"PAMAN Sugatra, awas serangan! Cepat menghindar!" seru Wijaya Kusuma melihat pengawalnya terdesak hebat.
Namun Sugatra tak dapat lagi menghindar. Tendangan lawan mendarat telak di pangkal lehernya, membuat pengawal setia Ki Dukuh Kartasentan itu mengeluh tinggi.
Tubuh Sugatra mencelat beberapa langkah ke belakang, menandakan jika tendangan lawan tadi dikerahkan dengan banyak tenaga. Susah payah ia menyeimbangkan diri agak tidak terjatuh duduk saat mendarat.
Namun belum sempat Sugatra mengambil napas, satu serangan lagi sudah menghantamnya. Kali ini lawan kedua menggedor dadanya dengan satu sikutan keras.
Kembali terdengar keluhan tertahan dari mulut Sugatra. Sekarang ia sudah tak dapat lagi menahan keseimbangan. Setelah terjajar dan terhuyung-huyung beberapa saat, tubuhnya rebah ke tanah.
"K-keparat!" geram Sugatra dengan napas tersengal. Ia merasakan dadanya sesak bukan main. Seakan-akan tengah ditindih sebongkah batu sebesar gajah.
Ketika ia hendak menarik napas panjang untuk melonggarkan dada, justru batuk yang datang. Diikuti sebentuk cairan asin yang memenuhi mulutnya. Paras Sugatra seketika berubah karena menyadari dirinya mengalami luka dalam.
"Paman!" jerit Wijaya Kusuma dengan nada cemas. Bagaimana ia tidak cemas setelah menyaksikan Sugatra rubuh dan tak kunjung bangkit lagi?
Bocah sembilan tahun itu meronta ingin turun. Namun lelaki berkumis lebat langsung memegangi tubuhnya, sehingga Wijaya Kusuma tak dapat bergerak sedikit pun.
"Kalian tunggu apa lagi? Cepat habisi dia!" seru lelaki tersebut, sembari mengeratkan pegangannya pada tubuh Wijaya Kusuma.
Mendengar perintah itu, tiga lelaki yang tadi mengeroyok Sugatra langsung melompat ke depan. Mereka mendarat tepat di sisi tubuh Sugatra yang masih telentang di tanah.
Sementara Sugatra sendiri jadi tersengat manakala mendengar suara Wijaya Kusuma. Ia tahu dirinya tak boleh menyerah, kecuali mau merelakan putera junjungannya itu jatuh ke tangan keempat lelaki ini.
"G-Gusti Wijaya ..."
Sugatra susah payah berusaha bangkit. Akan tetapi baru setengah gerakan ia lakukan, salah satu lelaki di hadapannya melepaskan tendangan keras.
Des!
Sugatra mengaduh keras. Dadanya yang sudah sakit dan sesak terkena tendangan lagi. Tubuhnya yang setengah duduk pun terseret beberapa langkah, mendekati tepi jurang yang menjadi tempat jatuhnya air terjun.
Tiga lelaki pengeroyok tertawa-tawa senang, sembari melangkah mendekati tempat di mana Sugatra berhenti. Mereka seperti ingin mempermainkan pengawal Ki Dukuh Kartasentana itu terlebih dahulu sampai puas, alih-alih langsung menghabisinya.
Seolah sudah mereka sepakati, kali ini ganti lelaki satunya lagi yang memberi tendangan. Jika lelaki yang pertama tadi mengarah dada, lelaki kedua mengincar kepala.
Kuat sekali tendangan itu. Tak hanya kepala Sugatra yang terpuntir ke samping, tubuhnya juga sampai terangkat beberapa jengkal ke atas. Untuk kemudian kembali terseret ke belakang dan berhenti tepat di tepi jurang nan berbatu-batu.
"Dasar bodoh! Kalian sepertinya memang sengaja berlama-lama!" maki lelaki berkumis lebat, sambil memegangi Wijaya Kusuma. Ia tampak geram melihat tiga temannya malah asyik bermain-main.
"Cepat kalian habisi dia! Sebentar lagi gelap dan kita harus segera pergi dari sini!" serunya lagi.
Suasana memang sudah remang-remang. Sang surya tak lagi terlihat di kaki langit sebelah barat. Hanya sisa-sisa sinarnya yang berwarna jingga tampak menyaput cakrawala.
"Dasar Palguna cerewet!" balas lelaki ketiga, tetapi hanya berani mengatakan itu dengan suara perlahan. Lalu ia menoleh sekilas pada dua teman di sebelahnya. "Sekarang giliranku."
Dua lelaki lain menyahuti dengan anggukan kepala. Bersamaan dengan itu, lelaki ketiga memutar tubuh sambil mengangkat kaki. Diiringi satu seringai sinis, ia lepaskan sebuah tendangan berputar.
Des!
Kali ini tak ada suara apapun yang keluar dari mulut Sugatra. Hanya tubuhnya yang terbang ke mulut jurang setelah menerima tendangan di dada. Usai melayang di udara selama beberapa saat, tubuh malang itupun jatuh ke bawah dengan deras.
"Pamaaaaaaan!" Wijaya Kusuma berseru keras menyaksikan kejadian tersebut.
Seakan mendapat tambahan tenaga, bocah sembilan tahun itu berhasil lepas dari cekalan lelaki berkumis lebat. Begitu kakinya menginjak tanah, ia langsung berlari kencang menuju tepian jurang.
"Paman Sugatra, jangan tinggalkan aku!" jerit Wijaya ketika berhenti dan bersimpuh di tepi jurang. Matanya yang berair memandangi dasar jurang yang sudah tak terlihat karena gelap.
Palguna si lelaki berkumis lebat yang merasa kecolongan mendengus kesal. Cepat-cepat ia menyusul Wijaya Kusuma. Sambil berjalan mendekat sambil memberi isyarat pada tiga temannya untuk meringkus bocah itu.
Tiga lelaki segera memegangi dua tangan mungil dan sepasang lengan Wijaya Kusuma. Namun saat mereka hendak menarik si bocah, tanpa diduga-duga putera Sarwa Kusuma itu berbalik dengan cepat dan melancarkan serangan secara membabi-buta.
"Kalian jahat! Kalian sudah mencelakai Paman Sugatra! Aku harus menghajar kalian semua!"
Wijaya Kusuma menjerit-jerit tanpa henti. Dengan sangat serampangan ia menendang-nendang tiga lelaki yang berada di dekatnya. Salah satu tendangan mengenai kemaluan lelaki yang di tengah.
"Anak bedebah!" ringis lelaki itu, sembari mengernyit menahan sakit dan berjongkok memegangi kemaluan dengan kedua tangan.
"Kalian ini benar-benar bodoh! Menangkap anak kecil saja tidak bisa!" geram Palguna yang sedari tadi hanya menyaksikan dari belakang.
Palguna lantas mendekat. Sekali sambar saja Wijaya Kusuma sudah berada dalam bembengannya. Ia panggul bocah itu ke atas bahu, tidak peduli punggungnya terus-terusan kena tendang.
"Ayo, kita pergi dari sini! Bramanta dan juga Ketua pasti sudah menunggu di tempat biasa," ujar Palguna kemudian, lebih mirip sebuah perintah.
"Ah, Bramanta sialan itu pasti sedang bersenang-senang dengan istri Ki Dukuh. Bukankah dia sudah sejak lama mengincar perempuan cantik itu?" timpal salah satu teman Palguna.
"Perempuan itu tidak hanya cantik, tetapi sangat cantik sekali. Tak heran jika Bramanta sampai tergila-gila padanya. Bahkan sisa orang pun baginya tak mengapa," tambah lelaki satunya lagi.
Dengan mimik penuh harap, lelaki ketiga ikut berkata pula, "Apakah kita nanti boleh ikut mencicipi perempuan itu?"
Tak ada yang menjawab pertanyaan tersebut. Palguna sendiri hanya mendengus pendek, lalu memberi isyarat kepala agar mereka segera bergerak menuju di mana kuda mereka tadi ditinggalkan.
Tanpa mereka sadari, percakapan itu disimak baik-baik Wijaya Kusuma yang seketika mematung. Sepotong demi sepotong keterangan mengenai kedua orang tuanya langsung direkam dalam ingatan oleh bocah tersebut.
Ayahnya sudah tewas dibunuh keempat lelaki ini, sedangkan ibunya dibawa lari seorang lelaki bernama Bramanta. Lalu ada pula sosok lain yang dipanggil Ketua oleh Palguna, yang agaknya pemimpin keempat lelaki ini.
Tak lagi berbicara, keempat lelaki itu segera berbalik badan hendak meninggalkan kawasan air terjun. Namun baru dua langkah mereka berjalan, sekelebat bayangan menyambar ke arah Palguna. Diikuti suara angin menderu kencang.
"Keparat sialan!" gerutu Palguna antara kaget dan marah. Tubuhnya sampai terhuyung-huyung akibat kerasnya sambaran bayangan tersebut.
Tiga lelaki lain tak kalah kaget, lalu cepat merunduk untuk menghindar. Kepala mereka berputar cepat, berusaha mengikuti arah gerakan penyerang yang hanya tampak sebagai sebentuk bayangan hitam.
Sekejap kemudian, paras Palguna yang merah padam langsung berubah pucat. Sepasang matanya melotot lebat, sedangkan kedua tangan bergerak cepat meraba bahu yang terasa lebih ringan.
Wijaya Kusuma sudah tak ada dalam panggulannya!
_)|(_
MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.
"G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus
ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E
"MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya."Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara."Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi."Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya....""Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi."Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d
"Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam
"SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..