MENDAPAT serangan begitu rupa, selusin lelaki penyerang yang memang sudah bersiaga langsung mencabut senjata masing-masing. Diiringi bentakan-bentakan keras, mereka ayunkan parang lebar di tangan untuk menangkis sabetan para penjaga kediaman Ki Dukuh Kartasentana.
Trang! Trang!
Suara berdentrangan keras terdengar, memecah keheningan senja manakala 20 mata senjata saling beradu. Serangan para pengawal Ki Dukuh Kartasentana gagal menemui sasaran.
Sambil menggerendeng marah, delapan pengawal tersebut kembali sabetkan golok di tangan ke arah musuh. Kali ini serangan dilakukan dari jarak lebih dekat. Tak mungkin rasanya kalau sampai luput.
Sring! Sring!
Selusin lelaki penyerang mendengus kasar, lalu dengan serentak pelintangkan parang besar ke depan dada masing-masing.
Traaaaaang!
Sekali lagi suara berdentrangan terdengar keras membelah udara.
Tak mau terus-terusan ditekan, selusin lelaki penyerang coba mengambil alih kendali pertarungan. Usai melakukan tangkisan tadi, parang besarmereka langsung diputar sedemikian rupa. Untuk kemudian ditusukkan ke arah lawan.
"Hiaaaat!"
Para pengawal kediaman kepala kampung tak menyangka serangan balik ini. Mereka sontak terhenyak, sama sekali tak menduga bakal balik diserang secepat ini.
Maka serentak kedelapan pengawal mundur beberapa langkah. Sementara pada saat bersamaan tangan mereka menggerakkan golok ke depan untuk melindungi diri.
Namun tak semua penjaga kediaman Ki Dukuh Kartasentana dapat bergerak sigap. Satu di antara mereka terlambat menghindari serangan. Terlebih karena dirinya mendapat dua tusukan sekaligus.
Satu ancaman parang lawan memang berhasil ia tangkis. Akan tetapi yang satunya lagi terus masuk menembus pertahanannya, lalu menancap dalam di pertengahan dada.
Jleb!
"Aaaaaa!"
Jeritan setinggi langit keluar dari mulut pengawal tersebut. Ketika lawan menarik balik parang dari tubuhnya, orang ini keluarkan seruan tertahan. Kakinya terjajar mundur beberapa langkah. Sedangkan wajahnya mengernyit menahan sakit.
Darah segar membasahi dada dan perut pengawal nan malang tersebut. Keluar dari luka yang menganga lebar akibat tusukan parang besar gerombolan penyerang.
Sambil pegangi lukanya, si pengawal jatuh terduduk di tanah. Untuk kemudian tubuhnya terbanting ke tanah dan menggelepar beberapa saat sebelum nyawanya lepas dari badan.
Tujuh pengawal Ki Dukuh Kartasentana yang lain tersentak kaget. Wajah mereka berubah tegang. Jelaslah sudah aturan mainnya sekarang. Jika tak mau terbunuh seperti pengawal tadi, maka mereka harus bisa menghabisi lawan!
"Hahaha. Tampang kalian tampak ketakutan. Kasihan sekali ..." Lelaki pemimpin gerombolan penyerang berkata mengejek. "Aku beri kalian kesempatan kedua. Cepat panggil keluar Sarwa Kusuma busuk itu sekarang juga atau...."
Penjaga gapura yang sejak tadi jadi juru bicara maju selangkah. Sebelum balas ucapan orang, terlebih dahulu ia meludah kasar ke tanah.
"Cuih! Kalian gerombolan keparat pembawa bala! Nyawa teman kami itu harus kalian balas sekarang juga!" bentak si penjaga gapura dengan wajah memerah.
Ucapan tersebut ditutup dengan satu isyarat pada enam pengawal Ki Dukuh Kartasentana yang lain. Dibarengi dengan teriakan menggelegar, tujuh pengawal itu kemudian kembali menyerang dengan golok di tangan.
"Huh, dikasih kesempatan hidup malah minta mati!" geram lelaki pemimpin gerombolan penyerang. Ia lalu memberi isyarat pula pada selusin orang yang dibawanya agar meladeni serangan.
Pertempuran bersenjata kembali pecah di depan gapura paduraksa. Suara berdentrangan yang ditimbulkan beradunya belasan parang terdengar bertalu-talu. Ditambah dengan bentakan-bentakan keras dari mulut masing-masing.
"Habisi mereka semua! Jangan beri ampun!" seru pemimpin gerombolan penyerang di sela-sela ramainya suasana.
"Hiaaaaat!"
Traaang! Traaang! Traaang!
***
KERIBUTAN di depan gapura itu terdengar hingga ke dalam bangunan besar. Tempat di mana Sarwa Kusuma sang pemimpin padukuhan Kartasentana tinggal.
Ki Dukuh Kartasentana yang tengah berada di ruang tengah bergegas menuju ke depan untuk memeriksa keadaan. Namun belum lagi lelaki berusia awal 30-an tahun tersebut sampai di pintu, seorang perempuan berwajah bulat telur datang menyongsongnya. Tak lain merupakan istri sang kepala kampung.
"Apa yang terjadi di depan sana, Kakang? Aku mendengar suara gaduh," tanya perempuan tersebut dengan raut muka heran bercampur cemas.
Sarwa Kusuma gelengkan kepala, baru kemudian menyahut, "Aku juga tidak tahu, Rayi. Aku baru saja hendak mencari tahu ke depan."
Dengan penuh penasaran keduanya meneruskan langkah. Tiba di ambang pintu utama nan lebar, suami-istri itu dapat menyaksikan dengan jelas apa yang tengah terjadi di depan gapura masuk.
Pertarungan bersenjata antara para pengawal dan gerombolan penyerang masih berlangsung. Namun jumlah pesertanya sudah berkurang. Beberapa tubuh sudah terkapar di tanah dengan gelimangan darah di mana-mana.
Sementara agak jauh dari gelanggang pertarungan, terlihat beberapa warga kampung mengintip dengan takut-takut dari balik perdu yang menjadi pagar alami di tepian jalan. Di antara mereka terdapat dua pemuda yang di sawah tadi.
"Jagat dewa bhatara!" desis Sarwa Kusuma saat mengenali jasad-jasad penuh luka dan darah yang bergelimpangan itu adalah para pengawalnya. Paras sang kepala kampung seketika berubah tegang.
Sementara itu, istri Sarwa Kusuma memekik ngeri. Perempuan tersebut langsung memalingkan wajah dan bersembunyi di balik punggung suaminya.
"I-itu ... Bramanta, Kang?" tanya istri Ki Dukuh Kartasentana dengan suara bergetar.
Sarwa Kusuma tak menjawab. Namun mereka berdua sudah sama-sama melihat wajah lelaki berparas bersih lagi klimis yang jadi pemimpin gerombolan penyerang. Orang itu memang mereka kenali sebagai Bramanta.
Lelaki bernama Bramanta itu dikenal luas sebagai kaki tangan Raka i Waharu. Namun sebetulnya ia adalah seorang mangilala drwya haji. Lebih tepatnya petugas pemungut pajak yang wilayah tugasnya mencakup beberapa wanua di watak Waharu. Termasuk wanua Sangguran di mana Padukuhan Kartasentana menjadi bagian di dalamnya.
Namun Sarwa Kusuma dan istrinya sama-sama mengerti, kedatangan Bramanta bukan semata-mata untuk tujuan menagih pajak. Sejak awal mereka sudah menangkap jika urusan pajak hanyalah kedok semata bagi lelaki muda tersebut.
"Agaknya dia masih memendam dendam kepada kita berdua, Kakang," ujar istri Sarwa Kusuma lagi, kali ini dengan suara kecut bergetar.
Mendengar itu, Sarwa Kusuma menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Naluri kelelakiannya merasa tersentil jika mengingat bagaimana hubung kait di antara mereka bertiga dulu.
Ya, kepala kampung Kartasentana itu tahu betul jika kedatangan Bramanta membawa satu persoalan pribadi. Membawa sebuah niat keji berlumur dendam asmara di masa lalu.
Dengan napas memburu karena tersulut amarah, Sarwa Kusuma lantas bertanya pada istrinya, "Di mana Wijaya?"
Ketegangan yang merambat dalam dirinya membuat istri Sarwa Kusuma tak segera menjawab. Bukan karena tak mendengar pertanyaan suaminya, tetapi perasaan yang campur aduk membuat lidahnya serasa kelu.
Sambil mendengkus kasar, Sarwa Kusuma berpaling pada istrinya. Ia langsung menghela napas panjang demi mendapati paras perempuan itu pucat pasi dilanda ketakutan.
"Rayi, di mana Wijaya?" ulang sang kepala kampung. Meski disampaikan dengan selembut mungkin, tetapi nada bicaranya jelas sekali terdengar tegang.
Bukan karena rasa takut menghinggapi diri sang kepala kampung. Melainkan hawa amarah yang mulai merambat di sekujur tubuhnya setelah menyaksikan apa yang terjadi di depan sana.
Bahkan hanya melihat tampang Bramanta saja sudah cukup membuat darah di dalam tubuh Sarwa Kusuma menggelegak. Baginya petugas pemungut pajak itu telah bertindak sangat keterlaluan.
"Rayi?" Sarwa Kusuma yang tak kunjung mendapat jawaban menyentuh pundak istrinya. yang disentuh langsung tergeragap dan menghela napas panjang. "Wijaya di mana?"
"T-tadi ... tadi kulihat Wijaya di halaman belakang, sedang berlatih bersama Sugatra," jawab istri Sarwa Kusuma kemudian. Suaranya bergetar, tampak jelas perempuan itu sudah sangat ketakutan sekali.
"Dengar, Rayi, aku akan keluar menemui para pengacau itu. Kau pergilah ke belakang, beri tahu Sugatra dan pengawal lain untuk menjaga Wijaya," ujar Sarwa Kusuma lagi.
Ucapan itu membuat istri sang kepala kampung tiba-tiba saja merasa hatinya tidak enak. Ia tahu apa yang bakal dilakukan suaminya.
"Kakang, kau tidak perlu turun tangan langsung. Biarkan saja para pengawal yang menghadapi mereka," cegah perempuan itu dengan nada khawatir.
"Tidak, Rayi. Mereka datang mencariku, terutama Bramanta keparat itu. Jadi, aku justru harus keluar menemui mereka, sebab akulah yang mereka inginkan," sergah Sarwa Kusuma, sama sekali tak menghiraukan kekhawatiran istrinya.
"T-tapi, Kang—"
"Cepatlah ke belakang dan beri tahu apa yang terjadi pada Sugatra!" tukas Sarwa Kusuma dengan tegas. Tampak sekali ia tak mau lagi dibantah.
Sebelum sempat istrinya menanggapi, sembari melangkah keluar Sarwa Kusuma sudah berkata lagi.
"Ingat, apapun yang nanti menimpa diriku, jangan sampai kau dan Wijaya terlihat oleh Bramanta keparat itu maupun para cecunguknya. Kalau perlu, kalian pergilah sejauh-jauhnya dari sini. Paham?"
_)|(_
Raka adalah sebutan bagi pemimpin sebuah wisaya atau watak dalam tata wilayah Kerajaan Medang. Seorang raka bertanggung jawab langsung pada raja yang bertakhta. Jabatannya kira-kira setara gubernur di masa kini. Raka i Waharu dalam cerita ini berarti orang yang dimaksud adalah pemimpin wisaya/watak Waharu. Nama ini terdokumentasi dalam Prasasti Sangguran (850 Syaka/928 M.), di mana juga menyebutkan nama wanua Sangguran yang menjadi latar cerita. Pada masa Panjalu-Jenggala dan kemudian Singasari-Majapahit, sebutan Raka i menjadi Rakai atau Rake atau Rakryan.
"B-BAIK, Kang, aku mengerti," jawab istri Sarwa Kusuma, meski dengan perasaan semakin tidak enak.Andai saja bisa, ingin rasanya perempuan itu mencegah tindakan Sarwa Kusuma. Namun ia paham sekali bagaimana watak suaminya. Sekali berkata akan maju, pantang bagi sang kepala kampung untuk mundur.Sementara Sarwa Kusuma meraih sebilah pedang panjang dalam warangka yang tergantung di dinding ruangan. Itulah senjata andalannya sebagai kepala padukuhan Kartasentana.Sambil menenteng pedang di tangan kanan, lelaki berwajah cakap itu melangkah keluar dengan gagah. Terdengar dengusan kesal dari mulutnya yang lantas menggerutu."Huh, Bramanta keparat itu benar-benar minta dikuliti sampai modar!" desis Sarwa Kusuma dengan geram.Kepala padukuhan itu yakin betul tamunya tersebut membawa niat keji kali ini. Bukan sekadar melakukan pembalasan atas pertikaian yang terjadi di antara mereka beberapa pekan lalu.Lebih dari itu, Sarwa Kusuma sangat paham jika Bramanta masih memendam rasa penasaran denga
SUNGAI yang menjadi tujuan Sugatra sebetulnya tidaklah terlalu jauh. Namun karena benak pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana itu diselubungi kecemasan, langkah kakinya menjadi kacau balau.Berkali-kali kaki Sugatra tersangkut akar pepohonan yang menjalar di permukaan tanah. Sesekali juga tersandung tonjolan batu sehingga membuatnya nyaris jatuh. Akibatnya, jarak yang sebenarnya dekat jadi lebih lama dicapai.Belum lagi setiap beberapa langkah Sugatra berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ia merasa perlu mengamati rumah besar milik junjungannya yang tengah disatroni segerombolan penyerang entah dari mana."Gusti Sang Hyang Tunggal, mohon lindungi Ki Dukuh dan Nyi Dukuh," desis Sugatra setiap kali melihat ke belakang. Setelah menarik napas berat, barulah ia kembali melanjutkan langkah.Sambil berlari Sugatra sambil menebak-nebak. Siapakah kiranya para penyerang yang tengah menyatroni kediaman Ki Dukuh Kartasentana? Sekelebat dugaan melintas di kepalanya."Jangan-jangan ... " Sugat
APA yang terjadi pada Sarwa Kusuma dan seisi rumah sang kepala kampung? Mengapa kediaman besarnya tahu-tahu saja sudah terbakar hebat sekembali Sugatra mencari Wijaya Kusuma di sungai?Mari kita kembali sejenak ke peristiwa sebelumnya. Tepatnya ketika Sugatra pergi ke sungai untuk mencari Wijaya Kusuma, seperti diperintahkan oleh istri Sarwa Kusuma.Sementara pengawal setianya berlari secepat kilat ke arah sungai di belakang, istri Sarwa Kusuma kembali ke bagian depan rumah. Perempuan itu merasa cemas dengan keadaan suaminya yang memilih mendatangi gerombolan penyerang.Oh, Gusti Sang Hyang Agung, semoga saja Kakang Sarwa tidak kenapa-kenapa, batin istri Sarwa Kusuma dengan penuh harap. Namun entah kenapa perasaanku tidak enak begini. Entah firasat apa ini sebenarnya.Tiba di ruang depan, dari mana ia dapat melihat langsung ke gapura penjagaan tempat terjadinya perkelahian, istri Sarwa Kusuma sontak tertegun. Sepasang matanya membesar, dengan sepasang tangan menutupi mulut yang mengan
TERDENGAR jeritan melengking ketika kedua tangan Sarwa Kusuma dibuat putus oleh sambaran parang besar lawan. Namun bukan sang kepala kampung yang menjerit, melainkan istrinya yang tengah bersimpuh setengah gemetar di ambang pintu rumah.Pada saat bersamaan perempuan itu baru menyadari jika Bramanta dan dua lelaki lain tengah berjalan mendekat ke arahnya. Seketika parasnya berubah. Napasnya juga jadi tersengal-sengal, dengan jantung bertalu-talu kencang.Belum sempat perempuan itu berbuat apa-apa, tahu-tahu saja Bramanta sudah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut mengembangkan seringai lebar, sembari berkacak pinggang."B-Bramanta! M-mau apa kau?" desis istri Sarwa Kusuma.Dengan susah payah Nyi Dukuh coba berdiri. Kedua tangannya berpegangan pada bingkai pintu. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Bramanta.Sedangkan Bramanta melangkah perlahan ke hadapan perempuan tersebut. Seringainya masih terkembang, tetapi kini tipis saja. Sebelah tangannya lantas terangkat, lalu dengan kuran
"HEI, berhenti kalian!"Sugatra tentu saja tak mau menuruti seruan tersebut. Alih-alih, ia menggenjot larinya lebih kencang lagi agar lepas dari tempelan empat lelaki berkuda yang melihat keberadaannya bersama Wijaya Kusuma."Kejar terus! Jangan sampai mereka lolos!" seru pengejar yang lainnya pula.Sayang, niat Sugatra tak diimbangi oleh Wijaya Kusuma. Anak kecil itu terus meronta-ronta minta diturunkan karena ingin melihat ayah dan ibunya di dalam rumah. Polah yang membuat Sugatra tak dapat lari sekencang yang ia inginkan.Sementara suara derap kaki-kaki kuda semakin keras terdengar dari arah belakang keduanya. Pertanda empat anggota gerombolan yang mengejar mereka bertambah dekat jaraknya."Turunkan aku, Paman! Aku mau masuk rumah! Aku ingin tahu keadaan Ayah dan Ibu!" jerit Wijaya Kusuma tanpa henti. Bocah itu terus meronta-ronta tak karuan."Jangan, Gusti. Saya mohon ..." Sugatra terdengar panik sendiri. "Kita harus segera pergi jauh dari sini. Keadaannya sangat berbahaya...."Wi
WIRAMA berlaku nekat. Ia memang tidak memiliki bekal kepandaian bela diri yang mumpuni. Namun sebagai petani yang sehari-hari bekerja di sawah dan ladang, pemuda itu sudah terbiasa menggunakan senjata tajam.Maka sabit yang sebetulnya alat bertani itu berubah jadi senjata pengintai maut. Suara kesiurnya terdengar meyakinkan. Terlebih arah yang diancam Wirama adalah batang leher Bramanta.Jelas saja yang diserang jadi mengelam mukanya, sebab orang sudah terang-terangan menginginkan kematiannya."Sial dangkalan!" rutuk Bramanta, seraya menarik tubuh ke belakang satu langkah. Membuat sabit di tangan Wirama hanya mengoyak angin kosong.Dari satu gerakan itu saja Bramanta sudah tahu jika penyerangnya tidak memiliki kemampuan bela diri yang cukup. Sabetan yang tadi mengancamnya juga hanya mengandung tenaga kasar. Tidak ada pengerahan tenaga dalam walau hanya sedikit.Menyadari itu, seringai Bramanta jadi terkembang lebar. Ia tak ingin membuang-buang waktu meladeni lawan. Sejak tadi pikirann
"GUSTI, harap ampuni saya!" seru Sugatra begitu tubuhnya membentur tanah keras. Ia segera menyadari jika kelalaiannya dapat mencelakakan Wijaya Kusuma.Sementara Wijaya Kusuma yang terlempar dari panggulan Sugatra menjerit kaget dan mengaduh. Untung saja tubuh bocah itu jatuh di atas rerumputan nan empuk.Mengabaikan rasa sakitnya sendiri, Sugatra buru-buru bangkit dan menghampiri Wijaya Kusuma. Namun belum sempat ia menanyakan keadaan putera junjungannya itu, di sekeliling mereka telah berdiri empat lelaki."Ah, akhirnya dapat juga kami mengejar kalian," ujar salah satu lelaki, lalu tertawa mengekeh."Jangan harap kalian bisa lari lagi dari kamu," timpal lelaki yang berkumis lebat pula.Berubah paras Sugatra mengetahui keadaan. Secara naluriah ia segera memeluk Wijaya Kusuma, bermaksud melindungi bocah tersebut dari ancaman.Tanpa Sugatra sadari, sikapnya itu justru memancing ketertarikan keempat lelaki pengejar. Kecurigaan mereka bertambah besar terhadap siapa yang tengah dilindungi
"PAMAN Sugatra, awas serangan! Cepat menghindar!" seru Wijaya Kusuma melihat pengawalnya terdesak hebat.Namun Sugatra tak dapat lagi menghindar. Tendangan lawan mendarat telak di pangkal lehernya, membuat pengawal setia Ki Dukuh Kartasentan itu mengeluh tinggi.Tubuh Sugatra mencelat beberapa langkah ke belakang, menandakan jika tendangan lawan tadi dikerahkan dengan banyak tenaga. Susah payah ia menyeimbangkan diri agak tidak terjatuh duduk saat mendarat.Namun belum sempat Sugatra mengambil napas, satu serangan lagi sudah menghantamnya. Kali ini lawan kedua menggedor dadanya dengan satu sikutan keras.Kembali terdengar keluhan tertahan dari mulut Sugatra. Sekarang ia sudah tak dapat lagi menahan keseimbangan. Setelah terjajar dan terhuyung-huyung beberapa saat, tubuhnya rebah ke tanah."K-keparat!" geram Sugatra dengan napas tersengal. Ia merasakan dadanya sesak bukan main. Seakan-akan tengah ditindih sebongkah batu sebesar gajah.Ketika ia hendak menarik napas panjang untuk melong