Bum!Ledakan dahsyat terjadi saat cahaya hitam itu menghantam pohon jati yang ada di pinggir jalan. Asap hitam mengebul dari bekas ledakan tersebut. Bima menoleh ke arah seseorang yang berdiri berkacak pinggang tak jauh darinya. Pendekar yang selamat dari kematian langsung menghampiri orang itu dan membungkuk hormat. "Guru..." ucapnya. "Ada masalah apa kau dan dia sampai terjadi pertarungan gila seperti ini?" tanya orang tua yang baru saja datang. "Muridmu hendak merampok orang di tengah jalan, jadi pantas untuk mereka mendapat hukuman," sahut Bima. "Heh, aku tidak berbicara denganmu? Aku sedang berkata dengan muridku!" hardik orang tua itu. Bima tersenyum sinis. "Orang tua membosankan," ucap Bima membuat orang yang baru datang itu marah. "Dimana kawan-kawanmu!" bentak orang tua itu. "Mereka... tewas guru..." ucap pendekar itu dengan wajah ketakutan. "Apa!? Ber
Jaya Dipa, seorang guru di Perguruan Ular Hitam tewas di tangan Bimasena. Setelah membunuh Jaya Dipa, Bima segera mendatangi Arimbi yang tergeletak di dekat kereta kuda. "Hei! Keluarlah!" teriak Bima. Banu segera mengintip. Setelah di rasa aman, dia pun keluar dari kereta. "Kita masukkan dua orang ini ke dalam kereta," kata Bima lagi. Arimbi dan Suli di masukkan ke dalam kereta kuda. Banu menjaga mereka di dalam kereta. Bima segera melecut kuda itu agar segera berjalan. Bima membawa kereta menjauh dari Perguruan Ular Hitam. Dengan keadaan Arimbi yang sedang tak sadarkan diri Bima tak mau menantang bahaya. Kereta itu berhenti di dekat sebuah gubuk kecil. Bima menyembunyikan kereta itu masuk ke dalam pepohonan. Dua tubuh yang sedang terluka itu dia bawa masuk ke dalam gubuk. Bima menemukan gubuk ini saat perjalanan menuju ke Perguruan Ular Hitam. Arimbi dan Suli dibaringkan di atas lantai kayu yang cukup lapuk. Suaranya berderit. "Kamu keluar dulu, aku akan mengobati mereka berd
Keesokan harinya Bima membuka pintu gubuk kecil reyot itu lalu keluar. Langkahnya berjalan menuju ke arah pepohonan di belakang gubuk. Dia melihat kereta kuda yang masih berada di sana tak kurang suatu apa. Arimbi pun keluar setelah memakai pakaiannya. Kini kulitnya sudah kembali ke sedia kala. "Kakang..." panggil gadis itu sambil menenteng pedang suci Shang Widi. Bima berhenti dan menunggu gadis itu berada di dekatnya. "Ada apa?" tanyanya datar. Arimbi menatap wajah Bima dengan wajah malu-malu. "Terimakasih untuk pertolongan mu semalam..." ucap gadis itu. Bima tersenyum kecil lalu kembali melangkah sambil melambai. "Tak usah kau pikirkan," ucapnya. Arimbi mengikuti langkah Bima yang menuju ke kereta kuda. "Hei, apakah kau masih tidur?" seru Bima di dekat kereta. Dari dalam terdengar suara pintu dibuka. Lalu muncullah wajah Banu Wijaya. Bima terkejut melihat sosok yang ada di depannya. "Kau... kau bangsawan tambun yang kemarin kan?" tanya Bima. Sosok itu tersenyum. Dia ad
Kabar kematian Jaya Dipa dan enam murid nya menjadi buah bibir di Perguruan Ular Hitam. Mereka penasaran, siapa yang membunuh secara keji tujuh tersebut. Menyikapi kejadian yang menggemparkan itu, para sesepuh dari Perguruan itu mengadakan rapat dadakan. Mereka tak ingin ada kejadian serupa di Perguruan mereka. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata ada tiga orang murid yang masih berada di ranah Tubuh Besi melapor. Mereka mengaku telah menyewa kakak seperguruan mereka dengan membayar seribu tail emas untuk merampok seorang Bangsawan. "Jadi kalian yang menyuruh mereka merampok bangsawan dari Kota itu!? Kalian gila apa!? Jika kabar ini sampai ke para penguasa di Negara Angin, desa kita bisa di ratakan! Bodoh!" ucap salah satu sesepuh bernama Ki Kalam. "Kami... kami tidak tahu akan jadi seperti ini Ki... kami kira dua pengawal Bangsawan itu tidak begitu Sakti," ucap si murid. "Aku juga menemukan mayat dari pengawal Bangsawan tersebut. Kemungkinan besar dia yang membantai Jaya Dip
Menjelang malam pemilik penginapan itu membawakan makan malam untuk empat orang tersebut. Karena Banu sudah membayar mahal, maka pelayanannya pun sedikit istimewa. Malam itu mereka makan dengan lauk kambing guling. Pemilik penginapan menyiapkan kambing guling itu seharian lamanya. "Dagingnya sangat empuk dan nikmat," puji Banu sambil mengunyah makanannya. Tak ada yang menyahut karena semua asyik dengan makanannya sendiri. Saat mereka tengah asyik makan, tiba-tiba terdengar keramaian di luar sana. Bima menghentikan makannya. Dia segera meraih pedangnya. "Mereka sudah menemukan kita, bersiap terjadinya serangan," ucap Bima. Arimbi segera menyambar pedang suci. Dia mengikuti langkah Bima. Banu malah tetap asyik makan. Suli menggelengkan kepalanya melihat tuannya malah asyik dengan sendirinya. "Tuan, musuh sudah menemukan kita, ini waktu yang tepat untuk melatih kekuatan baru anda," ucap Suli. Seketika Banu tersentak. Dia jadi ingat dengan kekuatan barunya. "Benar Paman, aku haru
Manik mengangkat tangan kanannya. Dari telapak tangannya keluar dengan perlahan satu pedang berwarna merah membara. Bima menatap dengan rasa penasaran. "Jadi pendekar di ranah Keabadian bisa mengeluarkan senjata dari tubuhnya?" batin Bima."Kau tahu, ini adalah senjata roh, hanya mereka yang sudah berada di ranah ini yang bisa membuat senjata roh mereka sendiri, kau tahu, seberapa besar jarak kekuatan di antara kita?" ucap Manik dengan senyuman sinisnya. Bima menggenggam erat pedangnya. Dia tak peduli dengan senjata roh atau apa pun itu. Saat ini dia juga mempunyai senjata sakti milik gurunya. Bima melesat dengan cepat. Saat bergerak dia mengumpulkan kekuatan pada pedang di tangan kanannya. Aura dingin merebak dengan cepat menekan semua orang yang ada di sana. "Bodoh!" ucap Manik lalu melemparkan senjata nya yang berupa tombak berwarna merah. Tombak merah itu menerjang dengan cepat. Bima langsung menangkis menggunakan p
"Aaaaaarrrrghhh"Manik berteriak keras karena pedang Darah milik Bima menembus lengannya. Rasa sakitnya luar biasa. Darah segar pun meleleh dari luka nya tersebut. Bima dengan susah payah bangkit berdiri. Lehernya terasa panas dan sakit. Dengan cepat dia alirkan tenaga dalam inti es miliknya untuk meredakan rasa panas yang menyiksa di lehernya. "Tadi itu sangat berbahaya... Untung ada Banu yang mengeluarkan hawa Iblis miliknya, sepertinya dia tengah mengamuk,"Bima mengarahkan tangannya ke arah pedang yang masih menancap di lengan Manik. Dengan cepat dia mencabut nya menggunakan jurus bayangan. Manik mengerang kesakitan. Seumur hidup baru sekali itu dia terluka parah. "Pemuda keparat...! Aku bersumpah akan mengorek jantungmu dan memakan nya mentah-mentah!" teriak Manik lalu di kejap berikutnya tubuhnya telah melesat cepat ke arah Bima. Senjata jiwa bermunculan dari sekujur tubuhnya. Bima tak peduli lagi dengan
Banu Wijaya melepas pukulan kerasnya ke arah Manik. Di saat yang sama, Manik langsung melesat ke arah Banu. Saat berada di hadapan Banu, tiba-tiba Manik seperti berubah menjadi asap. Namun itu hanyalah ilusi yang membuyarkan pikiran Banu. Di kejap berikutnya tangan Manik telah menghantam dada pemuda itu hingga terpental jauh! Tubuh Banu menghantam beberapa rumah hingga hancur berantakan. Hanya dalam sekali tinju membuat Banu pingsan tak sadarkan diri. Dadanya terluka parah oleh tinju Manik. Arimbi menatap dengan cemas. Dia segera menyusul Banu yang berjarak sepuluh tombak dengannya. Bima menatap Manik yang terlihat bangga dengan kekuatan miliknya. "Sudah?" tanya Bima. Mata Manik berkilat merah mendengar pertanyaan itu. Dengan kekuatan roh miliknya dia menyemburkan gelombang merah dari mulutnya ke arah Bima. Bima tak sempat menghindar karena jarak yang begitu dekat. Dengan pedang Darah miliknya dia menahan serangan gelo
Matahari mulai tenggelam. Cahaya emas yang bersinar dari ufuk barat perlahan mulai menghilang digantikan kegelapan malam. Suara lolongan anjing hutan pun mulai terdengar. Dari balik pohon besar yang ada di pinggir desa, berdiri beberapa sosok berpakaian hitam. Wajah mereka mengenakan topeng. "Kau yakin mereka adalah orang yang berhasil mengalahkan dua tim yang seharusnya menjemput ketua Anjani?" tanya satu sosok dengan topeng bergaris biru. Melihat yang lain semuanya memakai topeng bergaris merah, agaknya orang dengan topeng bergaris biru itu adalah ketua kelompok tersebut. "Benar tak salah lagi, pemuda dengan kekuatan es itu ada di rombongan tersebut. Hanya saja ciri-cirinya tidak begitu jelas," kata sosok lain. "Apakah kau yakin dia bukan murid Perguruan Harimau Perak?" tanya sosok bertopeng garis biru. "Pasti salah satu tetua mereka yang melakukan serangan kepada tim Nyai Anjani. Hanya saja tidak ada berita mengenai ciri-ciri khusus dari pendekar tersebut. Hanya dikatakan pe
Bima memejamkan matanya. Dia pun mulai merasa tidak nyaman setelah mendengar cerita dari Ratu Azalea. "Jadi, selama ini kamu sudah tahu jika kita akan bersama... Kamu juga tahu kita akan menyerang kerajaan, kenapa dari awal kamu tidak melarang ku untuk pergi ke kerajaan?" tanya Bima. "Itu jelas tidak mungkin, kau sudah tahu, hukuman yang akan ku Terima jika aku melawan takdir. Seratus tahun. Aku tak mau dihukum seperti itu lagi. Aku hanya ingin bisa di samping dirimu selama mungkin, baik dalam keadaan senang maupun duka, aku tak akan peduli..." kata Ratu Azalea. Bima mengecup kening istrinya dengan lembut. "Apa yang akan terjadi di masa depan jika kamu ikut membantuku menghancurkan mereka?" tanya Bima. "Kakang akan kehilangan diriku, hanya itu yang aku tahu, kita akan berpisah...dan aku tidak tahu karena apa," jawab Ratu singkat namun membuat Bima seperti dihantam palu raksasa. "Bagaimana bisa aku akan kehilangan dirimu? Apakah tidak ada petunjuk apa yang membuat kita berpisah?"
Bima terdiam setelah Ratu Azalea menjawab pertanyaan nya. "Untuk apa kamu melakukan itu Ratu?" tanya Bima. Ratu Azalea tersenyum. Dia membelai pipi suaminya dengan lembut. "Untuk menjagamu, Sinar Pengikat Jiwa ini juga aku pasangkan pada Tangan Darah. Sebelumnya mereka berdua adalah musuh, ketika kamu menjadikan mereka pengikut, mereka akan mengikuti mu karena kamu lebih kuat. Namun, tak ada yang namanya kesetiaan abadi. Kakang, ingat pemberontakan Lesmana kepadaku?" tanya Ratu Azalea. Bima mengangguk. "Dia adalah orang yang paling ku percaya dalam banyak hal setelah Pamannya. Tapi dengan mudah dia membuang kepercayaan itu, dan menusuk dari belakang setelah aku dalam keadaan lemah. Jika bukan karena pertolongan mu, mungkin aku sedang di permainkan olehnya," kata Ratu Azalea. Kini Bima paham apa tujuan istrinya menaruh Sinar Pengikat Jiwa kepada dua pengikut nya itu. Namun sebenarnya, tanpa Sinar Pengikat Jiwa sekalipun, Tangan Darah tak akan mampu berkhianat. Karena sekali Bima
"Kenapa... Kenapa kamu memilih aku sebagai pengikut mu?" tanya Subali. Bima melangkah mendekati Subali yang tengah di obati oleh Wulan. "Musuhku adalah kerajaan besar. Mereka mempunyai banyak Pendekar kelas atas, dan tidak sedikit dari mereka rata-rata adalah petarung ranah Tulang Dewa. Aku butuh kekuatan untuk menghancurkan mereka," jawab Bima. "Apakah ada dendam yang membuat mu ingin menghancurkan mereka?" tanya Subali. Bima mengangguk. "Dosa mereka sangat banyak, Dewa menutup mata. Itu artinya Iblis lah yang harus menjadi hakimnya, bukan begitu?" jawab Bima. Subali tidak tahu dendam apa yang Bima emban hingga menginginkan kehancuran pada kerajaan Angin. Tapi dia paham, dendam itu pasti sangat dalam dan menyakitkan. "Apakah hanya beberapa Pendekar ini cukup untuk melawan mereka? Aku mendengar kabar mereka mempunyai kekuatan yang dahsyat. Ada beberapa tetua kerajaan yang pernah melewati tempat ini, dan mereka berada di Ranah Cakrawala tahap Tengah." kata Subali. "Ranah Cakraw
Panah petir itu melesat ke arah akar raksasa yang tengah berusaha masuk ke medan es. Dengan telak anak panah dengan aura petir kuning itu menghantam akar tersebut. Blaaarrrrr! Ledakan dahsyat terjadi. Akar tersebut hancur di beberapa bagian namun masih bertahan. Bahkan memulihkan diri dengan cepat. Bima menatap dengan penuh kekaguman. "Tidak menyerah sampai akhir ya," batinnya. Busur kembali di tarik. Kali ini dengan empat anak panah sekaligus. Itu memakan tenaga dalam yang cukup banyak. Anak panah pun kembali di lepaskan. Wuuuttt! Blaaarrrrr! Kembali terjadi ledakan di atas benteng pedang es tersebut. Kali ini ledakannya lebih besar. Akar tersebut pun hancur dan berjatuhan ke bawah dalam keadaan menjadi serpihan-serpihan es. Subali memuntahkan darah dari mulutnya. Dia jatuh berlutut dan muntah darah beberapa kali. Dia sudah mencapai batasnya. Akar raksasa yang dia keluarkan dari luar benteng pedang es tersebut memakan hampir seluruh tenaga dalamnya. Subali berharap itu adal
"Bagaimana bisa ada pedang sebanyak itu dengan ukuran yang juga sangat besar!?" seru Aryo dengan wajah yang tidak percaya. "Konon hanya seorang Pendekar kelas Dewa saja yang mampu mengeluarkan kekuatan sedahsyat itu dari atas langit. Apakah ini kekuatan Siluman Pohon yang Ki Ireng maksud?" tanya Abinyana. "Bukan... Ini adalah kekuatan Bimasena... Kekuatan asli miliknya," ucap Gerbang Hitam dengan perasaan takjub. "Mampu mengeluarkan Pedang Es raksasa sebanyak itu, bukankah kekuatannya sungguh tak bisa di jajagi?" batin Gerbang Biru. Ratu Azalea menatap ke langit dengan wajah tenang. Bibirnya tersenyum. "Kakang sudah sangat berkembang, bahkan kekuatan ini sudah seharusnya menjadi milik seorang Pendekar Ranah Batara..." batin Ratu Azalea. Seratus pedang raksasa itu pernah Iblis Es ciptakan di pulau kecil yang ada di tengah danau gunung wilayah Klan Elang Dewa. Pedang raksasa itu juga yang membunuh Raja Elang Dewa. Pedang Raksasa itu turun ke tanah dengan cepat. Suaranya bergemuru
Subali segera menggunakan perisai miliknya. Namun pedang es itu sangat kuat. Meski tidak menembus tubuhnya, Pedang Es itu berhasil menyayat dada dan bahunya. Darah hijau mengucur dari dua luka tersebut. "Setan! Ternyata kau menginginkan pertarungan gila! Baiklah..." geram Subali lalu menghentakkan kaki kanan ke tanah. Dari dalam tanah muncul akar pohon yang mengelilingi dirinya. Akar itu bersinar hijau terang. Sinar itu membungkus tubuh Subali. "Kau menginginkan pertarungan yang keras...aku akan melayani mu," ucap Subali dengan suara berbeda. Bima yang sudah dalam wujud Iblis Es sempurna hanya menyeringai. Dia angkat pedangnya lalu di acungkan ke depan. "Hujan Es Abadi!" ucap Bima pelan. Subali terkejut saat tubuhnya tiba-tiba terasa kaku. Dari atas langit muncul lingkaran putih seperti cincin raksasa. Aura dingin luar biasa menekan tubuh Subali. "Apa yang akan kau lakukan!?" teriak Subali. Bima kembali menyeringai. "Kau yang bilang bukan? Bahwa aku menginginkan pertarungan
Tubuh Bima terpental setelah terkena serangan aneh dari Subali. Darah keluar dari mulutnya pertanda Bima terluka di bagian dalam. "Uhuk!" Bima mengeluarkan darah dari mulutnya. "Sial... Bagaimana bisa serangan tangannya menembus benda padat dan berhenti setalah mengenai tubuhku...? Apakah dia mengendalikan ruang dan waktu sampai membuatku tak sadar...!?" batin Bima sambil berdiri. Subali tersenyum dengan tangan yang masih terbuka seolah menanti serangan dari Bima. Bima yang mulai kesal karena mendapatkan serangan aneh, segera melesat lagi ke arah Subali. Pedangnya bergerak lebih cepat dan ganas. Setiap tusukannya akan memancarkan sinar biru yang melesat lurus hingga menabrak rumah. Setiap tebasan nya membuat sinar biru yang menghantam tanah hingga meledak. Subali menangkis semua serangan itu dengan tenang. Bima semakin tak bisa menahan amarahnya. Serangan nya sudah yang paling cepat namun bisa di patahkan begitu saja oleh Subali membuat Bima merasa semakin aneh. "Bima hati-hati!
Bima tersenyum kecil. "Ini urusan kita, tak ada hubungannya dengan istriku. Kau akan menyesal jika sampai mengusiknya. Kau tidak tahu dia siapa dan sekuat apa dia. Aku menyuruhnya pergi agar kita bisa membuat taruhan. Tapi kau terlalu muluk rupanya..." kata Bima. Subali tersenyum sinis. "Aku tak peduli siapa wanita itu. Yang jelas, tanpa taruhan pun aku akan tetap jadikan dia pemuas napsu!" ucap Subali lalu tertawa terbahak-bahak. "Sudah gila kau rupanya, aku sendiri tak berani mengusik hatinya, kau malah merendahkan dirinya, ckckck... Aku yakin jika dia mendengar ini kau akan jadi makhluk yang tidak berguna," sahut Bima. "Peduli setan dengan ucapan mu! Memangnya siapa wanita yang kau anggap sebagai istrimu itu!?" tanya Subali yang cukup penasaran kenapa Bima begitu mengagungkan Ratu Azalea. Bima tersenyum lebar. "Dia selangkah lagi memasuki Ranah Batara, apakah kau puas?" jawab Bima membuat Subali terkejut. "Ranah Batara...!? Tidak mungkin! Kau sangat berkhayal!" seru Subali