Sementara, lima orang sesepuh Suku Asantar yang menjadi hakim pada Pengadilan Agung itu tampak bangkit dari tempat duduknya. Dengan dipimpin oleh hakim kepala yang berada di tengah, mereka menjulurkan kedua tangan ke arah Sasak Padempuan.
Lalu, kakek yang berada di tengah berkata, "Para leluhur Suku Asantar selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menentang kejahatan. Hari ini Pengadilan Agung telah menyatakan Sasak Padempuan bersalah. Para leluhur Suku Asantar akan mencabut seluruh kekuatan ilmu sihir pemuda itu...."
Empat kakek lainnya yang sama-sama memakai jubah hitam menyambung dengan kalimat, "Hom asantarnas salawunas.... barnas...!"
Di ujung kalimat itu, mendadak Sasak Padempuan menjerit parau. Sekujur tubuhnya memancarkan sinar merah menyilaukan. Hampir semua warga Suku Asantar yang melihat jalannya Pengadilan Agung itu memalingkan muka karena mata mereka terasa amat pedih.
"Hentikan! Hentikaaannn...! Kubunuh kalian semua! Kubunuh kalian semua...!"
"Jangan, ah...!" suara Kusuma Sumi merengek manja. "Jangan...!""Jadi apa yang dilakukan Dewa Rayu itu?" Bayangan Baraka yang bukan-bukan, tapi sebenarnya Dewa Rayu membujuk Kusuma Sumi agar melepaskan pedang dipunggungnya. Kusuma Sumi tak mau pedangnya dilepas.Tiba-tiba terdengar suara memanggil dari tempat yang jauh, "Kusuma Sumi!""Ooh...?!" pekik tertahan Kusuma Sumi adalah pekik kekagetan yang bisa dibayangkan Baraka diiringi gerakan-gerakan menggeragap. Buktinya suara dibalik pohon itu terdengar gaduh, seperti orang tergesa-gesa.Bahkan Dewa Rayu terdengar berbisik keras, "Taliku tadi mana? Tali akar ku tadi mana?!""Mana aku tahu! Kau sendiri yang melepasnya!" suara Kusuma Sumi terdengar panik dan terburu-buru. Bahkan ketika Kusuma Sumi menyambar kain pengikat pinggangnya yang menutupi wajah Pendekar Kera Sakti ia tak sempat melihat bahwa disitu ada seraut wajah tampan. Kain itu disambar dengan cepat. Rambut Baraka terjambak sebagian. Tapi
"Siapa yang membunuhnya? keluar!"Tiba-tiba sebuah suara terdengar menjawab dengan keras. "Akuuuu...!"Lalu muncul seraut wajah berambut cepak seperti potongan lelaki, mengenakan pakaian warna hijau muda, ditaburi bintik-bintik kuning emas. Cantik montok, tapi sayang dia buta huruf. Wanita itu tak lain adalah Kusuma Sumi.Bagi Dewa Rayu wajah itu tak asing lagi, tapi bagi Baraka yang belum pernah melihat Kusuma Sumi, wajah itu bikin mulutnya berdecak pelan, matanya tak berkedip. "Cantiknya...! Hem, hem...?! Ia geleng-geleng kepala. "Untung aku sudah punya Hyun Jelita, seandainya belum..."Baraka sedikit bergeser agar pandangan matanya terhadap Kusuma Sumi yang bertubuh menggairahkan itu tidak terhalang daun-daun semak. Dalam hatinya Baraka bertanya lagi, "Siapa perempuan cantik itu? Mengapa dadanya sebesar itu? Apakah didadanya itu terdapat senjata rahasia yang amat berat?"Kemarahan Dewa Rayu lenyap seketika setelah tahu orang yang menolongnya ada
"Kalau begitu kau harus menebus kematian guruku!""Akan ku tebus!" jawab Dewa Rayu seenaknya saja seakan tak merasa gentar sedikitpun terhadap lawannya yang lebih besar darinya itu."Serang aku kalau kau memang mau menebus kematian guruku. Jangan hanya menghindar dan menangkis, melonjak sana, meloncat sini, mirip kutu loncat!""Apakah kau sudah siap mati, sehingga kau paksa aku menyerangmu?" ucap Dewa Rayu dengan angkuhnya."Lebih baik aku yang mati ditangan mu menyusul kematian adikku Lima tahun yang lalu itu, daripada aku tak bisa membunuhmu, Dewa Rayu!""Oh, baik kalau begitu! Akan ku akhiri riwayat hidupmu dengan pedangku, seperti aku mengakhiri riwayat hidup adikmu beberapa tahun yang lalu! Bersiap ambil napas panjang supaya hembusannya mempercepat lepasnya nyawamu, Bale Kembang!"Baraka masih dipersembunyiannya. Salah satu kebiasaan Baraka adalah menyaksikan pertarungan secara diam-diam dan mempelajari jurus-jurus mereka yang perlu dic
"Ki Palaran!" gumam Baraka dengan heran. Tokoh tersebut bagaikan hantu hitam. Sikapnya bermusuhan pada Baraka, padahal dulu bersahabat baik ketika Baraka berhasil sembuhkan murid Ki Palaran dari 'Racun Murka'. Ki Palaran adalah guru Dungu Dipo yang agaknya sangat sayang kepada sang murid."Sekarang kau berhadapan denganku Baraka. Aku tak peduli murid siapa kau, tapi kulihat kau memihak Delima Gusti, putri Adipati itu!""Sabarlah, Ki Palaran! Jelaskan dulu persoalannya" bujuk Baraka dengan kalem."Dungu Dipo telah mati! Kutemukan pecahan raganya menyebar kesana-kesini. Dan kulihat perempuan itu melarikan diri dari persembunyiannya. Pasti dia menyerang muridku secara sembunyi!"Delima Gusti segera bangkit, suaranya masih lemas. "Bukan aku pembunuhnya, tapi Raja Tumbal yang melakukan kekejaman itu!""Benar Ki! Seruling Malaikat yang membuat muridmu mati menyedihkan!" tambah Baraka meyakinkan Ki Palaran.Toko tua itu diam terbungkam, menatap Del
"Tidak. Aku tidak melihat saat Raja Tumbal membunuh mereka. Mungkin juga mereka mampu meloloskan diri, mungkin pula sudah hancur sejak kemarin. Aku tak sempat ikuti pelarian dan pengejaran itu" jawab Delima Gusti sejelas-jelasnya.Jawaban itu yang membuat Baraka tertegun kembali, memandang kearah jauh, menerawang lamunannya tentang keganasan Raja Tumbal.Tiba-tiba sekelebat sinar merah melesat dari balik gugusan batu yang tingginya menyamai sebuah rumah. Sinar merah itu mirip bintang berekor dan bergerak cepat menuju ke punggung Delima Gusti. Melihat kelebatan sinar merah itu, Delima Gusti segera ditarik Baraka secepatnya. Tarikan itu membuat Delima Gusti bagaikan jatuh dalam pelukan Pendekar Kera Sakti.Kemudian gerak cepat Baraka membuat Suling Naga Krishnanya menghadang di depan punggung Delima Gusti. Sinar merah itu akhirnya menghantam suling mustika.Daaab...!Suling Mustika itu bagaikan karet membai, memantulkan sinar merah yang semula sebesa
"Apa yang kau lihat?""Seruling Malaikat itu digunakan oleh Raja Tumbal.""Oh...?!" Baraka Sinfing mulal menegang."Kemarin lusa aku melihat pertarungan antara orang-orang Pasir Tawu dengan Raja Tumbal. Sepuluh orang murid Pasir Tawu hancur berkeping-keping begitu mendengar suara seruling maut itu. Anehnya, orang yang ada di dekatnya persis tidak terluka sedikit pun! Padahal menurut perhitunganku, orang yang berdiri di dekat Raja Tumbal jelas mendengar denging seruling lebih tajam dari mereka yang berjarak delapan langkah dari Raja Tumbal."āGelombang getaran suara seruling itu bekerja sama dengan mata dan hati peniupnya, Delima Gusti. Biar pun ada didepannya persis, tapi kalau mata hati peniupnya tidak kehendaki kehancuranmu, maka kau tetap hidup dan tak merasa berisik sedikit pun mendengar suara seruling tersebut!""Hmm...," Delima Gusti manggut-manggut. "Ditempat itu kulihat orang lain bersembunyi menyaksikan keganasan suara Seruling Malaikat. O
GENAP Lima hari Baraka sadar dari pingsannya, memar ditubuhnya karena gagal lakukan semadi 'Lepas Jasad" itu pun sembuh dengan sendiri. Saat itu terjadi percakapan antara Ki Bwana Sekarat dengan Resi Wulung Gading. Angon Luwak membantu Sukat membersihkan taman, sedangkan Pendeta Lima dan Pendeta Jantung Dewa sudah pergi meninggalkan pondok Resi Wulung Gading, kembali ke Biara meraka masing-masing sambil menunggu hasil keputusan rapat Baraka dengan para tokoh tua itu."Sekarang tak ada kesempatan cegah angkara murka si Raja Tumbal dengan gunakan Pedang Kayu Petir!" kata Resi Wulung Gading. "Satu-satunya cara adalah menghadapi Raja Tumbal dan adu kecepatan menyerang. Jangan beri kesempatan Raja Tumbal cabut serulingnya. Sebelum Ia gunakan seruling itu. Harus bisa menumbangkan lebih dulu."Ki Bwana Sekarat berkata dalam keadaan tidak tidur. "Bagaimana kalau kupancing dengan pasukan mayat!?""Kau akan gunakan pembangkit mayat? Oh, jangan, jangan mengusik mereka yang
Pemuda tampan itu semakin tercengang saat melihat putaran tiga wanita cantik yang mirip tiga putaran angin itu bergerak naik bersamaan, tapi segera bergerak kearah timur dan ketiganya hinggap di pohon. Dengan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, ketiga perempuan itu berada di pucuk pohon dalam keadaan berdiri tanpa pusing sedikit pun. Jika tanpa Ilmu peringan tubuh, tentunya mereka akan jatuh berdiri di atas daun-daun pohon setipis itu.Dari tempat mereka bertiga berdiri, tampak orang-orang Pasir Tawu yang tunggang langgang terpental kesana sini itu sedang menggeliat untuk bangkit kembali. Beberapa suara erangan kesakitan terdengar silih berganti.Maki-makian pun berhamburan dari mulut mereka. Ada yang sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang bocor karena membentur pohon, ada yang hanya bengong bagaikan kehilangan jati dirinya. Ada masih nungging memegangi akar pohon tanpa menyadari bahwa hembusan angin kencang itu sudah berhenti sejak tadi, Orang yang nungging itu segera ditenda
Trangg, Trangg..! Wuutt! Wuutt! Trangg...! Breett...!Selama perpaduan pedang di udara, percikan bunga api terlihat jelas bagi siapapun yang menyaksikan pertarungan itu. Tapi kecepatan gerak pedang keduanya tak bisa dilihat jelas oleh setiap orang. Hanya mereka yang terbiasa melihat kecepatan gerak pedang seperti itu saja yang bisa menyaksikannya, seperti Kusuma Sumi dan Pita Biru.Dalam sekejap mereka sudah berpindah tempat saat kaki mendarat. Tapi keduanya masih tegak berdiri dengan kaki merenggang kokoh. Rlndu Malam menggenggam pedangnya dengan satu tangan, tubuhnya tetap tanpa luka dan cidera apapun. Tapi Dewa Rayu yang juga tanpa luka sedikit pun itu sempat merasa malu karena sabuk kain pengikat celana dan tali celananya putus oleh sabetan pedang Rindu Malam. Celana itu sempat melorot sedikit ketika ia menapakkan kaki ditanah, lalu buru-buru dicekal dengan tangan kirinya."Ih...!" Dewa Rayu celingukan, malu sekali. Suara yang mengikik datang dari arah Pita