Ujung tajam pedang Qiao mengarah ke tangga yang gelap. Sebagai yang lebih tua, dia ingin melindungi Zhou.
"Siapa di sana, keluar atau kuhajar!"
Suara langkah terdengar mendekat. Sosok Shi menuruni tangga sambil membawa mangkuk berisi nasi. Suaranya terbata-bata ketika menjawab.
"A-ahm, maaf. Apa nona melihat adikku?"
Zhou langsung melepas gandengan Qiao, meluncur menarik tangan Kakaknya mendekat.
"Kak, tadi aku diberi makan sama Kak Dendeng. Enak sekali loh, mantaunya. Tadi aku mau minta lagi--"
"Kamu meminta makanan pada Nona ini?" Shi menepuk kasar kepala Zhou. "Siapa yang mengajarimu mengemis?"
Qiao menangkap tangan Shi yang nakal, menahan supaya tidak menganiaya
Bagai semut yang mengerumuni tumpahan kuah sop, para warga berkumpul memadati satu sudut pasar. Kebanyakan dari mereka lelaki, tua muda, campur aduk dan berteriak histeris sambil membawa koin-koin perunggu yang diikat menjadi satu. Dia melihat sosok pembawa ayam masuk ke sana, membuatnya mendatangi kerumunan. Badan Bian kecil jadi bisa dengan mudah merangsak maju. Pagar bambu mengelilingi lahan kecil. Di sana terdapat dua ayam jago yang saling menyerang. Keji, sungguh biadab, para manusia memaksa mereka untuk saling melukai. Untung tidak sampai terbunuh. Ayam yang menjatuhkan tujuh bulu, kalah. Bulu besar, bukan yang lembut, kecil dan mudah tertiup angin. Lucu juga melihat ayam yang kalah, seperti bisa bicara, aku menyerah aku menyerah, sambil melangkah menjauh dan kepalanya maju mundur, menghindari serangan lawan. “pemenangnya, si hitam!” teriak seorang pria yang membawa bendera. Dua pemuda mengambil ayamnya. Pemuda pemilik ayam yang kalah marah-mara
Keesokan hari giliran Zhou yang menguasai badan. Dia bangun sebelum Kakak bangun, bahkan langit masih belum terang. Ini kebiasaannya suka bangun pagi untuk buang air kecil di semak-semak. Setelah puas dia hendak kembali ke penginapan.Belum juga sampai ke sana, seseorang memanggil. “Hei Nak.”Zhou tidak tahu siapa yang dipanggil Nak, dia memandang ke sekeliling, hanya ada beberapa lelaki yang membawa cangkul menuju sawah dan seorang gadis sibuk menyapu pelataran penginapan.“Nak, kamu yang kemarin bermain suling,” panggil seorang lelaki yang duduk di dalam warung makan di depan penginapan.Zhou menunjuk wajah bloon-nya sendiri. Setelah menerima anggukan dari pria itu, dia mendekatinya. “Ada perlu apa, Paman?”Pria tampan berbadan tegap menarik Zhou duduk di kursi kosong di sebelahnya. “Kamu jago sekali bermain suling, padahal umurmu masih sangat muda. Paman kagum Nak. Siapa namamu?”Zhou
Sementara itu di Luoyang. Cao Cao belum tenang. Semenjak Bian menghilang, dia tidak bisa bertemu dengan Ibu Suri. Semua terjadi karena Cao Cao gagal melindungi Bian. Tiada Sang Ibu Suri ketahui jika anaknya selamat. Parahnya, beliau mengira Cao Cao membunuh Bian. Dengan begitu Xian pun membenci Cao Cao, sebuah benci kesumat yang bagai nyala api yang susah padam, sepertinya hanya bisa padam kala kiamat tiba. Sekarang seperti malam sebelumnya, Cao Cao duduk di gazebo taman rumah, meneguk arak sambil memandang langit bertabur bintang. “Aku mengangkat minuman dan menyanyikan sebuah lagu, karena siapa yang tahu apakah hidup seseorang pendek atau panjang? Hidup manusia seperti embun pagi, hari-hari yang lalu banyak hari yang akan datang belum tentu berjumlah sama. Kesedihan hatiku hatiku berasal dari kepedulian yang tidak bisa aku lupakan. Siapa yang bisa mengungkap kesedihanku ini, aku hanya mengenal satu orang, Dewa Arak!” Dia mendongak, menuang a
Beberapa hari berlalu semenjak kematian Ibu Suri, akan tetapi kesedihan di hati Cao Cao belum mereda. Tentu dia sudah punya Istri cantik dan beberapa anak lelaki di rumah, tetapi Ibu Suri berbeda. Cintanya pada beliau seluas Tarim Basin. Salah satu penyakit Cao Cao adalah pencinta wanita cantik. Hari ini Cao Cao mendapat tugas dari Dong Zhuo untuk mendatangi rumah menteri Wang Yun. Seorang Menteri tua yang rumornya mengadakan pesta ulang tahun tanpa mengundang Dong Zhuo. Perdana Menteri curiga jika Wang Yun merencanakan sesuatu. Untuk itulah Cao Cao ditugaskan mencari tahu. Dia tiba sendiri di lokasi. Dua daun pintu gerbang megah berdiri gagah, tiada satu pun manusia. Tiada lampion merah, tiada kereta kuda tamu, hanya suara jangkrik bersahutan. Saking dinginnya
"Namaku Diao Chan, putri angkat Tuan Wang Yun." Dia sedikit melipat kaki ke depan dengan anggun ketika memperkenalkan diri, semakin membuat Cao Cao kagum. "Jenderal Cao Cao, Ayah meminta Tuan menunggu di Paviliun belakang."Cao Cao tertawa kecil mendengar permintaan itu. "Cepat sekali arah angin berhembus berganti?""Tuan," suara Diao Chan terdengar lembut. "Ayah pasti menganggapmu sebagai tamu istimewa.""Dari seekor anjing, menjadi tamu kehormatan. Baiklah, baiklah, silakan tunjukkan tempatnya. Asal ada arak, aku akan menunggu sampai pagi."Sebenarnya Cao Cao masih dongkol lantaran diusir, tetapi siapa yang bisa menolak ajakan dari gadis secantik Diao Chan?Gadis itu benar-benar membawa Cao Cao ke paviliun paling bela
Sementara itu, Nu An yang kembali ke desanya akhirnya sampai juga ke tujuan. Cukup lama dia berkelana karena banyaknya pemberontakan yang dia temui di jalan.Dia terpaksa memutar mengambil jalan lain yang sangat jauh. Di perjalanan pun dia melihat banyaknya pengungsi. Tak jarang dia harus kabur ketika para bandit menyergap rombongan pengungsi di jalan. Tiada pasukan kekaisaran yang menolong. Sungguh keadaan yang tidak kondusif untuk para pengungsi.Langkahnya melambat melihat desa yang dulu indah ditumbuhi banyak bunga dan penuh tawa, sekarang tinggal puing-puing.Kiri dan kanan, rumah-rumah kayu hanya tinggal reruntuhan belaka, sawah yang dulu subur sekarang ditumbuhi ilalang tinggi. Hanya sedikit penduduk di sana yang berusaha bercocok tanam di sawah. Tiada kerbau yang membantu petani dalam menggarap sawah.
Bagaimana jika Nu An maju, tapi malah dikenali? Lagi pula dia tidak punya senjata. Nu An memilih hendak kabur menjauhi masalah, tapi …."Jangan lukai Adikku!" Suara teriakan Sima Shi membuatnya tidak tega.Dia memandang kembali ke jalan sepi. Seorang perampok gendut menghampiri Sima Shi, menagih uang. Sementara seorang perampok kurus menyandera Sima Zhou dan seorang perampok berbadan kekar menjaga di sekitar.Terbayang bagaimana kejadian tempo hari, tragedi tragis di mana dia tak sengaja menusuk Sima Zhou. Dia memejam, mengepal. Pertarungan dalam jiwa terjadi.Nu An tersadar. Ini saat yang tepat untuk menebus kesalahan. Dia mengambil batang kayu, menyerang tiga perampok.Tanpa banyak bicara dia memukul punggung s
Zhou melangkah lunglai bersama kakaknya. Sementara Bian dan Qiu protes. "Sudah aku bilang harusnya lewat jalan lain, atau tunda saja," keluh Bian yang berada dalam tubuh Zhou. "Benar," tambah Qiu. "Bian mencari uang dengan sulit, kamu dengan bodohnya membuang uang. Andai kamu tidak beli bakpao--" "Diam!" sahut Zhou tanpa sadar menjawab. Sima Shi yang mendengar hal ini salah paham, mengetuk kepala adiknya. "Dasar tidak sopan!" "Kita harus terus maju, Kak," jawab Zhou sambil mengelus kepalanya yang menjadi korban ketukan. "Setelah menyeberangi sungai, kita akan sampai ke Huasan. Semangat, Kak!" "Sok tahu." "Serius, aku tadi bertanya pada Paman yang memberi suling."