Home / Pendekar / Pendekar Golok Naga / 002 - Ki Sarwa Kusuma

Share

002 - Ki Sarwa Kusuma

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2023-05-24 22:27:58

MENDAPAT serangan begitu rupa, selusin lelaki penyerang yang memang sudah bersiaga langsung mencabut senjata masing-masing. Diiringi bentakan-bentakan keras, mereka ayunkan parang lebar di tangan untuk menangkis sabetan para penjaga kediaman Ki Dukuh Kartasentana.

Trang! Trang!

Suara berdentrangan keras terdengar, memecah keheningan senja manakala 20 mata senjata saling beradu. Serangan para pengawal Ki Dukuh Kartasentana gagal menemui sasaran.

Sambil menggerendeng marah, delapan pengawal tersebut kembali sabetkan golok di tangan ke arah musuh. Kali ini serangan dilakukan dari jarak lebih dekat. Tak mungkin rasanya kalau sampai luput.

Sring! Sring!

Selusin lelaki penyerang mendengus kasar, lalu dengan serentak pelintangkan parang besar ke depan dada masing-masing.

Traaaaaang!

Sekali lagi suara berdentrangan terdengar keras membelah udara.

Tak mau terus-terusan ditekan, selusin lelaki penyerang coba mengambil alih kendali pertarungan. Usai melakukan tangkisan tadi, parang besarmereka langsung diputar sedemikian rupa. Untuk kemudian ditusukkan ke arah lawan.

"Hiaaaat!"

Para pengawal kediaman kepala kampung tak menyangka serangan balik ini. Mereka sontak terhenyak, sama sekali tak menduga bakal balik diserang secepat ini.

Maka serentak kedelapan pengawal mundur beberapa langkah. Sementara pada saat bersamaan tangan mereka menggerakkan golok ke depan untuk melindungi diri.

Namun tak semua penjaga kediaman Ki Dukuh Kartasentana dapat bergerak sigap. Satu di antara mereka terlambat menghindari serangan. Terlebih karena dirinya mendapat dua tusukan sekaligus.

Satu ancaman parang lawan memang berhasil ia tangkis. Akan tetapi yang satunya lagi terus masuk menembus pertahanannya, lalu menancap dalam di pertengahan dada.

Jleb!

"Aaaaaa!"

Jeritan setinggi langit keluar dari mulut pengawal tersebut. Ketika lawan menarik balik parang dari tubuhnya, orang ini keluarkan seruan tertahan. Kakinya terjajar mundur beberapa langkah. Sedangkan wajahnya mengernyit menahan sakit.

Darah segar membasahi dada dan perut pengawal nan malang tersebut. Keluar dari luka yang menganga lebar akibat tusukan parang besar gerombolan penyerang.

Sambil pegangi lukanya, si pengawal jatuh terduduk di tanah. Untuk kemudian tubuhnya terbanting ke tanah dan menggelepar beberapa saat sebelum nyawanya lepas dari badan.

Tujuh pengawal Ki Dukuh Kartasentana yang lain tersentak kaget. Wajah mereka berubah tegang. Jelaslah sudah aturan mainnya sekarang. Jika tak mau terbunuh seperti pengawal tadi, maka mereka harus bisa menghabisi lawan!

"Hahaha. Tampang kalian tampak ketakutan. Kasihan sekali ..." Lelaki pemimpin gerombolan penyerang berkata mengejek. "Aku beri kalian kesempatan kedua. Cepat panggil keluar Sarwa Kusuma busuk itu sekarang juga atau...."

Penjaga gapura yang sejak tadi jadi juru bicara maju selangkah. Sebelum balas ucapan orang, terlebih dahulu ia meludah kasar ke tanah.

"Cuih! Kalian gerombolan keparat pembawa bala! Nyawa teman kami itu harus kalian balas sekarang juga!" bentak si penjaga gapura dengan wajah memerah.

Ucapan tersebut ditutup dengan satu isyarat pada enam pengawal Ki Dukuh Kartasentana yang lain. Dibarengi dengan teriakan menggelegar, tujuh pengawal itu kemudian kembali menyerang dengan golok di tangan.

"Huh, dikasih kesempatan hidup malah minta mati!" geram lelaki pemimpin gerombolan penyerang. Ia lalu memberi isyarat pula pada selusin orang yang dibawanya agar meladeni serangan.

Pertempuran bersenjata kembali pecah di depan gapura paduraksa. Suara berdentrangan yang ditimbulkan beradunya belasan parang terdengar bertalu-talu. Ditambah dengan bentakan-bentakan keras dari mulut masing-masing.

"Habisi mereka semua! Jangan beri ampun!" seru pemimpin gerombolan penyerang di sela-sela ramainya suasana.

"Hiaaaaat!"

Traaang! Traaang! Traaang!

***

KERIBUTAN di depan gapura itu terdengar hingga ke dalam bangunan besar. Tempat di mana Sarwa Kusuma sang pemimpin padukuhan Kartasentana tinggal.

Ki Dukuh Kartasentana yang tengah berada di ruang tengah bergegas menuju ke depan untuk memeriksa keadaan. Namun belum lagi lelaki berusia awal 30-an tahun tersebut sampai di pintu, seorang perempuan berwajah bulat telur datang menyongsongnya. Tak lain merupakan istri sang kepala kampung.

"Apa yang terjadi di depan sana, Kakang? Aku mendengar suara gaduh," tanya perempuan tersebut dengan raut muka heran bercampur cemas.

Sarwa Kusuma gelengkan kepala, baru kemudian menyahut, "Aku juga tidak tahu, Rayi. Aku baru saja hendak mencari tahu ke depan."

Dengan penuh penasaran keduanya meneruskan langkah. Tiba di ambang pintu utama nan lebar, suami-istri itu dapat menyaksikan dengan jelas apa yang tengah terjadi di depan gapura masuk.

Pertarungan bersenjata antara para pengawal dan gerombolan penyerang masih berlangsung. Namun jumlah pesertanya sudah berkurang. Beberapa tubuh sudah terkapar di tanah dengan gelimangan darah di mana-mana.

Sementara agak jauh dari gelanggang pertarungan, terlihat beberapa warga kampung mengintip dengan takut-takut dari balik perdu yang menjadi pagar alami di tepian jalan. Di antara mereka terdapat dua pemuda yang di sawah tadi.

"Jagat dewa bhatara!" desis Sarwa Kusuma saat mengenali jasad-jasad penuh luka dan darah yang bergelimpangan itu adalah para pengawalnya. Paras sang kepala kampung seketika berubah tegang.

Sementara itu, istri Sarwa Kusuma memekik ngeri. Perempuan tersebut langsung memalingkan wajah dan bersembunyi di balik punggung suaminya.

"I-itu ... Bramanta, Kang?" tanya istri Ki Dukuh Kartasentana dengan suara bergetar.

Sarwa Kusuma tak menjawab. Namun mereka berdua sudah sama-sama melihat wajah lelaki berparas bersih lagi klimis yang jadi pemimpin gerombolan penyerang. Orang itu memang mereka kenali sebagai Bramanta.

Lelaki bernama Bramanta itu dikenal luas sebagai kaki tangan Raka i Waharu. Namun sebetulnya ia adalah seorang mangilala drwya haji. Lebih tepatnya petugas pemungut pajak yang wilayah tugasnya mencakup beberapa wanua di watak Waharu. Termasuk wanua Sangguran di mana Padukuhan Kartasentana menjadi bagian di dalamnya.

Namun Sarwa Kusuma dan istrinya sama-sama mengerti, kedatangan Bramanta bukan semata-mata untuk tujuan menagih pajak. Sejak awal mereka sudah menangkap jika urusan pajak hanyalah kedok semata bagi lelaki muda tersebut.

"Agaknya dia masih memendam dendam kepada kita berdua, Kakang," ujar istri Sarwa Kusuma lagi, kali ini dengan suara kecut bergetar.

Mendengar itu, Sarwa Kusuma menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Naluri kelelakiannya merasa tersentil jika mengingat bagaimana hubung kait di antara mereka bertiga dulu.

Ya, kepala kampung Kartasentana itu tahu betul jika kedatangan Bramanta membawa satu persoalan pribadi. Membawa sebuah niat keji berlumur dendam asmara di masa lalu.

Dengan napas memburu karena tersulut amarah, Sarwa Kusuma lantas bertanya pada istrinya, "Di mana Wijaya?"

Ketegangan yang merambat dalam dirinya membuat istri Sarwa Kusuma tak segera menjawab. Bukan karena tak mendengar pertanyaan suaminya, tetapi perasaan yang campur aduk membuat lidahnya serasa kelu.

Sambil mendengkus kasar, Sarwa Kusuma berpaling pada istrinya. Ia langsung menghela napas panjang demi mendapati paras perempuan itu pucat pasi dilanda ketakutan.

"Rayi, di mana Wijaya?" ulang sang kepala kampung. Meski disampaikan dengan selembut mungkin, tetapi nada bicaranya jelas sekali terdengar tegang.

Bukan karena rasa takut menghinggapi diri sang kepala kampung. Melainkan hawa amarah yang mulai merambat di sekujur tubuhnya setelah menyaksikan apa yang terjadi di depan sana.

Bahkan hanya melihat tampang Bramanta saja sudah cukup membuat darah di dalam tubuh Sarwa Kusuma menggelegak. Baginya petugas pemungut pajak itu telah bertindak sangat keterlaluan.

"Rayi?" Sarwa Kusuma yang tak kunjung mendapat jawaban menyentuh pundak istrinya. yang disentuh langsung tergeragap dan menghela napas panjang. "Wijaya di mana?"

"T-tadi ... tadi kulihat Wijaya di halaman belakang, sedang berlatih bersama Sugatra," jawab istri Sarwa Kusuma kemudian. Suaranya bergetar, tampak jelas perempuan itu sudah sangat ketakutan sekali.

"Dengar, Rayi, aku akan keluar menemui para pengacau itu. Kau pergilah ke belakang, beri tahu Sugatra dan pengawal lain untuk menjaga Wijaya," ujar Sarwa Kusuma lagi.

Ucapan itu membuat istri sang kepala kampung tiba-tiba saja merasa hatinya tidak enak. Ia tahu apa yang bakal dilakukan suaminya.

"Kakang, kau tidak perlu turun tangan langsung. Biarkan saja para pengawal yang menghadapi mereka," cegah perempuan itu dengan nada khawatir.

"Tidak, Rayi. Mereka datang mencariku, terutama Bramanta keparat itu. Jadi, aku justru harus keluar menemui mereka, sebab akulah yang mereka inginkan," sergah Sarwa Kusuma, sama sekali tak menghiraukan kekhawatiran istrinya.

"T-tapi, Kang—"

"Cepatlah ke belakang dan beri tahu apa yang terjadi pada Sugatra!" tukas Sarwa Kusuma dengan tegas. Tampak sekali ia tak mau lagi dibantah.

Sebelum sempat istrinya menanggapi, sembari melangkah keluar Sarwa Kusuma sudah berkata lagi.

"Ingat, apapun yang nanti menimpa diriku, jangan sampai kau dan Wijaya terlihat oleh Bramanta keparat itu maupun para cecunguknya. Kalau perlu, kalian pergilah sejauh-jauhnya dari sini. Paham?"

_)|(_

Kebo Rawis

Raka adalah sebutan bagi pemimpin sebuah wisaya atau watak dalam tata wilayah Kerajaan Medang. Seorang raka bertanggung jawab langsung pada raja yang bertakhta. Jabatannya kira-kira setara gubernur di masa kini. Raka i Waharu dalam cerita ini berarti orang yang dimaksud adalah pemimpin wisaya/watak Waharu. Nama ini terdokumentasi dalam Prasasti Sangguran (850 Syaka/928 M.), di mana juga menyebutkan nama wanua Sangguran yang menjadi latar cerita. Pada masa Panjalu-Jenggala dan kemudian Singasari-Majapahit, sebutan Raka i menjadi Rakai atau Rake atau Rakryan.

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Golok Naga   Bab 021

    MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.

  • Pendekar Golok Naga   Bab 020

    "G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus

  • Pendekar Golok Naga   Bab 019

    ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E

  • Pendekar Golok Naga   Bab 018

    "MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya."Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara."Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi."Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya....""Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi."Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d

  • Pendekar Golok Naga   Bab 017

    "Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam

  • Pendekar Golok Naga   Bab 016

    "SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status