Share

Bab 009

"GUSTI, harap ampuni saya!" seru Sugatra begitu tubuhnya membentur tanah keras. Ia segera menyadari jika kelalaiannya dapat mencelakakan Wijaya Kusuma.

Sementara Wijaya Kusuma yang terlempar dari panggulan Sugatra menjerit kaget dan mengaduh. Untung saja tubuh bocah itu jatuh di atas rerumputan nan empuk.

Mengabaikan rasa sakitnya sendiri, Sugatra buru-buru bangkit dan menghampiri Wijaya Kusuma. Namun belum sempat ia menanyakan keadaan putera junjungannya itu, di sekeliling mereka telah berdiri empat lelaki.

"Ah, akhirnya dapat juga kami mengejar kalian," ujar salah satu lelaki, lalu tertawa mengekeh.

"Jangan harap kalian bisa lari lagi dari kamu," timpal lelaki yang berkumis lebat pula.

Berubah paras Sugatra mengetahui keadaan. Secara naluriah ia segera memeluk Wijaya Kusuma, bermaksud melindungi bocah tersebut dari ancaman.

Tanpa Sugatra sadari, sikapnya itu justru memancing ketertarikan keempat lelaki pengejar. Kecurigaan mereka bertambah besar terhadap siapa yang tengah dilindungi si pengawal.

"Ah, agaknya bocah lelaki inilah yang dimaksud Bramanta tadi," kata lelaki satunya lagi. "Dia pastilah anak Sarwa Kusuma yang malang itu."

"Benar! Kita harus menangkap bocah itu," imbuh lelaki pengurung di sisi lain, lalu menatap Sugatra dengan sorot mata pencuh ancaman. "Serahkan bocah itu pada kami!"

Sugatra menelan ludah. Pelukannya pada Wijaya Kusuma semakin dipererat, sembari memandangi keempat pengurung dengan tatapan tidak gentar.

Ternyata benar dugaanku, mereka adalah cecunguk Bramanta si kaki tangan Raka i Waharu. Sugatra membatin dengan geraham bergemeletuk. Aku harus melawan mereka mati-matian. Jangan sampai Gusti Wijaya mereka tangkap!

"Jangan harap!" desis Sugatra kemudian dengan suara bergetar. "Kalian hanya bisa mendapatkan anak ini jika sudah melangkahi jasadku!"

Meledak tawa keempat lelaki pengurung mendengar ucapan tersebut. Sambil tertawa sambil saling berpandangan satu sama lain. Sebuah tawa yang dimaksudkan sebagai ejekan.

"Kalian dengar?" ujar lelaki berkumis lebat setelah puas tertawa. "Dia sendiri yang mengatakan. Jadi, tunggu apa lagi? Cepat habisi dia agar nyawanya dapat segera menyusul Sarwa Kusuma yang telah menghadap Bhatara Yama."

Baik Sugatra maupun Wijaya Kusuma yang terus berada dalam pelukan, sama-sama tercekat mendengar ucapan lelaki tersebut. Bhatara Yama atau Dewa Yama adalah dewa kematian dalam kepercayaan penganut ajaran Siwaisme.

Tanpa diduga, Wijaya Kusuma bertanya dengan polos, "Paman, apa maksudmu ayahku telah menemui Bhatara Yama? Apakah ayahku sudah tiada?"

Sugatra meringis mendengar pertanyaan itu. Dengan bertanya begitu, sama saja Wijaya Kusuma memberi tahu siapa jati dirinya pada keempat lelaki ini.

Sedangkan lelaki berkumis lebat langsung alihkan perhatian pada Wijaya Kusuma. Sorot matanya tampak penuh minat. Setelah mengamat-amati si bocah selama beberapa saat, ia tersenyum lebar yang lebih mirip seringai.

"Ya, ayahmu sudah modar di tangan kami," jawab lelaki tersebut, lalu kembali tertawa.

Mendengar itu, Wijaya Kusuma langsung memberontak lepas dari pelukan Sugatra. Bocah tersebut berlari ke arah lelaki berkumis yang tadi menjawab, lalu ia layangkan tinju kecilnya ke arah perut orang.

"Kau sudah membunuh ayahku! Aku harus membunuhmu juga!" jerit Wijaya Kusuma, sembari terus-terusan memukuli perut orang.

Yang ditinju sontak hentikan tawa dengan wajah kaget. Tinju kecil Wijaya Kusuma jelas tidak menyakitinya sama sekali. Namun ia sungguh heran sekaligus takjub dengan keberanian anak berusia sembilan tahun ini.

Tak lama kemudian tawa lelaki itu kembali bergema. Sambil tertawa sambil memandangi ketiga rekannya yang tak kalah terkejut, tetapi kemudian ikut tertawa pula.

Puas tertawa, lelaki berkumis lebat lantas bergerak cepat menangkap tangan-tangan mungil Wijaya Kusuma. Sekali tarik saja bocah itu sudah berada dalam gendongannya.

Wijaya Kusuma meronta-ronta. Tinjunya kini beralih pada dada si lelaki berkumis lebat.

"Lepaskan aku! Aku ingin membalaskan kematian ayahku!" jeritnya nyaring.

Di tempatnya, Sugatra membeku melihat Wijaya Kusuma sudah berada dalam cekalan lawan. Ini gawat! Pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana itu mendesis di dalam hati.

"Lepaskan anak itu!" seru Sugatra kemudian.

Lelaki berkumis yang tengah memegangi Wijaya Kusuma menggeram marah. Ia memandang tajam ke arah tiga rekannya, lalu berseru garang, "Kalian tunggu apa lagi? Cepat bereskan dia!"

Tiga lelaki langsung melesat ke depan, sembari keluarkan suara menggembor marah. Di tangan mereka tiga parang besar berkelebat ganas menyasar Sugatra.

Yang diserbu menggeram murka. Sekilas ia menatap ke arah Wijaya Kusuma yang masih berada dalam cekalan lelaki berkumis lebar. Otaknya cepat berputar, menilai-nilai keadaan.

Sepertinya mereka tidak akan mencelakai Gusti Wijaya. Agaknya Bramanta keparat itu menginginkan Gusti Wijaya dalam keadaan hidup-hidup, meski aku tak dapat menerka apa maksudnya. Demikian Sugatra membatin sendiri.

Berpikir demikian, Sugatra mengambil kesimpulan untuk saat ini dirinya tak perlu merisaukan nasib putera junjungannya tersebut. Jadi, sementara waktu ia bisa memusatkan perhatian pada ketiga lawan yang sedang memburu dengan ganas.

Maka Sugatra cepat menarik golok yang sedari tadi tergantung di pinggangnya. Tanpa buang-buang waktu lagi, ia sabetkan senjata itu untuk menangkis serangan yang sudah sangat dekat.

Siiiing!

Trang! Trang! Trang!

Tiga kali suara berdentrangan terdengar nyaring. Tiga kali pula percikan bunga api berpendar di udara manakala golok di tangan Sugatra menyambut mata tiga parang milik lawan.

Tak mau kembali ditekan, Sugatra mengambil alih kendali pertarungan. Ia memutuskan balik menyerang dengan satu sabetan yang mengarah pada salah satu lawan.

Sugatra menyadari dirinya kalah jumlah. Karena itu dengan cerdik ia memusatkan serangannya pada satu per satu lawan. Dimulai dari lelaki di sisi paling kiri, yang menurutnya sedang sedikit lengah.

"Modaaaaar!" geram Sugatra dengan suara menggelegar, mengiringi kesiur sabetan golok.

Serangan itu tidak main-main, sebab mengarah ke batang leher. Membuat yang diserang mendengus pendek, lalu cepat-cepat pelintangkan parang besarnya untuk menangkis.

Sekali lagi suara berdentrangan terdengar mengudara. Kedua pemilik senjata sama tercengang sesaat, merasakan entakan tenaga serangan masing-masing. Namun sekejap berselang mereka sudah kembali bersiaga penuh.

Dengan sangat bernafsu Sugatra menyusulkan serangan kedua. Akan tetapi niatnya memusatkan serangan pada satu demi satu lawan tidak berjalan sesuai harapan. Tanpa dapat ia cegah, dua lawan lain malah ikut bergabung dalam gelanggang pertempuran.

Keparat pengecut!" maki Sugatra, bermaksud memancing amarah lawan. "Kalian ternyata hanyalah sebangsa pengecut yang beraninya cuma main keroyokan!"

Sambil terus meladeni serangan-serangan Sugatra, tiga lelaki bersenjata parang sama tertawa gelak-gelak. Mereka tahu maksud ucapan tersebut, sehingga memilih tak ambil peduli.

Sial! Sugatra kembali memaki di dalam hati manakala menyadari pancingannya gagal. Apa boleh buat, terpaksa ia harus meladeni ketiga lawan sekaligus demi menyelamatkan dirinya dan juga Wijaya Kusuma.

Sementara dalam cekalan lelaki berkumis lebat, sepasang mata Wijaya Kusuma membulat sempurna melihat Sugatra dikeroyok tiga. Tiba-tiba saja bocah itu memberontak ingin turun.

"Lepaskan aku! Aku mau membantu Paman Sugatra!" jerit Wijaya Kusuma, sambil melejang-lejangkan kedua kakinya.

Lelaki berkumis lebat yang memegangi anak sembilan tahun itu ganda tertawa. "Kau memang bocah pemberani," pujinya bersungguh-sungguh, lalu kembali tertawa.

"Ya, aku memang pemberani. Tidak seperti kalian yang sudah besar, tapi pengecut semua! Beraninya hanya main keroyok!" balas Wijaya Kusuma dengan sengit.

Tawa lelaki berkumis lebat kian lebar mendengar ucapan si bocah. "Ah, ah ... andai saja ibumu yang cantik itu melihat keberanianmu ini...."

Wijaya Kusuma terus memberontak. Kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak, sampai-sampai gelang akar bahar lebar di lengan kiri lelaki yang memeganginya terlepas. Menampakkan sebentuk rajah bergambar naga yang seolah membelit lengan si lelaki.

Agaknya gelang akar bahar itu sengaja dipakai untuk menutupi rajah naga tersebut. Pergerakan Wijaya Kusuma berhenti sejenak karena perhatiannya tertuju pada lengan si lelaki berkumis lebat. Ia tertarik dengan rajah di sana.

Namun beberapa kedipan mata berikutnya Wijaya Kusuma kembali meronta-ronta ingin lepas. Sayang, sekuat apapun berusaha memberontak, tetap saja ia tak mampu melepaskan diri dari cekalan orang.

Lama-lama bocah itu lemas sendiri. Membuat gerakan-gerakannya semakin lemah dan pada akhirnya berhenti sama sekali.

"Paman Sugatra, bertahanlah! Kalahkan mereka semua!" seru Wijaya Kusuma lirih.

Akan tetapi yang terjadi kemudian malah kebalikannya. Kemampuan Sugatra hanya mampu mengimbangi tiga lawannya sampai empat-lima jurus saja.

Memasuki jurus keenam, salah satu lawan berhasil memukul mental golok yang jadi senjata andalan pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana tersebut.

"Sial!" desis Sugatra tegang. Ekor matanya mengikuti ke mana arah terbang goloknya, sehingga membuat dirinya lengah untuk beberapa saat.

Kesempatan tersebut dipergunakan dengan baik oleh ketiga pengeroyoknya. Salah satu dari mereka melepaskan tendangan keras yang mendarat telak di pangkal leher Sugatra.

"Jebol tenggorokanmu!" 

_)|(_ 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status