Melihat lawannya berhenti menyerang dan mengambil posisi mundur Eyang Reksa yang masih berada di awang-awangpun langsung turun ke tanah dan berdiri.
Dan disaat Eyang Reksa masih menunggu serangan dari lawan-lawannya itu tiba-tiba terdengar bisikan gaib yang dia rasakan.
'Reksa Jagat ... Reksa Jagat ... ini Eyang cucuku ...' Suara gaib itu memanggilnya.
Mendapat panggilan gaib dari gurunya, Eyang Reksa pun segera duduk dengan mengambil posisi semedi.
'Sendiko dawuh guru Acarya ... salam hormat dari muridmu ini'
Jawab Eyang Reksa dalam komunikasi batinnya itu.Nampak Eyang Reksa menundukkan kepala seperti orang yang sedang memberi sebuah penghormatan.
'Sudah tiba saatnya engkau menyusul aku dan para leluhurmu untuk menghadap Sang Hyang Widhi Wasa, sudah cukup pengabdianmu untuk menjaga serta menumpas kejahatan yang ada di muka bumi ini Reksa ...'
'Dan ketahuilah meski nyawamu telah kembali ke alam baka namun kelak jasadmu akan terus berjuang menjadi pendamping seorang pendekar yang akan meneruskan perjuanganmu ini.'
'Oleh karena itu segera selesaikan kedua perusuh yang ada di hadapanmu itu sebagai penutup dari pengabdianmu sebagai penjaga kedamaian,' titah dari guru Acarya.
'Bukankah mereka itu berjumlah tiga orang guru?' tanya Eyang Reksa dalam kontak batinnya itu.
'Benar, namun untuk Jakawulung belum saatnya dia untuk mati, maka dari itu lenyapkan Bagaspati dan Kolonyowo dengan caramu sendiri, kau diberi kuasa atas nyawa mereka berdua!' tegas suara gaib Guru Acarya.
'Baiklah guru Acarya akan segera hamba laksanakan,' balas Eyang Reksa.
Sementara ketiga pendekar yaitu Bagaspati, Kolonyowo dan Jakawulung nampak sudah menyusun rencana untuk menyergap Eyang Reksa menggunakan ajian Parjanya Astra, yaitu ilmu yang di gunakan untuk mengaburkan pandangan lawan serta melumpuhkannya.
Dengan menggunakan ilmu Parjanya Astra mereka bermaksud mengelabui penglihatan Eyang Reksa, dan disaat yang sama mereka akan mengeluarkan ajian pamungkas masing-masing.
Sementara itu Eyang Reksa yang sudah tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi, dia nampak ingin segera menyudahi pertempuran itu.
"Hei, Reksa Jagat sebelum kau menjemput ajalmu sebut dulu nama-nama leluhurmu dan para gurumu! Karena tidak lama lagi kau akan kami antarkan untuk menyusul mereka! Ha, ha, ha ..." ucap Kolonyowo dengan pongahnya.
"Heh, heh, heh ... sungguh besar sekali omonganmu hei Kolonyowo! Sebesar dan seangker nama yang kau sandang, tapi sayang! Kebesaranmu itu hanya di mulut saja, dan tidak sebanding dengan kekuatan yang kau punya!"
"Aku memang akan segera menyusul para leluhur dan para guruku, dengan cara yang sudah ditentukan oleh Sang Hyang Widhi, bukan dengan cara kotor seperti yang kau ocehkan itu!"
"Ketahuilah hei para pendekar busuk! Justru akulah yang akan menjadi takdir bagi kalian, untuk mengakhiri riwayat petualangan kalian dalam menyebar fitnah dan kemungkaran di muka bumi ini."
"Wahai pendekar-pendekar jahat! Bersiaplah menemui ajal kalian untuk menghadapi pengadilan dari yang maha kuasa!" ujar Eyang Reksa.
Lalu Eyang Reksa pun bersiap untuk segera menghabisi para pendekar aliran hitam itu.
Sementara itu Kolonyowo, Bagaspati dan Jakawulung juga sudah mulai mengeluarkan Ajian Parjanya Astra untuk mengaburkan dan sekaligus melumpuhkan Eyang Reksa.
Saking kuatnya pengaruh dari Ajian Parjanya Astra yang mereka gabungkan, suasana yang semula terang dengan sinar rembulan seketika itu berubah menjadi gelap, hitam dan pekat.
Bahkan ditengah suasana yang gelap nanpekat itu terdengar suara burung-burung malam yang berjatuhan karena tidak kuat merasakan dampak dari Ajian Parjanya Astra mereka itu.
Sementara eyang Reksa yang sudah siap menghancurkan para musuh-musuhnya itu seperti tidak terpengaruh dengan Ajian Parjanya Astra yang mereka keluarkan.
Dengan posisi yang masih berdiri Eyang Reksa juga terlihat sudah membentengi tubuhnya dengan Ajian Gelap Ngampar.
Dan ini merupakan yang terakhir kali Eyang Reksa menggunakan Ajian itu sebagai penangkal dari Ajian Parjanya Astra mereka.
Dengan tubuh yang sudah kebak beragam kesaktian dan kekuatan, Eyang Reksa yang memang sudah tahu dengan Ajian para lawannya itu bermaksud segera melepaskan ruhnya untuk meninggalkan jasadnya itu.
'Selamat tinggal dunia, sudah saatnya aku berpisah denganmu dan selamat menemui kehancuran wahai kalian para manusia laknat sudah tiba saatnya pula kalian harus menanggung akibat dari perbuatan kalian itu,' ucapnya dalam hati.
Seiring dengan berakhirnya ucapan batinnya itu, Eyang Reksa yang semula masih berdiri tiba-tiba tubuhnya pun langsung jatuh ke tanah dan meninggal dengan posisi telentang dengan tangan yang bersedekap.
Dan begitu melihat tubuh Eyang Reksa Jagat terjatuh maka ketiga pendekar itupun mengira kalau Ajian Parjanya Astra mereka itulah yang telah berhasil melumpuhkan pendekar sakti yang telah menghabisi gurunya itu.
Lalu dengan pongahnya ketiga pendekar itupun langsung tertawa terbahak-bahak.
"Huahahaha ... huahahaha ... huahahaha ... akhirnya kita bisa merobohkan pendekar tua ini tanpa harus mengeluarkan senjata," ucap pendekar yang bernama Kolonyowo.
"Benar, ternyata nama besar pertapa sakti dan ampuh "Eyang Reksa Jagat" ini tidaklah se sakti dan se ampuh yang aku kira," sahut Jakawulung.
"Kalau begitu sekarang ini dia adalah bagianku, biar aku saja yang memenggal kepalanya dan akan segera kubawa ke kuburan Eyang Gundala Sakti," timpal Bagaspati sambil menoleh kepada dua temannya itu.
Melihat tubuh Eyang Reksa yang memang sudah tidak bernyawa itu, Bagaspati yang bermaksud akan memenggal kepala Eyang Reksa nampak mulai berjalan mendekati jasad pertapa sakti itu.
Dengan sorot mata yang berubah merah menyala menandakan kalau dia sedang dalam puncak kemarahannya, Bagaspati nampak mengambil senjata andalannya yaitu pedang Jumput Nyowo yang ia selipkan dipinggangnya itu.
Lalu diangkatnya pedang pusaka itu tinggi-tinggi ke udara dan dengan disertai pekikan suara amarahnya dia berseru.
"Wahai Eyang guru Gundala Sakti akan kupenuhi janjiku untuk membalaskan dendammu! Datang dan saksikanlah wahai Eyang Gundala!"
Kemudian Bagaspati pun mencabut pedang Jumput nyowonya itu.
Sring ...!!!
Suara pedang Bagaspati terdengar nyaring menyeruak keheningan malam yang pekat itu.
Lalu Bagaspati pun berdiri tepat di samping kepala Eyang Reksa dan kemudian dia menarik kaki kanannya kebelakang untuk mengambil ancang-ancang bersiap untuk memenggal kepala Eyang Reksa Jagat.
Dengan berteriak lantang tangan kanan Bagaspati pun menghunjamkan pedangnya itu dengan sangat keras ke arah leher Eyang Reksa Jagat.
"Mampuslah kau Reksa Jagat! Hiiaaat ... tuang ..."
Karena saking kerasnya pedang Bagaspati pun terlepas dari genggaman dan terpental.
Namun sungguh diluar dugaan Bagaspati dan kedua temannya itu, karena tubuh Eyang Reksa tidak bergerak sedikit pun apa lagi terluka.
Melihat pedang andalannya yang tidak mampu melukai musuh yang sudah tidak bergerak itu kemarahan Bagaspati pun semakin memuncak.
Lalu sarung pedang yang masih dipegang tangan kirinya itupun dia lemparkan, kemudian dia kembali mengambil pedang Jumput Nyowonya yang terpental beberapa jengkal dari tempatnya berdiri.
Sesaat setelah mengambil pedangnya itu Bagaspati pun kembali menghampiri tubuh Eyang Reksa Jagat dan kembali mengangkat tinggi-tingi pedangnya itu dengan kedua tangannya.
Dengan mengerahkan seluruh kesakitan yang dia miliki Bagaspati pun kembali menghunjamkan pedangnya.
"Hiiiiiaaaaattt. Hancurlah kau jahannam ...!"
Duuuaarrr ... whusssh!!!
Sungguh kejadian yang diluar dugaan, pedang Jumput Nyowo andalan Bagaspati itu pun hancur dan terbakar, begitu pula tubuh Bagaspati pun juga ikut terbakar.
Melihat tubuh dan pedang temannya hancur dan terbakar, Kolonyowo pun langsung melompat dan menyerang tubuh Eyang Reksa yang masih utuh dengan senjata andalannya tombak Sawer Wuto.
"Biadap kau Reksa ... jiiiaatt, jiiiaatt, heiyyaa ..."
Dengan brutalnya Kolonyowo menghunjamkan tombak saktinya itu ke arah perut Eyang Reksa Jagat karena mengira kalau area perut akan lebih lunak dan bisa ditembus dengan tombaknya, berkali-kali dia menghunjamkan tombaknya itu.
Bersambung...
Namun kejadian yang serupa dengan Bagaspati pun kembali terulang, setelah berkali-kali menghujani tubuh Eyang Reksa dengan tombaknya itu dan sama sekali tidak bisa melukai, akhirnya tombak dan tubuhnya pun juga ikut hancur dan terbakar.Sementara itu melihat kedua temannya telah hancur lebur tewas menemui ajalnya dengan sangat mengenaskan, Jakawulung yang sedaritadi masih berdiri ditempatnya itu, kini bermaksud untuk menyelamatkan diri.'Benar-benar luar biasa pertapa sakti itu. Aku tidak mau mati konyol seperti Kolonyowo dan Bagaspati, lebih baik aku menyelamatkan diri saja,' ucapnya dalam hati.Namun karena masih merasa penasaran dengan tubuh manusia sakti si Eyang Reksa Jagat, maka Jakawulung pun bermaksud untuk bersembunyi dibalik bongkahan batu dan semak-semak sambil mengawasi tubuh Eyang Reksa itu.Dan dari tempatnya sembunyi Jakawulung melihat tubuh Eyang Reksa mengeluarkan sinar putih
Lalu begitu terbangun jakawulung melihat sinar rembulan dari celah batu yang berhasil dia geser kemarin.Kemudian dia pun bangkit dan berjalan mendekati celah itu."Oh ... kiranya ini sudah hampir fajar, semalam aku tertidur pulas sekali dan badanku sekarang terasa sakit dan pegal-pegal," tutur Jakawulung dengan mata menerawang keluar goa.Lalu diapun menghentak-hentakkan kakinya ke lantai goa sambil mengibas-ngibaskan tangan untuk sekedar melemaskan otot-otot."Perutku terasa lapar sekali sudah dua hari ini aku belum makan," ujarnya sambil kembali duduk bersandar pada batu yang menutup mulut goa itu."Eyang Reksa ... kenapa semalam engkau tidak memberiku minum seperti kemarin? Andai saja engkau memberiku minum tentu hari ini aku bisa melanjutkan mendorong batu ini," ujar Jakawulung sambil menatap langit-langit goa yang mulai terlihat karena dapat sorot dari celah batu.
Namun dia tidak merasa sakit sedikit pun apalagi terluka. Tidak sama sekali.Setelah tubuh dan kepalanya menghantam dinding Goa itu, Jakawulung seperti tersadar dari kegilaannya, dia bahkan merasa sangat malu dengan mayat sakti itu, karena baru saja dia telah lancang dan berani untuk menendang mayat Eyang Reksa Jagat, padahal kekuatan yang dimilikinya juga berasal dari mayat sakti itu.Dan dia juga telah sadar bahwa untuk sekedar menyentuhnya pun dia tidak akan pernah bisa apalagi sampai menendang.Bahkan dia sendiri juga sudah merasakan ganjaran dari tindakan kurang ajarnya itu."Oh iya, dari pada aku menghancurkan tembok dan bebatuan ini bukankah lebih baik aku menghancurkan batu yang menutupi mulut Goa itu? Yah, aku akan coba menghancurkan batu itu," ujar Jakawulung sambil bergegas menuju ke mulut Goa.Dan tidak lama kemudian Jakawulung pun sudah berdiri di depan bat
Dia berjalan menyusuri jalanan desa, meskipun mukanya sudah ditutupi dengan cadar dia terlihat masih menundukkan kepala sepanjang perjalanannya itu.Dan setibanya di pasar Biswara langsung mencari Nenek Tlenik."Oh itu rupanya Nenek Tlenik, aku akan langsung saja ke sana," tutur Biswara sambil berjalan menghampiri wanita tua itu. Dia yang semula bermaksud menitipkan dagangannya itu, kini malah ingin menjualnya sendiri.'Lebih baik aku jual sendiri saja dagangan ku ini, aku gak mau ngerepotin Nenek Tlenik,' ucapnya dalam hati."Nek... aku ikut jualan disini ya?""Lho ini tempat jualannya Pak Sumitro dan Mbok Jamban...""Iya Nek.. tapi saya sudah minta ijin," balas Biswara."O ya sudah kalau gitu, silahkan saja, memang Pak Sumitro dan istrinya kemana to Ngger...?" tanya Mbok Tlenik."Beliau
Dan tidak lama kemudian asap yang berbentuk macan itu pun menyingkir dan tiba-tiba hilang.Setelah itu Biswara pun segera melangkah masuk ke dalam Goa, dan begitu sampai di ruangan tempat jasad Eyang Reksa berada Biswara melihat ada seorang laki-laki yang sedang tergeletak tidur dilantai.'Oh ... ini rupanya pendekar yang di maksud oleh Eyang Reksa, kasihan sekali. Dia terlihat sudah kumuh sekali, rambut, jenggot dan kumisnya juga sudah memanjang,' ucap Biswara dalam hati.'Dia nampaknya benar-benar tidur dan sama sekali tidak mengetahui kedatanganku. Yah ... lebih baik orang ini segera aku bangunkan saja.'Kemudian Biswara pun segera duduk berjongkok di samping Jakawulung yang sedang tidur dengan pulsanya itu dan langsung membangunkannya."Pak ... bangun Pak ... Pak tua ... bangun ..." ujar Biswara sambil memegang kaki orang tua yang tidak lain adalah Jakawulung si pen
"Jadi gini Tuan, soal matinya Eyang Reksa itu bukan karena Tuan Jakawulung dan kedua teman Tuan itu yang telah membunuhnya ...""Lha wong saya ikutan menyergap kok! Dan waktu itu eyang Reksa langsung jatuh ketika kita akan menggabungkan Ajian Parjanya Astra ..." terang Jakawulung nampak kukuh dengan pendapatnya itu."Lha kalau memang benar yang membunuh Eyang Reksa adalah Tuan-tuan bertiga, lalu kenapa kedua teman Tuan itu malah terbunuh dan hancur tubuhnya setelah Eyang Reksa menjadi mayat?" tanya Biswara membungkam pendapat Jakawulung."Lha iya itu yang saya tidak habis pikir sampai saat ini," jawab Jakawulung nampak terlihat bengong."Hehehe ... jadi gini Tuan Jakawulung ... kalau Tuan ingin tahu kejadian yang sebenarnya ...""Iya, iya gimana kejadian yang sebenarnya?" sahut Jakawulung sambil membenahi posisi duduknya."Sebelum Eyan
"Mungkin sudah tiba saatnya aku untuk mati ...""Jangan bilang begitu Kanda Raja, saya kira penyakit Kanda Raja masih bisa disembuhkan ...""Saya akan tetap mengusahakan bagaimana mana caranya Kanda Raja bisa sembuh, saya akan menyuruh Senopati Adhinata untuk mencari mayat sakti seperti isyarat yang kudapatkan lewat meditasi kemarin malam," tutur Permaisuri Bhanuwati."Terus masalah urusan negara bagaimana? Aku tidak ingin membebani rakyat dengan pajak atau upeti dalam hal apapun," titah Raja Jayantaka."Iya Kanda Raja, kemarin saya juga sudah memerintahkan kepada Paman Patih Badrika untuk mengumpulkan para punggawa Kerajaan guna membahas masalah ini, dan nanti akan saya sampaikan kalau masalah pajak itu hanya akan dibebankan kepada semua para pejabat saja, mulai yang ada dilingkungan istana sampai ketingkat lurah yang ada di desa-desa dengan disesuaikan tingkatannya dan kondisi wilayah masing-masing," t
"Baiklah Gusti Ratu kalau begitu saya akan berangkat sekarang untuk mencari mayat sakti seperti yang Gusti Ratu Bhanuwati maksud.""Bagus Senopati Adhinata, aku percaya padamu, doaku menyertaimu semoga kamu berhasil.""Sendiko dawuh Gusti.""Berangkatlah ...!"Lalu kemudian Senopati Adhinata pun langsung bergegas ke rumahnya untuk sekedar mengambil beberapa perlengkapan yang mesti dibawanya, dan karena dia memang masih hidup sendiri alias masih belum punya istri maka dia hanya berpamitan kepada pelayan dan prajurit penjaga saja."Hei, prajurit dan pelayan ... kemarilah ...!"Lalu prajurit penjaga yang berjumlah tiga orang dan dua pelayan perempuan itupun bergegas mendekat memenuhi panggilan Sang Senopati."Iya Gusti Senopati ... ada titah apa yang harus kami lakukan?" jawab prajurit sembari menundukkan kepalanya."Aku akan memberi