Share

malam berdarah

Baru saja dihadapakan dengan rasa takut yang amat mengerikan, dia melihat situasi yang sedikit membingungkan.

Dibelakang monster itu berjalan sosok peria berambut oranye, dia memiliki tengkorak kucing dibahunya. Hewan tengkorak itu seperti hidup selayaknya hewan normal.

Peria itu mengelus ngelus kepala harimau yang besar. "Kerja bagus kau memang hewan yang patut dipelihara," ucap peria itu.

"Berhentilah disitu orang aneh. Aku tidak akan memaafkan mu jika kau bergerak sejengkal saja."

Lixuan memberanikan mulutnya mengeluarkan sepatah kalimat itu. Namun ancaman itu tak membuat pria itu bergeming sedikitpun. Dia tetap berjalan perlahan.

"Bagaimana mungkin seorang mangsa mengancam pemburunya."

Peria itu mengangkat tangannya, harimau raksasa itu langsung melesat menerkam anak kecil itu. Ukuran tubuh monster yang amat besar itu membuat Lixuan tak bisa berkutik. Tubuhnya terkunci.

Namun yang heran adalah harimau itu tak langsung membunuhnya. Dia menjilat jilat pipi Lixuan. Semakin ketakutanlah anak itu.

Selesainya menjilati pipinya, hariamu itu menghendus hendus tangan anak itu. Taring menusuk daging lebut, cairan merah mengucur tak terkira.

"Arghh.. sakit." Teriaknya. Namun hewan itu tak menunjukkan belas kasih sedikitpun, dia memakan tangan yang telah terputus itu seperti keripik kentang didepan mata kepala pemiliknya.

Lixuan berusaha menggerkan kepalanya, matanya melihat kearah ibunya. "Aku mohon jangan lukai ibuku."

Peria itu bersiap menusukan pedang perak yang menyilaukan kepada wanita tua tak berdaya. Pedang menusuk tubuh tepat di bagian jantung. Ibunya mengeluarkan darah di mulutnya. "Lepaskan... Anakku.." Suara pelan itu tak akan ada orang yang dapat mendengarnya. Tangan wanita itu berusaha menggapai tubuh Lixuan yang tak berdaya.

Satu mangsa telah mati, sekarang giliran mangsa berikutnya lah yang akan mengalami nasib serupa.

Selesainya harimau itu mengunyah tangan anak itu, dia mencoba menghendus tangan yang satunya.

"Tidak aku tak ingin mati, aku tak ingin hidup sebatang kara lagi? Ha sebatang kara lagi?" Tiba tiba saja kepalanya terasa seperti tersambar petir.

Ingatan ingtan aneh muncul didalam kepalanya. Bumi berguncang memuntahkan larva merah, darah darah menghiasi penjuru kota. Pepohonan tumbang diterpa oleh angin tornado yang amat besar. Manusia sujud tak berkutik akan bumi yang marah pada mereka.

"Ah tidak ingatan apa itu," teriaknya histeris.

Bum... Tiba tiba saja ledakan tercipta dari tempatnya berada. Tangan yang digigit oleh harimau putih itu kembali lagi seperti semula.

Harimau putih yang menerkam seperti pemburu tak berperasaan terpental menjauhi tubuh anak berusia 14 tahun itu. Kini hanya ada darah saja yang terlihat.

Peria berambut oranye itu berdiri kaku. Mungkinkah balasan atas perbuatan peria itu telah tiba?

"Wauh anak ini sungguh menarik."

Dia mundur menjauhi Lixuan. Perlahan perlahan dia melangkahkan kakinya kebelakang. Akan tetapi mata Lixuan dengan penuh air kesedihan menatap peria itu dengan tajam.

Lengannya yang baru saja muncul itu menggenggam cincin giok. Cicin itu bernama sankald artifak milik Sindra sang dewa bumi.

Benda itu mengeluarkan cahaya kuning yang amat menyilaukan lalu sesaat kemudian cahaya seperti kunang kunang itu masuk kedalam tubuh Lixuan.

"Ahrg....sial rasa sakit apa ini!" Tubuhnya menggeliat dibawah tanah.

Setelah rasa sakit itu mereda Lixuan berkata. "Seperti janjiku sebelumnya. Para dewa sialan aku akan membunuh kalian semua."

'ha kenapa aku membenci dewa' kepalanya mulai terasa sakit seperti sebelumnya. Dia menggenggam kepala itu dengan tekanan yang cukup kuat.

Tak mau melewatkan kesempatan yang bagus, peria berambut oranye itu lenyap menghilang dari pandangan Lixuan. Sebelum dia pergi peria itu berkata. "Jadilah kuat dan hiburlah aku sampai aku bahagia. Selemat tinggal pecundang."

"Hey pengecut kembalilah sialan." Teriakan keputus asaan bergema dirumah penuh darah itu. Lixuan memukul mukul tanah tanpa memperdulikan dirinya sendiri. Darah keluar dari jari jemarinya lalu terjatuh dilantai berwarna coklat.

Rasa sakit didalam kepalanya juga terus menghujani tiada henti, begitu pun rasa sakit dihatinya. Mata merah menunjukan amarahnya. Air mata menunjukan kesedihannya. Tangan yang mengepal menunjukkan seberapa dendam dia dengan peria itu. Sedangkan tubuh yang kaku sambil melihat darah itu menunjukkan seberapa besar kekecewaannya terhadap dunia.

Dia ingin menjadi kuat, dia tak ingin kehilangan orang yang ada disekitarnya. Dia ingin menebus kesalahan yang diperbuat untuk menemui ibunya dengan penuh senyuman.

"apakah ini benar benar nyata? hey seorang tolong beritahu aku bahwa semua ini hanyalah mimpi."

Lixuan berjalan menuju kearaah ibunya. Tubuhnya terombang ambing, tapi walaupun begitu dia tetap memaksakan dirinya. Semakin dekat tubuhnya dengan mayat wanita itu, semakin sakit dadanya. Pisau tajam seolah olah menghancurkan jantung kecil itu. Hatinya telah menjadi gelap.

Namun dia tetap bertahan untuk tidak terjun dijurang kegelapan. Dia mencoba menerima kenyataan ini, tapi apa yang bisa dilakukan oleh anak seusianya?

Tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia hanya bisa memeluk tubuh ibunya yang telah kaku dengan penyesalan yang amat besar.

"ibu bangunlah, kau sedang bercanda kan ayolah ini bukan lelucon yang bagus. ibu..."

Dia menangis sejadi jadinya, malam penuh darah itu akan diingat olehnya selama yang dia bisa. Mungkin sampai dia mati.

Tidak berlangsung lama kemudian, jeritan jeritan terdengar dimana mana. Desa Uruk kacau balau oleh monster monster yang terus berdatangan tiada hentinya.

Para pendekar elit desa Uruk berjuang dengan keras untuk menyelamatkan nyawa sebanyak yang mereka bisa. Rumah rumah mulai memunculkan bercak bercak darah. Bara api mulai merambat dari satu bangunan kebangunan lain.

Lixuan berdiri dia ingin tahu sebenarnya apa yang membuat warga desa mengeluarkan sura bising itu. Dia mendekati cendela kayu, lalu membukanya. Lagi lagi Lixuan tak bisa mengeluarkan sepatah kalimat pun.

"Sebenarnya ada apa ini? Kenapa semua ini terjadi?"

Walaupun warga desa Uruk selalu memperlakukan dia seperti serangga. Lixuan tetap tak ingin melihat mereka kesusahan sedikit saja apalagi mati mengenaskan didepan matanya.

"Pisau." Satu kata itu membuat cicin giok yang berada ditangannya mengeluarkan cahaya.

'Ha kenapa ada pisau ditanganku? dimana cicin giok tadi?'

"Ah tidak ada waktu untuk memikirkan hal yang tidak perlu," ucap Lixuan.

Lixuan mengambil jubah hitam pekat, tundung itu membuat dirinya terlihat misterius. Lixuan keluar dari cendela, lubang itu cukup untuk membuat tubuhnya lolos.

Dia mendarat tepat disemak belukar yang tertanam disekitar rumahnya. Pendaratannya sempurna tak memiliki celah sedikitpun.

Monster harimau lewat didepan mata kepalanya. Seandainya saja kejadian barusan tidak terjadi, mungkin anak kecil itu akan terkencing sambil berlari ketakutan.

Akan tetapi sekarang tidak, dia sudah dipenuhi dengan kebencian yang amat besar. Tanpa ragu Lixuan melompat menusuk kepala monster harimau itu. Sekali tusukan kepalanya hancur tak bersisa.

Tentunya dia yang melihat kejadian barusan terkejut. "Ha kenapa aku sekuat ini? Baguslah kalau begitu, dengan kekuatan ini aku bisa membunuh kalian semua dengan cepat dasar monster menjijikkan."

Sembari menuju ketempat tertentu, dia membunuh satu persatu monster yang berjalan kesana kemari. Dia tak kesulitan ketika melawan monster yang pernah membuat dirinya ketakutan.

Mayat demi mayat tercipta, pisau emasnya telah penuh dengan noda merah. Begitupun wajah tampan miliknya.

Setelah melakukan langkah kaki yang melelahkan, dia akhirnya tiba ditempat yang dia tuju. Rumah besar itu sudah dipenuhi oleh monster. Dibangunan itu, sosok wanita berambut perak seusianya sedang berusaha untuk mengalahkan monster yang terus berdatangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status