Akhirnya Danu mencari sebuah tempat yang tepat untuk bermalam. Entah kenapa setelah berpindah tempat dan waktu matanya menjadi mengantuk. Danu berjalan menuju sebuah pohon besar di tepian jalan setapak. Ia akan tidur di atas dahan pohon besar itu.
Suasana hening. Langkah kaki Danu yang menginjak dedaunan terdengar begitu keras. Sesekali kakinya menginjak ranting-ranting kering yang berserakan di bawah setiap pohon. Hutan ini sepertinya jarang dijamah manusia. Alami.
Danu memanjat pohon besar. Mudah saja bagi manusia yang telah mencapai empat ratus meter lereng Gunung Tiga Maut untuk memanjat pohon besar itu. Ditambah lagi dengan kemampuan untuk meringankan tubuh yang Danu miliki, itu akan sangat-sangat mudah.
Beberapa saat kemudian Danu telah berada di atas sebuah dahan pohon. Dahan itu besar, lebih dari cukup untuk membaringkan diri dan menjaga keseimbangan. Samar-samar bintang-gemintang tampak dari celah dedaunan. Sinarnya terang, namun tidak cukup untuk menerangi bumi.
Beberapa kali Danu melihat bintang berpindah tempat. Suatu saat ibunya pernah bercerita, ketika masih hidup, bahwa ketika bintang berpindah tempat, maka itu adalah waktu yang tepat untuk memanjatkan doa kepada Tuhan. Dan Tuhan kemungkinan besar akan mengabulkannya. Entahlah, itu mitos atau benar adanya.
“Wahai, Tuhan! Sampaikanlah dendamku!” Begitulah doa Danu malam ini, ketika sebuah bintang berpindah tempat.
Samar-samar angin bertiup dari utara, mengecup setiap kulit yang dilaluinya. Danu meraba-raba busur panah yang sekarang ia pegang.
“Apa istimewanya busur ini? Sehingga, Rangkasa masih sempat-sempatnya melepaskannya untukku ketika nyawanya dalam ancaman?” Danu bertanya-tanya pada dirinya sendiri, selanjutnya menebak-nebak jawabannya. “Ah, mungkin ini kenang-kenangan dari masa mudanya. Tidak lebih!”
Salah! Danu salah besar. Busur panah itu bukan hanya busur panah yang menjadi sebuah kenang-kenangan. Tapi pada busur panah tersebut terdapat keabadian, menghancurkan sekaligus menghidupkan. Mungkin lain hari Danu akan tahu itu, bukan sekarang. Itulah benda yang dikejar-kejar oleh Narga, Serat Agung.
“Baiklah! Malam ini aku tidur. Mungkin besok aku akan menentukan langkah!” ujar Danu pada heningnya malam. Angin mengiringinya sampai pintu-pintu menuju alam mimpi. Sesekali nyamuk melambaikan tangan. Jangan pergi! Begitulah mungkin maksudnya.
***
“Jangan-jangan setan berwujud manusia itu sudah kembali berkeliaran?” Samar-samar Danu mendengar suara seseorang tengah berbincang.
“Iya, setan itu meresahkan sekali. Aku masih ingat sekali ketika lima penduduk kampung ini dimakan mentah-mentah oleh setan itu. Hanya menyisakan kepala dan jari-jari tangan. Hi, ngeri!” sahut temannya.
Seseorang lagi bicara. “Tapi setidaknya saat ini kita aman, karena siang hari setan itu tidak mempunyai kekuatan apa pun.”
Danu melihat ke bawah. Saat ini ia masih berada di atas dahan sebuah pohon. Ada tiga orang di bawah sana, para gadis. Melihat Danu setengah takut setengah penasaran. Mata mereka menyelidik. Sepertinya Danu paham apa yang tengah terjadi.
“Hai, aku bukan hantu yang kalian maksudkan.” Danu beranjak turun. “Aku adalah manusia baik-baik.” Dia membenahi pakaiannya yang tampak tidak tertata setelah sampai di bawah.
Tiga gadis itu saling berbisik. Danu tidak mendengarnya, terlalu pelan, sampai akhirnya gadis yang mengenakan pakaian merah berkata, “Sepertinya kau bukan penduduk desa ini?”
“Iya, aku memang bukan penduduk desa ini. Aku adalah orang yang kebetulan sedang melewati pedesaan ini, tidak lebih,” jawab Danu.
“Apakah kau dapat dipercaya?” tanya gadis berbaju kuning, rambutnya melambai-lambai diterpa angin pagi.
“Maksudmu?” tanya Danu, matanya menyelidik.
Gadis berbaju hijau mengikuti pembicaraan. “Tentunya kau tadi sempat mendengar pembicaraan kami tentang setan berwujud manusia. Maksud kami, apakah kau bukan setan tersebut?”
Danu menarik nafas pelan. Orang ganteng seperti ini dikata setan? Begitu maksudnya. “Hai, lihatlah! Kakiku menapak tanah, dan ini siang hari.” Danu mengarahkan pandangan pada matahari pagi yang setengah menampakkan diri. “Apakah kalian sekarang sudah percaya padaku?” tanya Danu.
“Baiklah, sepertinya dia benar-benar manusia.” Akhirnya gadis yang memakai baju hijau menyimpulkan. “Ayo kita pergi!”
“Ayo pergi!” sahut gadis yang memakai baju merah.
Sepertinya wanita-wanita desa itu cukup pandai merawat rambut. Rambut mereka tampak lurus, sedikit bergelombang, hitam pekat, melambai-lambai ketika disapu angin. Tinggi tubuh mereka hampir sama.
“Eh, bolehkan aku bertanya?” kata Danu beberapa saat sebelum tiga wanita itu melangkah pergi.
Mata ketiga wanita itu menyelidik. Baju hijau menyahuti, “Bertanya apa?”
“Apakah pemukiman penduduk jauh dari sini?”
“Oh, tidak. Cukup ikuti jalan setapak ini, beberapa saat kau akan sampai di gapura desa kami,” jawab baju hijau.
“Apakah kalian berkenan menunjukkan rumah pembesar desa ini? Maksudku ketua desa atau sejenisnya.” Danu sepertinya tengah menyusun rencana.
Ketiga gadis itu saling bertatapan.
“Sepertinya itu orang tuamu yang dimaksudkan, Diana!” kata baju merah.
Gadis yang bernama Diana tersenyum, sangat cocok senyum itu dengan baju hijau cerah yang ia kenakan.
“Bagaimana?” tanya Danu sekali lagi.
“Baiklah, kau bisa mengikuti kami bertiga!” kata gadis berbaju hijau. Mereka bertiga mulai melangkah, Danu mengikuti mereka dari belakang.
Tiga gadis itu tampak berbincang-bincang ringan di sepanjang perjalanan. Sesekali tertawa, sesekali melirik Danu. Mereka tengah melintasi jalan setapak, banyak tumbuhan-tumbuhan liar di tepian jalan.
“Omong-omong kalian dari mana?” tanya Danu. Dia bosan diam sejak kemarin malam.
“Apakah kau tidak melihat apa yang kami bawa?” jawab gadis berbaju hijau, matanya memelototi Danu.
Danu menarik nafas dalam-dalam. Ditanya baik-baik, bukannya dijawab dengan baik pula. Batin Danu.
“Eh, maaf! Teman kami satu ini memang suka bercanda. Kami dari sungai, mencuci pakaian.” Gadis berbaju merah menjawab, menunjukkan keranjang kecil yang dia bawa.
Ah, bodoh sekali Danu bertanya demikian. Seharusnya dengan melihat keranjang kecil tiga gadis itu penuh sesak dengan pakaian basah, seharusnya ia bisa menebak-nebak bahwa mereka dari sungai. Mencuci baju.
“Oh, apakah jauh letak sungai dengan pemukiman warga?” tanya Danu lagi. Ia benar-benar bosan berdiam diri.
“Lumayan. Cukup berja...” kata-kata gadis berbaju merah terhenti, disela oleh Diana.
“Memangnya kalau sudah tahu, kenapa?” kata Diana ketus, menarik tangan kedua temannya, mengajak berjalan lebih cepat.
Akhirnya disisa perjalanan Danu hanya terdiam, mengikuti mereka bertiga dari belakang. Sesekali matanya mengawasi sekitar, mereka telah memasuki gapura desa. Tertulis di sana nama desa tersebut, “MACANAN”.
“Atas dasar apa masyarakat menamai desa ini demikian?” tanya Danu.
Mereka, tiga gadis itu, menoleh ke belakang. “Kamu bertanya kepada siapa?” tanya Diana.
“Tentunya kepada kita. Kepada siapa lagi?” sahut gadis berbaju kuning.
“Tapi dia itu sepertinya tidak bisa diam, Permata! Sejak tadi bicara terus!” Diana menggerutu.
“Tidak ada salahnya, kan, jika kita menjawab?” bantah gadis berbaju kuning, Permata.
“Terserah!” kata Diana, suaranya meninggi. “Tapi aku masih mempunyai tugas yang lebih penting dari pada menjawab manusia tidak jelas ini. Aku belum memasak, nanti ibuku jelas marah kalau sampai telat.” Diana mempercepat langkahnya, mendahului dua temannya.
“Tunggu, Diana! Aku juga mempunyai tugas seperti itu,” kata Permata menyejajari langkah Diana.
Danu mengikuti mereka dari belakang. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya untuk beberapa saat. Ini benar-benar menyebalkan! Mungkin itu yang ada di benak Danu sekarang.
Satu-dua rumah mulai tampak. Pemukiman yang asri. Ayam-ayam kampung berkeliaran bebas, sesekali saling mengejar. Ibu-ibu tampak sibuk dengan kegiatan pagi. Ada pula yang tengah sibuk menjemur hasil panen musim lalu.
“Aku pulang dahulu, Diana!” kata Permata. Rambut lurusnya melambai-lambai tersapu angin. Baju kuningnya mengkilap diterpa sinar matahari pagi.
“Aku juga, Diana!” kata gadis berbaju merah.
“Eh, lalu siapa yang akan mengantarkan pemuda tidak jelas ini kepada bapakku?” tanya Diana. Dia bingung juga kesal.
“Kamu sendiri aku rasa bisa, Diana!” sahut gadis berbaju merah.
“Hai, Kusumu! Apakah aku tidak salah mendengar?” tanya Diana terheran-heran dengan jawaban temannya. “Apa tanggapan orang tuaku jika aku membawa orang tidak dikenal ini sendirian?”
“Sudahlah, Diana, ibuku bisa marah kalau aku tidak segera pulang,” kata gadis berbaju merah, Kusumu. Dia berjalan setengah berlari meninggalkan Diana dan juga Permata.
“Kalau begitu aku juga, Diana!” Permata mengikuti langkah Kusuma.
“Huh, menyebalkan sekali pagi ini.” Diana menggerutu sembari kembali berjalan.
“Apakah aku harus mengikutimu?” tanya Danu samar-samar.
“Hai, kau bertanya apa? Bukankah kau ingin bertemu dengan ketua desa ini? Dia adalah bapakku, dan aku rasa kau sudah tahu sejak awal tadi karena kami sempat membicarakannya. Lantas mengapa kau kembali bertanya bodoh seperti itu?” jawab Diana, ketus. Danu diam seketika, mengikuti langkah Diana yang semakin cepat. Menyebalkan sekali gadis ini. Begitu maksud pandangan Danu.
“Jaga sikap ketika berhadapan dengan bapakku,” kata Diana ketika mereka memasuki halaman sebuah rumah.
Rumah itu besar, beratap kayu hitam mengkilap. Begitu pula dindingnya juga terbuat dari kayu, mengkilap. Tapi sepertinya itu bukan kayu biasa, bahkan satu potong kayu itu sepertinya lebih mahal daripada tiga ekor kambing.
“Jangan terlalu banyak bicara ketika duduk bersama dengan bapakku,” kata Diana lagi.
“Eh, sejak tadi yang lebih banyak bicara itu kamu!” sahut Danu. Dia benar-benar kesal.
“Oh, iya? Kau berani denganku? Silakan lanjutkan perjalananmu sendiri.” Diana berhenti melangkah.
“Baiklah, aku tidak akan bicara lagi.” Akhirnya Danu mengalah, mereka kembali melangkah memasuki halaman rumah yang luas itu.
“Hai, tahukah kau bahwa masyarakat desa ini semua menaruh hormat kepada bapakku?” tanya Diana.
Tidak ada jawaban. “Tahukah kau bahwa semua masyarakat desa ini menaruh hormat kepada bapakku?” Diana mengulangi kata-katanya.
Tidak ada jawaban. Diana menoleh ke belakang, matanya memelotot. “Hai, manusia tidak jelas! Apakah kau mendengar kata-kataku?” kata Diana.
Danu mengangguk. “Lalu kenapa kau tidak menjawab? Apakah kau tidak percaya dengan apa yang aku katakan?” cecar Diana.
“Aku tidak boleh banyak bicara,” sahut Danu.
“Menyebalkan!” celetuk Diana. Dia membuka pintu, mereka telah sampai di pintu masuk rumah.
“Tunggu di sini, jangan masuk sebelum pemilik rumah memberikan izin!” kata Diana. Dia masuk ke dalam rumah.
“Bapak, ada tamu!” Danu mendengar kata-kata itu dari luar rumah.
“Siapa namamu?” tanya orang tua itu tanpa basi-basi.“Danu Amarta,” jawab Danu.“Dari mana kamu berasal?” tanya orang tua itu lagi.“Aku berasal dari Prambon,” jawab Danu.“Prambon?” kata orang tua itu dengan nada bertanya. Apakah ada yang salah dengan Prambon?“Apakah ada yang salah dengan Prambon, Tuan?” tanya Danu. Ia berusaha bersikap sopan.“Ah, jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku bapak atau apalah. Tidak ada yang salah dengan Prambon. Tapi, bukankah itu adalah sebuah nama kota yang jauh? Ada perlu apa sampai-sampai kamu berada di desa Macanan?”“Sebenarnya aku juga bingung, Bapak!” Danu memanggil orang tua itu setengah canggung.“Maksudnya?” tanya orang tua itu.Danu ragu-ragu untuk menceritakan apa yang dia alami beberapa hari lalu, atau bahkan tadi malam. Dia belum mengenal orang tua ini,
Beberapa saat menunggu, akhirnya Diana keluar membawa sebuah nampan besar. Ada beberapa piring dari anyaman akar di sana, beberapa lembar daun yang nantinya digunakan untuk alas makan. Dua kali Diana membawa nampan untuk menghidangkan sarapan.“Nah, Diana, kau temani Danu sarapan!” kata Abimana.“Kenapa tidak bapak saja?” tanya Diana. Sebal.“Tadi pagi-pagi bapak sudah makan di warung.” Tanpa banyak cakap lagi Abimana melangkah meninggalkan mereka berdua. Suasana menjadi canggung.“Makan!” perintah Diana.“Eh, bapak kamu tidak jahat,” kata Danu mencoba mencari bahan pembicaraan.“Siapa yang mengatakan bapakku jahat?” tanya Diana ketus. Tangannya memegang salah satu piring yang sudah dilapisi dengan daun jati. “Ini!” tangan Diana menyodorkan piring yang sudah terisi dengan nasi dan lauknya.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” kata Danu. Tangann
Petani-petani pulang dari sawah, menenteng cangkul di tangannya atau menambatkan cangkul pada salah satu pundaknya. Wajah mereka tampak letih, namun semangat tetap ada di sana. Celana hitam-hitam setinggi lutut mereka pakai, melindungi diri dari teriknya matahari, dipadukan dengan topi lebar dari anyaman bambu.“Mari, Tuan Abimana!” sapa salah seorang petani yang melewati rumah Abimana.Danu dan Abimana sekarang duduk-duduk santai di depan rumahnya, membincangkan berbagai hal. Siang hari matahari bersinar terik, tapi panasnya tidak begitu terasa sebab halaman rumah itu penuh dengan pepohonan.“Sebenarnya aku ingin putriku satu-satunya itu menjadi seorang pengembara hebat, menemukan belahan-belahan dunia baru,” kata Abimana meneruskan pembicaraan yang terhenti ketika petani yang lewat menyapa. “Tapi, setidaknya ada dua alasan yang sampai sekarang mengganjal hatiku untuk melepasnya.”“Kalau boleh tahu apakah dua hal
“Cepat keluar, Abimana!” salah satu dari belasan orang itu berteriak. Sepertinya itu adalah pemimpin pasukan. Rambutnya gondrong, tangannya membawa parang panjang, berkilauan diterpa sinar matahari. Tubuhnya gempal, tegap berdiri. “Sepertinya dia terlalu pengecut, Kawan! Maka, mari kita masuk ke dalam dengan jalan pintas!” kata orang itu kepada kawan-kawannya, tapi dengan suara yang keras Danu mendengarnya. “Sialan! Tetap saja manusia bangsat itu menjadi pengecut!” Salah satu dari mereka menimpali. “Sekarang kita akhiri hidup manusia tua bangka itu!” salah satunya lagi menimpali. Belasan orang itu segera merangsek maju dengan parang teracung. Danu berusaha menghadang mereka. Entah bahaya apa yang akan Danu terima. Bagi Danu pertempuran adalah sebuah hal yang sudah biasa. “Hai, kau tidak usah mencampuri urusan kami,” kata sang pemimpin, matanya mendelik, marah dengan tingkah Danu. “Apa hak kalian sehingga bebas berkeliaran di rumah ini?
Tubuh Diana lemas, dia tidak sanggup lagi berdiri. Matanya nanar, pandangannya kabur, tubuhnya benar-benar lemas. Diana tidak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya jatuh terkulai di lantai. Bulir air mata pertama keluar dari pelupuk mata, memanas, mengalir pada pipi yang lembut itu. Ingin Diana berteriak, tapi seakan suara tercekat ketika akan melewati tenggorokan. Diana tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata.Sesaat yang lalu, Diana masih duduk bersama, mendengar nasehat dari ibunya, saling mengerti hati untuk merelakan ketika pergi. Tapi, lihatlah, ibu Diana menghianati apa yang telah direncanakan oleh hati. Ibu Diana pergi terlebih dahulu, meninggalkan Diana yang kini duduk terkulai di lantai.“Danu, sekarang bawalah pergi Diana!” kata Abimana tegas. Ia meringis kesakitan. Lengan sebelah kanannya terkena parang, darah mengalir dari luka itu, menetes di lantai.“Baiklah!” sahut Danu mantap. Dia tidak merasakan luka goresan parang pada tangan k
“Aduh, aduh!” terdengar seseorang mengaduh. Itu adalah anak buah Hussa. Mendengar rintihan tersebut Danu langsung kembali marah. Dia teringat dengan anak buah Hussa lainnya yang membawa pergi Diana, membunuh Abimana serta istrinya. Danu berdiri, mendekati orang yang meringis memegangi lututnya, orang itu duduk lemas. Danu meraih parang yang tidak jauh dari orang itu, berbekas darah pada kedua sisinya. Danu bermaksud untuk menyudahi hidup orang itu dengan memenggal kepalanya. Parang terangkat ke atas, Danu bersiap, giginya mengeram. Tapi tiba-tiba orang itu memohon kepada Danu. “Aku mohon jangan bunuh aku!” Suara memelas. Danu tidak menurunkan parangnya yang siap menebas. “Dengan alasan apa aku tidak membunuhmu?” tanya Danu geram. “Setidaknya aku bisa menunjukkan di mana markas Hussa dan anak buahnya!” jawab orang itu. Itu adalah sebuah jawaban yang berhasil membuat Danu menurunkan parangnya. Memang saat ini Danu membutuhkan ses
Danu terperanjat melihat parang hanya berjarak beberapa jari dari lehernya, tidak menyangka bahwa Baung yang telah diberinya hidup malah akan membunuhnya.“Mati kau!” teriak Baung sesaat sebelum parang benar-benar menebas leher Danu.Danu sudah pasrah, menghindarkan pun itu tidak akan banyak membantu. Jarak antara parang dan lehernya sekarang hanya setengah jari. Tapi Danu dan Baung sama-sama tidak menyangka bahwa ada seorang penyelamat yang datang tepat waktu.“Haaaa!” Terdengar suara bersamaan dengan sebuah tangan menepis parang yang Baung ayunkan.Parang panjang mengkilap diterpa cahaya bulan itu jatuh ke tanah. Baung benar-benar tidak menyangka bahwa akan ada seorang penyelamat yang tiba-tiba datang dan menggagalkan rencananya.Sosok yang datang tiba-tiba itu menendang keras-keras perut Baung. Baung terpental beberapa langkah ke belakang, tersungkur, meringis kesakitan.“Kamu tidak apa-apa, Dan
Danu dan Permata telah hanyut dalam mimpi masing-masing. Tangan Danu memegang erat baju tebal yang diberikan Permata, menahan dinginnya udara malam. Sedang tidak jauh darinya, seorang gadis putih, cantik, berambut panjang, hitam, dan lurus, tengah terbaring tanpa bantal. Tangannya mendekap pada dada, menahan dingin malam dengan kain seadanya. Jika dilakukan dengan senang hati, maka akan menghadirkan sebuah rasa bahagia yang tiada tara.Dari balik keremangan, di bawah sebuah pohon, berjalanlah seorang manusia yang mengendap-endap, tangan kanannya terkulai ke bawah tidak berdaya. Baung berjalan mendekati Danu dan Permata yang tengah terlelap, sepertinya ini adalah waktu tepat untuk mengakhiri hidup mereka berdua.Tangan kiri Baung memegang erat sebuah parang panjang, bergetar. Ini adalah jalan terakhirnya untuk balas dendam kepada Danu juga Permata yang telah membuat tangannya lumpuh. Andai saja gagal, maka Baung tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kepadanya.