Share

Terlambat Lagi

“Aku juga tidak tahu.” Adrian menjawab sambi menggidikkan bahu. “Apa aku sudah boleh ‘berduaan’ dengan istriku, sekarang?”

“Jangan! Dia sedang tidur, nanti dia akan merasa aneh jika ‘melakukannya' sekarang. Aku juga belum mengatakan jika ia akan kunikahkan. Aku takut membutuhkan waktu lama untuk membujuknya. Itu sebabnya aku membuatnya tertidur.”

“Tentu tidak, Kak. Aku hanya ingin melihat istriku. Lagi pula aku bangun pagi hari ini, dan aku mulai mengantuk sekarang. Aku ingin tidur di sampingnya.”

“Ya sudah. Ingat! Jangan macam-macam!” Ancam Danu.

Adrian langsung menyeringai sebelum meninggalkan Danu.

“Hai, Istriku,” sapa Adrian sambil melepaskan bantal guling dipelukan Lita secara perlahan.

“Hmm ... kau tidak terlalu jelek rupanya. Aku tentu tidak terlalu kesulitan untuk mencintaimu.”

Adrian langsung mengambil posisi tidur dalam pelukan Lita. Menggantikan bantal guling yang tadi ia ambil. “Hmm ... seperti inikah rasanya tidur dengan istri,” gumam Adrian sebelum masuk ke alam mimpi.

Hingga Adrian bangun pukul lima sore, Lita masih tetap terlelap dalam tidurnya. “Berapa dosis yang kak Danu berikan,” ujarnya sebelum pergi meninggalkan Lita.

Setelah pernikahannya dengan Lita, Adrian sibuk dengan pekerjaannya dan tak sempat berkenalan dengan Lita. Padahal, rencananya ia akan menemui Lita tepat satu hari setelah mereka menikah, tapi itu tidak sempat terlaksana. Hingga akhirnya dua hari setelah mereka menikah, Adrian mendapat telepon dari Danu, bahwa Lukman sudah mengetahui pengkhianatannya dan bergegas untuk mengantarkan Lita ke kantornya.

Adrian yang saat itu sedang mengadakan rapat di kantornya, dengan segera pergi menuju apartemen Danu dan meninggalkan rapat yang tengah berlangsung.

Adrian pergi menggunakan mobil salah satu pegawainya, karena menurut informasi dari Levin, jika semua anak buah Lukman sudah mengenali mobilnya.

“Cepat kerahkan semua orang menuju apartemen Danu!” perintah Adrian pada ajudannya. “Kak, kau akan selamat.” Adrian langsung tancap gas meninggalkan kantornya.

Begitu Adrian akan memasuki area apartemen Danu, dari kejauhan ia melihat Mark, sahabat dari mendiang ayahnya, Rex, mantan pegawainya dan Lee yang merupakan adik dari Lukman, pergi membawa Danu. Tanpa membuang waktu, Adrian langsung mengikuti mobil yang membawa Danu.

“Sebagian ikut denganku dan sebagian berjaga di apartemen. Cukup berjaga dari jarak jauh, jangan sampai Lita mengetahuinya dan membuatnya takut!” perintah Danu melalui sambungan telepon.

“Kak, aku akan membuktikan kehebatan anak buahku,” ujarnya semakin semangat mengikuti mobil yang membawa Danu.

*****

Keesokan harinya, Adrian mendengar kabar dari Levin, bahwa Mark, Lee, dan Rex memberi tahu Lukman jika Danu sudah mati. Adrian hanya menanggapi dengan senyuman sinis, tapi saat Levin menyampaikan berita selanjutnya, bahwa Lukman sedang mencari dan mengincar adik Danu untuk membuunhnya.

“Dasar tua bangka licik, tidak cukup dengan nyawa Kak Danu, sekarang malah mengincar adiknya!” ujar Adrian penuh emosi.

“Levin, Jemput Lita, sekarang!”

“Maaf, Tuan, jika saya lancang. Menurut saya biarkan nyonya tetap tinggal di apartemen, dan untuk sementara waktu Anda tidak perlu menujukan siapa Anda sebenarnya,” usul Levin.

“Kenapa?!”

“Koko baru saja gagal membunuh Anda, tidak mustahil jika dia akan mengincar orang-orang terdekat Anda. Jika dia mengetahui bahwa Nyonya adalah istri sekaligus adik dari Tuan Danu, maka itu akan membuat Koko semakin memburu Nyonya di mana pun.”

“Lalu, apa gunanya kalian, jika tidak bisa menjaga satu wanita saja.”

“Tentu itu sangat mudah bagi kami, Tuan, jika Nyonya mau menerima keberadaan kami. Tetapi bagaimana jika Nyonya menolak kami, karena ia sendiri tidak mengenali siapa kami lalu menganggap kami sebagai bahaya untuknya. Lagi pula ... Nyonya belum tentu menerima pernikahan ini Tuan, maaf.” Levin agak takut-takut mengatakan pendapatnya.

Adrian hanya mengangguk membenarkan pendapat Levin. “Lalu, kapan menurutmu waktu yang tepat untukku memberi tahunya?”

“Maaf, Tuan. Saya tidak bisa memastikan kapan Koko berhenti mencari tahu Nyonya, tapi saya akan memastikan jika Koko tidak akan dapat informasi apa pun tentang Nyonya.”

“Dan ... satu lagi, Tuan, pagi ini Nyonya membuat laporan di kantor polisi.”

“Apa! Cepat cabut laporannya. Katakan pada polisi jika ia sedang mengalami gangguan mental dan sering berhalusinasi.”

“Baik, Tuan.” Levin segera pergi melaksanakan perintah Adrian.

     *****

Dreeeet ... Dreeeet ...

Getaran Ponsel yang ada di meja membuyarkan lamunan Adrian tentang pernikahannya dua tahun lalu. Ia langsung mengambil benda pipih itu untuk menjawab panggilan telepon yang masuk.

“jika tidak penting, aku akan memecat kalian besok. Berani-beraninya mengganggu lamunanku,” geram Adrian.

“Tuan, ada seorang pria yang mencoba masuk ke apartemen Nyonya. Pria itu sudah sejak pukul empat sore mengintai di sekitar apartemen.” Salah satu anak buah Adrian yang sedang berjaga-jaga di apartemen Lita memberikan laporan.

“Cepat tangkap dia dan bawa kesini. Aku yang akan mengurusnya.”

“Baik, Tuan!”

Panggilan pun dimatikan. Adrian kembali menatap buku berlambang Garuda milik istrinya. “jika waktu itu aku tidak memanipulasi laporanmu, si Tua bangka itu pasti sudah mengetahui siapa dirimu, dan itu akan membuat anak buahku kesulitan menjagamu dari jarak jauh. Lagi pula ini sudah dua tahun, kapan si Tua bangka itu berhenti mencarimu,” monolog Adrian sambil memandangi foto istrinya yang ada di dalam buku pernikahan mereka.

Dua tahun setelah kejadian itu, Adrian masih terus menjaga Lita dari jarak jauh, dan sudah beberapa kali pula anak buah Lukman mencari tahu siapa pemilik apartemen bekas tempat tinggal Danu. Sifat Lita yang tertutup dan lebih sering menyendiri membuat anak buah Lukman kesulitan mencari tahu siapa pemilik apartemen itu, karena hampir semua tetangga apartemen Lita yang sebagian terbilang pemilik baru, tidak mengenali apa lagi akrab dengannya.

Selama dua tahun menjaga Lita, hanya satu kali Adrian terpaksa menunjukkan diri di hadapan istrinya. Ketika itu Lita mengalami penjambretan, Adrian terpaksa mendatangi Lita langsung karena saat itu hanya Adrian lah yang paling dekat dengannya, sedangkan anak buahnya berada agak jauh, jadi tidak memungkinkan untuk mereka menolong Lita dengan segera.

Hampir di setiap acara istimewa Lita, Adrian selalu menghadirinya. Saat Lita wisuda, Adrian sudah datang satu jam sebelum kedatangan Lita. Bahkan, ketika itu Lita memarkirkan mobilnya jauh dari mobil Adrian, tapi Adrian langsung memindahkan mobilnya dekat dengan mobil Lita. “kenapa mencari tempat yang jauh dari jalan keluar," gerutunya kala itu.

Selama dua tahun pula, Adrian mencoba menimbulkan perasaan cinta di hatinya, meskipun belum terlalu besar perasaan cintanya saat ini, tapi ia tidak akan rela jika ada lelaki yang mendekati Lita. Di matanya, Lita bukan lah gadis yang banyak tingkah dan banyak maunya. Meskipun Lita adalah orang yang tidak mudah bergaul, tapi dia juga bukan orang yang sombong, tipe gadis seperti itu sudah cukup layak untuk dicintai menurut Adrian.

“Kak, aku akan membangun rumah tangga yang bahagia dengan Lita, sesuai dengan permintaanmu, kau tidak perlu khawatir lagi,” ucap Adrian sambil memandang foto masa kecilnya bersama Danu di dinding tepat di hadapannya, kemudian matanya beralih memandangi foto gadis yang disandingkan dengan fotonya di dalam buku berlogo garuda.

“Mulai besok, kita akan sering bersama. Aku akan membuat kau mencintaiku meskipun saat ini tidak ada cinta di hatimu.” Adrian langsung terkekeh saat mengingat wejangan dari Danu dulu.

Di sudut kamar lainnya, seorang wanita yang akan beranjak tidur menyempatkan diri untuk melihat foto pria yang kemarin dipuja para sahabat kampusnya dan membuat heboh grup pertemanan mereka.

“Mulai besok kita akan sering bersama. Aku akan sedikit mempersulit kehidupanmu, hingga aku bisa membalas semua dendamku,” ucapnya sambil memandangi foto pria yang sudah ia perbesar.

Kemudian Lita menaruh ponselnya di laci nakas yang ada di samping tempat tidurnya, bersamaan dengan Adrian yang juga menaruh buku kecil yang sejak tadi ia ajak bicara ke dalam laci mejanya.

“Kita akan menjalani hari-hari yang menyenangkan mulai besok,” ucap Adrian dan Lita bersamaan. Namun di tempat yang berbeda dan dengan makna yang berbeda pula.

*****

Pagi ini, lagi-lagi Lita bangun kesiangan. Padahal semalam, setelah asyik menonton serial India dia tidur lebih awal tanpa bermain ponsel terlebih dahulu, tapi tetap saja ini sudah termasuk siang untuk jam kerja pada umumnya.

“Aduh! Bagaimana ini. Kenapa aku tidak bangun pukul enam pagi, padahal aku sudah menyalahkan alarm,” gerutunya pada diri sendiri. “Aah ... Ini sudah jam tujuh sedangkan jam masuk kantor jam delapan lebih tiga puluh menit. Aku harus cepat.” Lita langsung bergegas membersihkan dirinya dan bersiap untuk berangkat.

Sebelum keluar kamar, Lita menyempatkan diri mencium foto Danu “Bang, doakan aku, ya, Bang,” pamit Lita kemudian keluar unit apartemen sambil berlari.

Selama di dalam mobil, selain sibuk menatap jalanan, Lita juga sibuk merapikan dirinya. Menyisir, menguncir rambut, dan make-up ia lakukan sambil menyetir.

Begitu tiba di parkiran kantor Lita lagi-lagi berlari memasuk lift dan mengundang tatapan heran dari orang-orang yang dilaluinya begitu juga dengan semua orang yang berada satu lift dengan. Lita berusaha mengabaikan semua tatapan heran yang menuju padanya walaupun wajahnya sudah memerah menahan malu.

Begitu pintu lift terbuka di lantai yang ia tuju, Lita langsung melesat berlari menuju ruangan Adrian. Karena terburu-buru, Lita langsung masuk tanpa mengetuk pintu ruangan Adrian terlebih dahulu.

“Maaf, Pak, saya terlam ... bat.” Lita terkejut begitu melihat empat orang berdasi rapi yang ada di ruangan Adrian menatapnya secara bersamaan.

“Silahkan tunggu di luar, di meja kerjamu yang ada di depan ruangan saya,” perintah Adrian kemudian melanjutkan pembicaraannya kembali dengan para kepala staf kantornya setelah Lita menutup pintu.

Setelah Lita menutup pintu, Lita langsung duduk di meja yang dikatakan Adrian. Ada sedikit yang berbeda dengan posisi meja saat ini dengan yang kemarin Lita lihat. Jika kemarin posisinya lebih ke kanan dan benar-benar tepat berada di depan pintu, sedangkan hari ini lebih ke kiri tidak sejajar dengan posisi pintu.

“Ah ... Tidak perlu memikirkan meja, yang terpenting sekarang aku harus bersiap-siap dimarahi olehnya. Ck ... Aku memang anak buah yang buruk.” Lita langsung duduk di kursi yang ada di dekat meja.

Begitu Lita duduk, pandangan langsung menghadap meja kerja Adrian yang hanya dihalangi kaca jendela itu pun hampir tidak terlihat. “Ck ... kenapa meja ini harus menghadap ke sana,” gerutu Lita.

Sambil menunggu orang-orang yang ada di ruangan Adrian keluar, Lita bingung harus berbuat apa dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. “Bang, aku harus apa?” tanyanya pada sebuah foto yang baru saja dipajang di meja kerjanya.

Setelah dua puluh menit menunggu, akhirnya orang-orang yang ada di dalam ruangan Adrian keluar, dan lima detik setelah pintu di tutup Lita mendengar panggilan melalui interkom yang ada di mejanya.

“Masuk!” Lita langsung menuruti perintah bosnya untuk segera ke ruangannya.

“Pagi, Pak,” sapa Lita.

“Pukul berapa jam masuk kantor?”

“Pukul tujuh lebih tiga puluh menit, Pak,” jawab Lita sedikit takut.

“Lalu pukul berapa kamu datang?”

“Pukul de-delapan lebih dua puluh menit, Pak.”

“Berapa menit kamu terlambat?”

“Lima puluh menit, Pak. Maaf.”

“Apa kamu sudah sarapan?”

“Be-sudah, Pak.” Lita terpaksa berbohong.

“Apa sarapanmu terlalu enak atau terlalu banyak sampai membuatmu terlambat?”

“Tidak, Pak. Tadi saya ....“ Lita bingung harus berkata apa. Ia juga menyesali kenapa tadi ia tidak bilang belum sarapan saja agar tidak jadi pertanyaan lagi.

“Apa kamu tahu, aku pernah memecat pegawaiku karena ia terlambat lima menit.”

“Maaf, Pak, saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”

“Apa kamu tidak memperhatikan penampilanmu sebelum pergi?”

“Apa wajah saya terlihat tidak rapi, Pak?” refleks Lita langsung bertanya mengenai wajahnya karena memang tadi ia tidak sempat bercermin.

“Apa penampilan hanya dari wajah?” Adrian membalas pertanyaan dengan pertanyaan.

Lita langsung melihat pakaian yang ia pakai. Kemeja berwarna jingga dan rok span sebatas lutut berwarna hitam menurutnya itu sudah kombinasi yang pas untuk pakaian seorang sekretaris. “Apa kemeja dan rok yang saya pakai tidak sesuai, Pak?”

“Apak penampilan hanya dilihat dari pakaian saja?” tanya Adrian semakin ambigu.

Lita hanya bisa melihat pakaian dan meraba wajahnya saja karena tidak tersedia cermin di ruangan Adrian.

“Apa kaki bukan termasuk penampilan?” Adrian kembali bertanya karena melihat Lita kebingungan mencari kekurangannya.

Lita langsung melihat ke arah kakinya, lalu memejamkan mata malu setelah melihat jari-jari kakinya masih ditutupi sandal santai bermotif Hello Kitty dengan bulu-bulu yang terlihat lembut bila disentuh. “Pantas saja sejak tadi suara kakiku terdengar halus,” batin Lita.

“Maaf, Pak, tadi saya benar-benar terburu-buru, jadi lupa memakai sepatu.” Untuk ke sekian kalinya Lita meminta maaf pagi ini.

“Duduklah!” perintah Adrian sambil menunjuk sofa dengan dagunya.

Tanpa basa basi, Lita langsung menuruti perintah Adrian.

“Belikan sepatu pantofel untuk wanita. Nomor 40,” perintah Adrian melalui sambungan telepon, tanpa bertanya ukuran sepatu Lita terlebih dahulu.

Adrian langsung duduk di samping Lita setelah mematikan sambungan teleponnya. “Apa kau sudah sarapan?” Adrian mengulangi pertanyaannya.

Lita bingung harus menjawab apa. Jika ia jawab belum nanti akan dibilang berbohong karena tadi dia menjawab sudah. Jika ia bilang sudah, maka nanti akan jadi pertanyaan lagi setelah ia menjawab.

“Eeee ....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status