Share

6.

Aku segera menepiskan cekalan tangan mas Tala. "Apa, Mas? Mama dan Papa mau datang menginap disini?"

"Ya, dan mereka sudah dijalan menuju kemarin." sahut mas Tala, "aku syok mendengarnya saat Papa menghubungiku. Karena itulah aku pulang cepat untuk langsung mengatakannya padamu."

"Kemana saja kau ini sebenarnya, huh? Nomor ponsel tidak aktif, apa kau tidak tahu betapa paniknya aku hanya untuk menyampaikan berita tentang ini?" ucap mas Tala berang.

Aku terperangah mendengarnya, mas Tala panik tapi bukan padaku melainkan karena tak bisa menyampaikan pesan jika orang tuanya akan datang menginap di rumah kami.

"Maaf, ponselku mati Mas. Kehabisan baterainya sepertinya," tukasku menjelaskan agar mas Tala tak salah paham.

Mas Tala mengibaskan sebelah tangannya, "lupakan. Itu tidak penting sekarang ini, yang terpenting saat ini adalah kita harus membereskan semua kekacauan yang terjadi."

Dahiku berkerut bingung, "kekacauan apa?"

"Ikut aku!" titah mas Tala menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya.

Jalanku terseok-seok mengikuti langkah kaki mas Tala yang cepat-cepat seperti ini.

"Mas, pelan-pelan," cicitku pelan memperingati mas Tala agar sedikit memelankan langkahnya.

Namun bukannya menurut mas Tala malah semakin melangkah lebih cepat dari sebelumnya. Oh, astaga!

Aku terhenyak kaget saat mas Tala ternyata membawaku masuk ke dalam kamarnya. Tempat yang sangat dilarang untuk ku masuki.

"Kenapa kesini, Mas?" tanyaku gugup.

Ada apa gerangan suamiku membawaku kesini? batinku berkecamuk dipenuhi oleh segudang pertanyaan.

"Malam ini kita akan tidur satu kamar," ucap mas Tala mengejutkanku. "Untuk sementara waktu, selama Mama dan Papa menginap disini." imbuh mas Tala menjelaskan maksud dari ucapannya yang mengajakku untuk tidur bersama dalam satu kamar.

Hufffh, padahal tadi aku nyaris memekik senang dengan ajakan mas Tala. Namun setelah tahu alasan yang sebenarnya dibalik ajakan itu aku kembali murung.

"Hei, kau mengerti kan?" tanya mas Tala berdecak kesal.

Aku mengangguk pasrah, "baiklah."

"Sekarang, ayo kita beres-beres."

"Dimulai dari apa dulu?" tanyaku bingung bercampur panik begitu teringat bahwa waktu yang kami miliki tidaklah banyak sebelum mama dan papa mertuaku tiba.

"Pindahin semua barang-barangmu yang ada di kamarmu kesini."

Aku mengangguk dan lekas berlalu menuju kamarku, mengambil semua barang-barangku untuk di pindahin sesuai ucapan mas Tala.

Dua puluh menit ku habiskan hanya bolak-balik dari kamarku ke kamar mas Tala hanya untuk memindahkan barang saja.

"Sudah semua di pindahin kemari?"

"Belum semua, Mas. Masih ada beberapa lagi." sahutku menjawab pertanyaan mas Tala.

"Memangnya barang apalagi yang belum?"

"Uhm, buku-buku novel, komik dan resep makanan, Mas."

"Ya sudah, yang itu biar aku saja yang pindahkan." kata mas Tala yang tak lama gantian dia yang berlalu meninggalkanku sendirian di kamarnya.

Aku memindahkan semua pakaianku ke dalam lemari pakaian mas Tala. Tersenyum puas saat melihat semua pakaianku berdampingan dengan pakaian milik mas Tala.

Semua barang-barang milikku benar-benar seperti menyatu dengan barang-barang milik mas Tala yang lainnya.

Hmm, semoga saja setelah ini kami yang menyatu. Eh, astaga, pikiran kotorku kambuh!

"Kau kenapa?" tanya mas Tala tiba-tiba menganggetkanku.

"Gak ada, Mas." bohongku menggeleng malu saat mas Tala memergokiku yang tengah memukuli pelan kepalaku. Tak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya pada mas Tala.

"Aku sudah memindahkan semua buku-bukumu di ruangan perpustakaanku."

Aku terbelalak mendengarnya, "benarkah? Memang Mas tidak keberatan jika semua buku-bukuku disana?"

"Ya, kalau hanya untuk sementara saja tidak masalah. Setidaknya selama Papa dan Mama tinggal disini. Jadi, kau jangan terlalu percaya diri."

"Iya." sahutku lemah mendengar kata 'hanya untuk sementara'

Tidak bisakah mas Tala menggantinya dengan kata 'untuk selamanya saja?'

"Dan ya, satu lagi...."

"Akhh!" aku meringis perih ketika mas Tala mencengkeram lenganku lumayan kuat.

"Jangan bertingkah aneh saat orang tuaku disini, kau mengerti kan?!" ucap mas Tala menatapku tajam.

Aku balik menatapnya tajam. Tidak, bahkan lebih garang.

"Tingkah aneh seperti apa memangnya?"

"Semuanya. Tingkahmu sangat aneh dan juga menyebalkan."

Aku melepaskan cekalan tangan mas Tala, "sesuai dengan keinginanmu Mas. Aku sudah tidak pernah lagi menyentuh pakaianmu, baik yang kotor maupun bersih. Aku bahkan juga sudah tidak memasak lagi ataupun menyentuh dapur. Begitu kan yang kamu inginkan?!"

"Kalau Mama dan Papa ada disini, maka bersikaplah seperti istri yang sesungguhnya. Kau boleh melakukan tugas-tugas yang tadi kau sebutkan—"

"Aku tidak mau! Kamu yang sudah melarangku untuk melakukan itu semua. Jadi, aku tidak mau!" ucapku lantang menolak permintaannya.

Yang benar saja, dia menyuruh dan juga melarangku sesuka hatinya saja.

Lagian, bukannya semakin bagus jika mertuaku melihat kehidupan pernikahan kami yang berantakan? Kenapa mas Tala malah ketakutan?

"Kau!" Mas Tala mendorong cukup kuat diriku hingga punggungku membentur dinding tembok.

"Awhh!" aku kembali meringis saat punggungku terasa perih.

"Jangan coba-coba kau melakukan itu, kau tahu jika keadaan Papa belum membaik sepenuhnya kan? Penyakit jantungnya bisa kambuh jika dia sampai tahu tentang—" mas Tala tak melanjutkan ucapannya lagi. Dadanya terlihat naik turun seperti menahan gejolak amarah.

Kepalaku seakan terhantam batu besar saat teringat akan sosok papa mertuaku. Hampir saja aku melupakan fakta tentang riwayat penyakit jantung papa.

Tak sepatutnya aku melampiaskannya pada orangtua, yang melukaiku adalah anaknya. Jadi, seharusnya aku membalaskan rasa sakitku pada mas Tala dan bukan yang lainnya.

"Lana, please...."

Ucapan mas Tala membuatku bingung, dan tiba-tiba ia memegang kedua telapak tanganku.

"Tolong rahasiakan tentang hidup pernikahan kita yang sebenarnya dari Mama dan Papaku, ya?"

Aku melepaskan tanganku yang dipegang mas Tala. Aku tahu dia terpaksa memohon begini agar aku luluh dan mau menuruti semua keinginannya. Kalau tidak, mana mungkin ia bersikap selembut ini dan bahkan merendahkan dirinya memohon padaku.

"Aku tidak tahu, semua ini adalah ulah dari sikapmu sendiri Mas. Jadi jangan salahkan aku jika nanti aku tidak bisa tinggal diam." kataku tak ingin menatapnya, "satu hal yang harus kamu tahu Mas, kalau aku punya perasaan sama seperti manusia yang lainnya."

Setelah mengatakan itu aku lekas melangkah pergi dari sana, dadaku terasa sesak apabila lebih lama disana.

Biarlah aku egois kali ini, tetapi bukan berarti aku kalah dan menyerah dengan pernikahan ini. Tidak, aku tidak akan menyerah begitu saja.

Aku hanya ingin melakukan apapun yang aku mau, mengikuti kata hatiku bahwa aku sangat-sangat terluka akan mas Tala.

Lagi, untuk kesekian kalinya aku menangis dalam diam. Entah sampai kapan tangisan kesedihanku akan berubah menjadi tangis haru kebahagiaan.

Apakah sampai sepuluh, dua puluh, lima puluh tahun lagi? Atau bahkan sampai aku tiada akan seperti ini terus? 

Tbc....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status