang hidup pernikahan kita yang sebenarnya dari Mama dan Papaku, ya?"
Aku melepaskan tanganku yang dipegang mas Tala. Aku tahu dia terpaksa memohon begini agar aku luluh dan mau menuruti semua keinginannya. Kalau tidak, mana mungkin ia bersikap selembut ini dan bahkan merendahkan dirinya memohon padaku.
"Aku tidak tahu, semua ini adalah ulah dari sikapmu sendiri Mas. Jadi jangan salahkan aku jika nanti aku tidak bisa tinggal diam." kataku tak ingin menatapnya, "satu hal yang harus kamu tahu Mas, kalau aku punya perasaan sama seperti manusia yang lainnya."
Setelah mengatakan itu aku lekas melangkah pergi dari sana, dadaku terasa sesak apabila lebih lama disana.
Biarlah aku egois kali ini, tetapi bukan berarti aku kalah dan menyerah dengan pernikahan ini. Tidak, aku tidak akan menyerah begitu saja.
Aku hanya ingin melakukan apapun yang aku mau, mengikuti kata hatiku bahwa aku sangat-sangat terluka akan mas Tala.
Lagi, untuk kesekian kalinya aku menangis dalam diam. Entah sampai kapan tangisan kesedihanku akan berubah menjadi tangis haru kebahagiaan.
Apakah sampai sepuluh, dua puluh, lima puluh tahun lagi? Atau bahkan sampai aku tiada akan seperti ini terus?
Tbc....
Part Bonus.Beberapa bulan kemudian...."Kok bisa samaan gini?!" pekik Lista merasa takjub dan bersyukur atas kehamilannya dan kehamilan Lana yang bersamaan."Iya nih, kita hamilnya samaan. Kamu lima bulan juga kan?"Lista mengangguk, "wih, keren!""Kira-kira kita hamilnya samaan juga gak ya?""Hehe, semoga aja sama. Biar anak kita jadi kayak anak kembar gitu." ucap Lista penuh harap."Iya, biar seperti Davira dan Cavia. Asyikk!""Davira anaknya Airaa, dan Cavia anaknya Kia kan?" tebak Lista mengingat keluarga Wicaksana dan Atmadja yang merupakan salah satu rekan bisnis Tala dan juga Javis."Ya, benar!" sahut Lana menganggukkan kepala."Wah, semoga saja bisa sama seperti mereka ya." kata Lista sembari mengelus perutnya yang sudah terlihat mulai membuncit."Aminn," timpal Lana ikut mengusap dan mengelus perutnya yang terlihat lebih besar buncitnya ketimbang p
"Apa?!" kaget Tala dan Lana bersamaan saat mendengar satu pengakuan mengejutkan dari Lista dan juga Javis.Bagaimana tidak terkejut?Jika tiba-tiba secara mendadak keduanya mengatakan akan segera menikah. Sontak saja sepasang suami tersebut kaget luar biasa. Pasalnya selama ini Lista selalu menunjukkan sikap tidak suka pada Javis, jadi kaget saja jika sekarang justru wanita ini terlihat antusias mengatakannya."Kalian bercanda ya?" tanya Lana meragu.Lista menggeleng, "tidak, kami serius.""Ya, kami berdua serius mau menikah." kata Javis menimpali."Wow!" takjub Tala bertepuk tangan pelan, "ini kejutan yang sangat luar biasa. Selamat ya untuk kalian berdua.""Thanks, bro!" Javis menepuk pelan bahu Tala."Oke, jadi kapan hari baiknya akan tiba?""Secepatnya!" sahut Javis mantap menjawab pertanyaan Tala."Baikla
"Javis, kenapa kamu bawa dia kesini?" tanya Lana histeris."Lana, aku-""Enggak, pergi kamu!" sergah Lana memotong ucapan Tala yang melangkah mendekatinya."Sayang, tolong dengerin aku dulu.""Enggak! Aku gak mau, jadi tolong kamu pergi Mas!""Gak bisa. Aku gak akan pergi, karena aku gak bisa hidup tanpa kamu. Sebab tujuanku kemari ya karena aku mau jemput kamu.""Mimpi aja kamu! Sampai kapanpun aku gak akan mau ikut kamu. Dasar berengsek! Pembohong ulung, aku benci sama kamu!" tukas Lana membuat Tala sedih dan merana mendengarnya. Apalagi kalimat terakhir yang Lana katakan, sungguh membuat tubuh Tala seakan mati rasa."Lana, tolong jangan egois. Izinkan kami masuk lebih dulu, karena ada sesuatu hal penting yang ingin kami katakan padamu." kata Javis merasa iba melihat Tala."Sesuatu hal penting apa?" tanya Lana terlihat penasaran.
Setelah berjuang susah payah meyakinkan Lista untuk menyetujui kesepakatan mereka. Akhirnya disinilah Javis, mengadakan janjian pertemuan dengan Tala di tempat ini.Cafe yang terletak di pusat kota sepertinya cocok untuk pertemuan kali ini. Sekitar lima belas menitan sudah Javis berada di sana menunggu kehadiran Tala sembari menikmati minumannya.Icecappucinomasih tetap yang menjadi favoritnya.Dan ternyata menunggu masihlah tetap menjadi sesuatu yang membuat jenuh sekaligus bosan. Untuk menghilangkan kebosanannya Javis memilih sibuk dengan ponselnya.Javis melakukan panggilan suara ke nomor Lista yang sudah lama ia beri namamy wife. Mungkin terlihat gila, karena belum menikah tapi sudah berani memberi nama itu.Tapi bagi Javis gak masalah. Lagian apalah arti sebuah nama yang ia berikan untuk sebuah nomor ponsel. Javis bahkan tak menghiraukan protesan Lista yan
Dengan lembut dan penuh kehati-hatian Lista menyelimuti tubuh Lana yang baru tertidur setelah tadi tergugu menangisi Tala. Ia sentuh dan belai kepala serta rambut Lana dengan sangat lembut, seperti sentuhan seorang ibu kepada anaknya.Jujur, Lista sangat sedih dan menyayangkan nasib Lana. Dalam hati Lista berdoa semoga saja hal baik datang dalam hidup sahabatnya. Dan semoga apapun masalah yang saat ini tengah Lana hadapi cepat selesai."Apa?!" tanya Lista ketus saat ia melirik Javis yang ternyata tengah menatapnya intens.Javis menggeleng, "gak ada apa-apa.""Beneran gak ada apa-apa?" Javis mengangguk."Tapi kok wajah kamu terlihat kayak lagi banyak pikiran gitu?" goda Lista terkikik geli melihat wajah frustasi Javis.Javis menelan ludah dan menggigit bibirnya pelan. Merasa takut ingin mengungkapkan sesuatu yang ingin dia sampaikan pada Lista."Kenapa, sih?!" tan
Javis bergegas membuka pintu ketika terdengar berulang kali suara bel rumah yang terus berbunyi.Klek!Javis terkejut menatap seseorang yang datang ke rumahnya malam-malam begini. Begitupun orang tersebut yang juga sama terkejutnya saat melihat sosok Javis.Tala? batin Javis syok.Pastilah pria ini datang mencari Lana. Huh, sungguh dugaan yang tepat dan akurat."Kamu... bukannya pria yang waktu itu ada di club kan?" tebak Tala yang masih mengingat kejadian di club dulu. "Yang bermesraan dengan istri saya. Kamu kekasihnya Lana, bukan?"Buru-buru Javis menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan! Tala—""Loh, kamu tau nama saya?" sela Tala kaget ketika namanya disebut.Javis merasa pusing dan bingung ingin mulai bicara dan menjelaskannya dari mana."Siapa yang datang Jav?!" jerit Lista disusul suara langkah kaki mendekat.
Lista menggeram kesal dengan wajah memerah, sejak tadi ia sudah berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Namun, sial! Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak marah setelah mendengar penjelasan Lana hingga sampai terdampar balik ke rumahnya lagi."Berengsek!" kata-kata itu terus keluar dari mulut Lista tiada henti.Brakkk!Javis bergidik ngerih melihat Lista yang marah, kini meja makan di jadikan wanita itu sebagai pelampiasan dari kemarahannya."Benar kan yang aku bilang, Lan? Ini nih yang aku takutin ketika kamu bilang ingin percaya pada kata-kata Tala. Dan, memulai semuanya dari awal kembali untuk memperbaiki kesalahan yang ada. Omong kosong!" kata Lista yang tak bisa menahan kebenciannya pada Tala.Pria yang katanya ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tapi apa? Nyatanya pria itu malah kembali menyakiti sahabatnya, Lana."Seharusnya kam—""
"Lana, tunggu!" jerit Tala yang telah berhasil mengejar Lana dan kini mencengkeram pergelangan tangannya."Kamu jangan langsung ambil kesimpulan secara mendadak begini dong!" lanjut Tala tak suka akan tindakan Lana yang marah dan ingin pergi dari rumah ini.Lana menyentak tangan Tala kuat dan terlepas. "Mengambil kesimpulan secara mendadak Mas bilang?" Lana tersenyum geli mendengarnya, "Mas ini sadar gak sih? Bahwa Mas udah bikin aku kecewa untuk yang kedua kalinya!""Dan, wow! Hebat ya Mas bisa sampai bikin Sally hamil." Lana bertepuk tangan pelan. "Aku salut sama kalian berdua, terima kasih Mas."Lana kembali melangkah melewati Tala yang hanya dapat terdiam di tempatnya. Ia bingung kenapa semuanya tiba-tiba jadi kayak gini."Lana, aku bisa jelasin semuanya!" jerit Tala kembali berusaha mengejar Lana yang kini tengah memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper."Stop, Lan!" Tala
Ting tong....Bunyi bel rumah terdengar nyaring ketika Tala dan Lana tengah menikmati sarapan. Keduanya saling bertatapan, seolah dalam tatapan mereka saling melempar tanya 'siapa tamu yang datang sepagi ini.'"Biar aku saja yang buka, Mas." kata Lana bangkit berdiri dan segera melangkah untuk membukakan pintu buat sang tamu tersebut.Tubuh Lana menegang kaku dengan tatapan horor saat pintu terbuka dan melihat siapa tamu yang datang tersebut ternyata ...."Hai, Tala ada di rumah?" sapa Sally seadanya dan tanpa merasa malu langsung menanyakan keberadaan Tala.Lana melongo tak percaya mendengarnya, wanita di depannya ini sungguh tak tau malu sekali datang ke rumah ini hanya untuk menanyakan suaminya."Hei, ada gak sih Tala di rumah?" tanya Sally lagi merasa kesal karena Lana hanya diam dan terkesan tak mengacuhkannya."Ada apa ya memangnya cari suami saya?" Lana be