Siang yang terik. Sinar matahari bebas mencengkeram permukaan bumi. Cahayanya keperakan menimpa permukaan air laut yang warnanya mulai kecoklatan. Hujan di hulu sebuah muara sungai membawa berton-ton lumpur. Kerja alam membuat air di mulut muara sebuah sungai seperti dibatasi antara warna coklat dan biru. Itulah muara sungai Batanghari [1]. Sungai yang mengalirkan sejarah para raja-raja dari masa lampau hingga ke masa mendatang."Demi Sang Hyang Adi Budha! Batanghari Aditya! Hahaha...Maaaak! Baaaak! Aku pulaaaang...!"Ahaaai...kita hampir sampai Candra! Uuuh...alangkah rindunya aku dengan kampung halaman!"Candra dan Aditya bukan main girang telah sampai ke tempat yang akan mengantarkan mereka pulang ke kampung halaman. Bertahun-tahun mereka harus manahan rindu yang menggelegak.Sambil mengarahkan perahu layar agar tak tertabrak pokok-pokok kayu yang hanyut, Aditya juga Candra tak henti berucap syukur pada Sang Hyang Adi Buddha karena perjalanan mereka lancar dan tak menemui rintangan
Beberapa saat lamanya, suasana di Delta Kematian tenang dan sunyi. Sesekali hanya terdengar suara monyet, tupai, dan binatang lain. Mereka berlarian kesana kemari berburu makanan. Bagi mereka, seolah tak pernah terjadi pertempuran besar di Delta Kematian.Keheningan yang ditingkahi suara-suara alam itu dimanfaatkan Sadnya untuk mencari tahu asal suara perempuan yang memanggilnya tadi. Matanya menatap tajam ke tiap penjuru Delta Kematian. Berulang kali ia lakukan. Berulang kali juga ia tak menemukan yang dicari."Aneh," desis Sadnya penasaran. Disebelahnya, Rampog memperhatikan dengan heran perilaku Sadnya. Rampog kemudian memberanikan diri bertanya pada Sadnya."Pendekar, kulihat kau dari tadi gelisah. Kulihat juga matamu kesana kemari mencari sesuatu. Ada apakah gerangan?"Sadnya tak bereaksi. Ia terus melemparkan pandangan ke tempat jauh. Sesekali matanya membentur ke tempat Rajaputra Aruna berada."Pendekar! Kau dengar suaraku?" tanya Rampog kembali."Eh...iya Rampog. Kau bilang ap
Hari belum terlalu siang ketika Aditya dan Candra sampai di rumah Senapati Utama Kartikeya. Keduanya memutuskan untuk tidak langsung datang ke rumah senapati utama Kedatuan Melayu tersebut. Aditya serta Candra memilih mengintai dari jauh terlebih dahulu.Dari sebuah kedai tuak kecil di seberang rumah Kartikeya, keduanya mengintai. Pemiliknya adalah seorang lelaki paruh baya. Dari tempat mereka, bisa dilihat dengan jelas rumah besar milik Senapati Utama Kartikeya. Tampak jelas rumah itu seluruhnya terbuat dari kayu. Konstruksinya sengaja dibuat tinggi. Orang-orang lokal biasanya menyebutnya rumah panggung. Konstruksi tinggi dipilih supaya rumah panggung milik Kartikeya tersebut bisa beradaptasi dengan banjir Batanghari yang sewaktu-waktu bisa terjadi.Suasana kedai tuak yang masih sepi, memberikan keleluasaan pada Aditya dan Candra untuk memperhatikan keadaan rumah Kartikeya dengan teliti. Rumah besar berhalaman lebar tersebut tampak hening. Hanya tampak seorang tukang kebun yang beker
"Pendekar!" teriak Rampog sambil sigap menarik tangan Sadnya kuat. Keduanya lantas terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk. Mau tak mau tubuh Sadnya menimpa Rampog.Keduanya lekas bangun dan duduk bersisian."Pendekar, ada apa denganmu?"Sadnya yang belum sepenuhnya sadar, merespon panggilan Rampog seperti orang linglung. Ia menoleh ke arah Rampog sebentar. Lalu terhenyak. Kesadarannya kembali.Keringat dingin mengalir di tengkuk Sandya. Andai saja Rampog tak segera menariknya, ia tentu sudah tercebur ke dalam air sungai Komering. Ia juga tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya. Bisa saja puluhan buaya telah melumat tubuhnya.Sambil perlahan duduk bersila di lantai perahu, Sadnya mulai menenangkan diri. Beberapa saat lalu, kesadaran dirinya tak mampu ia kendalikan. Justru suara perempuan muda misterius yang berasal dari Rajaputra Aruna yang berhasil menguasai batinnya.Kelemahan Sadnya menjadi terkuak. Keringnya perasaan Sadnya menyebabkan hati Sadnya labil dan memp
Rombongan regu prajurit Sriwijaya telah sampai di muka kedai tuak Pak Cik. Mereka terdiri atas lima orang prajurit. Kelimanya berhenti persis di depan pintu masuk kedai. Menariknya, salah satu dari kelimanya adalah seorang perempuan. Jika dilihat dari tanda kepangkatan, ia bahkan memiliki pangkat tertinggi di antara keempat prajurit lainnya.Candra, Aditya, dan Pak Cik dengan malas langsung berdiri begitu kelima prajurit Sriwijaya tersebut turun dari kuda dan menuju pintu kedai. Dalam situasi dominasi militer Sriwijaya sekarang, tetap duduk sambil menenggak tuak akan dianggap sebagai sikap tak sopan. Bahkan bisa dianggap sebagai sikap melawan.Gadis muda berusia dua puluh tahunan itu lalu berjalan mendahului keempat rekannya. Dengan langkah tegap ia berjalan paling depan."Tara," desis Pak Cik nyaris tak terdengar. Aditya yang berdiri paling dekat dengan Pak Cik cepat mengarahkan pandangannya pada lelaki paruh baya tersebut."Siapa dia Pak Cik?" tanya Aditya."Aku tak bisa jelaskan se
Pilinan helai rambut Antu Banyu membumbung tinggi, lalu menukik cepat ke arah Sadnya. Juntaiannya mirip tentakel atau tangan-tangan gurita yang digunakan untuk memburu mangsa. Bedanya, jika tentakel gurita berjumlah delapan buah, sedangkan tentakel rambut Antu Banyu jumlahnya jauh lebih banyak.Dalam hitungan detik, puluhan tentakel rambut Antu Banyu berhasil mengurung Sadnya dari semua penjuru. Saking rapatnya, hampir tak ada celah bagi Sadnya untuk mengelak. Apalagi meloloskan diri.Sebelum benar-benar menerkam tubuh Sadnya, puluhan tentakel rambut Antu Banyu tersebut berhenti sejenak. Dalam jarak kira-kira dua depa, puluhan tentakel itu bergerak dinamis seperti menunggu komando.Sadnya yang baru kali ini menghadapi ilmu setan menghasut manusia dibuat keheranan. "Ilmu setan macam apa pula ini? Semua berubah dengan cepat. Tadi gadis muda dengan suara merdu. Kini, muncul iblis neraka dengan rambut mengerikan!"Baru saja Sadnya berujar dalam hati, tiba-tiba suasana kembali berganti. Se
"Mukha Upang? Aku baru mendengar namanya Puan. Sebesar apakah bandar yang Puan maksud?" tanya Aditya. Disebelahnya Candra berusaha menahan tawa melihat tingkah pura-pura bodoh Aditya.Dengan bangga dan sombong Tara menjawab pertanyaan Aditya. Ia sama sekali tak paham jika dirinya sedang menghadapi seorang telik sandi pandai yang berlagak lugu. "Ahhh...kuceritakan panjang lebar juga kau belum tentu paham.""Maaf Puan, bukan bermaksud tak sopan, tapi aku ingin sekali mendengar cerita tentang Mukha Upang.""Baiklah kalau kau ingin mengetahuinya," ujar Tara sambil membenahi rambut bagian depan dan menyeka keringat diwajahnya. "Kami, bangsa Sriwijaya, ditakdirkan menjadi bangsa besar di tanah Swarnadwipa ini. Datu kami, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah titisan Sang Hyang Adi Buddha. Maka kalian tak perlu heran ketika kami dengan gampang mampu menaklukkan Melayu. Bukan hanya Melayu, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa juga menghendaki kekuasaan Sriwijaya membentang dari Palas Pasemah, Pul
Ledakan besar terjadi. Ledakan itu terjadi akibat gaya gesek antara tenaga dalam Rajaputra Aruna yang dialirkan melalui tentakel rambut Antu Banyu dan aliran tenaga dalam Sadnya yang dilepaskan lewat konsentrasi pikirannya.Pertemuan dua tenaga besar yang tak kasat mata itu menghasilkan energi sangat besar. Selain ledakan, efeknya juga bisa dirasakan dari dorongan tenaga ke segala penjuru. Saking besarnya, dorongannya sampai menimbulkan gelombang setinggi empat meter di permukaan Sungai Komering.Di atas permukaan, dorongan tenaga itu melahirkan angin berkecepatan tinggi yang menumbangkan ratusan pohon. Besar dan kecil. Yang masih mampu bertahanpun harus kehilangan seluruh daun yang rontok berguguran.Semua mata yang menyaksikan fenomema pertarungan 'gaib' jadi terkesima. Pelepasan mega energi terjadi tanpa pertarungan yang bisa dilihat oleh mata telanjang. Semua orang dibuat bingung dengan keadaan yang terjadi. Tak ada yang tahu darimana ledakan dan tenaga merusak berasal.Untungnya