Share

002 - Ki Sarwa Kusuma

MENDAPAT serangan begitu rupa, selusin lelaki penyerang yang memang sudah bersiaga langsung mencabut senjata masing-masing. Diiringi bentakan-bentakan keras, mereka ayunkan parang lebar di tangan untuk menangkis sabetan para penjaga kediaman Ki Dukuh Kartasentana.

Trang! Trang!

Suara berdentrangan keras terdengar, memecah keheningan senja manakala 20 mata senjata saling beradu. Serangan para pengawal Ki Dukuh Kartasentana gagal menemui sasaran.

Sambil menggerendeng marah, delapan pengawal tersebut kembali sabetkan golok di tangan ke arah musuh. Kali ini serangan dilakukan dari jarak lebih dekat. Tak mungkin rasanya kalau sampai luput.

Sring! Sring!

Selusin lelaki penyerang mendengus kasar, lalu dengan serentak pelintangkan parang besar ke depan dada masing-masing.

Traaaaaang!

Sekali lagi suara berdentrangan terdengar keras membelah udara.

Tak mau terus-terusan ditekan, selusin lelaki penyerang coba mengambil alih kendali pertarungan. Usai melakukan tangkisan tadi, parang besarmereka langsung diputar sedemikian rupa. Untuk kemudian ditusukkan ke arah lawan.

"Hiaaaat!"

Para pengawal kediaman kepala kampung tak menyangka serangan balik ini. Mereka sontak terhenyak, sama sekali tak menduga bakal balik diserang secepat ini.

Maka serentak kedelapan pengawal mundur beberapa langkah. Sementara pada saat bersamaan tangan mereka menggerakkan golok ke depan untuk melindungi diri.

Namun tak semua penjaga kediaman Ki Dukuh Kartasentana dapat bergerak sigap. Satu di antara mereka terlambat menghindari serangan. Terlebih karena dirinya mendapat dua tusukan sekaligus.

Satu ancaman parang lawan memang berhasil ia tangkis. Akan tetapi yang satunya lagi terus masuk menembus pertahanannya, lalu menancap dalam di pertengahan dada.

Jleb!

"Aaaaaa!"

Jeritan setinggi langit keluar dari mulut pengawal tersebut. Ketika lawan menarik balik parang dari tubuhnya, orang ini keluarkan seruan tertahan. Kakinya terjajar mundur beberapa langkah. Sedangkan wajahnya mengernyit menahan sakit.

Darah segar membasahi dada dan perut pengawal nan malang tersebut. Keluar dari luka yang menganga lebar akibat tusukan parang besar gerombolan penyerang.

Sambil pegangi lukanya, si pengawal jatuh terduduk di tanah. Untuk kemudian tubuhnya terbanting ke tanah dan menggelepar beberapa saat sebelum nyawanya lepas dari badan.

Tujuh pengawal Ki Dukuh Kartasentana yang lain tersentak kaget. Wajah mereka berubah tegang. Jelaslah sudah aturan mainnya sekarang. Jika tak mau terbunuh seperti pengawal tadi, maka mereka harus bisa menghabisi lawan!

"Hahaha. Tampang kalian tampak ketakutan. Kasihan sekali ..." Lelaki pemimpin gerombolan penyerang berkata mengejek. "Aku beri kalian kesempatan kedua. Cepat panggil keluar Sarwa Kusuma busuk itu sekarang juga atau...."

Penjaga gapura yang sejak tadi jadi juru bicara maju selangkah. Sebelum balas ucapan orang, terlebih dahulu ia meludah kasar ke tanah.

"Cuih! Kalian gerombolan keparat pembawa bala! Nyawa teman kami itu harus kalian balas sekarang juga!" bentak si penjaga gapura dengan wajah memerah.

Ucapan tersebut ditutup dengan satu isyarat pada enam pengawal Ki Dukuh Kartasentana yang lain. Dibarengi dengan teriakan menggelegar, tujuh pengawal itu kemudian kembali menyerang dengan golok di tangan.

"Huh, dikasih kesempatan hidup malah minta mati!" geram lelaki pemimpin gerombolan penyerang. Ia lalu memberi isyarat pula pada selusin orang yang dibawanya agar meladeni serangan.

Pertempuran bersenjata kembali pecah di depan gapura paduraksa. Suara berdentrangan yang ditimbulkan beradunya belasan parang terdengar bertalu-talu. Ditambah dengan bentakan-bentakan keras dari mulut masing-masing.

"Habisi mereka semua! Jangan beri ampun!" seru pemimpin gerombolan penyerang di sela-sela ramainya suasana.

"Hiaaaaat!"

Traaang! Traaang! Traaang!

***

KERIBUTAN di depan gapura itu terdengar hingga ke dalam bangunan besar. Tempat di mana Sarwa Kusuma sang pemimpin padukuhan Kartasentana tinggal.

Ki Dukuh Kartasentana yang tengah berada di ruang tengah bergegas menuju ke depan untuk memeriksa keadaan. Namun belum lagi lelaki berusia awal 30-an tahun tersebut sampai di pintu, seorang perempuan berwajah bulat telur datang menyongsongnya. Tak lain merupakan istri sang kepala kampung.

"Apa yang terjadi di depan sana, Kakang? Aku mendengar suara gaduh," tanya perempuan tersebut dengan raut muka heran bercampur cemas.

Sarwa Kusuma gelengkan kepala, baru kemudian menyahut, "Aku juga tidak tahu, Rayi. Aku baru saja hendak mencari tahu ke depan."

Dengan penuh penasaran keduanya meneruskan langkah. Tiba di ambang pintu utama nan lebar, suami-istri itu dapat menyaksikan dengan jelas apa yang tengah terjadi di depan gapura masuk.

Pertarungan bersenjata antara para pengawal dan gerombolan penyerang masih berlangsung. Namun jumlah pesertanya sudah berkurang. Beberapa tubuh sudah terkapar di tanah dengan gelimangan darah di mana-mana.

Sementara agak jauh dari gelanggang pertarungan, terlihat beberapa warga kampung mengintip dengan takut-takut dari balik perdu yang menjadi pagar alami di tepian jalan. Di antara mereka terdapat dua pemuda yang di sawah tadi.

"Jagat dewa bhatara!" desis Sarwa Kusuma saat mengenali jasad-jasad penuh luka dan darah yang bergelimpangan itu adalah para pengawalnya. Paras sang kepala kampung seketika berubah tegang.

Sementara itu, istri Sarwa Kusuma memekik ngeri. Perempuan tersebut langsung memalingkan wajah dan bersembunyi di balik punggung suaminya.

"I-itu ... Bramanta, Kang?" tanya istri Ki Dukuh Kartasentana dengan suara bergetar.

Sarwa Kusuma tak menjawab. Namun mereka berdua sudah sama-sama melihat wajah lelaki berparas bersih lagi klimis yang jadi pemimpin gerombolan penyerang. Orang itu memang mereka kenali sebagai Bramanta.

Lelaki bernama Bramanta itu dikenal luas sebagai kaki tangan Raka i Waharu. Namun sebetulnya ia adalah seorang mangilala drwya haji. Lebih tepatnya petugas pemungut pajak yang wilayah tugasnya mencakup beberapa wanua di watak Waharu. Termasuk wanua Sangguran di mana Padukuhan Kartasentana menjadi bagian di dalamnya.

Namun Sarwa Kusuma dan istrinya sama-sama mengerti, kedatangan Bramanta bukan semata-mata untuk tujuan menagih pajak. Sejak awal mereka sudah menangkap jika urusan pajak hanyalah kedok semata bagi lelaki muda tersebut.

"Agaknya dia masih memendam dendam kepada kita berdua, Kakang," ujar istri Sarwa Kusuma lagi, kali ini dengan suara kecut bergetar.

Mendengar itu, Sarwa Kusuma menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Naluri kelelakiannya merasa tersentil jika mengingat bagaimana hubung kait di antara mereka bertiga dulu.

Ya, kepala kampung Kartasentana itu tahu betul jika kedatangan Bramanta membawa satu persoalan pribadi. Membawa sebuah niat keji berlumur dendam asmara di masa lalu.

Dengan napas memburu karena tersulut amarah, Sarwa Kusuma lantas bertanya pada istrinya, "Di mana Wijaya?"

Ketegangan yang merambat dalam dirinya membuat istri Sarwa Kusuma tak segera menjawab. Bukan karena tak mendengar pertanyaan suaminya, tetapi perasaan yang campur aduk membuat lidahnya serasa kelu.

Sambil mendengkus kasar, Sarwa Kusuma berpaling pada istrinya. Ia langsung menghela napas panjang demi mendapati paras perempuan itu pucat pasi dilanda ketakutan.

"Rayi, di mana Wijaya?" ulang sang kepala kampung. Meski disampaikan dengan selembut mungkin, tetapi nada bicaranya jelas sekali terdengar tegang.

Bukan karena rasa takut menghinggapi diri sang kepala kampung. Melainkan hawa amarah yang mulai merambat di sekujur tubuhnya setelah menyaksikan apa yang terjadi di depan sana.

Bahkan hanya melihat tampang Bramanta saja sudah cukup membuat darah di dalam tubuh Sarwa Kusuma menggelegak. Baginya petugas pemungut pajak itu telah bertindak sangat keterlaluan.

"Rayi?" Sarwa Kusuma yang tak kunjung mendapat jawaban menyentuh pundak istrinya. yang disentuh langsung tergeragap dan menghela napas panjang. "Wijaya di mana?"

"T-tadi ... tadi kulihat Wijaya di halaman belakang, sedang berlatih bersama Sugatra," jawab istri Sarwa Kusuma kemudian. Suaranya bergetar, tampak jelas perempuan itu sudah sangat ketakutan sekali.

"Dengar, Rayi, aku akan keluar menemui para pengacau itu. Kau pergilah ke belakang, beri tahu Sugatra dan pengawal lain untuk menjaga Wijaya," ujar Sarwa Kusuma lagi.

Ucapan itu membuat istri sang kepala kampung tiba-tiba saja merasa hatinya tidak enak. Ia tahu apa yang bakal dilakukan suaminya.

"Kakang, kau tidak perlu turun tangan langsung. Biarkan saja para pengawal yang menghadapi mereka," cegah perempuan itu dengan nada khawatir.

"Tidak, Rayi. Mereka datang mencariku, terutama Bramanta keparat itu. Jadi, aku justru harus keluar menemui mereka, sebab akulah yang mereka inginkan," sergah Sarwa Kusuma, sama sekali tak menghiraukan kekhawatiran istrinya.

"T-tapi, Kang—"

"Cepatlah ke belakang dan beri tahu apa yang terjadi pada Sugatra!" tukas Sarwa Kusuma dengan tegas. Tampak sekali ia tak mau lagi dibantah.

Sebelum sempat istrinya menanggapi, sembari melangkah keluar Sarwa Kusuma sudah berkata lagi.

"Ingat, apapun yang nanti menimpa diriku, jangan sampai kau dan Wijaya terlihat oleh Bramanta keparat itu maupun para cecunguknya. Kalau perlu, kalian pergilah sejauh-jauhnya dari sini. Paham?"

_)|(_

Kebo Rawis

Raka adalah sebutan bagi pemimpin sebuah wisaya atau watak dalam tata wilayah Kerajaan Medang. Seorang raka bertanggung jawab langsung pada raja yang bertakhta. Jabatannya kira-kira setara gubernur di masa kini. Raka i Waharu dalam cerita ini berarti orang yang dimaksud adalah pemimpin wisaya/watak Waharu. Nama ini terdokumentasi dalam Prasasti Sangguran (850 Syaka/928 M.), di mana juga menyebutkan nama wanua Sangguran yang menjadi latar cerita. Pada masa Panjalu-Jenggala dan kemudian Singasari-Majapahit, sebutan Raka i menjadi Rakai atau Rake atau Rakryan.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status