Di dalam goa peninggalan pendekar era kuno, suasana mendadak berubah begitu Qin Shan mulai menyerap energi dengan teknik Kultivasi Semesta.
Qin Shan yang masih berusia enam tahun duduk bersila di pinggir kolam biru. Tubuh mungilnya gemetar hebat.
“Ugh... kenapa rasanya... seperti terbakar dari dalam,” gumamnya di antara tarikan napas berat.
Tiba-tiba—
Crackk! Crackkk!
Suara keras bergema dari dalam tubuhnya. Tapi itu bukan tulangnya. Itu datang dari sesuatu yang jauh lebih dalam—segel garis darah yang selama ini menahannya.
Empat cahaya berbeda meledak keluar dari tubuh kecil itu.
Qin Shan menatap ke tangannya yang bergetar.
Tiba-tiba, energi spiritual di dalam goa bergetar liar, seperti menyadari keberadaannya.
“Ini… gila! Energinya terlalu banyak!” Qin Shan berusaha menahan aliran energi itu, tapi tubuhnya bergetar hebat. Air kolam bergolak, memercik liar.
Namun, saat dia mencoba menstabilkan energi itu, wajahnya berubah.
Ia mencoba mengatur napas, lalu membuka matanya lebar. “Untuk naik satu tingkat saja, aku butuh lima kali lipat energi lebih banyak dari orang biasa...”
Sesaat ia terdiam, lalu tersenyum kecil.
Ia berdiri, menatap kolam biru di depannya.
“Tubuh harus ditempa dengan rasa sakit ribuan jarum. Mereka yang bertahan akan mendapat tubuh seperti baja. Mereka yang gagal, tubuhnya akan hancur.”
Qin Shan menatap air itu lama. “Rasanya sakit, ya? Hmph, aku nggak akan lari.”
Tanpa pikir panjang, ia melompat ke kolam.
Begitu tubuhnya menyentuh air biru itu—
“Aaarghhh!” teriaknya, tubuhnya melengkung, urat-urat biru menonjol di leher dan dada.
“Bertahan, Qin Shan… kalau mau jadi kuat, ini cuma langkah awal!” Ia menggertakkan gigi, menahan rasa sakit yang membuat pikirannya hampir pingsan.
Hari pertama, ia hanya mampu bertahan beberapa napas sebelum akhirnya melompat keluar.
Hari kedua, meski seluruh tubuhnya penuh luka, ia kembali ke kolam.
Hari ketiga, ia mulai terbiasa.
Setiap kali keluar dari kolam, ia menelan pil penyembuh dari peti hitam di sudut goa.
Hari demi hari berlalu.
Minggu pertama, ia berhasil menembus Tingkat 1 Fisik Dewa Perang.
Qin Shan mengepalkan tinjunya dan mencoba menghantam dinding goa.
BOOM!
Ia menatap tangannya, terengah. “Heh… ini baru awal.”
Setelah beberapa minggu berlatih, ia berdiri di depan peti hitam lagi.
“Terima kasih, senior,” ucapnya pelan ke arah udara, seperti berbicara kepada arwah sang pendekar kuno yang dulu menempati tempat ini.
Ia berbalik dan meninggalkan goa.
“Hah… dunia luar terasa beda sekarang,” katanya sambil tersenyum tipis.
Untuk pertama kalinya, dunia seakan menyadari kehadiran seorang anak kecil yang suatu hari akan mengguncang seluruh galaksi.
Malam harinya, di desa, ia kembali bersikap seperti anak biasa.
Tapi begitu malam tiba, dan semua orang tertidur, Qin Shan duduk bersila di balik rumah.
Dan di kejauhan, di balik langit malam yang bertabur bintang, angin berdesir pelan—seolah menyapa calon legenda yang baru saja terbangun.
Kabut hitam berputar liar di dalam ruang batu itu. Suara raungan menggelegar bergema hingga ke lorong, memantul berkali-kali seperti ribuan roh sedang menjerit bersama. Dinding bergetar, debu turun dari langit-langit, dan obor kecil di tangan Li Feng hampir padam.“Astaga… ini bukan kabut biasa,” desis Li Feng, menutup mulut dan hidung dengan lengan bajunya. “Udara ini dingin seperti kematian.”Li Mei berdiri di belakangnya, kedua tangannya bergetar sambil menggenggam jimat putih kecil. “Aku bisa merasakan aura kebencian yang sangat kuat… seperti roh ini sudah terperangkap di sini selama ratusan tahun.”Di depan mereka, Qin Shan berdiri tegak meski tubuhnya penuh luka. Napasnya berat, namun sorot matanya sama sekali tidak surut. “Batu itu… aku bisa merasakannya,” katanya pelan, matanya tertuju pada pilar batu teratai yang bersinar samar di tengah ruangan. “Dia ada di balik semua ini.”Roh penjaga menggeram rendah. Matanya merah membara, dan sekali ayunan cakar hitamnya menghantam lant
Hening.Hutan yang tadinya penuh ledakan dan raungan kini tenggelam dalam keheningan mencekam. Hanya suara napas berat Qin Shan, Li Feng, dan Li Mei yang masih menggema di antara pepohonan. Asap tipis masih mengepul dari bekas luka besar di tanah tempat Ular Bermata Emas mati tergeletak.Tubuh raksasa itu membentang seperti tembok emas yang hancur, sisiknya retak, darahnya mengalir hitam ke tanah. Udara berbau logam dan amis.Li Mei menelan ludah, berbisik, “Benar-benar sudah mati, kan?”Li Feng menjawab tanpa yakin, “Kelihatannya begitu… tapi entah kenapa aku masih merasa dia mengawasi.”Qin Shan tidak menanggapi. Ia berdiri dengan wajah serius, memandangi bangkai itu dalam diam.Beberapa detik kemudian ia berucap pelan, “Aku merasa… sesuatu di dalamnya masih hidup.”Li Feng langsung menoleh cepat. “Apa maksudmu?”“Ada energi… bukan energi binatang buas biasa,” jawab Qin Shan sambil menunduk. “Seolah sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut.”Li Mei spontan mundur setengah langkah. “Kau j
Udara sore di hutan itu terasa berat. Angin hampir tak berhembus, dan kabut lembap bergelayut di antara pepohonan tinggi. Cahaya matahari terperangkap di balik awan tipis, menciptakan suasana yang seolah berhenti di ambang senja. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga—hutan itu sunyi seperti sedang menahan napas.Qin Shan berdiri di tanah berlumut yang licin, tubuhnya tegang tapi matanya tajam. Di hadapannya, seekor ular raksasa bersisik emas menggeliat perlahan. Panjangnya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya sebesar batang pohon tua, dan kedua matanya memancarkan cahaya merah menyala seperti bara api.Ular itu bukan binatang biasa—ini adalah Ular Bermata Emas, penguasa wilayah timur hutan. Binatang buas yang sudah lama menjadi legenda di kalangan pemburu, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menantangnya.Li Feng dan Li Mei berdiri beberapa langkah di belakang, wajah mereka tegang.“Qin Shan…,” bisik Li Feng pelan, suaranya bergetar. “Kau… yakin mau melawannya send
Cahaya pagi menembus dedaunan, jatuh dalam bentuk kilau hijau keemasan di tanah hutan. Embun yang belum sempat mengering memantulkan sinar mentari pertama, menebar aroma segar tanah dan dedaunan.Qin Shan berdiri diam di depan mulut goa kuno, tangan terlipat di dada, wajahnya tenang seperti batu tapi matanya tajam seperti pedang. Di hadapannya, dua anak kecil duduk bersila di atas batu rata. Li Feng masih tampak kelelahan, napasnya berat setelah semalaman berlatih di kolam. Li Mei di sebelahnya menguap kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya.“Mulai hari ini,” kata Qin Shan datar, “aku akan tahu seberapa besar tekad kalian.”Li Feng segera menegakkan tubuhnya. “Aku siap, Qin Shan!” serunya dengan suara serak, mencoba terdengar tegas walau bahunya masih gemetar.Li Mei memandang kakaknya, lalu menatap Qin Shan. “A-aku juga,” katanya pelan tapi pasti.Qin Shan mengangguk tipis. “Bagus. Tapi ingat, mulai sekarang aku bukan penyelamat kalian. Aku pemimpin kalian. Dan pemimpin tidak butuh b
Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.Tatapan matanya melembut.“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian l
jalan yang sunyi.Langit pagi itu tampak muram.Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat.Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang.Suasana terasa sepi, terlalu sepi.Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bila