Home / Pendekar / Pendekar Naga Petir / Garis Darah yang Terbangun

Share

Garis Darah yang Terbangun

Author: sophelia
last update Last Updated: 2025-09-29 18:17:42

Di dalam goa peninggalan pendekar era kuno, suasana mendadak berubah begitu Qin Shan mulai menyerap energi dengan teknik Kultivasi Semesta.

Udara yang tadinya tenang tiba-tiba bergetar, seolah tersedot ke dalam pusaran tak kasat mata. Debu di lantai beterbangan, bahkan batu kecil ikut melayang dan hancur jadi abu.

Qin Shan yang masih berusia enam tahun duduk bersila di pinggir kolam biru. Tubuh mungilnya gemetar hebat.

“Ugh... kenapa rasanya... seperti terbakar dari dalam,” gumamnya di antara tarikan napas berat.

Tiba-tiba—
Crackk! Crackkk!

Suara keras bergema dari dalam tubuhnya. Tapi itu bukan tulangnya. Itu datang dari sesuatu yang jauh lebih dalam—segel garis darah yang selama ini menahannya.

Empat cahaya berbeda meledak keluar dari tubuh kecil itu.

Cahaya keemasan menyala seperti matahari,

Cahaya perak lembut berkilau seperti bulan,

Kilatan bintang menari di punggungnya,

Dan di atas kepalanya, seekor naga petir ilusi muncul, mengaum pelan.

Qin Shan menatap ke tangannya yang bergetar.

“Jadi… ini garis darahku yang sebenarnya?” bisiknya kagum, matanya berkilat.

Tiba-tiba, energi spiritual di dalam goa bergetar liar, seperti menyadari keberadaannya.

Semua energi yang tersimpan selama ratusan ribu tahun tersedot masuk ke tubuh kecilnya.

“Ini… gila! Energinya terlalu banyak!” Qin Shan berusaha menahan aliran energi itu, tapi tubuhnya bergetar hebat. Air kolam bergolak, memercik liar.

Namun, saat dia mencoba menstabilkan energi itu, wajahnya berubah.

“Kenapa… tetap tidak cukup?”

Ia mencoba mengatur napas, lalu membuka matanya lebar. “Untuk naik satu tingkat saja, aku butuh lima kali lipat energi lebih banyak dari orang biasa...”

Sesaat ia terdiam, lalu tersenyum kecil.

“Kalau jalanku lebih berat, pondasiku juga lebih kuat. Aku tidak akan menyerah.”

Ia berdiri, menatap kolam biru di depannya.

Dalam kitab Kultivasi Fisik Dewa Perang, ia ingat jelas kalimat yang terukir:

“Tubuh harus ditempa dengan rasa sakit ribuan jarum. Mereka yang bertahan akan mendapat tubuh seperti baja. Mereka yang gagal, tubuhnya akan hancur.”

Qin Shan menatap air itu lama. “Rasanya sakit, ya? Hmph, aku nggak akan lari.”

Tanpa pikir panjang, ia melompat ke kolam.

Begitu tubuhnya menyentuh air biru itu—

Rasa sakit luar biasa langsung menyerang. Seperti ribuan jarum es dan petir menembus kulit, otot, bahkan tulangnya.

“Aaarghhh!” teriaknya, tubuhnya melengkung, urat-urat biru menonjol di leher dan dada.

“Bertahan, Qin Shan… kalau mau jadi kuat, ini cuma langkah awal!” Ia menggertakkan gigi, menahan rasa sakit yang membuat pikirannya hampir pingsan.

Hari pertama, ia hanya mampu bertahan beberapa napas sebelum akhirnya melompat keluar.

Tubuhnya lunglai, bibirnya pucat.

“Haah… jadi ini rasanya... menempuh jalan kultivasi sejati…” gumamnya, menatap langit-langit goa. “Aku… harus bisa lebih lama besok.”

Hari kedua, meski seluruh tubuhnya penuh luka, ia kembali ke kolam.

Setiap kali rasa sakit datang, ia mengingat wajah ibu dan ayahnya, rumah yang hangat, dan tekad yang sudah ia ucapkan sejak kecil.

“Aku nggak akan berhenti di sini!”

Hari ketiga, ia mulai terbiasa.

“Panas… tapi tubuhku mulai menerima energi ini,” katanya sambil menggigil.

Ia merasakan sesuatu berbeda—energi biru itu kini mengalir lebih lembut, menyatu dengan tubuhnya.

Setiap kali keluar dari kolam, ia menelan pil penyembuh dari peti hitam di sudut goa.

“Pahit banget…” keluhnya, tapi beberapa saat kemudian luka di tubuhnya menutup cepat, meninggalkan kulit yang lebih keras dari sebelumnya.

Hari demi hari berlalu.

Minggu pertama, ia berhasil menembus Tingkat 1 Fisik Dewa Perang.

Tubuh kecilnya kini tampak padat dan berisi. Kulitnya berkilau samar, otot-ototnya menegang kuat.

Qin Shan mengepalkan tinjunya dan mencoba menghantam dinding goa.
BOOM!

Batu besar itu langsung hancur jadi serbuk.

Ia menatap tangannya, terengah. “Heh… ini baru awal.”

Lalu tersenyum kecil. “Dengan ini, aku sudah melangkah di jalan yang benar.”

Setelah beberapa minggu berlatih, ia berdiri di depan peti hitam lagi.

Matanya kini tidak polos seperti sebelumnya—ada tekad, ada ketenangan.

“Terima kasih, senior,” ucapnya pelan ke arah udara, seperti berbicara kepada arwah sang pendekar kuno yang dulu menempati tempat ini.

“Warisanmu… akan kulanjutkan.”

Ia berbalik dan meninggalkan goa.

Begitu kakinya menjejak tanah luar, angin hutan menerpa wajahnya lembut.

“Hah… dunia luar terasa beda sekarang,” katanya sambil tersenyum tipis.

Langit tampak lebih terang, dan setiap helai rumput bergetar menyambutnya.

Untuk pertama kalinya, dunia seakan menyadari kehadiran seorang anak kecil yang suatu hari akan mengguncang seluruh galaksi.

Malam harinya, di desa, ia kembali bersikap seperti anak biasa.

“Qin Shan, bantu Ibu bawa air dari sumur!” panggil ibunya dari dapur.

“Iya, Bu!” jawabnya ceria, lalu berlari kecil dengan ember di tangan.

Tapi begitu malam tiba, dan semua orang tertidur, Qin Shan duduk bersila di balik rumah.

Matanya terpejam, tubuhnya dikelilingi kabut biru lembut.

“Hari ini cuma sedikit… besok harus lebih baik,” gumamnya pelan.

Dan di kejauhan, di balik langit malam yang bertabur bintang, angin berdesir pelan—seolah menyapa calon legenda yang baru saja terbangun.


Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Naga Petir   Di Antara Kilatan dan Bayangan

    Ledakan cahaya itu datang begitu cepat hingga Qin Shan tak sempat menarik napas. Dalam sekejap, seluruh lembah tertelan cahaya biru menyilaukan. Angin berputar liar, mengangkat debu dan batu seperti badai.Ia melompat mundur, berusaha mengaktifkan formasi pelindung di tubuhnya. Tapi sebelum segelnya terbentuk, cahaya itu menelannya bulat-bulat.Suara petir meledak di telinganya—panjang, berat, dan terasa seperti menggetarkan tulang. Lalu semuanya hening.Ketika kesadarannya kembali, ia berdiri di tempat yang tidak lagi sama.Langit di atasnya bergulung seperti kabut berlapis petir. Tanah di bawah kakinya adalah dataran gelap berwarna keperakan, memantulkan bayangan dirinya sendiri. Tak ada angin, tak ada suara. Hanya dengung halus dari udara yang bergetar oleh energi.“Dimensi buatan…” gumamnya pelan. Ia menunduk, menyentuh tanah. “Stabilisasi energi petir tingkat tinggi. Mirip teknik segel ruang yang digunakan oleh Bai Chen.”Jantungnya berdetak lebih cepat. Semua ini terasa terlalu

  • Pendekar Naga Petir   Umpan di Lembah Angin Tersembunyi

    Pagi itu udara di kota perbatasan terasa lebih berat dari biasanya. Awan kelabu menggantung rendah, menyelimuti atap-atap rumah yang berdebu. Qin Shan berjalan di sisi kiri jalan bersama Yue Ling, langkahnya tenang tapi matanya tajam mengamati setiap sudut.Kertas kecil di tangannya kini telah menjadi beban pikiran yang terus berputar sejak semalam.“Jika kau ingin bertemu Bai Chen, datanglah ke reruntuhan Lembah Angin Tersembunyi. Tapi jangan membawa siapa pun selain dirimu.”Tulisan itu terlalu rapi untuk sekadar jebakan murahan. Dan simbol formasi petir biru di ujungnya—terlalu spesifik untuk diabaikan. Simbol itu hanya digunakan oleh kelompok yang menguasai formasi tingkat tinggi dari wilayah selatan.“Masih yakin mau datang?” tanya Yue Ling pelan. “Kalau ini jebakan, kita bisa kehilangan nyawa.”Qin Shan menatap lurus ke depan, suaranya datar. “Justru karena itu aku harus datang. Jika benar Bai Chen masih hidup, maka seseorang sedang berusaha mempermainkan kita.”Mereka berbelok

  • Pendekar Naga Petir   Ujian di Lembah Tersembunyi

    Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas pasar kota perbatasan. Qin Shan menatap gulungan kertas di tangannya—pesan dengan simbol petir biru yang belum sempat ia buang sejak kemarin.“Lembah Angin Tersembunyi,” gumamnya pelan. Yue Ling menatapnya tajam. “Kau yakin mau pergi sendirian?” “Aku harus memastikan sendiri. Kalau Bai Chen benar-benar hidup, dia mungkin menunggu di sana.” “Dan kalau ini jebakan?” Qin Shan tersenyum tipis. “Maka orang yang memasangnya akan menyesal.”Ia menyimpan kertas itu ke dalam lengan jubahnya, kemudian melangkah pergi tanpa menoleh. Yue Ling hanya bisa menatap punggungnya hingga menghilang di antara kabut.Perjalanan menuju lembah memakan waktu setengah hari. Daerah itu sunyi, hanya angin lembut yang berhembus membawa bau lembab tanah tua. Di kejauhan, lembah itu tampak seperti luka di antara dua tebing, dikelilingi pohon berdaun merah tua yang tidak seharusnya tumbuh di tempat sekering ini.Begitu Qin Shan menjejakkan kaki di dalam, hawa spirit

  • Pendekar Naga Petir   Tenang Sebelum Badai

    Udara di luar lembah terasa berat. Sisa-sisa petir hitam dari pertarungan sebelumnya masih menggantung di langit barat, menandakan Mo Yuan belum sepenuhnya musnah.Qin Shan dan Yue Ling berdiri di puncak tebing kecil. Angin membawa aroma logam dan abu. Dari kejauhan, mereka bisa melihat kilatan cahaya merah di antara awan hitam—tanda bahwa sesuatu masih bergerak di dalam tubuh Mo Yuan.“Dia tidak akan menyerah,” ucap Qin Shan datar. Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan kekhawatiran.“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Yue Ling pelan. “Kalau dia benar-benar bangkit, kita tidak mungkin melawannya dalam kondisi sekarang.”Qin Shan menatap cakrawala sejenak, lalu menarik napas panjang. “Kita mundur dulu. Aku perlu waktu untuk menstabilkan dantian dan menguatkan fisik dewa perangnya. Dunia Batu Semesta akan mempercepat pemulihanku.”Tanpa banyak bicara lagi, ia menutup matanya, memusatkan kesadaran jiwa, dan dalam sekejap tubuhnya lenyap dari tempat itu. Yue Ling mengikuti, me

  • Pendekar Naga Petir   Di Ambang Kematian

    Asap tebal memenuhi lembah. Batu-batu besar yang sebelumnya kokoh kini hancur berserakan. Bau ozon memenuhi udara akibat petir hitam yang baru saja menghantam tanah.Yue Ling berlari dengan wajah panik, tubuhnya berlumuran debu dan darah. “Qin Shan! Di mana kau?!”Tidak ada jawaban. Hanya suara batu yang runtuh dan desis petir yang belum sepenuhnya padam.Ketika debu mulai mengendap, matanya menangkap sebuah sosok di tengah kawah besar. Qin Shan berdiri setengah berlutut, tubuhnya penuh luka. Sebagian baju terbakar, darah menetes dari pelipis dan dada kirinya. Namun matanya masih terbuka, tajam seperti biasa.“Qin Shan!” Yue Ling berlari mendekat.“Jangan,” katanya lirih sambil menahan napas. “Jangan terlalu dekat.”Yue Ling terhenti. Dari jarak beberapa langkah, ia merasakan tekanan aneh yang menyelimuti Qin Shan—campuran antara aura petir dan energi hitam milik Mo Yuan yang belum sepenuhnya menghilang.“Kau terluka parah,” ucap Yue Ling, nada suaranya bergetar. “Kita harus segera ke

  • Pendekar Naga Petir   Takdir di Bawah Langit

    Debu reruntuhan belum sepenuhnya mereda saat Qin Shan berdiri tegak di tengah sisa paviliun. Udara masih bergetar akibat ledakan energi yang baru saja terjadi. Batu-batu besar di sekelilingnya hancur menjadi serpihan, dan tanah di bawahnya tampak seperti terbakar oleh petir.Ia menarik napas dalam-dalam. Setiap tarikan udara membawa rasa logam dan listrik.“Bagian dari Hati Langit, huh…” gumamnya pelan.Tubuhnya memang terasa berbeda. Energi spiritual di dalam dantiannya berputar jauh lebih cepat, tapi setiap aliran energi itu juga menimbulkan tekanan yang luar biasa. Seolah tubuhnya sedang berjuang menyeimbangkan sesuatu yang terlalu besar untuk ditampung manusia biasa.Ia menunduk dan melihat tangannya yang bergetar halus. Urat-urat biru keemasan tampak samar di bawah kulitnya — tanda bahwa energi Hati Langit belum stabil.“Kalau aku ceroboh sedikit saja, seluruh tubuh ini bisa meledak,” pikirnya.Langkah kaki terdengar dari belakang. Pria bertopeng yang tadi bertarung dengannya ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status