Share

Satu Janji

“Siapa namamu?” tanya orang tua itu tanpa basi-basi.

“Danu Amarta,” jawab Danu.

“Dari mana kamu berasal?” tanya orang tua itu lagi.

“Aku berasal dari Prambon,” jawab Danu.

“Prambon?” kata orang tua itu dengan nada bertanya. Apakah ada yang salah dengan Prambon?

“Apakah ada yang salah dengan Prambon, Tuan?” tanya Danu. Ia berusaha bersikap sopan.

“Ah, jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku bapak atau apalah. Tidak ada yang salah dengan Prambon. Tapi, bukankah itu adalah sebuah nama kota yang jauh? Ada perlu apa  sampai-sampai kamu  berada di desa Macanan?”

“Sebenarnya aku juga bingung, Bapak!” Danu memanggil orang tua itu setengah canggung.

“Maksudnya?” tanya orang tua itu.

Danu ragu-ragu untuk menceritakan apa yang dia alami beberapa hari lalu, atau bahkan tadi malam. Dia belum mengenal orang tua ini, apakah bisa dipercaya?

“Apakah kamu meragukanku? Apakah aku adalah orang yang bisa dipercaya?” kata orang tua itu seperti mengetahui apa yang tengah dipikirkan Danu.

Akhirnya Danu mulai bercerita. “Beberapa hari lalu aku berada di lereng Gunung Tiga Maut. Aku sudah berhasil mendaki ketinggian empat ratus meter. Lalu aku bertemu dengan orang tua yang menamakan diri dengan Rangkasa. Aku kira orangnya baik. Singkat cerita ada tamu tidak diundang datang, dia bernama Narga. Dia menyerang kami berdua. Sepertinya kami akan kalah. Tapi sebelum benar-benar kalah, Rangkasa menyerahkan busur panah ini kepadaku, dan aku langsung menghilang, muncul di hutan tidak jauh dari desa ini. Lalu aku bertemu dengan tiga gadis, dan aku bertanya apakah mereka mengetahui rumah pembesar desa ini. Dan aku kira bapak mengerti kisah selanjutnya.”

“Dan akhirnya kamu sampai di rumahku,” sahut orang tua itu. “Perkenalkan, namaku Abimana.” Orang tua itu memperkenalkan diri. “Aku sepertinya pernah bertemu dengan Rangkasa. Apakah orang tua itu masih tetap menyebalkan?”

“Aku kira orang tua itu sangat menyebalkan. Tapi setidaknya dia baik hati,” sahut Danu.

Abimana tertawa lebar. “Begitulah dia. Rangkasa, mungkin orang tua itu telah bosan hidup dengan busur panah, lalu memberikannya padamu. Bolehkan aku meminjam sebentar busur panah itu?” tanya Abimana.

Danu menyerahkan busur panah yang sejak tadi berada di pundaknya.

“Ini masih sama persis dengan busur panah yang aku kenal dahulu.” Abimana mengamati busur panah tersebut.

Busur panah itu tampak hitam mengkilap dengan panjang setengah meter, besarnya hampir satu kepalan tangan orang dewasa, namun tidak berat. Setiap jarak empat jari ada sebuah lubang kecil, entah apa. Busur panah itu penuh dengan seni.

“Ah, beruntung sekali kamu bisa mendapatkan busur panah ini, Danu,” kata Abimana sembari meletakkan busur panah di atas meja.

“Memangnya apa keistimewaan dari busur panah ini, bapak?” tanya Danu. Sekali lagi dia masih canggung mengucapkan kata ‘bapak’.

“Ini adalah busur yang...” kata-kata Abimana terhenti, Diana datang membawa sebuah nampan.

Diana meletakkan nampan berisi dua gelas minuman di atas meja. Gelas itu hitam mengkilap, terbuat dari kayu. Diana menaruhnya di atas meja. Satu untuk tamu dan satunya lagi untuk bapaknya.

“Ah, perkenalkan, ini putriku, Danu! Namanya Diana.” Abimana memperkenalkan putrinya.

Diana memelotot kepada Danu.

“Tidak sopan seperti itu, Diana!” tegur Abimana dengan suara halus.

Beberapa saat kemudian Diana mengambil nampan yang telah kosong. Dia berjalan menuju belakang.

“Anaknya memang seperti itu. Tapi, sebenarnya Diana adalah anak yang baik dan ramah.” Abimana menjelaskan, wajahnya penuh dengan senyum ketika berkata.

Abimana mengangkat gelas kayu hitam mengkilap itu. Uap mengepul dari gelas tersebut. Itu adalah sebuah kopi hitam yang diracik khusus oleh masyarakat setempat. “Silakan diminum, Danu!” kata Abimana.

“Terima kasih, ini adalah sebuah kebaikan hati yang tidak mungkin aku tolak,” sahut Danu. Ia mengangkat gelas yang sama dengan gelas Abimana.

“Lalu rencana apa yang akan kamu lakukan?” tanya Abimana.

“Nah, itulah yang sebenarnya ingin aku tanyakan kepada bapak.”

“Serat Agung itu sangat luar biasa untuk manusia yang mengetahuinya. Serat Agung, selalu menjadi incaran, salah satunya adalah orang tua bangka itu, Narga. Dia mempunyai ego setinggi langit untuk menguasai dunia, kekuasaan adalah impian terbesarnya, serta hidup abadi.” Mata Abimana menerawang jauh ke atap-atap rumah.

“Di dalam busur itulah Serat Agung berada. Barang siapa bisa membukanya, maka dia akan menjadi penyelamat kehidupan, dengan catatan jika digunakan dengan benar. Tapi barang siapa yang bisa membukanya tapi tidak bisa menggunakan dengan baik dan benar, maka akan menjadi penguasa kehitaman dunia.

“Nah, tidak sembarang manusia bisa membukanya. Rangkasa sebenarnya bisa membuka busur panah tersebut dan mengambil Serat Agung darinya, tapi dia tidak melakukan. Dia lebih memilih untuk menjaganya dan menjaganya saja, tidak lebih. Dia tidak berminat untuk memerangi kekuatan keburukan yang hanya bisa dikalahkan oleh Serta Agung. Sebab, Rangkasa berpendapat bahwa manusia sudah dibekali oleh hati dan akal untuk menjadikan dunia penuh kebaikan. Tidak akan ada gunanya Serat Agung itu jika otak dan hati manusia tidak menjadi satu.

“Jadi, jika aku memberikan saran kepadamu untuk kembali menemui Rangkasa pun, itu tidak akan pernah akan membantu, sebab Rangkasa tidak berkenan melakukannya. Maka, aku menyarankanmu untuk menemui seseorang yang bisa membukanya. Atau, kau bisa belajar membukanya sendiri, dan itu akan menghabiskan usiamu, tidak menjamin pula apakah kau akan bisa.

“Sekarang, yang paling mungkin kamu lakukan adalah menemui seseorang itu dan menghancurkan kekuatan jahat yang selalu menghancurkan,” kata Abimana panjang lebar.

“Lalu, di manakah aku bisa menemui orang tersebut, Bapak?” tanya Danu.

Abimana diam sejenak, tidak langsung menjawab.

“Tempat itu sangat jauh, sangat berbahaya pula. Tempat itu bernama Sendang Kliman, dan tidak semua orang mengetahuinya. Aku akan memberikan peta kecil kepadamu, semoga bisa membantu,” kata Abimana. Dia bangkit dari duduknya, melangkah ke belakang. “Tunggu sebentar.”

Beberapa saat kemudian Abimana kembali, tangannya membawa sebuah lembaran kusam, digulung menggunakan tali cokelat, seperti akar sebuah pohon.

“Inilah peta yang aku maksud. Peta ini, belasan tahun silam, direbutkan oleh berbagai kalangan demi mencari seseorang yang bisa membuka busur ini.” Abimana memandang busur yang masih berada di atas meja.

“Ini hanya setengah, setengahnya lagi entah ke mana aku tidak mengetahuinya. Tapi setidaknya kamu bisa menggunakan untuk setengah perjalanan.” Tangan Abimana mengulurkan gulungan kusam itu kepada Danu. Danu menerimanya dengan penuh tanda tanya.

“Apa yang harus aku lakukan setelah bertemu dengan seseorang yang bapak maksudkan?” tanya Danu.

“Yang jelas adalah kamu harus meminta bantuannya untuk membuka busur ini dan mengambil Serat Agung dari dalamnya,” jawab Abimana. Dia kembali mengangkat dan menyeruput kopi dari gelasnya.

“Baiklah, jika seperti itu, maka tidak ada yang aku perlukan lagi untuk berlama-lama di sini.” Mata Danu memandang tajam Abimana.

“Kau ini adalah pemuda yang penuh dengan ambisi. Sebelum pergi, ucapkanlah janji kepadaku bahwa kau akan menggunakan Serat Agung untuk kebaikan.” Abimana memandang lembut Danu.

“Bagaimana bapak bisa yakin bahwa aku akan bisa membuka busur ini?” tanya Danu. “Baiklah, aku berjanji jika suatu saat mendapatkan Serat Agung, aku akan menggunakannya untuk kebaikan.”

Beberapa saat diam, Abimana kembali angkat bicara, “Sebab, Serat Agung hanya untuk manusia-manusia yang mempunyai tekat. Dan kau mempunyai itu. Baiklah, sebelum pergi alangkah baiknya jika kau menikmati masakan Diana, putriku!”

Akhirnya Danu menunggu sampai masakan dihidangkan.

“Tidak ada salahnya juga aku mencicipi gadis itu,” kata Danu kepada dirinya sendiri. “Cantik juga gadis itu.” Mata Danu menerawang jauh ke atap-atap rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status