Share

003 - Sugatra

"B-BAIK, Kang, aku mengerti," jawab istri Sarwa Kusuma, meski dengan perasaan semakin tidak enak.

Andai saja bisa, ingin rasanya perempuan itu mencegah tindakan Sarwa Kusuma. Namun ia paham sekali bagaimana watak suaminya. Sekali berkata akan maju, pantang bagi sang kepala kampung untuk mundur.

Sementara Sarwa Kusuma meraih sebilah pedang panjang dalam warangka yang tergantung di dinding ruangan. Itulah senjata andalannya sebagai kepala padukuhan Kartasentana.

Sambil menenteng pedang di tangan kanan, lelaki berwajah cakap itu melangkah keluar dengan gagah. Terdengar dengusan kesal dari mulutnya yang lantas menggerutu.

"Huh, Bramanta keparat itu benar-benar minta dikuliti sampai modar!" desis Sarwa Kusuma dengan geram.

Kepala padukuhan itu yakin betul tamunya tersebut membawa niat keji kali ini. Bukan sekadar melakukan pembalasan atas pertikaian yang terjadi di antara mereka beberapa pekan lalu.

Lebih dari itu, Sarwa Kusuma sangat paham jika Bramanta masih memendam rasa penasaran dengan satu urusan pribadi di antara mereka. Sebuah silang sengkarut dari masa lampau yang belum selesai di antara keduanya, melibatkan seorang perempuan yang sama.

Sementara di teras rumah, istri Sarwa Kusuma terus memandangi kepergian suaminya dengan tatapan cemas. Wajah ayu perempuan itu mengernyit tegang. Dadanya berdegup tak karuan, membuat napasnya berubah pendek-pendek agak tersengal.

"Oh, mengapa perasaanku tiba-tiba saja menjadi tidak enak begini?" desah perempuan itu dengan suara bergetar.

Lalu tiba-tiba saja tubuhnya terasa lemas bukan main. Hampir saja istri sang kepala kampung jatuh, jika tidak cepat-cepat berpegangan pada tepian daun pintu yang terjangkau oleh tangannya.

Mata perempuan itu nanar, menatap sang suami yang semakin mendekati gapura. Sedangkan pertarungan di sana masih sengit terjadi. Beberapa korban tambahan kembali bergelimpangan di tanah. Darah semakin banyak tersimbah.

"Oh, Wijaya!" seru istri Sarwa Kusuma, teringat pada anak tunggalnya bersama sang kepala kampung. "Aku harus segera mencari di mana Wijaya!"

Bergegas perempuan itu bangkit dan menuju halaman belakang. Sambil melangkah setengah berlari sambil berharap di dalam hati bocah sembilan tahun itu masih bersama Sugatra, salah satu pengawal setia Ki Dukuh.

Namun setibanya di halaman belakang, istri Sarwa Kusuma tidak mendapati seorang pun di sana. Padahal tadi ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Wijaya tengah berlatih di tempat tersebut bersama Sugatra.

"Ke mana mereka?" desis istri Sarwa Kusuma. Paras ayunya yang sudah pucat berubah panik, lalu ia berseru memanggil, "Wijaya, Sugatra! Kalian di mana?"

Sepi. Tak ada sahutan sama sekali. Tergopoh-gopoh istri Sarwa Kusuma menelusuri setiap sudut halaman belakang yang sangat luas membentang.

Dengan cemas perempuan itu memeriksa ruangan-ruangan yang ada di sisi lain bangunan. Namun hasilnya sama saja, ia tetap tidak menemukan siapa-siapa. Tidak Wijaya, tidak juga Sugatra.

Rasa cemas berubah menjadi kepanikan. Dengan napas mulai tersengal-sengal, istri Sarwa Kusuma terus mencari hingga jauh lebih ke belakang. Ketika sampai di istal kuda yang terletak di dekat sudut tembok, barulah ia menjumpai siapa yang dicari.

"Sugatra!" panggil istri Sarwa Kusuma pada pengawal yang berdiri di depan kandang. Sepasang matanya sontak melotot mendapati lelaki di hadapannya itu hanya sendirian.

Pengawal yang dipanggil Sugatra sontak berbalik badan. Tangannya yang tengah membersihkan seekor kuda dengan sebentuk sikat seketika terhenti di udara. Kening lelaki muda itu berkerut mendapati wajah istri junjungannya menampakan kecemasan yang amat sangat.

"Mana Wijaya?" tanya istri Sarwa Kusuma lagi, sebelum sempat Sugatra menjawab panggilan.

"Gusti Wijaya?" Sugatra justru mengulang nama yang ditanyakan dengan tampang bingung. Tampak seperti sedang mengingat-ingat.

"Wijaya di mana, Sugatra! Tadi kau sedang berlatih bersamanya di sini, bukan?" desak istri Sarwa Kusuma, kali ini dengan setengah membentak.

Sugatra gelagapan karena kaget. Buru-buru ia menjawab dengan nada bersalah, "M-mohon ampuni saya, Gusti. T-tadi ... tadi Gusti Wijaya minta izin hendak bermain dengan puteri KI Bagaspati—"

"Indudewi, maksudmu?" tukas istri Sarwa Kusuma tak sabar.

Sugatra langsung mengangguk, mengiyakan.

"Ke mana mereka?"

"M-mereka ..." Sugatra menelan ludah takut-takut. "Tadi Gusti Wijaya berkata hendak mengajak Indudewi bermain di sungai, mencari capung."

Terdengar helaan napas kasar dari mulut istri Sarwa Kusuma. Perasaannya jadi semakin tak tenang mengetahui Wijaya berada jauh dari rumah tanpa pengawasan siapa-siapa.

Pada kesempatan lain perempuan itu tak akan secemas ini mengetahui Wijaya bermain di sungai bersama Indudewi. Puteri Ki Bagaspati itu sudah menjadi teman sepermainan Wijaya sejak kedua bocah masih sama-sama kecil.

Ki Bagaspati sendiri merupakan salah satu pemuka padukuhan sahabat Sarwa Kusuma. Bahkan mungkin lebih dari sahabat. Setiap kali mendapat masalah dalam memimpin Kartasentana, sang kepala kampung kerap meminta pendapat dan bantuan Ki Bagaspati.

Namun keadaan sedang genting saat ini. Istri Sarwa Kusuma sungguh merasa tidak tenang jika Wijaya berkeliaran di luaran sana tanpa pendamping satupun.

"Sekarang juga kau susul mereka dan bawa pulang Wijaya. Cepat!" ujar istri Sarwa Kusuma lagi, tegas memerintah.

"B-baik," jawab Sugatra tergagap, lalu menjura hormat. Sikat di tangannya langsung dibuang begitu saja ke lantai istal secara sembarangan.

Sebetulnya Sugatara ingin menanyakan sesuatu, tetapi nyalinya ciut demi melihat raut wajah dan sikap istri junjungannya. Tanpa membuang waktu lagi, bergegas lelaki itu meninggalkan istal. Setengah berlari ia menuju ke arah sungai di belakang sana.

Sekeluar dari tembok belakang, barulah Sugatra mendengar suara-suara ramai dari halaman depan. Mula-mula tidak terlalu jelas terdengar, tetapi lama-lama membuatnya penasaran dan menajamkan sepasang telinga.

Dentrangan senjata beradu, ditingkahi bentakan dan seruan kasar, lalu ada pula jerit pekik kesakitan. Semuanya bercampur menjadi satu dan menjejali liang pendengaran Sugatra.

Entah mengapa perasaan pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana itu mendadak merasa tidak enak. Di kepalanya seketika terbayang paras tegang diselimuti ketegangan milik istri Sarwa Kusuma.

Didorong rasa penasaran, Sugatra sontak berhenti dan lemparkan pandangan ke arah asal suara. Parasnya langsung berubah tegang melihat apa yang terjadi di halaman depan sana.

"Oh, Sang Hyang Agung!"

Bertepatan dengan saat itu, salah satu pengawal Ki Dukuh kena sambar parang besar lawan. Pengawal itu menjerit keras, lalu jatuh ke tanah dengan tubuh bersimbah darah. Sedangkan lawan yang melakukan kekejian tersebut tampak menyeringai puas.

Napas Sugatra seolah berhenti menyaksikan kejadian itu. Rasa-rasanya tubuhnyalah yang terkena sambaran parang tadi. Ia juga seolah ikut merasakan sakitnya luka bacok yang didapat temannya sesama pengawal Ki Dukuh Kartasentana.

Tahulah Sugatra sekarang jika keadaan tengah gawat darurat. Pahamlah ia kini apa pangkal ketegangan dan kecemasan Nyi Dukuh tadi. 

"Oh, Gusti Wijaya!" seru Sugatra, teringat lagi pada apa yang seharusnya ia lakukan. "Aku harus segera menyusul Gusti Wijaya! Gawat, ini benar-benar gawat!"

_)|(_

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status