Home / Pendekar / Pendekar Naga Petir / Pertarungan di Hutan Belakang

Share

Pertarungan di Hutan Belakang

Author: sophelia
last update Last Updated: 2025-09-29 18:46:33

Waktu berjalan dengan cepat. Dua tahun pun berlalu tanpa terasa.

Qin Shan kini sudah berusia delapan tahun.

Walau tubuhnya masih kecil, aura yang terpancar dari dirinya sama sekali berbeda dengan anak-anak lain di desanya. Matanya tajam, gerakannya lincah, dan tubuh mungilnya memendam kekuatan yang tak bisa dipahami oleh siapa pun. Ia bukan lagi bocah biasa. Ia adalah Qin Shan — anak kecil yang menempuh jalan kultivasi dengan tekad baja.

Setiap pagi, suara kakinya berlari melintasi jalanan hutan selalu terdengar.

“Dua putaran lagi,” gumamnya sambil mengatur napas, keringat menetes di pelipisnya.

Langkahnya mantap, berlari menembus kabut pagi yang dingin.

Di kejauhan, burung-burung beterbangan dari dahan, terkejut oleh kecepatan bocah itu. Qin Shan tak menggunakan Qi, hanya tubuh fisiknya — latihan dasar yang ia pelajari sendiri dari gulungan bambu kuno peninggalan ayahnya.

Setelah selesai berlari, ia menatap telapak tangannya.

“Belum cukup. Masih terlalu lambat,” ucapnya pelan, lalu meninju batang pohon besar di hadapannya.

DUG! DUG! DUG!

Suara tinjunya bergema, ranting-ranting bergetar.

Darah mulai menetes dari buku jarinya.

Dari arah belakang terdengar suara lembut.

“Shan’er, kau berlatih lagi sepagi ini? Bukankah kemarin kau sudah berjanji akan istirahat sehari?”

Qin Shan menoleh. Di antara pepohonan, ibunya, Madam Su Lian, datang membawa keranjang bambu berisi daun-daun obat.

“Bu…” Qin Shan tersenyum tipis sambil mengusap keringat. “Aku hanya ingin menguatkan tubuhku. Aku merasa masih belum cukup cepat.”

Su Lian mendesah lembut, lalu mendekat dan mengelus rambut anaknya yang basah oleh keringat.

“Kau baru delapan tahun, Shan’er. Kau tak perlu terburu-buru. Kekuatan sejati bukan hanya dari otot, tapi dari ketenangan hati.”

Qin Shan menatap ibunya lama, lalu menunduk.

“Kalau aku tidak kuat, nanti aku tak bisa melindungi Ibu.”

Ucapan itu membuat Su Lian terdiam. Wajahnya sedikit muram, tapi ia tersenyum agar anaknya tidak merasa bersalah.

“Kalau begitu, berlatihlah… tapi jangan sakiti dirimu, ya?”

Qin Shan mengangguk mantap. “Iya, Bu.”

Su Lian kemudian pergi memetik tanaman obat di dekat sungai, sementara Qin Shan kembali menatap pohon besar di depannya.

Ia mengangkat tinjunya sekali lagi.

“Tinju Harimau Guntur!”

BOOOM!

Udara bergetar, daun-daun berterbangan, dan pohon besar berdiameter tiga pelukan manusia hancur berkeping.

Qin Shan tersenyum puas, menatap tinjunya yang berasap halus.

“Sudah semakin stabil. Tapi… masih bisa lebih kuat.”

Beberapa hari kemudian, Qin Shan memutuskan pergi ke hutan belakang gunung sendirian.

Tujuannya dua: mencari herbal untuk ibunya, dan menguji teknik yang baru ia kembangkan.

Udara di hutan belakang lebih pekat. Akar-akar menjalar seperti ular raksasa, kabut menggantung rendah, dan suara binatang buas bergema dari kejauhan.

“Hutan ini berbeda…” gumamnya. “Energi spiritualnya lebih padat, tapi juga lebih ganas.”

Ia berjongkok, memetik selembar daun berkilau hijau.

“Daun Perisai Giok. Ibu bisa menggunakannya untuk membuat ramuan penawar racun.” Ia tersenyum kecil dan memasukkannya ke kantong.

Namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara geraman berat dari arah semak-semak.

GRRRRRRRR!

Dedaunan berguncang, dan muncul seekor Babi Hutan Baja sebesar kerbau. Kulitnya hitam berkilap, matanya merah, dan napasnya keluar seperti uap panas.

Qin Shan bergumam pelan, “Binatang peringkat tiga…”

Ia tahu apa artinya — kekuatan setara dengan seorang kultivator Alam Surga tingkat awal.

Binatang itu menundukkan kepalanya, siap menyerang.

Tapi bukannya mundur, Qin Shan justru menarik napas dalam dan menatap binatang itu tajam.

“Pas sekali… kau akan jadi lawan pertamaku hari ini.”

Babi itu meraung keras dan langsung menerjang.

BOOOM!

Tanah bergetar. Qin Shan menangkis dengan tangan kosong, tapi kekuatan lawan membuat tubuhnya terlempar ke belakang, menabrak pohon besar hingga batangnya retak.

“Ugh!” ia meringis, darah menetes dari sudut bibirnya.

Dari kejauhan, suara ibunya tiba-tiba terdengar samar — seperti gema dalam kepalanya.

“Jangan terburu-buru, Shan’er. Rasakan irama serangan lawanmu…”

Ia menarik napas panjang. “Baik, Ibu… aku akan menenangkan pikiranku.”

Binatang itu kembali menyerang.

Kali ini, Qin Shan memusatkan energi ke tinjunya, tubuhnya bersinar samar — urat-urat menegang seperti baja.

“Fisik Dewa Perang, tingkat dua!”

Ia berlari cepat, menghantam sisi kepala babi itu dengan pukulan.

CRACK!

Babi Hutan Baja meraung, tubuhnya terguncang mundur.

Tapi serangannya berikutnya jauh lebih ganas. Hewan itu menghantamkan taring baja besar ke arah Qin Shan.

Anak itu sempat mengelak, tapi satu taring masih menggores sisi perutnya.

Darah mengalir.

Ia terhuyung, tapi matanya tak gentar.

“Argh… sakit juga,” desisnya. “Tapi aku tak akan kalah.”

Ia menatap luka di perutnya. Darah itu bukan hanya luka — darahnya bercampur kilatan petir kecil, seolah energi naga petir di tubuhnya bereaksi terhadap rasa sakit.

“Aku bisa merasakannya… garis darahku bereaksi.”

Tubuh Qin Shan mulai memancarkan cahaya petir biru. Suara desis mengiringi setiap hembusan napasnya. Ilusi naga kecil muncul samar di punggungnya.

Babi itu menatap dengan rasa takut dan amarah bercampur.

Qin Shan mengepalkan tinjunya.

“Sekarang… lihat ini!”

Ia melompat ke udara dan berteriak,

Tinju Harimau Guntur!

BOOOOM!!!

Pukulan itu disertai kilatan petir, menghantam kepala Babi Hutan Baja dengan keras. Tulang retak, tanah berguncang, dan binatang buas itu terlempar sejauh belasan meter sebelum tubuhnya ambruk tak bergerak.

Qin Shan terhuyung, lututnya gemetar, tapi senyum puas merekah di wajahnya.

“Benar… aku bisa melawan binatang peringkat tinggi sekarang. Dengan tubuh kecil ini… aku bisa mengalahkan musuh Alam Surga.”

Ia berjalan pelan mendekati bangkai binatang itu, lalu menepuk dadanya.

“Terima kasih, kau lawan yang tangguh.”

Kemudian ia menusuk dada hewan itu dengan belati kecil, mengambil Kristal Inti Binatang yang berisi energi spiritual pekat.

“Inti ini bisa kugunakan untuk memperkuat aliran Qi-ku nanti.”

Ia juga memotong sebagian daging binatang itu dan memasukkannya ke kantong kulit.

Namun sebelum pergi, ia menatap punggung tangannya yang sedikit bergetar.

“Fisik Dewa Perang memang luar biasa… tapi penggunaannya menguras tubuhku. Aku masih harus memperkuat tulang dan meridian lagi.”

Sore menjelang ketika ia akhirnya sampai di desa. Langit mulai memerah, dan suara ayam jantan terdengar dari kejauhan.

Begitu sampai di halaman rumah, ibunya langsung keluar dengan wajah cemas.

“Shan’er! Dari mana saja kau seharian? Ibu hampir pergi mencarimu!”

Su Lian menatap tubuh anaknya yang kotor, penuh darah dan debu.

Qin Shan hanya tersenyum lelah.

“Maaf, Bu… aku tadi masuk ke hutan belakang. Aku menemukan tanaman herbal dan… ini hasil buruan.”

Ia menurunkan kantong kulitnya. Daging babi hutan sebesar lengan manusia terguling keluar.

Mata Su Lian membulat.

“Shan’er! Kau… kau melawan binatang buas sendirian?!”

Qin Shan menggaruk kepalanya. “Hehe… cuma binatang peringkat tiga, Bu. Tidak terlalu sulit.”

“Tidak sulit katamu?” Su Lian menatap luka di perut anaknya dan nyaris menangis. “Lihat dirimu! Kau terluka parah!”

Qin Shan buru-buru memeluk ibunya. “Ibu jangan marah. Aku baik-baik saja, sungguh.”

Su Lian terdiam beberapa saat, lalu menepuk punggung anaknya dengan lembut.

“Anak ini… sama keras kepalanya seperti ayahmu.”

“Kalau aku tidak keras kepala, aku takkan jadi kuat, Bu.”

Mereka berdua tertawa kecil.

Malam itu, aroma daging panggang memenuhi rumah kecil mereka.

Qin Shan membantu ibunya menyalakan api dan memanggang daging hasil buruannya. Sementara itu, Su Lian mencampur beberapa daun herbal ke dalam rebusan kecil.

“Ini untuk mempercepat pemulihanmu,” katanya sambil tersenyum. “Rasanya mungkin aneh, tapi efeknya bagus.”

Qin Shan mencicipi sedikit. “Hmm… pahit sekali!”

Su Lian tertawa pelan. “Namanya juga obat.”

Mereka makan dengan lahap.

Bagi mereka, daging binatang buas bukan hanya makanan, tapi juga sumber energi untuk memperkuat tubuh.

“Ibu,” kata Qin Shan sambil menatap api. “Kalau aku sudah cukup kuat, aku ingin pergi keluar desa. Aku ingin mencari tempat yang bisa mengajarkanku hal-hal baru.”

Su Lian terdiam, lalu menatap anaknya dengan mata lembut.

“Kalau saatnya tiba, Ibu tidak akan melarangmu. Tapi sekarang… tetaplah di sini dulu. Bangun kekuatanmu perlahan.”

Qin Shan tersenyum dan mengangguk.

“Baik, Bu.”

Setelah makan malam, ia membantu membersihkan meja, lalu berbaring di ranjang.

Suara jangkrik di luar rumah menemani malam itu.

Sambil menatap atap bambu, ia bergumam pelan,

“Besok aku harus masuk ke hutan lagi. Masih banyak herbal dan binatang yang bisa kulatih melawannya… Aku harus terus maju.”

Dan di bawah cahaya bulan pucat, kilatan petir samar terlihat di matanya — tanda bahwa garis darah naga petir dalam tubuh Qin Shan perlahan bangkit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Naga Petir   Batu Teratai dan Dunia Kecil

    Kabut hitam berputar liar di dalam ruang batu itu. Suara raungan menggelegar bergema hingga ke lorong, memantul berkali-kali seperti ribuan roh sedang menjerit bersama. Dinding bergetar, debu turun dari langit-langit, dan obor kecil di tangan Li Feng hampir padam.“Astaga… ini bukan kabut biasa,” desis Li Feng, menutup mulut dan hidung dengan lengan bajunya. “Udara ini dingin seperti kematian.”Li Mei berdiri di belakangnya, kedua tangannya bergetar sambil menggenggam jimat putih kecil. “Aku bisa merasakan aura kebencian yang sangat kuat… seperti roh ini sudah terperangkap di sini selama ratusan tahun.”Di depan mereka, Qin Shan berdiri tegak meski tubuhnya penuh luka. Napasnya berat, namun sorot matanya sama sekali tidak surut. “Batu itu… aku bisa merasakannya,” katanya pelan, matanya tertuju pada pilar batu teratai yang bersinar samar di tengah ruangan. “Dia ada di balik semua ini.”Roh penjaga menggeram rendah. Matanya merah membara, dan sekali ayunan cakar hitamnya menghantam lant

  • Pendekar Naga Petir   Rahasia di Dalam Tubuh Ular

    Hening.Hutan yang tadinya penuh ledakan dan raungan kini tenggelam dalam keheningan mencekam. Hanya suara napas berat Qin Shan, Li Feng, dan Li Mei yang masih menggema di antara pepohonan. Asap tipis masih mengepul dari bekas luka besar di tanah tempat Ular Bermata Emas mati tergeletak.Tubuh raksasa itu membentang seperti tembok emas yang hancur, sisiknya retak, darahnya mengalir hitam ke tanah. Udara berbau logam dan amis.Li Mei menelan ludah, berbisik, “Benar-benar sudah mati, kan?”Li Feng menjawab tanpa yakin, “Kelihatannya begitu… tapi entah kenapa aku masih merasa dia mengawasi.”Qin Shan tidak menanggapi. Ia berdiri dengan wajah serius, memandangi bangkai itu dalam diam.Beberapa detik kemudian ia berucap pelan, “Aku merasa… sesuatu di dalamnya masih hidup.”Li Feng langsung menoleh cepat. “Apa maksudmu?”“Ada energi… bukan energi binatang buas biasa,” jawab Qin Shan sambil menunduk. “Seolah sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut.”Li Mei spontan mundur setengah langkah. “Kau j

  • Pendekar Naga Petir   Ular Bermata Emas

    Udara sore di hutan itu terasa berat. Angin hampir tak berhembus, dan kabut lembap bergelayut di antara pepohonan tinggi. Cahaya matahari terperangkap di balik awan tipis, menciptakan suasana yang seolah berhenti di ambang senja. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga—hutan itu sunyi seperti sedang menahan napas.Qin Shan berdiri di tanah berlumut yang licin, tubuhnya tegang tapi matanya tajam. Di hadapannya, seekor ular raksasa bersisik emas menggeliat perlahan. Panjangnya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya sebesar batang pohon tua, dan kedua matanya memancarkan cahaya merah menyala seperti bara api.Ular itu bukan binatang biasa—ini adalah Ular Bermata Emas, penguasa wilayah timur hutan. Binatang buas yang sudah lama menjadi legenda di kalangan pemburu, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menantangnya.Li Feng dan Li Mei berdiri beberapa langkah di belakang, wajah mereka tegang.“Qin Shan…,” bisik Li Feng pelan, suaranya bergetar. “Kau… yakin mau melawannya send

  • Pendekar Naga Petir   Ujian Pertama di Hutan

    Cahaya pagi menembus dedaunan, jatuh dalam bentuk kilau hijau keemasan di tanah hutan. Embun yang belum sempat mengering memantulkan sinar mentari pertama, menebar aroma segar tanah dan dedaunan.Qin Shan berdiri diam di depan mulut goa kuno, tangan terlipat di dada, wajahnya tenang seperti batu tapi matanya tajam seperti pedang. Di hadapannya, dua anak kecil duduk bersila di atas batu rata. Li Feng masih tampak kelelahan, napasnya berat setelah semalaman berlatih di kolam. Li Mei di sebelahnya menguap kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya.“Mulai hari ini,” kata Qin Shan datar, “aku akan tahu seberapa besar tekad kalian.”Li Feng segera menegakkan tubuhnya. “Aku siap, Qin Shan!” serunya dengan suara serak, mencoba terdengar tegas walau bahunya masih gemetar.Li Mei memandang kakaknya, lalu menatap Qin Shan. “A-aku juga,” katanya pelan tapi pasti.Qin Shan mengangguk tipis. “Bagus. Tapi ingat, mulai sekarang aku bukan penyelamat kalian. Aku pemimpin kalian. Dan pemimpin tidak butuh b

  • Pendekar Naga Petir   Li Feng Dan Li Mei Mulai Berlatih

    Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.Tatapan matanya melembut.“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian l

  • Pendekar Naga Petir   Teman Pertama di Tengah Bahaya

    jalan yang sunyi.Langit pagi itu tampak muram.Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat.Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang.Suasana terasa sepi, terlalu sepi.Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bila

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status