Share

Bab 010

"PAMAN Sugatra, awas serangan! Cepat menghindar!" seru Wijaya Kusuma melihat pengawalnya terdesak hebat.

Namun Sugatra tak dapat lagi menghindar. Tendangan lawan mendarat telak di pangkal lehernya, membuat pengawal setia Ki Dukuh Kartasentan itu mengeluh tinggi.

Tubuh Sugatra mencelat beberapa langkah ke belakang, menandakan jika tendangan lawan tadi dikerahkan dengan banyak tenaga. Susah payah ia menyeimbangkan diri agak tidak terjatuh duduk saat mendarat.

Namun belum sempat Sugatra mengambil napas, satu serangan lagi sudah menghantamnya. Kali ini lawan kedua menggedor dadanya dengan satu sikutan keras.

Kembali terdengar keluhan tertahan dari mulut Sugatra. Sekarang ia sudah tak dapat lagi menahan keseimbangan. Setelah terjajar dan terhuyung-huyung beberapa saat, tubuhnya rebah ke tanah.

"K-keparat!" geram Sugatra dengan napas tersengal. Ia merasakan dadanya sesak bukan main. Seakan-akan tengah ditindih sebongkah batu sebesar gajah.

Ketika ia hendak menarik napas panjang untuk melonggarkan dada, justru batuk yang datang. Diikuti sebentuk cairan asin yang memenuhi mulutnya. Paras Sugatra seketika berubah karena menyadari dirinya mengalami luka dalam.

"Paman!" jerit Wijaya Kusuma dengan nada cemas. Bagaimana ia tidak cemas setelah menyaksikan Sugatra rubuh dan tak kunjung bangkit lagi?

Bocah sembilan tahun itu meronta ingin turun. Namun lelaki berkumis lebat langsung memegangi tubuhnya, sehingga Wijaya Kusuma tak dapat bergerak sedikit pun.

"Kalian tunggu apa lagi? Cepat habisi dia!" seru lelaki tersebut, sembari mengeratkan pegangannya pada tubuh Wijaya Kusuma.

Mendengar perintah itu, tiga lelaki yang tadi mengeroyok Sugatra langsung melompat ke depan. Mereka mendarat tepat di sisi tubuh Sugatra yang masih telentang di tanah.

Sementara Sugatra sendiri jadi tersengat manakala mendengar suara Wijaya Kusuma. Ia tahu dirinya tak boleh menyerah, kecuali mau merelakan putera junjungannya itu jatuh ke tangan keempat lelaki ini.

"G-Gusti Wijaya ..."

Sugatra susah payah berusaha bangkit. Akan tetapi baru setengah gerakan ia lakukan, salah satu lelaki di hadapannya melepaskan tendangan keras.

Des!

Sugatra mengaduh keras. Dadanya yang sudah sakit dan sesak terkena tendangan lagi. Tubuhnya yang setengah duduk pun terseret beberapa langkah, mendekati tepi jurang yang menjadi tempat jatuhnya air terjun.

Tiga lelaki pengeroyok tertawa-tawa senang, sembari melangkah mendekati tempat di mana Sugatra berhenti. Mereka seperti ingin mempermainkan pengawal Ki Dukuh Kartasentana itu terlebih dahulu sampai puas, alih-alih langsung menghabisinya.

Seolah sudah mereka sepakati, kali ini ganti lelaki satunya lagi yang memberi tendangan. Jika lelaki yang pertama tadi mengarah dada, lelaki kedua mengincar kepala.

Kuat sekali tendangan itu. Tak hanya kepala Sugatra yang terpuntir ke samping, tubuhnya juga sampai terangkat beberapa jengkal ke atas. Untuk kemudian kembali terseret ke belakang dan berhenti tepat di tepi jurang nan berbatu-batu.

"Dasar bodoh! Kalian sepertinya memang sengaja berlama-lama!" maki lelaki berkumis lebat, sambil memegangi Wijaya Kusuma. Ia tampak geram melihat tiga temannya malah asyik bermain-main.

"Cepat kalian habisi dia! Sebentar lagi gelap dan kita harus segera pergi dari sini!" serunya lagi.

Suasana memang sudah remang-remang. Sang surya tak lagi terlihat di kaki langit sebelah barat. Hanya sisa-sisa sinarnya yang berwarna jingga tampak menyaput cakrawala.

"Dasar Palguna cerewet!" balas lelaki ketiga, tetapi hanya berani mengatakan itu dengan suara perlahan. Lalu ia menoleh sekilas pada dua teman di sebelahnya. "Sekarang giliranku."

Dua lelaki lain menyahuti dengan anggukan kepala. Bersamaan dengan itu, lelaki ketiga memutar tubuh sambil mengangkat kaki. Diiringi satu seringai sinis, ia lepaskan sebuah tendangan berputar.

Des!

Kali ini tak ada suara apapun yang keluar dari mulut Sugatra. Hanya tubuhnya yang terbang ke mulut jurang setelah menerima tendangan di dada. Usai melayang di udara selama beberapa saat, tubuh malang itupun jatuh ke bawah dengan deras.

"Pamaaaaaaan!" Wijaya Kusuma berseru keras menyaksikan kejadian tersebut.

Seakan mendapat tambahan tenaga, bocah sembilan tahun itu berhasil lepas dari cekalan lelaki berkumis lebat. Begitu kakinya menginjak tanah, ia langsung berlari kencang menuju tepian jurang.

"Paman Sugatra, jangan tinggalkan aku!" jerit Wijaya ketika berhenti dan bersimpuh di tepi jurang. Matanya yang berair memandangi dasar jurang yang sudah tak terlihat karena gelap.

Palguna si lelaki berkumis lebat yang merasa kecolongan mendengus kesal. Cepat-cepat ia menyusul Wijaya Kusuma. Sambil berjalan mendekat sambil memberi isyarat pada tiga temannya untuk meringkus bocah itu.

Tiga lelaki segera memegangi dua tangan mungil dan sepasang lengan Wijaya Kusuma. Namun saat mereka hendak menarik si bocah, tanpa diduga-duga putera Sarwa Kusuma itu berbalik dengan cepat dan melancarkan serangan secara membabi-buta.

"Kalian jahat! Kalian sudah mencelakai Paman Sugatra! Aku harus menghajar kalian semua!"

Wijaya Kusuma menjerit-jerit tanpa henti. Dengan sangat serampangan ia menendang-nendang tiga lelaki yang berada di dekatnya. Salah satu tendangan mengenai kemaluan lelaki yang di tengah.

"Anak bedebah!" ringis lelaki itu, sembari mengernyit menahan sakit dan berjongkok memegangi kemaluan dengan kedua tangan.

"Kalian ini benar-benar bodoh! Menangkap anak kecil saja tidak bisa!" geram Palguna yang sedari tadi hanya menyaksikan dari belakang.

Palguna lantas mendekat. Sekali sambar saja Wijaya Kusuma sudah berada dalam bembengannya. Ia panggul bocah itu ke atas bahu, tidak peduli punggungnya terus-terusan kena tendang.

"Ayo, kita pergi dari sini! Bramanta dan juga Ketua pasti sudah menunggu di tempat biasa," ujar Palguna kemudian, lebih mirip sebuah perintah.

"Ah, Bramanta sialan itu pasti sedang bersenang-senang dengan istri Ki Dukuh. Bukankah dia sudah sejak lama mengincar perempuan cantik itu?" timpal salah satu teman Palguna.

"Perempuan itu tidak hanya cantik, tetapi sangat cantik sekali. Tak heran jika Bramanta sampai tergila-gila padanya. Bahkan sisa orang pun baginya tak mengapa," tambah lelaki satunya lagi.

Dengan mimik penuh harap, lelaki ketiga ikut berkata pula, "Apakah kita nanti boleh ikut mencicipi perempuan itu?"

Tak ada yang menjawab pertanyaan tersebut. Palguna sendiri hanya mendengus pendek, lalu memberi isyarat kepala agar mereka segera bergerak menuju di mana kuda mereka tadi ditinggalkan. 

Tanpa mereka sadari, percakapan itu disimak baik-baik Wijaya Kusuma yang seketika mematung. Sepotong demi sepotong keterangan mengenai kedua orang tuanya langsung direkam dalam ingatan oleh bocah tersebut.

Ayahnya sudah tewas dibunuh keempat lelaki ini, sedangkan ibunya dibawa lari seorang lelaki bernama Bramanta. Lalu ada pula sosok lain yang dipanggil Ketua oleh Palguna, yang agaknya pemimpin keempat lelaki ini.

Tak lagi berbicara, keempat lelaki itu segera berbalik badan hendak meninggalkan kawasan air terjun. Namun baru dua langkah mereka berjalan, sekelebat bayangan menyambar ke arah Palguna. Diikuti suara angin menderu kencang.

"Keparat sialan!" gerutu Palguna antara kaget dan marah. Tubuhnya sampai terhuyung-huyung akibat kerasnya sambaran bayangan tersebut.

Tiga lelaki lain tak kalah kaget, lalu cepat merunduk untuk menghindar. Kepala mereka berputar cepat, berusaha mengikuti arah gerakan penyerang yang hanya tampak sebagai sebentuk bayangan hitam.

Sekejap kemudian, paras Palguna yang merah padam langsung berubah pucat. Sepasang matanya melotot lebat, sedangkan kedua tangan bergerak cepat meraba bahu yang terasa lebih ringan.

Wijaya Kusuma sudah tak ada dalam panggulannya!

_)|(_

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status