Share

6. Rencana Pencurian

Sama seperti hari sebelumnya, cafe Lemoncello ramai didatangi pengunjung yang ingin makan siang, makan camilan atau sekedar kongkow istirahat. Camille merasakan tatapan Donna sedikit tidak biasa memandangnya tetapi gadis itu berusaha bersikap cuek agar tetap profesional dalam melayani pelanggan yang datang ke Lemoncello. 

Menjelang sore, Pierre tiba di cafe dan langsung mencari Camille sambil tersenyum lebar. 

“Hai, sibuk?” goda Pierre melihat Camille di lantai dua cafe, baru saja selesai membersihkan salah satu meja yang di tinggalkan pelanggan agar bersih untuk pelanggan berikutnya. 

“Hai juga. Kamu baru datang?” sahut Camille sambil berjalan menyimpan peralatan bersih-bersih ke tempatnya diikuti Pierre di belakangnya. 

“Tadi Martin ke sini?” tanya Pierre mengabaikan pertanyaan Camille dan dia menatap lekat ke dalam mata gadis di depannya itu.

 

Camille menoleh dan ikut menatap mata Pierre, “Uhm, tapi dia segera pergi. Apakah ada masalah dalam pasokan lemon ke cafe?” Camille bertanya balik, kuatir terjadi masalah karena sikapnya pada Martin tadi di mobil. 

Kepala Pierre menggeleng, “Tidak ada masalah.” jawabnya cepat.

Pierre mengajak Camille turun ke lantai satu cafe dibawah tatapan tidak suka dari Donna yang bisa Camille rasakan. Camille membutuhkan pekerjaan di Lemoncello tersebut sebagai alibi untuk pekerjaan sambilannya jadi dia memutuskan mengabaikan apapun sikap Donna padanya.

 

“Hari ini kamu bisa pulang cepat,” ucap Pierre sambil tersenyum pada Camille yang menoleh cepat padanya. 

“Apakah aku di pecat?”

 

Pierre tertawa terbahak tetapi kemudian segera menutup mulutnya dengan satu tangan, “Tidak, Cammie! Hari ini ada pasokan lemon datang dan cafe kita akan tutup lebih awal. Kamu tidak perlu ikut mengangkat lemon-lemon itu, karena itu pekerjaan laki-laki.” jelas Pierre akan alasan Camille diijinkan pulang cepat sambil melirik ke lengan ramping gadis lugu nan polos di hadapannya. 

Camille menyadari arah tatapan Pierre yang berpikir dia tidak memiliki tenaga untuk membantu mengangkat lemon-lemon, “Aku bisa membantu,” cetusnya sambil membelai lengannya sendiri. 

Pierre menggeleng cepat. “Ikuti perintahku atau kamu mau benar-benar aku pecat, Cammie?” seringai Pierre menahan tawa di wajahnya. 

“B-baik, Boss!” Camille akhirnya menyahut dan menggeleng cepat. 

Pierre tertawa kecil melihat tingkah Camille dan gadis itu juga ikut tersenyum kecut, menyadari jika dirinya sudah di goda oleh Pierre.

Sementara itu Luca ikut mencuri-curi pandang pada Camille yang dimatanya terlihat sangat lugu tetapi sudah berhasil membuat seorang Pierre Bastien tertawa tidak memalingkan tatapannya ke arah lain.

Di tempat lain, Carla ikut tersenyum melihat keluguan Camille yang digoda oleh Pierre. Gadis yang usianya sama dengan Pierre tersebut ikut senang melihat bos tampan mereka bisa tersenyum dan tertawa ceria. 

Akhirnya jam pulang kerja Camille, Carla dan Donna tiba. Camille berpamitan dengan Pierre dan Luca sebelum melangkah pulang. 

Matahari sore bersinar cerah, tampak megah di langit yang condong ke arah barat dan sinarnya masuk ke halaman serta ke depan cafe Lemoncello dari arah samping.

Aroma air laut yang asin dan wangi semerbak memenuhi udara.

Camille melangkahkan kakinya dengan ringan berjalan kembali pulang ke rumah orangtua angkatnya. 

“Cammie!” panggil Carla yang sedang berjalan bersama Donna di belakang Camille. 

“Ya?” sahut Camille menghentikan langkahnya, menoleh melihat ke arah Carla dan Donna sambil tersenyum tipis. 

Camille bisa melihat Donna memalingkan wajahnya menatap laut sambil mendengkus kasar. 

“Kami akan pergi hangout di cafe atas, kamu mau ikut bersama kami?” ajak Carla sudah sampai di depan Camille dan menunjuk arah cafe yang belum Camille ketahui seperti apa tempat tersebut. 

Camille menggeleng pelan, “Tidak, aku harus membantu orangtuaku di rumah. Terima kasih Carla! Permisi,” jawab Camille sopan dan mempertahankan senyum tipis di wajahnya pada Carla juga Donna. 

“Kamu ada apa dengan Camille? Kok wajahmu ketus masam begitu?” tegur Carla pada Donna yang bisa di dengar oleh Camille tetapi gadis itu pilih tidak ambil peduli. 

Camille sudah terbiasa tidak memiliki teman ataupun sahabat. Satu-satu sahabatnya selain Dylan dan Solenne, orangtua angkatnya adalah Abraham.

Abraham yang kini mengidap penyakit serius karena kehidupannya sebelumnya sebagai pengemis jalanan juga memiliki wajah rupawan, sering menjadi objek sex bebas pria yang memberikan makan dan tempat tinggal padanya.

Bergegas Camille berjalan pulang yang meskipun bisa terlihat tempat tinggal kedua orangtuanya di tepi pantai bawah tapi untuk berjalan kaki membutuhkan waktu empat puluh lima menit dari cafe Lemoncello sampai ke rumah. 

“Bibi …” panggil Camille menggoda Solenne yang sedang membuat penganan pesanan dari beberapa pelanggan juga turis di toko mereka. 

Solenne langsung tertawa cerah mendengar suara putrinya yang renyah. 

“Kamu pulang cepat, apakah kamu membuat masalah?” tanya Solenne menatap lekat ke wajah putrinya yang tersenyum tipis meletakkan tasnya di dalam toko dan langsung ikut membantu melayani pelanggan di depan toko mereka. 

“Aku anak baik, tidak pernah membuat masalah. Jangan kuatir, hari ini Bos Tampan menyuruh semua pekerja pulang cepat karena ada stok barang yang masuk ke cafe,” sahut Camille kemudian bertanya pada pelanggan di depannya apa yang bisa dia bantu. 

Camille yang muda, cantik dan sangat manis dengan kedua lesung di pipi montoknya sangat menyenangkan mata juga gesit dalam bekerja melayani para pelanggan. 

“Kamu memiliki putri yang cekatan dan sangat manis,” puji salah satu pelanggan pada Solenne dan tatapannya tidak berhenti memperhatikan Camille. 

“Terima kasih, Nyonya! Putriku memang sangat cekatan dan manis juga pembelajar yang giat,” cetus Solenne menjawab pujian pelanggannya. 

Camille tetap cuek mendengar pembicaraan dan pujian siapapun padanya. Dia adalah gadis yang tidak peduli meskipun banyak orang menyebutnya sangat cantik dan manis tidak mirip Solenne ataupun Dylan. Bagi Camille, dia sangat mirip dengan kedua orangtua angkatnya tersebut, terutama Dylan. 

“Hei, kamu pulang cepat!” sapa Abraham dan Dylan bersamaan pada Camille yang sedang duduk pada salah satu kursi dengan kedua kaki terbuka lebar dan punggung tersandar. 

Dylan dan Abraham baru saja kembali dari membeli stok buah kelapa yang laris manis terjual di toko mereka. 

“Ya, Lemoncello tutup lebih awal jadi aku pulang cepat,” jawab Camille bangkit dan berjalan menyambut ke depan mobil pikap sewaan untuk membantu Dylan menurunkan kelapa dan membawanya ke dalam toko.  

“Abram, minggir, istirahat sana, biar aku yang membantu Paman!” cetus Camille pada Abraham agar tidak ikut mengangkat barang berat, kuatir anak remaja itu akan kembali sakit nantinya. 

Camille sudah menurunkan karung-karung berisi kelapa bersama Dylan dan dia benar-benar tidak mengijinkan Abraham untuk ikut membantu. 

Solenne dan Dylan juga tidak pernah membuat Abraham bekerja berat atau kelelahan membantu mereka, tentu saja kedua orang itu setuju dengan ketegasan dan ucapan Camille pada Abraham. 

“Kamu sudah minum vitaminmu rutin hari ini, Abram?” tanya Camille yang akan selalu dia tanyakan pada Abraham. 

Abraham mengangguk dan tersenyum tipis, “Sudah, Camille cantik yang bawel! Sampai kapan baru kamu akan berhenti mencerewetiku bertanya seperti itu?” kekeh Abraham yang juga ditanggapi Camille tertawa kecil. 

“Sampai kamu sembuh!” 

Camille melihat stok vitamin Abraham tinggal sedikit, mungkin bertahan untuk tiga atau empat hari kedepan. Melihat ini otak Camille berputar cepat, dia berjalan ke lantai tiga dan menyandarkan kepalanya ke sofa usang yang di beli Dylan untuk tempatnya duduk di balkon. 

“Aku harus bisa mendapatkan hasil kali ini.” gumam Camille lirih ke dirinya sendiri dimana dia akan mentargetkan salah satu rumah mewah untuk mencuri. Rumah yang pastinya bukan kediaman Martin dimana Camille sudah menandai kediaman mewah itu dengan tanda X merah di dalam kepalanya sebagai tempat terlarang. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status