Share

Serat Agung

“Selamat datang di Lereng Agung ini!” kata Rangkasa menyambut sosok itu.

“Tidak usah banyak cakap, keparat! Cepat kau berikan apa yang seharusnya menjadi hak seorang Narga.” Matanya memelotot. Giginya bergemerutuk. Rahangnya mengatup keras-keras. Sepertinya sosok yang menamakan diri dengan Narga itu tengah marah.

“Apa yang kau bicarakan, Narga? Apakah kau tetap mengaku-ngaku seperti belasan tahun lalu? Apakah kau belum sadar bahwa tidak ada yang berhak atas benda itu?” Rangkasa mengibas-ngibaskan jubahnya.

Danu yang mendengarkan dari bawah pohon beringin belum mengetahui arah pembicaraan. Ia hanya mendengarkan dengan sesekali duduk, berdiri, kemudian duduk kembali. Sampai akhirnya sesuatu yang tidak diduganya terjadi.

“Oh, ternyata belasan tahun aku meninggalkan tempat ini, kau sudah mempunyai seorang murid, Rangkasa?” kata Narga, tangannya menunjuk Danu. Sontak Danu bertambah bingung.

“Lalu sekarang apa yang kau inginkan, Narga?” tanya Rangkasa.

“Orang tua budek! Jelas-jelas sejak kedatanganku kemari aku ingin mengambil hak seorang Narga. Apakah kau sudah pikun, Rangkasa?” Mata Narga memelotot.

“Tapi sayangnya tidak ada yang pernah mengakui hak busuk itu. Itu bukanlah hak, itu adalah ambisi,” sangkal Rangkasa.

Adu mulut berlangsung sampai beberapa saat. Danu sekarang sedikit mengerti apa yang sedang mereka permasalahkan. Sebuah barang dan hak milik terhadap barang tersebut. Tapi sayang, sejak tadi Danu tidak mendengar barang apa yang mereka maksud.

“Aku salah kaprah, Kakang Narga. Aku kira kau banyak berubah setelah belasan tahun tidak bertemu. Tapi nyatanya tidak. Kau masih seperti dahulu ketika kita berkelana bersama, kau masih kanak-kanak, meski usiamu lebih tua dariku. Aku hanya...” suara Rangkasa terputus.

“Jangan ingatkan lagi tentang perkelanaan omong kosong itu. Dan kau, Rangkasa, kau adalah manusia yang curang, keparat!” Narga benar-benar marah kali ini.

Narga menata kaki, membangun kuda-kuda. Tangannya mengepal, mengatur nafas yang sebelumnya berantakan karena marah. Matanya memelotot tajam, jubahnya dikibas-kibaskan angin. Sementara itu, burung hitam besar yang sebelumnya ia tunggangi telah menepi. Burung hitam itulah yang sempat membuat Danu ternganga beberapa saat setelah kedatangan Narga. Menurutnya itu cukup spektakuler.

“Kita sudah omong kosong tidak berguna itu. Sekarang aku berikan kesempatan terakhir untukmu, Rangkasa! Berikan Serat Agung itu, atau kau akan mati?” kata Narga dengan nada mengancam. Dia benar-benar tidak sedang bergurau.

“Ambil saja nyawaku jika kau mampu,” sahut Rangkasa dengan suara beratnya.

Rupanya pertempuran tidak bisa dihindari lagi. Serat Agung? Benda apakah itu? Seberapa berharganya sehingga Narga dan Rangkasa berani mempertaruhkan nyawa untuk benda itu? Itulah pertanyaan-pertanyaan Danu.

Tangan Narga mengepal. Jubah hitam keabu-abuan yang ia kenakan dikibas-kibaskan angin. Gigi Narga bergemerutuk, rahangnya mengeras. Narga siap membantai lawannya. Rambut panjang Narga melambai-lambai.

Sementara itu, Rangkasa tampak biasa-biasa saja. Bahkan dia belum memasang kuda-kuda.

Tubuh Narga mengambang satu meter dari tanah, jubahnya semakin menggelepar-gelepar di terpa angin. Di lereng itu, lereng dengan ketinggian empat ratus meter, akan menjadi saksi siapakah yang akan kehilangan nyawa.

“Bersiapkah, Rangkasa keparat!” teriak Narga.

Tubuhnya melesat maju, tangannya mengepal menyasar wajah Rangkasa. Rangkasa hanya diam, menunggu sampai Narga tinggal beberapa jengkal darinya.

Buk...

Pukulan yang kuat, tapi Rangkasa mampu menahannya dengan pukulan pula. Itu adalah pukulan yang sama ketika Rangkasa menahan pukulan Danu. Tapi sepertinya kali ini lebih bertenaga. 

Narga telah mengeluarkan beberapa jurus untuk membantai Rangkasa. Pertempuran berjalan alot, belum jelas siapa yang akan memenangkan pertempuran. Narga mengepalkan tangan kiri, memukul dari arah kiri kepala Rangkasa. Rangkasa menepisnya dengan baik. Kanan, kiri, depan, belakang, atas, semua telah Narga jajaki. Tidak ada satu pukulan pun yang mengenai sasaran.

Sekarang kaki Narga ikut bermain. Pertunjukkan spektakuler pun terjadi. Danu menyaksikan itu semua dengan wajah berseri-seri, perut kenyang. Sekali-kali Danu membuka kembali akar yang disumpalnya dengan kerikil. Kemudian air mengucur dari bekas lubang anak panah Rangkasa.

Kaki Narga melangsungkan lima belas tendangan sekaligus, tubuhnya mengambang dua meter dari tanah. Rangkasa menepis tendangan-tendangan itu dengan kedua tangannya.

“Sial! Kenapa kau hanya menangkis-menangkis tolol seperti itu, Rangkasa?” Narga berhenti menyerang. Nafasnya memburu. Dadanya naik-turun. “Apakah kau sudah lupa dengan jurus-jurus yang pernah kau banggakan kepadaku, hah?”

Rangkasa diam, seperti Danu yang diam ketika Rangkasa mengatakan sebuah perkataan yang sama dengan apa yang dikatakan Narga. Danu tersenyum menyaksikan kejadian itu.

Narga bersiap-siap kembali. Kuda-kuda yang sangat kuat, tangannya mengepal, rahangnya mengatup. Jubah hitam keabu-abuan itu dikibarkan angin. Rambutnya melambai-lambai. Tubuhnya kembali mengambang satu meter dari tanah.

Pukulan siap dilangsungkan oleh Narga. Oh, itu adalah jurus yang sama dengan jurus yang dikeluarkan Rangkasa malam itu. Jurus yang membuat Danu jatuh ke jurang, dan Rangkasa pula yang mengejar Danu, membawa Danu kembali ke atas lereng. Tapi Danu tidak menyadari bahwa yang membawanya kembali adalah Rangkasa. Dia sudah tidak sadarkan diri pada malam itu.

“Hai, Rangkasa! Hati-hati. Itu adalah jurus yang sangat mematikan!” Danu berteriak dari bawah pohon beringin.

Mendengar itu Narga tertawa. “Lihatlah muridmu itu, Rangkasa! Dia sangat mengkhawatirkanmu!” Narga mencibir. Rangkasa tidak menanggapinya.

Burung-burung beterbangan di atas sana, atau bahkan di bawah lereng. Mereka seakan menyaksikan dengan khidmat apa yang tengah terjadi di bawahnya. Narga bersiap-siap mengeluarkan jurus Angin Kematian. Sebenarnya itu adalah jurus yang menggunakan tenaga dalam, menggunakan angin yang diperbesar sedemikian rupa sehingga memunculkan angin dengan kekuatan besar. Angin yang mematikan.

“HAAA...” Narga berteriak keras-keras. Senyiur angin terasa. Burung-burung di atas sana terbang menjauh. Daun-daun pohon beringin bergoyang-goyang diterpa angin.

Debu mengepul terkena angin pukulan Narga. Beberapa saat tubuh Narga yang tengah mengambang satu meter dari tanah tidak terlihat.

Rangkasa membangun kuda-kuda kokoh. Tangannya mengepal, siap menyambut angin pukulan Narga.

Bum...

Dua pukulan angin bertemu. Kuda-kuda Rangkasa benar-benar kokoh. Sedang Narga yang mengambang satu meter di atas permukaan tanah melenting dua meter ke belakang.

“Ternyata aku salah menyepelekanmu, Rangkasa! Ternyata kau masih mempunyai kekuatan yang cukup untuk melawanku!” kata Narga keras-keras. Setelah itu ia tertawa lebar. Tubuhnya kembali menapak tanah.

Tidak menunggu lama, Narga telah siap dengan pukulan selanjutnya. Ia masih menggunakan jurus yang sama dengan sebelumnya. Ia menggunakan jurus Angin Kematian.

“HAAA...” teriak Narga. tangannya mengepal, menyasar Rangkasa yang juga siap dengan kuda-kudanya.

Debu mengepul, beterbangan terbawa angin pukulan Narga. Benar-benar sebuah pukulan yang sangat kuat. Danu melongo menyaksikan hal tersebut. Apakah Rangkasa bisa menahannya? Begitulah arti tatapan Danu.

Bum...

Tubuh Rangkasa terselimuti debu tebal. Tidak terlihat.

Narga melihat kejadian itu dengan tatapan penuh kemenangan. Dia berpikir bahwa pertarungan akan berakhir sampai di sini dan selesai sudah dendam dalam hati. Ternyata yang terjadi bukan seperti yang Narga pikirkan.

Ketika debu yang mengepul itu perlahan-lahan hilang, Rangkasa tampak berdiri dengan kuda-kuda kokohnya. Jubahnya berdebu, samar-samar angin menyingkapnya. Danu terheran-heran dengan pertarungan yang terjadi di depannya.

“Sepertinya kau masih sering berlatih, Rangkasa!” Narga menebak-nebak.

“Kau mestinya sejak awal menyadari itu,” sahut Rangkasa.

“Tapi jangan senang terlebih dahulu, masih banyak jurus yang aku pelajari selama belasan tahun terakhir,” kata Narga. Dia sudah siap kembali untuk mengirim serangan-serangan yang lebih mematikan.

Kaki Narga membentuk kuda-kuda sempurna. Tangannya mengepal, rahangnya bergemerutuk. Jubah hitam keabu-abuan itu beterbangan diterpa angin. Tubuhnya terangkat satu meter, mengambang.

Kedua tangan Narga membentuk sebuah lingkaran di depan dadanya. Debu di sekitar tubuhnya yang mengambang beterbangan, tubuh Narga menarik angin. Apakah ini adalah kebalikan dari jurus Angin Kematian?

Tubuh Narga menarik apa saja yang ada di sekitarnya. Debu-debu beterbangan tidak karuan, jubahnya menari-nari. Batu-batu kecil mulai beterbangan tersedot jurus tarikan angin yang dikeluarkan Narga. Bahkan batu-batu seukuran kepala orang dewasa ikut beterbangan, perlahan-lahan mendekati Narga. Lalu ketika batu-batu itu mendekati tubuhnya, dia segera menepisnya, menghempaskannya menuju bawah lereng. Batu-batu berjauhan.

Rangkasa menguatkan kuda-kuda. Ia tahu bahwa Narga tengah mengeluarkan jurus Tarikan Angin Maut. Tidak semua pendekar memilikinya, hanya beberapa. Rangkasa sendiri juga mempunyai jurus tersebut, tapi menurutnya terlalu berlebihan jika menggunakan jurus tersebut untuk sekarang.

“Narga benar-benar telah ditutupi oleh ego menguasai dunia!” ujar Rangkasa kepada dirinya sendiri.

Tarikan angin bertambah kencang. Radius tiga puluh meter pengaruhnya, bahkan lebih luas. Danu yang sejak tadi duduk-duduk santai, beberapa kali meneriaki Rangkasa agar berhati-hati, kini terkena pengaruh tarikan angin itu juga. Danu berpegangan erat-erat pada pohon beringin. Daun-daun berguguran terkena tarikan angin Narga.

“Danu, kuatkan kuda-kudamu!” teriak Rangkasa dengan suara beratnya. Dia sendiri mati-matian mempertahankan posisi agar tidak tersedot angin Narga. Kuda-kudanya mencengkeram bumi, kuat sekali. Jubahnya menggelepak-gelepak tidak karuan. 

Beberapa menit selanjutnya tarikan angin semakin kencang. Tidak ada batu-batu seukuran kepala yang tersisa di atas lereng itu. Semua berhamburan, lalu Narga menepisnya, membuangnya turun.

Tubuh Rangkasa bagian atas setengah tertarik angin. Kini Rangkasa membungkuk, mempertahankan kuda-kuda. Sekali kakinya terlepas dari bumi, maka entah apa yang akan terjadi berikutnya.

Ah, keadaan semakin mencengangkan. Kini kedua tangan Rangkasa mencengkeram bumi kuat-kuat, hampir saja ia tertarik angin Narga. Debu-debu semakin mengepul pekat. Matahari di atas sana bersinar terik, menambah panas suasana yang telah memanas sejak tadi.

Lihatlah! Danu bahkan sekarang tubuhnya tengah melayang-layang, namun tangannya masih berpegangan kuat pada pohon beringin. “Keparat tua bangka itu!” gerutu Danu. Dia mati-matian mempertahankan diri. Tapi sebenarnya ini bukan sebuah masalah serius bagi Danu. Bagi orang yang berhasil menaiki lereng Gunung Tiga Maut sampai ketinggian empat ratus meter, ini adalah awal perjuangan yang cukup mudah.

Kedua tangan Rangkasa semakin erat mencengkeram bumi. Hampir setengah kedua jari tangannya terkubur, kuat sekali ia mencengkeram tanah. Kakinya bergetar hebat. Bahkan sekarang Rangkasa telah sempurna terbaring, tubuhnya jatuh ke tanah, namun berusaha bertahan mati-matian, mencengkeram tanah dengan kedua tangan dan kakinya.

“Haaa...” Narga berteriak lebih kencang.

Angin bertiup lebih dahsyat. “Keparat! Terkutuk orang tua itu!” Danu menggerutu. Pegangannya cukup kuat untuk bertahan sampai beberapa saat.

Cengkeraman kaki Rangkasa terlepas. Kini, ia sempurna hanya berpegangan dengan kedua tangannya. Kaki Rangkasa mengambang satu meter dari tanah, mengarah kepada Narga. Berarti sekarang kaki Rangkasa lebih dekat dengan Narga. Jubahnya terombang-ambing.

Beberapa saat Rangkasa mampu bertahan. Tapi Narga menambah kembali kekuatannya. Hingga akhirnya satu tangan Rangkasa terlepas dari tanah. Sekarang ia hanya berpegangan dan bertahan dengan satu tangan.

Sementara di bawah pohon beringin, Danu juga demikian. Tangannya tidak mampu lagi menahan tarikan angin Narga. Akhirnya ia sempurna terlepas dari pohon beringin, tubuhnya melayang.

“DANU!” teriak Rangkasa.

Danu menetap Rangkasa, mencari maksud di balik teriakannya. Rangkasa sepertinya mengisyaratkan kepada Danu bahwa Danu harus mengambil busur panah di pundaknya. Sekelebat ketika tubuh Danu melewati tubuh Rangkasa, Rangkasa menarik tubuh Danu yang tengah terbang.

“Rawatlah busur panah ini!” kata Rangkasa pelan, tapi cukup untuk memberi kefahaman kepada Danu.

Satu tangan Danu segera mengambil busur panah di pundak Rangkasa. Busur panah itu sekarang bertengger gagah di pundak Danu.

Selanjutnya Rangkasa melepaskan pegangan pada tangan Danu. Danu melayang menuju Narga yang tengah berteriak-teriak. Namun apa yang terjadi berikutnya sangat tidak masuk akal. Tubuhnya menghilang sesaat sebelum Narga mencekik lehernya.

Lihatlah! Sekarang Danu jauh dari keramaian itu. Danu sekarang berada di sebuah tempat yang sunyi. Malam hari. Bintang-gemintang ramai di atas sana, tidak ada rembulan. Langit menjadi kain hitam pekat, bintang-bintang mengisi sebagai pola titiknya.

“Di manakah aku sekarang berada?” tanya Danu pada dirinya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status