Weling Ireng melesat dengan tangan kanannya yang sudah diisi tenaga dalam tinggi. Pukulan Sakti Raja Ular Menyemburkan Racun milik Weling Ireng sangat berbahaya. Jika sampai terkena meskipun itu hanya tersentuh saja, maka kulit orang tersebut akan melepuh seperti terbakar. Dan jika terkena langsung serangan itu, sudah di pastikan tubuhnya akan menjadi sesuatu yang mengerikan. Hanya dengan melihat saja Bimasena bisa merasakan aura bahaya dari serangan Weling Ireng kali ini. Tapi dia sudah mempersiapkan dirinya dengan pukulan tenaga dalam yang dia pelajari selama ini. Meski Bima hanya berada di tingkat Tubuh Besi, tetap saja tinjunya sangat berbahaya dan bukan main-main. Bima berkelit ke kanan saat tubuh Weling Ireng menerjang. Dalam keadaan melayang di udara Bima menggerakkan tangannya beberapa kali. Ini dia lakukan karena dia merasa ada sesuatu yang mengarah ke tubuhnya. Sesuatu itu adalah racun yang menyebar di udara. Racun itu tentu saja berasal dari tangan Weling Ireng. "Bahka
Bima pulang terlebih dahulu ke penginapan yang tak berapa jauh dari pusat perguruan Katak Merah. Dia masuk ke dalam kamarnya. Saat dia selesai mandi dan mengganti pakaiannya, pintunya ada yang mengetuk. Dengan masih memakai pakaian, Bima membuka pintu itu dan mengintip. "Siapa?" tanyanya. "Saya tuan muda, Lastri," ucap seorang gadis pelayan. Bima membuka pintunya. Saat itu dia tengah memakai pakaian atasnya. Namun karena belum selesai memakai bajunya, tubuh Bima sempat terlihat oleh mata gadis itu. Wajah si gadis langsung bersemu merah. Dia terpesona dengan otot yang sangat sempurna milik Bima. Tubuh yang kekar namun tidak terlalu besar. Perutnya menampakkan otot-otot indah yang membuat wanita mana pun akan tergoda. "Ada apa?" tanya Bima dingin. Lastri tergagap seketika karena tengah melamun dan menatap tubuh pemuda itu. "Eh.. ah.. anu, saya mau mengantarkan makanan tuan muda, hari ini tuan muda hanya sarapan pagi, siang belum makan, karena ini sudah mulai sore saya langsung s
Keesokan harinya Bimasena membuka matanya. Saat dia membuka mata, yang di lihat pertama adalah Kirana Dewi yang sedang memakai pakaian.Karena gadis itu belum mengenakan pakaiannya, Bima dengan jelas bisa melihat seluruh tubuh polos Kirana tanpa selembar benang pun. Wajah nya memanas. Dia membuang muka ke arah lain. "Kau, bagaimana kau bisa ada di kamarku?" tanya Bima tanpa menoleh kearah Kirana. Gadis itu terkejut. Dia tak menyangka Bima akan terbangun di saat dia sedang memakai pakaian. Buru-buru Kirana memakai pakaiannya. Wajahnya merah merona. "Maaf, aku menumpang mandi di kamar mu, pakaian ku penuh dengan darah dari luka di tubuhmu," ucap Kirana selesai memakai pakaian. Bima segera bangun meski sambil menahan nyeri. "Kamu yang menyelamatkanku semalam..." ucap Bima sambil menatap wajah gadis itu. Kirana tersenyum. "Salah, justru kamu yang sudah menyelamatkan diriku, kakang Bima. Jika bukan karena kamu yang melindungiku, sudah pasti aku yang mati di sana," kata Kirana dengan
Bima berdiri dengan tegap di tengah arena. Para Ketua Perguruan Katak Merah menatap dengan geram. "Rencana mu gagal Ketua kedua?" tanya Ketua Perguruan. "Belum Ketua pertama, kita lihat saja, bisa berapa lama dia bertahan dalam keadaan terluka," ucap Ketua Kedua. "Baiklah, aku hanya bisa berharap rencana mu kali ini berhasil," ucap Ketua Perguruan. Di dalam tubuh Perguruan Katak Merah ada sepuluh Ketua. Ayah Kirana Dewi yang bernama Rekso Atmoko adalah Ketua Perguruan atau pemimpin dari semua Ketua yang ada di Perguruan tersebut. Sembilan Ketua masing-masing mempunyai tugas memimpin kesatuan mereka. Ketua Kedua adalah teman lama Rekso Atmoko. Dia bernama Ningrat Penjalu. Dua orang itu mempunyai keturunan. Rekso mempunyai anak gadis cantik bernama Kirana Dewi dan Ningrat mempunyai anak lelaki bernama Bayu Sakti. Dua muda mudi itu telah dijodohkan oleh kedua orang tuanya sejak masih bocah. Namun seiring berjalannya usia, Kirana Dewi justru semakin tidak menyukai kelakuan Bayu kar
Setelah kemenangan Bima di pertarungan melawan Aji dari Perguruan Kelelawar Darah, sisa peserta yang lain menjadi kecut. Pasalnya mereka tahu bahwa Aji adalah pendekar terkuat di antara para peserta selain Bima. Akhirnya mereka yang takut mati di tangan Bima mengangkat tangan tanda menyerah. Hal ini di luar dugaan sama sekali. Dan banyak para penonton yang kecewa karena mereka telah membeli tiket dengan beberapa biji tail perak. Untuk meredakan kekesalan penonton, Ketua Perguruan Rekso Atmoko mengutus salah satu ketua untuk menjadi penantang Bima di arena. Keputusan itu sempat di tentang oleh Kirana Dewi, namun ayahnya tetap mengijinkan Ketua ke Sepuluh turun ke arena. "Wongso, jangan mempermalukan perguruan," pesan Rekso Atmoko pada Ketua ke sepuluh. Lelaki paruh baya bernama Wongso itu memberi hormat. Dia segera turun ke arena pertarungan. Para penonton yang melihat Ketua Perguruan turun di arena cukup terkejut. "Saya datang ke sini untuk menantang anda, pendekar
Bimasena menatap tajam ke arah serangan Wongso. Dia langsung bergerak cepat ke arah samping. Laku dengan pedangnya dia menangkis dua senjata berbentuk belati tersebut. Trang! Trang! Di kejap berikutnya Bima telah menyarungkan pedangnya kembali. Semua terkagum-kagum melihat aksi Bima menangkis serangan. Jika dua belati itu tidak di tangkis, sudah pasti akan mengenai penonton. "Hebat juga kau bisa melihat serangan yang sudah aku gabung dengan tenaga dalam, aku salut," ucap Wongso. Sekilas dia melihat pedang milik Bima tadi. Ada perasaan ingin memiliki senjata tersebut. "Kenapa kau masukkan kembali pedangmu? Seharusnya kau tetap mengeluarkan nya bukan? Serangan tadi bukanlah serangan satu-satunya. Aku masih mempunyai banyak belati," ucap Wongso. Benar saja di tangannya saat ini telah siap empat belati beracun. Bima tak menanggapi semua ocehan Wongso. Dia sangat waspada dengan belati dan serangan orang itu. Selain waspada untuk dirinya, dia takut senjata itu melukai or
Merasa geram dengan tantangan Bimasena, Ningrat Penjalu alias Ketua Kedua meminta ijin pada Rekso Atmoko. "Aku akan berikan dia pelajaran yang setimpal," ucap Ningrat. "Bunuh saja, jangan biarkan dia hidup, aku yakin dia ingin mempermalukan perguruan ini," kata Rekso. Ningrat mengangguk. Lalu dia segera melompat ke udara. Tubuhnya sangat ringan sehingga dengan lincah dia melewati puluhan penonton. Bima menatapnya dengan tatapan tajam. Dia cukup kagum dengan ilmu meringankan tubuh Ketua Kedua tersebut. Ningrat mendarat di arena pertandingan dengan tanpa suara. Itu pertanda dia sudah mencapai tahap sempurna dalam ilmu meringankan tubuhnya. "Aku akui kamu adalah pendekar kelas bawah yang cukup berani karena ini pertama kalinya ada pendekar dari kelas Tubuh Besi menantang ku, aku tidak tahu harus berkata kamu hebat atau kamu tolol?" ucap Ningrat dengan wajahnya yang terlihat menyeramkan. Bima tersenyum. "Kau bisa menyebutku tolol atau apa, terserah. Aku sudah mengalahkan salah sat
Cakar Hantu Ningrat berhasil merobek punggung Bima hingga luka yang Bima dapat semalam kembali terbuka!Bima berteriak keras. Rasa panas menjalar dari luka cakaran itu. Keringat mulai menetes di keningnya. Ningrat tertawa panjang melihat Bima yang mulai tersudut. "Kamu awalnya seseorang harimau yang ganas dan menerkam tanpa ampun, tapi lihatlah dirimu sekarang, hengh, bagaikan kucing yang ketakutan di hadapan Singa yang tengah lapar... hahaha!" ucap Ningrat menghina. Bima mendengus marah. Tapi dia harus waspada pada serangan Ningrat yang sangat berbahaya. Dia memperhitungkan serangan berikutnya. Pedang Darah di tangan kirinya bergetar. Bima menoleh. "Ada apa dengan pedang ini?" batin Bima. Dia merasakan hawa dingin masuk ke dalam tubuhnya membuat luka yang terasa panas membakar menjadi sedikit tak terasa. "Pedang ini mencoba melindungi ku..." batin Bima lalu tersenyum. Dia genggam erat pedangnya. "Pedang Darah, bantu aku melawan musuh ini," ucap Bima perlahan. Seolah tahu apa y
Bima tersenyum lebar melihat Hantu Ganjang yang kebingungan. "Hei, apa yang sedang kau pikirkan Hantu jelek?" tanya Bima membuat Hantu Ganjang merasa di permainkan. "Bajingan! Kau gunakan jurus ilusi padaku bukan!? Kembali kan tubuhku!" teriak Hantu Ganjang marah. Bima tertawa terbahak-bahak. "Sudah terlambat untuk menyadarinya Hantu bodoh. Tubuhmu sedang aku jadikan boneka baru ku. Harusnya kau bersyukur aku menjadikan dirimu boneka. Karena itu lebih bermanfaat bukan? Daripada kamu hidup mengenaskan di tempat ini," ucap Bima lalu tertawa terbahak-bahak. "Biadab! Beraninya kau mengecoh diriku...! Aku tak akan memaafkan mu!" teriak Hantu Ganjang lalu melesat ke arah Bima. Matanya bersinar hijau terang. Tinjunya melayang. Namun dia tak sampai ke tempat Bima berada. Karena kakinya telah di tarik oleh Gerbang Hitam dan di banting ke tanah dengan sangat keras. Brraaaakkk! Tubuh Hantu Ganjang menghantam tanah dengan keras hingga tanah hancur. Bima tertawa melihat hal tersebut. "Kon
Hantu Ganjang terlihat gemetar setelah melihat akar Subali yang sangat kuat itu terpotong oleh serangan jarak jauh yang sangat cepat. Bahkan sinar tebasan itu juga menghancurkan akar-akar yang lain saat meledak di tanah. Tujuh murid itu terlempar di udara dan jatuh ke tanah dalam keadaan tak sadarkan diri. Bima yang merasa tak bisa mengendalikan kekuatan nya merasa bersalah. "Untung saja mereka tidak mati... Bisa jadi masalah kalau mereka mati karena Pedang Pemotong Roh milikku tadi..." batin Bima. Ratu Azalea menatap mata Hantu Ganjang dengan tajam. Mata Ratu berkilat kuning. Semakin Hantu Ganjang itu menatap mata Ratu, semakin dia tertekan oleh aura kuat yang keluar dari tubuh sang Ratu. "Bagaimana ada manusia yang sekuat ini... Pemuda itu sangat kuat. Hanya satu tebasan mampu menghancurkan akar-akar Subali. Dan wanita itu, tidak lebih lemah dari pemuda ini... Sialan... Siapa mereka sebenarnya...? Aku penasaran pada dua manusia ini, bagaimana negara Angin ini mempunyai pendekar
"Apa ini!? Bagaimana sisik naga ku bisa meleleh!?" seru Gerbang Hitam dengan wajah panik. Dia panik karena sisik Naga yang dia pelajari dari leluhurnya adalah pertahanan terkuat klan Naga. Namun hanya dengan ludah Hantu Ganjang, sisik Naga miliknya meleleh seperti lilin. "Hahaha! Apa kau terkejut? Itu adalah cairan yang ada di dalam tubuhku. Semua benda padat sekuat apapun akan meleleh setelah terkena ludahku, hikhikhik!" ucap Hantu Ganjang di iringi suara tawanya yang mengerikan. "Makhluk apa kau sebenarnya...!?" tanya Gerbang Hitam mencoba mengulur waktu. Namun sayangnya Hantu Ganjang tahu Gerbang Hitam sedang mengulur waktu. Dia mendekati Gerbang Hitam lalu menyentuh dagu manusia Naga itu dan menatap matanya. "Kau pikir kau akan selamat meski kau mencoba mengulur waktu? Subali, bawa bocah itu kesini!" ucap Hantu Ganjang. Akar Subali bergerak ke belakang dan membawa tubuh murid yang sebelumnya Gerbang Hitam suruh pergi untuk melapor kepada tetua yang lain. "Sayang sekali... D
Gerbang Hitam melesat ke arah empat muridnya yang tengah berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan pada leher mereka. Gerbang Hitam melompat sambil melepas pukulan sakti miliknya. Namun anehnya tangan-tangan itu seperti tembus jika terkena serangan. Meski tembus, cengkraman tangan itu juga terlepas. Gerbang Hitam menatap arah hilangnya tangan-tangan panjang tersebut. "Semuanya mengarah pada rumah butut itu. Apakah ini nyata atau hanya ilusi?" batin Gerbang Hitam. "Kalian sebaiknya tetap waspada. Keluarkan senjata roh kalian, kita akan mencoba menangkap mereka," kata Gerbang Hitam. Delapan murid itu mengangguk. Mereka segera mengeluarkan senjata mereka. Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati pohon besar dan rumah kecil yang sudah bobrok di bawah pohon tersebut. "Setiap aku menyerang tangan-tangan panjang itu, serangan ku selalu tembus seolah hanya melewati tempat kosong. Apakah kalian punya cara untuk membuatnya terluka?" tanya Gerbang Hitam yang biasa di panggil Ki Ireng
Rombongan itu berhenti di sebuah desa yang nampak gelap tanpa ada penerangan obor sama sekali. "Biasanya desa yang kita singgahi selalu ada obor di setiap gapura. Tapi desa ini sedikit aneh," kata Aryo sambil mengawasi sekitar. Dia yang membawa obor turun dari kuda dan mendekati gapura desa yang sudah lapuk. Abinyana pun mendekat. "Sepertinya desa ini sudah lama di tinggal pergi para penduduk, hanya saja, tidak jelas apa penyebab nya," kata Abinyana. Suasana desa itu gelap gulita. Obor yang mereka bawa adalah satu-satunya penerang di tempat tersebut. "Kalian coba cari tahu dan ketuk rumah warga. Jika ada sesuatu yang tidak beres, segera laporkan," perintah Aryo. "Aku akan mengitari desa ini untuk memastikan tak ada jebakan di sekitar desa," kata Abinyana. Delapan murid yang mendapat perintah mengangguk. Mereka membawa obor masing-masing satu. "Aku temani kalian, sangat berbahaya jika kalian bertemu makhluk yang kuat," kata Gerbang Hitam. Delapan murid itu bernapas lega. Mere
"Aku tahu apa yang ingin kalian tanyakan padaku," kata Bima setelah beberapa saat menatap dua tetua Perguruan Harimau Dewa. "Kamu bisa jelaskan secara ringkas saja. Siapa kamu dan wanita bernama Dewi Parwati itu, lalu, apa tujuan kalian," kata Aryo sambil terus menatap Bima. "Baiklah, sebenarnya Ki Cokro sudah tahu semuanya sejak awal. Dia menyimpan rahasia ini sebaik mungkin untuk menjaga nama Perguruan. Aku datang ke tempat kalian karena mempunyai tujuan," ucap Bima sambil menatap balik kearah Aryo. Ditatap mata pemuda itu membuat Aryo merasa tertekan. Dia bisa merasakan kekuatan yang sangat besar berada di hadapannya. Bagaikan benteng raksasa yang mendorong tubuhnya. "Kau... Kau pendekar Ranah Cakrawala... Apakah es ini adalah perbuatan mu?" tanya Aryo. "Iya, begitulah. Aku membunuh belasan Pendekar Ranah Tulang Dewa tahap puncak. Jika mereka tidak aku bunuh, bukankah kalian yang bisa saja menjadi korban?" ujar Bima sambil tersenyum kecil. Aryo dan Abinyana terpana. "Berarti,
Mendengar ledekan dari Bima membuat Nyai Anjani benar-benar marah. Ditambah Bima yang terlihat sangat meremehkan dirinya. Matanya bersinar hijau. Aura hijau pun keluar dari kedua tangannya. Lingxia yang sudah mulai kelelahan mulai khawatir. "Akan ku tunjukkan kekuatan Tulang Dewa milikku... Lihatlah baik-baik!" ucap Nyai Anjani lantang. Wanita itu berteriak keras seolah tengah kesakitan. Tubuhnya berguncang. Dari punggung nya terlihat aura hijau pekat yang keluar. Aura hijau itu perlahan membentuk sebuah makhluk. "Apa yang sedang dia lakukan?" batin Lingxia. Wujud makhluk yang tercipta dari aura hijau itu semakin jelas membentuk seekor Ular Kobra raksasa. "Lingxia, ular jadi-jadian ini sangat beracun. Jika kamu terkena racunnya, tubuhmu akan meleleh dan hancur dalam waktu singkat," ucap Ratu Azalea melalui telepati. Lingxia mendengus kesal. Dia tak mau kalah begitu saja dengan wanita itu. Dengan gerakan dia mulai merapal mantra kekuatan. "Aku akan hadapi dengan Jurus Terlarang
Nyai Anjani tak punya pilihan lagi selain mencoba untuk menyerang Lingxia. Karena gadis itu yang paling dekat dengannya. Ratu Azalea tak bertindak sedikit pun. Dia yakin Lingxia bukan gadis lemah. Apalagi dia sudah tahu jika Lingxia akan menjadi istri Qinglong, anak angkatnya. "Ingin menjadi istri dari anak angkat ku, harus di uji lebih dulu, apakah mampu menjadi istri yang bisa melindungi dirinya sendiri." batin Ratu Azalea. Nyai Anjani melesat kearah Lingxia yang telah siap dengan jurus andalannya. Yaitu Sembilan Jurus Naga. "Aku tak akan tanggung-tanggung lagi, Sembilan Jurus Naga kekuatan Dewa," batin Lingxia. Sementara itu Bima yang baru saja mengeluarkan Ledakan Es miliknya berdiri di tengah es. Semuanya membeku. Bahkan musuh-musuh nya yang sudah bersiap untuk menyerangnya semuanya membeku menjadi patung es. "Hanya sepertiga kekuatan ku mereka semua sudah tewas. Sungguh tidak menyenangkan..." batin Bima. "Dua belas Ranah Tulang Dewa Tahap Akhir mati satu kali serangan, sun
Dari arah selatan terdengar teriakan minta tolong. Semua orang yang tengah asyik makan malam terkejut dan segera berdiri. Ratu Azalea melirik ke arah Nyai Anjani yang masih tetap duduk dengan tenang. Ratu mulai waspada jika wanita tersebut akan menyerang dari belakang. Bima pergi ke belakang kereta. Nyai Anjani melihat hal itu. "Jika kau pergi begitu saja, apakah kau pikir kau akan baik-baik saja? Di sana banyak musuh yang sedang berdatangan ke tempat ini," kata Nyai Anjani. Bima menoleh lalu nyengir. "Aku hanya buang air kecil, apakah aku harus kencing di depan mu agar aman?" tanya Bima membuat wajah Nyai Anjani memerah. Ratu Azalea menahan tawanya melihat kekonyolan suaminya. "Semua, waspada! Aku yakin teriakan itu adalah murid Perguruan Banteng Api yang berhasil selamat!" ucap Aryo mulai tegang. "Tetap di dekat api unggun! Jangan berpencar!" perintah Abinyana. Delapan murid Perguruan Harimau Perak mulai cemas. Mereka hanyalah pendekar Ranah Keabadian. Jika terjadi serangan