Camille berhasil keluar dari rumah tanpa membangunkan siapapun, kaki jenjangnya berlari ke arah jalanan dan menumpang mobil angkutan umum yang membawanya ke Positano. Camille belum pernah datang ke Positano tetapi bukan berarti dia tidak bisa membaur atau mencium aroma uang dan harta yang tersimpan di dalam rumah-rumah orang kaya yang tampak megah dan mewah juga sunyi.
Setelah membayar jasa angkutan, Camille berjalan menyusuri jalanan dan ketika tiba di tempat sepi, gadis muda itu langsung memakai cadar kain hitam untuk menutupi separoh wajahnya. Kemudian, meloncati pagar lalu berjalan cepat, mengendap dan mata indahnya sangat waspada mengenali serta menandai sekelilingnya.
Camille menemukan sebuah rumah yang menarik perhatiannya, berada di tepi jurang. Sekeliling rumah terdapat bebatuan seperti batu karang, seakan membingkainya dengan kokoh juga sangat indah. Rumah yang hanya beberapa meter dari tempatnya saat ini berdiri dalam kegelapan.
Cukup lama Camille mengamati pemandangan rumah megah tersebut, memperhatikan pencahayaannya yang temaram seakan hanya memberikan sedikit perlawanan akan gelapnya malam yang turun semakin pekat.
“Masuk atau tidak?” Camille bermonolog sambil mengetuk-ngetuk posisi hatinya dengan telunjuk runcingnya.
Setelah mengambil napas sejenak, malam juga sudah semakin larut, akhirnya Camille memutuskan untuk masuk ke rumah megah di tepi jurang tersebut.
Camille mendengar penjaga di pintu gerbang masuk rumah megah mendengarkan radio, sehingga mempermudah pergerakannya untuk bisa masuk menyelinap memanjat dari pagar samping rumah yang gelap.
“Ku harap bisa mendapatkan sedikit uang dari sini agar bisa membeli vitamin untuk Abram,” gumam Camille seraya mencongkel jendela kaca berbingkai kayu di depannya.
Jendela kaca terbuka dengan mudah dan Camille sudah melompat masuk ke dalam ruangannya. Tanpa Camille duga, di dalam rumah juga sangat minim penerangan, seperti kediaman yang tidak ditempati oleh penghuninya.
Camille sedikit merasa kecewa, jika rumah tersebut tidak berpenghuni, apa mungkin dia bisa mendapatkan sedikit uang untuk dia curi?
“Sepertinya aku lapar jadi penciumanku akan uang sedikit gagal,” gumam Camille masih berusaha menyusuri ruangan tengah rumah megah.
Telinga Camille yang sensitif mendengar suara langkah kaki. Hal tersebut menerbitkan senyum manis di balik kain cadarnya.
Camille berpaling untuk mencari sumber suara kaki lalu mengikutinya perlahan-lahan.
“Apaaaa? Dia juga mencuri, sama sepertiku? Hmm …sepertinya penciumanku tidak salah! Rumah ini menyimpan uang banyak,” bathin Camille saat dia melihat orang yang dia ikuti berpakaian hitam ketat melekat pada tubuh, menggunakan topi dan penutup wajah yang juga berwarna hitam.
Camille bisa menebak dari postur tubuh serta otot lengan orang di depannya tersebut adalah seorang laki-laki. Pria itu berjalan ke salah satu ruangan yang gelap. Terdapat sinar laser menyala merah di dalam ruangannya, yang menandakan jika ruangan tersebut adalah tempat penyimpanan uang atau harta berharga.
Camille tidak ingin harta berharga seperti berlian atau apapun. Dia hanya membutuhkan uang. Uang cash! Agar bisa segera digunakan untuk membeli vitamin Abraham.
Sang pria di depan Camille menekan salah satu dinding dan semua sinar laser seakan menarik diri dari benang-benangnya, menyisakan cahaya merah yang masih menyala redup pada benda hitam yang menempel di dinding.
Sang pria berjalan ke salah satu dinding dan mengetuk-ketuk ringan pada dinding di depannya tersebut. Tidak lama kemudian, dindingnya terbuka memperlihatkan brangkas baja yang seperti tertanam dalam dinding. Camille terus memperhatikan apapun yang dilakukan sang pria dan juga merekamnya di dalam kepalanya. Bukan hal tidak mungkin jika suatu saat nanti, dia akan kembali ke rumah megah ini jika aksi yang mereka lakukan malam ini aman terkendali.
Terdengar decakan suara sang pria saat melihat tumpukan uang yang masih berupa gepokan-gepokan dengan label bank melilitnya, juga ada dokumen dan beberapa kotak sepertinya berisi perhiasan yang bisa terlihat dari tempat Camille bersembunyi saat ini.
“Sstt, sstt!” bibir sang pria berdesis seperti kode memanggil seseorang.
Camille langsung waspada, tetapi dia tidak melihat siapapun di sekitarnya sebagai rekan dari sang pria. Kening Camille berkerut dan berpikir apakah dirinya diketahui oleh sang pria?
Belum selesai Camille berpikir berbagai kemungkinan, dia di kejutkan oleh lemparan dua gepokan uang ke depannya dari sang pria.
Camille memandangi uang yang terlihat berkilau bagaikan berlian di depannya sejenak, lalu melihat ke arah sang pria yang mengangguk ke arahnya.
“Sial, dia mengetahui aku mengikutinya!” gerutu Camille dalam kepalanya.
“Ambil dan cepat pergi sebelum bulan muncul menerangi kediaman ini!” ucap sang pria yang membuat Camille semakin terkejut karena suara pria tersebut yang berat dan serak sangat familiar di telinganya.Tanpa bertanya dan berpikir panjang, Camille mengambil dua gepokan uang di depannya dan langsung memasukkan ke kantong ajaibnya yang terletak pada bagian depan pinggangnya.
Camille langsung bergerak mundur dengan cepat, kembali ke tempat dia masuk pertama kali tadi yang masih aman. Gadis itu segera turun melalui jendela dan melompati pagarnya kemudian berlari tanpa melihat ke belakang namun sangat waspada memindai sekelilingnya agar tidak terpergok orang lain.
Setelah agak jauh, Camille membuka penutup kepalanya, menurunkan ikatan rambut di puncak kepalanya sehingga rambut panjangnya tergerai indah jatuh melewati bahu sampai ke punggungnya.
Camille juga membuka lengan panjang berwarna hitamnya, melipat dan menyimpan di pinggang, membuatnya seperti bidadari yang turun di bawah cahaya bulan. Benar, bulan sudah muncul seperti prediksi pria yang juga mencuri di rumah megah tepi jurang.
Camille melihat seorang pemuda menggunakan sepeda motor yang menuju ke arahnya dan dia coba hentikan.
“Boleh aku membayarmu untuk mengantarkan aku?” tanya Camille mencoba sedikit gaya menggoda seperti yang pernah dia lihat para gadis menggoda pria.
Sang pemuda tersenyum, dia memperhatikan penampilan gadis muda di depannya sama sekali tidak mirip wanita malam. Tetapi mungkin saja dia bisa mendapatkan jackpot malam ini. Tidak ada pemuda yang tidak menyukai gadis cantik apalagi gadis yang menghentikannya jauh melebihi dari kata cantik.
“Tentu! Kamu ingin aku mengantarmu kemana?” tanya sang pemuda pada Camille.
“Aku tidak ingin dianggap berbohong, jadi aku akan membayarmu di depan. Ikuti saja arahanku, bagaimana?” ucap Camille sambil mengeluarkan selembar uang kertas dalam kantong penyimpanan senilai Seratus Euro dan memberikannya pada si pemuda yang semakin tersenyum merekah menerima uang dari tangan gadis yang mencegatnya tersebut.
“Oke, naiklah!” sahut sang pemuda sedikit memajukan duduknya agar gadis cantik di depannya bisa duduk leluasa pada boncengan motornya.
“Aku perlu mengambil jaket di rumahku dulu, apakah kamu keberatan? Dan aku juga memiliki jaket lain untuk kamu pakai, gratis!”
“Baik, cepatlah! Jangan coba-coba membohongiku karena aku bisa mengirimkan mantra untuk membunuhmu! Aku adalah seorang penyihir,” cetus Camille yang ditanggapi gelak tawa sang pemuda.
“Luciano Caruso, siapa tau nanti kamu membutuhkan namaku untuk memantraiku,” ujar sang pemuda masih sambil tergelak.
Motor Luciano berbelok ke salah satu gang kecil yang terdapat tangga untuk untuk naik pada bagian luar sebuah rumah susun dalam gang tersebut.
“Tunggu di sini, aku tidak akan lama!”
Lima menit kemudian, Luciano turun kembali sudah memakai jaket kulit tebal pada tubuhnya dan menenteng satu jaket lagi yang dia berikan untuk Camille.“Siapa namamu?” tanya Luciano setelah motornya dengan Camille duduk pada boncengannya, kembali membelah jalanan yang kini semakin terang oleh cahaya bulan yang benderang.
“Linda! Linda Pavarotti,” jawab Camille cepat yang langsung terpikirkan nama itu dalam kepalanya.
“Nama yang sangat cocok untuk gadis secantik kamu, Linda!”
Luciano terus mengajak Camille berbincang dan tanpa terasa, mereka telah memasuki daerah Sorrento. Motor Luciano terus melaju mendekati ruko tempat tinggal Camille tetapi gadis itu sengaja meminta berhenti sedikit jauh dari tempat tinggalnya.
Camille kembali memberikan dua lembar seratus Euro ke Luciano sebagai bayaran dan terima kasihnya pada pemuda itu.
“Ini terlalu banyak! Aku bahkan tidak merasa sedang di sewa karena aku senang mengantarkanmu ke sini. Ku harap kita bisa bertemu lagi,” Luciano menolak uang yang di sodorkan Camille padanya.
“Baiklah! Kalau begitu, ambillah satu lembar ini agar aku tidak merasa berhutang budi!” pinta Camille yang akhirnya di terima oleh Luciano.
Setelah Camille turun dari boncengannya, Luciano melajukan motornya ke arah café Lemoncello menuju ke sebuah rumah yang tidak jauh dari café dan langsung memasuki rumah tersebut menggunakan kunci yang dia miliki dengan senyum terkembang pada wajah tampannya.
Camille bangun kesiangan dengan kantung mata bergelantung tebal di bawah matanya. “Hei, kamu tidak pergi bekerja hari ini?” tanya Solenne begitu melihat Camille keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. “Bekerja, Bibi!” sahut Camille cepat lalu menutup pintu kamar mandi dan mandi dengan sangat cepat. “Apa yang kamu lakukan semalam, gadis kecil?” cetus Solenne sambil menyiapkan sarapan untuk putrinya tersebut. Camille tidak menjawab pertanyaan ibu angkatnya itu, sudah masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian dengan terburu-buru lalu segera keluar lagi, bersiap pergi bekerja. “Bibi …maaf, aku tidak sempat sarapan,” “Kalau begitu, kamu bisa membawanya! Kami semua sudah sarapan, Pamanmu dan Abraham sedang pergi terapi mandi air laut tadi,” sahut Solenne dengan telaten dan gesit memindahkan sandwich ke dalam tempat makanan dan memasukkannya ke dalam tas Camille. Mata Solenne terbelalak melihat dua gepok uang, pecahan seratus Euro ada di dalam tas putrinya tersebut yang dia sedan
Camille melangkah masuk ke dalam ruangan Dokter wanita yang tersenyum hangat menyambutnya. “Hallo …” sapa Camille sopan pada Dokter yang tersemat nama Elma pada dada jas Dokternya. Dokter Elma mengangguk pada Camille dan mempersilakan gadis muda di depannya untuk duduk. “Abraham?” “Itu nama saudaraku. Bagaimana, apakah saya bisa mendapatkan vitaminnya di klinik ini?” tanya Camille hati-hati dan berdoa di dalam hatinya, berharap mendapatkan vitamin untuk Abraham. Dokter Elma kembali mengangguk, “Bagaimana kondisinya? Jika memungkinkan, bawalah ke sini. Kebetulan saya juga bekerja pada yayasan kemanusiaan yang berfokus membantu penderita ODHA. Kalian bisa mendapatkan diskon harga untuk vitamin juga pengobatan khusus penderita ODHA,” ucap Dokter Elma sedikit meneliti keadaan Camille yang sederhana namun kecantikannya seperti mengingatkannya pada seorang sahabat lama. “Yang saya lihat, keadaannya baik-baik aja. Apakah siang ini Dokter masih berada di Klinik ini, saya bisa pulan
“Pergilah bersamanya, aku akan menutup toko kita dulu,” cetus Dylan pada Solenne sambil melirik Camille yang mengikuti pria tampan di depannya tanpa ragu. Ada berbagai macam pertanyaan dalam benak Dylan dan Solenne mengenai pria yang datang membantu Abraham tersebut tetapi mereka akan memendamnya dulu, sampai Camille bisa terbuka untuk bercerita pada mereka. Martin membukakan pintu kursi penumpang depan untuk Solenne duduk karena Camille dan Abraham duduk di kursi belakang. “Apakah kepalamu pusing?” Camille bertanya kuatir dan menyandarkan kepala Abraham pada bahunya. Martin sudah melajukan mobilnya menuju rumah sakit besar yang ada di Sorrento. “Aku sudah berjanji pada Dokter Elma di klinik Giovanna untuk membawa saudaraku ke sana,” ucap Camille saat melihat arah mobil Martin tidak menuju ke klinik Giovanna. “Aku bisa menghubunginya untuk datang ke rumah sakit.” sahut Martin yang langsung melakukan panggilan ke Dokter Elma melalui ponselnya untuk datang ke rumah sakit tanp
Martin keluar dari kamar mandi dengan rambut di kepalanya masih lembab dan tangan Camille memegang gulungan tisu yang dia bawa keluar dari ruangan menuju Solenne. Wajah Solenne terlihat sangat kuatir. Dia masih berjalan bolak-balik, entah jika kalau direntangkan dan diukur sudah berapa meter jalanan yang sudah dia tempuh saat bolak balik di lorong rumah sakit lantai VIP tersebut, menunggu Camille dan pria tampan yang membawa putrinya itu ke kamar mandi sebelumnya. Inginnya Solenne masuk mendobrak pintu kamar mandi tetapi itu akan menunjukkan dirinya adalah seorang Ibu yang bodoh untuk putrinya. Sehingga dia memutuskan menunggu dengan berjalan bolak-balik. "Kalian baik-baik aja?" Solenne bertanya cemas melihat Camille terlebih dahulu lalu menatap ke arah pria di samping putrinya tersebut. "Uhm, kami baik-baik aja. Dia jatuh saat di kamar mandi dan dia memiliki alergi aneh sehingga aku perlu menyiram kepalanya dengan air kran," sahut Camille yang terdengar cukup meyakinkan. Camill
Sebelum tengah malam, Martin datang ke rumah sakit setelah sejak sore dia sibuk di perkebunannya dan mengadakan rapat darurat dengan para leader para pekerjanya. Martin mendengarkan semua keluhan, saran serta pendapat para leadernya mengenai masalah yang terjadi pada panen lemon mereka. Martin memang seorang pemimpin yang sangat bijaksana dalam mengambil keputusan. Dia tidak ingin para pekerjanya bekerja lelah tanpa mendapatkan hak mereka, juga dia sangat loyal pada pelanggannya. Martin rela membeli buah lemon bagus sebagai ganti lemon pelanggan yang terlanjur membeli lemon gagal panen mereka. Hal tersebut membuat Martin mengalami kerugian tetapi dia adalah pria dewasa dengan pemikiran matang, berbisnis bukan hanya demi uang namun lebih kepada memberikan pelayanan terbaik. Tidak heran dengan pola pikir Martin tersebut, membuatnya menjadi pemilik perkebunan lemon yang sangat luas dan semakin meluas setiap tahunnya bukan hanya ada di Sorrento tetapi juga pada daerah lain di Italia.
Pierre segera meminta Luciano untuk membawa Carla yang terluka akibat jatuh dari tangga ke rumah sakit terdekat. "Kamu ga apa-apa?" Pierre menghampiri Camille yang wajahnya masih sedikit pucat saat melihat Carla terjatuh berguling di tangga batu. Jika Carla tidak menggantikan Camille membawa nampan berisi peralatan makanan kotor, mungkin dia lah yang akan terjatuh di sana. Atau seandainya Camille menuruni tangga terlebih dahulu, dia lah yang akan berguling-guling jatuh lebih dulu ke lantai bawah. "Uhm, aku ga papa!" sahut Camille tetapi suaranya sangat kecil seakan teredam dalam tenggorokannya yang masih merasa sedikit syok. Camille tidak mau menuduh Donna atau siapapun karena setelah Carla jatuh, Luciano berkata jika lantai tangga batunya basah juga licin. Camille lah yang bertugas membersihkan dan mengepel tangga batu pagi tadi dengan cairan yang biasa digunakan. Camille dan Martha serta tamu lain bisa naik ke lantai atas tanpa merasakan sesuatu pada tangganya, namun orang t
"Cammie," Luciano berdehem setelah memanggil Camille yang merapat duduk diboncengannya. "Ada apa?" sahut Camille dari atas bahu Luciano. "Pegangan erat, hehe ..."Spontan Camille memukul pundak pria muda yang sedang menggodanya tersebut. Namun dengan cepat tangan Luciano menarik kembali tangan Camille agar melilit pinggangnya. "Serius, ada yang ingin ku tanyakan padamu, boleh kita berhenti dulu sebentar di depan sana?" Tidak ada jawaban dari Camille, akhirnya Luciano berinisiatif pergi ke sebuah tebing tinggi, tempat banyak orang melihat pemandangan laut di malam hari dan terdapat beberapa kursi batu untuk tempat duduk bersantai."Kamu mau bertanya apa?" Camille menatap Luciano yang berjalan ke arahnya dari membeli dua botol kopi kemasan kaleng di salah satu penjual yang ada di dekat tebing tersebut.Luciano memberikan satu botol kopi dingin ke tangan Camille dan membuka botol miliknya untuk dia tenggak membasahi tenggorokannya. Lalu mendudukkan bokongnya di sebelah Camille duduk
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Luciano pada Camille melalui sambungan telpon radio di telinga Camille. "Deg-deg-an seperti olahraga bungee jumping!" sahut Camille berbisik yang dilirik Pierre dengan senyuman. "Aku akan mengajakmu bungee jumping nanti," cetus Pierre tertawa kecil di balik topeng masker transparan yang di pakainya. Brangkas besi berisi penuh dengan uang kertas pecahan 100 Euro, di depan Camille sudah terbuka oleh Luca dan Pierre, menggunakan alat khusus yang bisa membentuk lubang seukuran diameter 15cm."Ayuk pindahkan cepat, sisakan sedikit saja," ucap Pierre memberikan tas kantong kain berwarna hitam dari bahan sutra terbaik pada Camille. Dengan semangat Camille meraup memindahkan uang-uang kertas di brangkas masuk ke dalam tas kain di tangannya, sementara Pierre dan Luca melanjutkan membobol brangkas lainnya secara acak. Mereka berada di dalam gedung sebuah bank swasta milik seorang pengusaha kaya di Roma, David Carle. Bukan tanpa alasan Pierre memilih aset David