Share

Bodoh

Lereng itu tengah diselimuti kabut. Sayup-sayup cahaya matahari pagi menerobos dedaunan. Daun pohon beringin itu hampir menyentuh tanah. Dari bawah sana terdengar kokokan ayam. Tentunya itu adalah ayam hutan.

“Uhuk... uhuk...”

Danu baru saja terbangun dari tidurnya. Tidur? Ah, entahlah, pingsan atau tidur. Seingatnya tadi malam dia bertarung hebat dengan Rangkasa, sosok tua yang sepertinya menghuni terasering lereng itu. Lalu Rangkasa mengeluarkan jurus hebat, memukul angin, lebih memukul dengan angin. Tubuhnya terangkat oleh angin pukulan Rangkasa. Lalu, terjun bebas. Kemudian...

“Ah, kenapa aku berada di tempat keparat ini lagi?”

Danu tersadar dari lamunannya. Dia baru sadar bahwa dia sekarang kembali berada di sebuah lereng terasering, dengan pohon beringin yang daunnya hampir menyentuh tanah.  Matanya memandang sekeliling, tidak ada orang.

“Ke mana Rangkasa keparat itu pergi?” kata Danu melampiaskan geramnya.

Dia berusaha bangun dari posisi terbaringnya. Tubuhnya sakit semua. Dan, perutnya lapar. Samar-samar hidungnya mencium sebuah aroma daging bakar. Hidungnya mendengus-dengus, berusaha menelusuri asal aroma daging bakar.

Dengan berjalan tertatih-tatih, akhirnya dia menemukan sebuah perapian kecil, lengkap dengan daging bakarnya. Tidak terlalu besar, tapi setidaknya bisa mengisi perutnya yang belum terisi apa pun lima hari ini. Ia ingat makanan yang terakhir kali ia makan, adalah buah-buahan yang ia temui ketika masih dalam pendakian. Ia pun tidak sengaja menemukannya.

Tangan Danu meraih daging yang ditusuk menggunakan sebuah kayu kecil itu, lalu meniup-niupnya perlahan. Bau semerbak semakin menambah lapar perut Danu. Tapi ketika Danu bersiap untuk menggigit daging itu...

“Heh, siapa yang menyuruhmu memakannya? Apakah aku menyiapkannya untukmu?” Suara berat itu muncul kembali.

Danu geram. Tapi benar-benar perutnya berkata lain. Akhirnya Danu berkata lebih sopan. “Rangkasa, aku sudah lima hari tidak makan. Tidak bisakah kau memberikan daging kecil ini untukku?”

“Kamu menginginkannya?” tanya Rangkasa.

“Iya.”

“Usaha sendiri. Kau masih muda, mempunyai tenaga yang cukup untuk mencarinya sendiri,” sahut Rangkasa.

“Ayolah, Rangkasa yang menyebalkan! Tidak bisakah kau memberikan daging ini barang setengah? Aku sungguh lapar.”

“Sekali tidak bisa tetap tidak bisa. Jika mau, kau bisa mencarinya sendiri,” tukas Rangkasa sembari merebut paksa daging dari tangan Danu. Lalu memakannya perlahan-lahan. Danu hanya bisa menggigit bibir, menelan ludah.

“Bisakah kau meminjamkan busur panah itu kepadaku, Rangkasa? Aku akan mencarinya sendiri!” kata Danu, menunjuk busur panah yang tergantung di punggung Rangkasa.

“Nah, itu ide lebih baik dari pada menjadi seorang pengemis,” sahut Rangkasa, melepas tali busur panah itu dengan satu tangan, tangan satunya memegang daging, melemparkan busur panah itu sembarangan kepada Danu. Danu menerimanya.

 Danu berjalan menjauh dari Rangkasa yang tengah melahap daging bakarnya. Danu hanya bisa menelan ludah ketika Rangkasa menjilati tangannya.

Mata Danu menerawang jauh ke atas, mencari sekiranya ada burung yang melintas. Beberapa kali pula dia memeriksa pohon beringin, barangkali ada hewan yang bisa di makan.

Sampai Rangkasa selesai makan, Danu belum juga mendapatkan apa pun. Sebenarnya banyak burung-burung yang melintas, tapi selalu luput dari anak panahnya.

“Nah, itu!” seru Danu.

Tangan Danu menarik tali busur panah dengan kekuatan penuh, menanti seekor burung melintas tepat di atasnya. Dan ketika burung itu tepat di atasnya, segera Danu melepas tali busur, anak panah melesat dengan kekuatan penuh.

Wush...

“Ah, sial,” gerutu Danu.

Lagi-lagi anak panah hanya mengenai ruang kosong, kemudian jatuh dari lereng entah ke mana. Danu hanya melihat dari atas bahwa anak panah itu meluncur bebas. Entah sudah berapa anak panah yang ia biarkan terjun bebas.

“Hei, kau bodoh sekali dalam hal memanah. Sudah berapa anak panah kau biarkan hilang?” ujar Rangkasa dengan suara beratnya. Dia berjalan menghampiri Danu yang masih berusaha menyasar burung-burung yang beterbangan di atasnya.

“Sebenarnya aku juga tidak menginginkan hal tersebut, Rangkasa! Tapi perutku yang mengatakan demikian,” sahut Danu.

“Sini!” Rangkasa merebut paksa busur panah dari tangan Danu.

“Keparat.” Danu menggerutu.

“Rupanya kau tidak sehebat kata-katamu.” Rangkasa mencibir. Kepalanya mendongak, matanya awas, mengamati burung-burung di kejauhan yang akan terbang di atasnya.

Danu diam. Meskipun tidak suka, tapi memang keadaannya begitu. Urusan memanah memang Danu tertinggal.

“Nah, itu!” seru Rangkasa.

Matanya menatap tajam seekor burung yang akan melintas di atasnya. Itu adalah burung pertama yang melintas setelah Rangkasa merebut paksa busur panah dari Danu.

Wush...

Nah, itu adalah sebuah bidikan yang sangat tepat. Seekor burung berbulu putih keabu-abuan jatuh tepat di hadapan Danu. Beberapa saat burung itu menngerjat-ngerjat, anak panah tepat menancap di dadanya.

“Nah, ambillah dan panggang!” kata Rangkasa.

Danu geleng-geleng kepala. Rangkasa sudah berapa lama belajar memanah? Begitu maksud Danu. Tangan Danu segera mengambil burung yang sudah benar-benar mati. Mencabut anak panah dari dadanya, lalu membuang anak panah itu ke bawah lereng.

“Keparat! Seharusnya kau bisa membersihkan dan menggunakannya lagi!” bentak Rangkasa dengan suara beratnya.

Danu menyengir lebar. “Maaf, lupa, Tuan Rangkasa!” kata Danu sembari terus berjalan menuju perapian yang masih mengeluarkan asap. Rangkasa mengibas-ngibaskan jubah hitamnya yang terkena debu.

Bau semerbak mulai tercium. Danu tengah memanggang daging burung yang dibidik oleh Rangkasa. Lalu Rangkasa memberikan beberapa daun yang ditumbuk dengan batu kepada Danu. Mungkin itu adalah dedaunan yang digunakan sebagai pengganti bumbu asli.

“Sebenarnya alam sudah menyiapkan segalanya untuk manusia. Hanya saja, manusia itu bisa memanfaatkannya atau tidak,” kata Rangkasa yang duduk tidak jauh dari perapian.

“Iya, aku setuju denganmu, Rangkasa!” sahut Danu.

“Seperti kamu yang berkali-kali gagal memanah burung, padahal alam telah menyediakan begitu banyak burung kepadamu!” ejek Rangkasa. Tapi itu memang benar adanya.

“Keparat! Itu hanya sebuah awalan. Aku tidak pernah belajar memanah sebelumnya, Rangkasa!” elak Danu.

“Tidak usah banyak bicara! Segera selesaikan makananmu, sebentar lagi aku akan kedatangan tamu tidak diundang!” ujar Danu.

Salah siapa mengajak bicara? Batin Danu.

Tapi, siapakah tamu tidak diundang yang dimaksud oleh Rangkasa? Itulah pertanyaan Danu sekarang.

“Siapa yang kau maksud tamu tidak diundang itu, Rangkasa?” tanya Danu sembari menggigit daging bakarnya. Lahap sekali dia.

“Sudah aku bilang jangan banyak cakap,” sahut Rangkasa. Datar.

Danu mangut-mangut. baiklah. Begitu maksudnya. Dia mempercepat pekerjaannya. Satu, karena ia sangat lapar dan daging burung itu sungguh lezat. Dua, demi mendengarkan penuturan Rangkasa yang sepertinya serius.

Kabut mulai menipis, Danu telah selesai makan, tapi tamu tidak diundang yang dimaksud oleh Rangkasa belum juga datang.

“Sebentar lagi!” kata Rangkasa seperti mengetahui isi pikiran Danu. Mereka tengah duduk di atas sebuah batu lebar di bawah pohon beringin.

“Tapi omong-omong, Rangkasa,” kata Danu. “apakah kau tidak punya air untuk minum?”

“Sudah aku katakan bahwa alam menyediakan semuanya untuk manusia. Carilah di sekitar sini pasti ada.”

Mata Danu memelotot. Tapi baiklah, dia akhirnya berdiri mencari sumber air. Dia berjalan menuju semak-semak tepian jurang. Barangkali di sana ada air.

Sia-sia. Tidak ada air di sana. Selanjutnya Danu memanjat pohon beringin itu. Ia berpikir barangkali ada air sisa-sisa hujan yang mengisi rongga-rongga pohon beringin. Namun lihatlah apa yang Danu dapatkan, hanya sebuah kekecewaan.

“Aku menyerah, Rangkasa!” kata Danu. Dia berjalan kembali mendekati Rangkasa yang tengah membaca-baca sebuah lembaran kusam.

“Bodoh!” sergah Rangkasa. “Lihat itu!” Tangan Rangkasa menunjuk sebuah akar yang sering Danu gunakan untuk memanjat tebing ini beberapa hari lalu. “Ke sanalah, cepat!” Perintah Rangkasa.

Danu menurut saja dengan perintah Rangkasa. Dia berjalan menuju posisi sebuah akar berada. Akar itu berwarna cokelat tua, seukuran tangan orang dewasa. Tiba-tiba ketika Danu sudah berada setengah meter dari akar cokelat, sebuah anak panah mendesing.

Wush...

Tepat. Anak panah itu menancap pada akar cokelat.

“Cabut anak panah itu, Anak bodoh!” kata Rangkasa, dengan suara beratnya.

Pelan-pelan Danu mencabut anak panah itu. Ketika anak panah berhasil dicabut, dari lubang bekas anak panah  mengucur perlahan air bening. Airnya dingin.

“Nah, minumlah itu!” kata Rangkasa datar.

Cepat-cepat Danu melepaskan dahaga. Dia minum banyak sekali air dari lubang anak panah pada akar cokelat. Sampai dia puas, air itu tetap mengalir. Bagaimana cara menghentikannya? Akhirnya Danu menutupnya dengan sebuah kerikil.

Belum selesai Danu menutup lubang pada akar, lamat-lamat telinganya mendengar suara yang asing di telinganya.

“Selamat siang, Rangkasa! Selamat siang kakek tua yang sungguh menyebalkan! Aku datang kemari untuk mengantarkanmu ke neraka!”

Danu menoleh. Tubuhnya mematung. Matanya menatap sosok yang datang itu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
batik mida
knpa kta keparat sllu ada,,,mau mc atau lwan bicaranya ko kta kprat itu sllu ada,,gk hbis pikir,,,
goodnovel comment avatar
Indo Smart
Ini gambaran masyarakat Indonesia sekarang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status