"B-BAIK, Kang, aku mengerti," jawab istri Sarwa Kusuma, meski dengan perasaan semakin tidak enak.
Andai saja bisa, ingin rasanya perempuan itu mencegah tindakan Sarwa Kusuma. Namun ia paham sekali bagaimana watak suaminya. Sekali berkata akan maju, pantang bagi sang kepala kampung untuk mundur.
Sementara Sarwa Kusuma meraih sebilah pedang panjang dalam warangka yang tergantung di dinding ruangan. Itulah senjata andalannya sebagai kepala padukuhan Kartasentana.
Sambil menenteng pedang di tangan kanan, lelaki berwajah cakap itu melangkah keluar dengan gagah. Terdengar dengusan kesal dari mulutnya yang lantas menggerutu.
"Huh, Bramanta keparat itu benar-benar minta dikuliti sampai modar!" desis Sarwa Kusuma dengan geram.
Kepala padukuhan itu yakin betul tamunya tersebut membawa niat keji kali ini. Bukan sekadar melakukan pembalasan atas pertikaian yang terjadi di antara mereka beberapa pekan lalu.
Lebih dari itu, Sarwa Kusuma sangat paham jika Bramanta masih memendam rasa penasaran dengan satu urusan pribadi di antara mereka. Sebuah silang sengkarut dari masa lampau yang belum selesai di antara keduanya, melibatkan seorang perempuan yang sama.
Sementara di teras rumah, istri Sarwa Kusuma terus memandangi kepergian suaminya dengan tatapan cemas. Wajah ayu perempuan itu mengernyit tegang. Dadanya berdegup tak karuan, membuat napasnya berubah pendek-pendek agak tersengal.
"Oh, mengapa perasaanku tiba-tiba saja menjadi tidak enak begini?" desah perempuan itu dengan suara bergetar.
Lalu tiba-tiba saja tubuhnya terasa lemas bukan main. Hampir saja istri sang kepala kampung jatuh, jika tidak cepat-cepat berpegangan pada tepian daun pintu yang terjangkau oleh tangannya.
Mata perempuan itu nanar, menatap sang suami yang semakin mendekati gapura. Sedangkan pertarungan di sana masih sengit terjadi. Beberapa korban tambahan kembali bergelimpangan di tanah. Darah semakin banyak tersimbah.
"Oh, Wijaya!" seru istri Sarwa Kusuma, teringat pada anak tunggalnya bersama sang kepala kampung. "Aku harus segera mencari di mana Wijaya!"
Bergegas perempuan itu bangkit dan menuju halaman belakang. Sambil melangkah setengah berlari sambil berharap di dalam hati bocah sembilan tahun itu masih bersama Sugatra, salah satu pengawal setia Ki Dukuh.
Namun setibanya di halaman belakang, istri Sarwa Kusuma tidak mendapati seorang pun di sana. Padahal tadi ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Wijaya tengah berlatih di tempat tersebut bersama Sugatra.
"Ke mana mereka?" desis istri Sarwa Kusuma. Paras ayunya yang sudah pucat berubah panik, lalu ia berseru memanggil, "Wijaya, Sugatra! Kalian di mana?"
Sepi. Tak ada sahutan sama sekali. Tergopoh-gopoh istri Sarwa Kusuma menelusuri setiap sudut halaman belakang yang sangat luas membentang.
Dengan cemas perempuan itu memeriksa ruangan-ruangan yang ada di sisi lain bangunan. Namun hasilnya sama saja, ia tetap tidak menemukan siapa-siapa. Tidak Wijaya, tidak juga Sugatra.
Rasa cemas berubah menjadi kepanikan. Dengan napas mulai tersengal-sengal, istri Sarwa Kusuma terus mencari hingga jauh lebih ke belakang. Ketika sampai di istal kuda yang terletak di dekat sudut tembok, barulah ia menjumpai siapa yang dicari.
"Sugatra!" panggil istri Sarwa Kusuma pada pengawal yang berdiri di depan kandang. Sepasang matanya sontak melotot mendapati lelaki di hadapannya itu hanya sendirian.
Pengawal yang dipanggil Sugatra sontak berbalik badan. Tangannya yang tengah membersihkan seekor kuda dengan sebentuk sikat seketika terhenti di udara. Kening lelaki muda itu berkerut mendapati wajah istri junjungannya menampakan kecemasan yang amat sangat.
"Mana Wijaya?" tanya istri Sarwa Kusuma lagi, sebelum sempat Sugatra menjawab panggilan.
"Gusti Wijaya?" Sugatra justru mengulang nama yang ditanyakan dengan tampang bingung. Tampak seperti sedang mengingat-ingat.
"Wijaya di mana, Sugatra! Tadi kau sedang berlatih bersamanya di sini, bukan?" desak istri Sarwa Kusuma, kali ini dengan setengah membentak.
Sugatra gelagapan karena kaget. Buru-buru ia menjawab dengan nada bersalah, "M-mohon ampuni saya, Gusti. T-tadi ... tadi Gusti Wijaya minta izin hendak bermain dengan puteri KI Bagaspati—"
"Indudewi, maksudmu?" tukas istri Sarwa Kusuma tak sabar.
Sugatra langsung mengangguk, mengiyakan.
"Ke mana mereka?"
"M-mereka ..." Sugatra menelan ludah takut-takut. "Tadi Gusti Wijaya berkata hendak mengajak Indudewi bermain di sungai, mencari capung."
Terdengar helaan napas kasar dari mulut istri Sarwa Kusuma. Perasaannya jadi semakin tak tenang mengetahui Wijaya berada jauh dari rumah tanpa pengawasan siapa-siapa.
Pada kesempatan lain perempuan itu tak akan secemas ini mengetahui Wijaya bermain di sungai bersama Indudewi. Puteri Ki Bagaspati itu sudah menjadi teman sepermainan Wijaya sejak kedua bocah masih sama-sama kecil.
Ki Bagaspati sendiri merupakan salah satu pemuka padukuhan sahabat Sarwa Kusuma. Bahkan mungkin lebih dari sahabat. Setiap kali mendapat masalah dalam memimpin Kartasentana, sang kepala kampung kerap meminta pendapat dan bantuan Ki Bagaspati.
Namun keadaan sedang genting saat ini. Istri Sarwa Kusuma sungguh merasa tidak tenang jika Wijaya berkeliaran di luaran sana tanpa pendamping satupun.
"Sekarang juga kau susul mereka dan bawa pulang Wijaya. Cepat!" ujar istri Sarwa Kusuma lagi, tegas memerintah.
"B-baik," jawab Sugatra tergagap, lalu menjura hormat. Sikat di tangannya langsung dibuang begitu saja ke lantai istal secara sembarangan.
Sebetulnya Sugatara ingin menanyakan sesuatu, tetapi nyalinya ciut demi melihat raut wajah dan sikap istri junjungannya. Tanpa membuang waktu lagi, bergegas lelaki itu meninggalkan istal. Setengah berlari ia menuju ke arah sungai di belakang sana.
Sekeluar dari tembok belakang, barulah Sugatra mendengar suara-suara ramai dari halaman depan. Mula-mula tidak terlalu jelas terdengar, tetapi lama-lama membuatnya penasaran dan menajamkan sepasang telinga.
Dentrangan senjata beradu, ditingkahi bentakan dan seruan kasar, lalu ada pula jerit pekik kesakitan. Semuanya bercampur menjadi satu dan menjejali liang pendengaran Sugatra.
Entah mengapa perasaan pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana itu mendadak merasa tidak enak. Di kepalanya seketika terbayang paras tegang diselimuti ketegangan milik istri Sarwa Kusuma.
Didorong rasa penasaran, Sugatra sontak berhenti dan lemparkan pandangan ke arah asal suara. Parasnya langsung berubah tegang melihat apa yang terjadi di halaman depan sana.
"Oh, Sang Hyang Agung!"
Bertepatan dengan saat itu, salah satu pengawal Ki Dukuh kena sambar parang besar lawan. Pengawal itu menjerit keras, lalu jatuh ke tanah dengan tubuh bersimbah darah. Sedangkan lawan yang melakukan kekejian tersebut tampak menyeringai puas.
Napas Sugatra seolah berhenti menyaksikan kejadian itu. Rasa-rasanya tubuhnyalah yang terkena sambaran parang tadi. Ia juga seolah ikut merasakan sakitnya luka bacok yang didapat temannya sesama pengawal Ki Dukuh Kartasentana.
Tahulah Sugatra sekarang jika keadaan tengah gawat darurat. Pahamlah ia kini apa pangkal ketegangan dan kecemasan Nyi Dukuh tadi.
"Oh, Gusti Wijaya!" seru Sugatra, teringat lagi pada apa yang seharusnya ia lakukan. "Aku harus segera menyusul Gusti Wijaya! Gawat, ini benar-benar gawat!"
_)|(_
SUNGAI yang menjadi tujuan Sugatra sebetulnya tidaklah terlalu jauh. Namun karena benak pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana itu diselubungi kecemasan, langkah kakinya menjadi kacau balau.Berkali-kali kaki Sugatra tersangkut akar pepohonan yang menjalar di permukaan tanah. Sesekali juga tersandung tonjolan batu sehingga membuatnya nyaris jatuh. Akibatnya, jarak yang sebenarnya dekat jadi lebih lama dicapai.Belum lagi setiap beberapa langkah Sugatra berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ia merasa perlu mengamati rumah besar milik junjungannya yang tengah disatroni segerombolan penyerang entah dari mana."Gusti Sang Hyang Tunggal, mohon lindungi Ki Dukuh dan Nyi Dukuh," desis Sugatra setiap kali melihat ke belakang. Setelah menarik napas berat, barulah ia kembali melanjutkan langkah.Sambil berlari Sugatra sambil menebak-nebak. Siapakah kiranya para penyerang yang tengah menyatroni kediaman Ki Dukuh Kartasentana? Sekelebat dugaan melintas di kepalanya."Jangan-jangan ... " Sugat
APA yang terjadi pada Sarwa Kusuma dan seisi rumah sang kepala kampung? Mengapa kediaman besarnya tahu-tahu saja sudah terbakar hebat sekembali Sugatra mencari Wijaya Kusuma di sungai?Mari kita kembali sejenak ke peristiwa sebelumnya. Tepatnya ketika Sugatra pergi ke sungai untuk mencari Wijaya Kusuma, seperti diperintahkan oleh istri Sarwa Kusuma.Sementara pengawal setianya berlari secepat kilat ke arah sungai di belakang, istri Sarwa Kusuma kembali ke bagian depan rumah. Perempuan itu merasa cemas dengan keadaan suaminya yang memilih mendatangi gerombolan penyerang.Oh, Gusti Sang Hyang Agung, semoga saja Kakang Sarwa tidak kenapa-kenapa, batin istri Sarwa Kusuma dengan penuh harap. Namun entah kenapa perasaanku tidak enak begini. Entah firasat apa ini sebenarnya.Tiba di ruang depan, dari mana ia dapat melihat langsung ke gapura penjagaan tempat terjadinya perkelahian, istri Sarwa Kusuma sontak tertegun. Sepasang matanya membesar, dengan sepasang tangan menutupi mulut yang mengan
TERDENGAR jeritan melengking ketika kedua tangan Sarwa Kusuma dibuat putus oleh sambaran parang besar lawan. Namun bukan sang kepala kampung yang menjerit, melainkan istrinya yang tengah bersimpuh setengah gemetar di ambang pintu rumah.Pada saat bersamaan perempuan itu baru menyadari jika Bramanta dan dua lelaki lain tengah berjalan mendekat ke arahnya. Seketika parasnya berubah. Napasnya juga jadi tersengal-sengal, dengan jantung bertalu-talu kencang.Belum sempat perempuan itu berbuat apa-apa, tahu-tahu saja Bramanta sudah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut mengembangkan seringai lebar, sembari berkacak pinggang."B-Bramanta! M-mau apa kau?" desis istri Sarwa Kusuma.Dengan susah payah Nyi Dukuh coba berdiri. Kedua tangannya berpegangan pada bingkai pintu. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Bramanta.Sedangkan Bramanta melangkah perlahan ke hadapan perempuan tersebut. Seringainya masih terkembang, tetapi kini tipis saja. Sebelah tangannya lantas terangkat, lalu dengan kuran
"HEI, berhenti kalian!"Sugatra tentu saja tak mau menuruti seruan tersebut. Alih-alih, ia menggenjot larinya lebih kencang lagi agar lepas dari tempelan empat lelaki berkuda yang melihat keberadaannya bersama Wijaya Kusuma."Kejar terus! Jangan sampai mereka lolos!" seru pengejar yang lainnya pula.Sayang, niat Sugatra tak diimbangi oleh Wijaya Kusuma. Anak kecil itu terus meronta-ronta minta diturunkan karena ingin melihat ayah dan ibunya di dalam rumah. Polah yang membuat Sugatra tak dapat lari sekencang yang ia inginkan.Sementara suara derap kaki-kaki kuda semakin keras terdengar dari arah belakang keduanya. Pertanda empat anggota gerombolan yang mengejar mereka bertambah dekat jaraknya."Turunkan aku, Paman! Aku mau masuk rumah! Aku ingin tahu keadaan Ayah dan Ibu!" jerit Wijaya Kusuma tanpa henti. Bocah itu terus meronta-ronta tak karuan."Jangan, Gusti. Saya mohon ..." Sugatra terdengar panik sendiri. "Kita harus segera pergi jauh dari sini. Keadaannya sangat berbahaya...."Wi
WIRAMA berlaku nekat. Ia memang tidak memiliki bekal kepandaian bela diri yang mumpuni. Namun sebagai petani yang sehari-hari bekerja di sawah dan ladang, pemuda itu sudah terbiasa menggunakan senjata tajam.Maka sabit yang sebetulnya alat bertani itu berubah jadi senjata pengintai maut. Suara kesiurnya terdengar meyakinkan. Terlebih arah yang diancam Wirama adalah batang leher Bramanta.Jelas saja yang diserang jadi mengelam mukanya, sebab orang sudah terang-terangan menginginkan kematiannya."Sial dangkalan!" rutuk Bramanta, seraya menarik tubuh ke belakang satu langkah. Membuat sabit di tangan Wirama hanya mengoyak angin kosong.Dari satu gerakan itu saja Bramanta sudah tahu jika penyerangnya tidak memiliki kemampuan bela diri yang cukup. Sabetan yang tadi mengancamnya juga hanya mengandung tenaga kasar. Tidak ada pengerahan tenaga dalam walau hanya sedikit.Menyadari itu, seringai Bramanta jadi terkembang lebar. Ia tak ingin membuang-buang waktu meladeni lawan. Sejak tadi pikirann
"GUSTI, harap ampuni saya!" seru Sugatra begitu tubuhnya membentur tanah keras. Ia segera menyadari jika kelalaiannya dapat mencelakakan Wijaya Kusuma.Sementara Wijaya Kusuma yang terlempar dari panggulan Sugatra menjerit kaget dan mengaduh. Untung saja tubuh bocah itu jatuh di atas rerumputan nan empuk.Mengabaikan rasa sakitnya sendiri, Sugatra buru-buru bangkit dan menghampiri Wijaya Kusuma. Namun belum sempat ia menanyakan keadaan putera junjungannya itu, di sekeliling mereka telah berdiri empat lelaki."Ah, akhirnya dapat juga kami mengejar kalian," ujar salah satu lelaki, lalu tertawa mengekeh."Jangan harap kalian bisa lari lagi dari kamu," timpal lelaki yang berkumis lebat pula.Berubah paras Sugatra mengetahui keadaan. Secara naluriah ia segera memeluk Wijaya Kusuma, bermaksud melindungi bocah tersebut dari ancaman.Tanpa Sugatra sadari, sikapnya itu justru memancing ketertarikan keempat lelaki pengejar. Kecurigaan mereka bertambah besar terhadap siapa yang tengah dilindungi
"PAMAN Sugatra, awas serangan! Cepat menghindar!" seru Wijaya Kusuma melihat pengawalnya terdesak hebat.Namun Sugatra tak dapat lagi menghindar. Tendangan lawan mendarat telak di pangkal lehernya, membuat pengawal setia Ki Dukuh Kartasentan itu mengeluh tinggi.Tubuh Sugatra mencelat beberapa langkah ke belakang, menandakan jika tendangan lawan tadi dikerahkan dengan banyak tenaga. Susah payah ia menyeimbangkan diri agak tidak terjatuh duduk saat mendarat.Namun belum sempat Sugatra mengambil napas, satu serangan lagi sudah menghantamnya. Kali ini lawan kedua menggedor dadanya dengan satu sikutan keras.Kembali terdengar keluhan tertahan dari mulut Sugatra. Sekarang ia sudah tak dapat lagi menahan keseimbangan. Setelah terjajar dan terhuyung-huyung beberapa saat, tubuhnya rebah ke tanah."K-keparat!" geram Sugatra dengan napas tersengal. Ia merasakan dadanya sesak bukan main. Seakan-akan tengah ditindih sebongkah batu sebesar gajah.Ketika ia hendak menarik napas panjang untuk melong
"SIAL dangkalan! Ke mana perginya bocah itu?"Palguna menggeram kesal, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan mata membelalak lebar. Tiga temannya yang tak kalah kaget juga melakukan hal sama.Sorot maya empat lelaki tersebut sama tajam mencorong, berusaha menyibak kegelapan yang mulai pekat. Namun ada pula bias kebingungan bercampur sedikit ketakutan yang coba mereka sembunyikan kuat-kuat.Wajar saja mereka berempat merasa takut. Pasalnya, siapapun yang bergerak menyambar Palguna tadi pastilah seorang berkemampuan sangat tinggi.Buktinya, dalam satu kelebatan yang rasa-rasanya hanya sekedipan mata, orang itu bisa merebut Wijaya Kusuma dari panggulan Palguna. Bahkan tanpa lelaki tersebut merasakan apa-apa saat terjadi!"A-apa kalian melihat orang itu?" tanya Palguna kemudian, setelah memandang berkeliling tetapi tak menemukan manusia lain kecuali mereka berempat."Orang atau sebangsa dedemit hutan?" Salah satu teman Palguna malah balik bertanya. Wajahnya terlihat tegang den