Share

Pendekar Kujang Emas
Pendekar Kujang Emas
Penulis: Ramdani Abdul

1. Bangkitnya Pusaka Kujang Emas

Padepokan Maung Bodas

Langit sudah bersolek lembayung ketika seorang anak laki-laki baru tiba di depan sebuah padepokan. Tampak halaman bangunan itu dipenuhi murid-murid persilatan yang tengah berlatih secara berpasang-pasangan. Ketika mentari sudah sepenuhnya terlelap di ufuk barat, obor yang mengelilingi area sekitar menyala secara bersamaan.  

Anak laki-laki bernama Lingga itu memilih jalan samping untuk sampai ke belakang bangunan. Pandangannya bermuara pada kumpulan murid yang masih berlatih, merekam dan mencatat dalam otak semua gerakan yang ditampilkan.

“Kuda-kudanya masih salah, pukulannya kurang bertenaga, gerakannya masih kaku,” gumam Lingga seperti guru yang tengah mengamati perkembangan muridnya. Beban berat yang anak itu pikul mendadak ringan, padahal ia tengah membawa tiga ikat kayu bakar di punggung, juga dua kantong besar berisi buah dan sayuran liar yang ia dapat di sekitar hutan.

Lingga terus bergumam dengan pandangan yang tetap tertuju pada pekarangan. “Jangan sekarang, Ki,” ujarnya seraya menahan tongkat pria tua di depannya dengan tangan kanan.

“Sedang apa kau, Lingga?” tanya Ki Petot. Kakek tua itu tengah berdiri dengan satu kaki di atas bambu runcing yang sengaja dibuat menjadi pagar.

“Aku hanya sedang menonton mereka latihan, Ki.” Lingga beralasan.

“Aku sudah bilang kalau kau—”

“Tidak boleh belajar silat karena kau tidak cocok jadi pendekar. Kau payah, bodoh dan tidak memiliki bakat,” sela Lingga dengan menirukan suara dan gestur Ki Petot saat menceramahinya. Anak laki-laki berusia 13 tahun itu sudah hafal ke mana arah pembicaraan kakek tua itu. Meski sudah sejak kecil tinggal di padepokan ini, tetapi nyatanya Ki Petot sama sekali tak mengizinkannya belajar silat, bahkan untuk sekadar menonton pun masih sering kena omel.

“Kurang ajar!” Ki Petot mendaratkan tongkat ke kepala Lingga hingga terdengar suara ketukan cukup keras.

“Aduh!” Lingga langsung memekik sembari melompat-lompat kecil. Satu kantong besar di tangannya langsung terjatuh ke tanah, sedang yang satunya sengaja ia daratkan di kaki Ki Petot sebagai balasan. Kedua tangannya kini beralih pada bagian kepala yang baru saja digetok.

Ki Petot langsung menendang kantong besar itu dengan cukup keras. Benda itu berhasil mendarat di perut Lingga.

“Aduh!” Lingga terdorong beberapa langkah hingga akhirnya terjatuh dengan posisi terduduk. Kedua tangannya kini beralih mengelus perut. Tiga ikat kayu bakar tampak berserakan di sekelilingnya.  

Para murid yang berada di halaman seketika mengalihkan pandangan, menghentikan latihan. Mereka menoleh ke arah bocah laki-laki itu dengan senyum lebar, dan tak lama kemudian terbahak saat melihat Lingga kembali jadi bulan-bulanan sang guru.    

“Diam!” pekik Ki Petot. Suaranya yang menggelegar menimbulkan terjangan angin yang cukup kencang hingga api obor dan dedauan di pohon bergoyang ke kiri dan kanan. Padepokan yang ramai dengan tawa mendadak hening seperti kuburan.

Sementara itu, Lingga mengintip Ki Petot dari bawah. Dengan gerakan sesenyap mungkin, ia mulai mengumpulkan kayu bakar, memasukkannya kembali ke keranjang. Bocah itu harus segera kabur sebelum Ki Petot menggetok kepalanya lagi.

“Kalian segera bersiap untuk kegiatan tengah malam nanti,” pinta Ki Petot pada kumpulan murid.

“Baik, Ki,” jawab para murid serempak, setengah membungkuk. Tak lama setelahnya, mereka mulai meninggalkan halaman, memasuki bangunan.

Lingga sudah bersiap kabur, berjalan mengendap-endap agar tak menghasilkan suara. Di rasa cukup aman, ia segera berlari menuju belakang bangunan.

“Dan kau Lingga.” Ki Petot segera memindai keadaan sekitar. Matanya membulat ketika menyadari jika bocah nakal itu sudah tak ada lagi di tempat. Tangannya mulai mengelus jenggot, kemudian berkata dengan nada heran, “Dari mana bocah itu tahu soal kekurangan murid-murid tadi?”

***

Para murid tengah menikmati hidangan makan malam. Lingga tampak sibuk mengambil lauk dan nasi, mondar-mandir dari dapur dan ruang makan. Sudah menjadi kesehariannya menjadi pembantu sekaligus pelayan di padepokan ini. Semua yang berkenaan dengan kebersihan dan kebutuhan seisi padepokan menjadi tanggung jawabnya.

“Kau masih saja cocok jadi pelayan di sini, Lingga,” ujar salah satu murid sembari tertawa.

“Mungkin saja kau akan jadi pelayan selamanya di padepokan ini,” sahut remaja laki-laki di sudut ruangan.

“Aki saja sampai tidak mau mengajarimu silat. Itu sudah pasti karena kau bodoh dan tak memiliki kemampuan. Mengajarimu persis seperti mengajari bagaimana kura-kura terbang.”

“Sebentar lagi kami akan mendapatkan senjata kami masing-masing. Setelah itu, kami akan berpetualang di rimba persilatan untuk menjadi yang terkuat,” timpal yang lain, “sepertinya kau memang ditakdirkan berkutat dengan sapu dan kayu bakar.”

Ruangan makan seketika ramai dengan gelak tawa. Lingga hanya diam sembari menghela napas panjang. Selain menjadi pelayan, anak itu juga terbiasa menjadi bahan olok-olokan para murid. Entah apa alasannya, tetapi setiap kali protes dan meminta diajari ilmu silat pada Ki Petot, ia akan langsung digetok dengan tongkat dan juga mendapat pelototan.

Ruang makan berangsur-angsur sepi. Tampak sampah berserakan di atas dan bawah meja. Lingga bergegas mengumpulkan sisa makanan, memasukkannya ke dalam keranjang bambu, menyapu ruangan hingga kembali bersih.

“Kau baik-baik saja, Lingga?” tanya seorang pemuda dengan ikat kepala hitam.

“Aku baik-baik saja, Kakang,” jawab Lingga dengan senyum tipis.

“Aku harap kau tidak memasukkan perkataan mereka ke dalam hati.” Wira menggaruk belakang tengkuk, mengamati keadaan sekeliling, lalu kembali melirik Lingga sekilas. “Aku harus segera bersiap.”

Wira bergegas keluar ruangan, bergabung bersama rekan-rekannya di pekarangan. Di antara dua puluh murid padepokan, hanya dirinya saja yang bersikap baik pada Lingga. Tak jarang ia menceritakan dan memeragakan gerakan silat pada anak itu.

“Kakang Wira baik sekali padaku. Beda sekali dengan murid lain, padahal Kakang Wira yang paling kuat di antara mereka,” ucap Lingga sembari menatap pintu di mana Wira pergi. “Sebaiknya aku juga bersiap.”

“Bersiap untuk apa?” tanya Ki Petot yang baru masuk dari pintu dapur. Tatapannya menghunus tajam ke Lingga.

“Tentu saja bersiap tidur, Ki.” Lingga keluar dari ruang makan dengan raut sedikit jengkel.

“Bagus. Jangan pernah kau datang ke kegiatan nanti malam,” ujar Ki Petot.

“Aku tahu.”     

Ki Petot mengamati Lingga dari celah pintu dapur. Tampak anak itu berjalan ke arah tempat tinggalnya yang berada di belakang bangunan utama. “Dari mana bocah itu tahu kalau Wira yang paling terkuat di antara para murid?”

Meninggalkan keramaian di padepokan, di pinggiran hutan Ledok Beurik, tampak seekor kelelawar terbang ke bawah, melewati pepohonan, menerobos dedaunan. Ketika akan mendekat ke arah tanah, makhluk itu tiba-tiba berubah wujud menjadi seorang pria dewasa berikat kepala hitam.

Pria itu tersenyum dengan mata berkilap merah. Satu tangannya kemudian menghantam ruang kosong di depan dengan kuat. Sebuah kubah tiba-tiba terlihat dengan kondisi bergetar, menipis, dan tak lama kemudian menghilang.

“Aji Panday, jadi di hutan ini kau menyembunyikan kujang emas itu. Bersiaplah.”

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Adi Ank Rantau
kapan nih ubdate lagi,lama sekali nunggu kelanjutan cerita nya
goodnovel comment avatar
Wahyu Mr
awal yang bagus ............
goodnovel comment avatar
fsariul
kekbya mantap nih ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status