"Sepertinya akan terjadi badai," ucap seorang pria di depan rumah kayu, berbicara kepada istrinya.
Ia adalah Chen Tian—42 tahun, dan istrinya bernama Ling Xuan—40 tahun.
Pegunungan Nirwana menjulang tinggi di atas dataran tengah. Di bawah naungannya mengalir sungai besar yang dikenal dengan nama Sungai Kematian. Bukit Nirwana membentang ratusan mil, dengan puncak-puncaknya yang naik dan turun. Yang tertinggi di antaranya memiliki tujuh puncak yang menjulang hingga menembus awan. Biasanya, hanya awan putih yang melingkari pinggangnya. Wujud sejati puncaknya hampir tak pernah terlihat.
Namun, yang lebih terkenal dari wilayah itu adalah Sekte Awan Biru—sekte kultivasi legendaris yang berdiri kokoh di gunung tersebut. Di kaki Gunung Nirwana, lima puluh mil barat laut, berdiri desa kecil bernama Embun Pagi. Sekitar lima puluh keluarga tinggal di sana. Warga hidup sederhana dengan mencari kayu bakar. Dan menukarnya pada murid Sekte Awan Biru yang lewat.
"Aku harap, Xuan'er baik-baik saja di Sekte Awan Biru," ucap Ling Xuan, tampak gelisah.
"Tenang saja. Anak kita tangguh. Tidak akan terjadi apa pun padanya. Aku yakin!" sahut Chen Tian dengan penuh keyakinan.
Langit siang itu tampak mendung. Awan hitam menggantung rendah, menekan dada siapa pun yang memandangnya.
Dari Desa Embun Pagi, Bukit Nirwana tampak menakjubkan sekaligus angker. Puncaknya yang menjulang dan bebatuan unik. Membuatnya tampak seperti lukisan hidup yang sarat misteri. Meski begitu, warga desa sudah terbiasa. Pemandangan itu adalah bagian dari hidup mereka.
Namun hari ini berbeda. Di gerbang desa, seorang pria berusia tiga puluhan berlari sambil berteriak, "Lari!"
Wajahnya pucat pasi, napasnya memburu. Kedua matanya terbuka lebar penuh ketakutan.
Warga desa mulai cemas. Langit semakin kelam. Siang itu terasa seperti malam. Petir menyambar, suara guntur menggema seperti lolongan langit yang tersayat.
"Bencana akan datang..." gumamnya lirih, menatap langit.
Di tengah kekacauan itu, berdirilah seorang kakek tua di tengah jalan desa, bertongkat kayu. Ia adalah Fu Xue, 70 tahun— kepala Desa Embun Pagi. Seorang yang dahulu dikenal sebagai legenda hidup.
Tiba-tiba, asap hitam pekat turun dari langit. Cahaya matahari lenyap. Suasana menjadi gulita. Segumpal asap hitam itu membentuk sosok berjubah. Hanya sepasang mata merah menyala yang terlihat dari balik kabut kelam itu. Makhluk itu melayang di udara, menatap sekeliling seperti mencari sesuatu.
Fu Xue melangkah maju.
"Siapa yang datang?" tanyanya dengan suara serak yang menggema keheningan.
"Wah, ternyata masih hidup, sang legenda tongkat ular, Fu Xue," jawab sosok hitam dengan suara parau namun menggelegar.
Fu Xue menyipitkan mata. "Siapa kau, dan apa tujuanmu datang ke desa ini?"
Tawa mengerikan membelah langit. "Ha! Ha! Ha!"
"Fu Xue ... serahkan Pedang Dewa Api kepadaku!" bentak makhluk itu.
Fu Xue terkejut. "Pedang Dewa Api?"
Ia bergumam dalam hati, 'Bagaimana dia bisa tahu tentang itu?'
"Jika tidak, jangan salahkan aku jika bertindak kejam!"
Konon, Pedang Dewa Api adalah senjata kuno yang ditempa dari batu kristal abadi. Digunakan oleh seorang Dewa Api untuk menumpas pasukan Dewa Iblis yang menyerbu alam manusia. Setelah wafatnya sang dewa, pedang itu diwariskan kepada keturunannya. Dan desa ini menyimpannya selama ratusan tahun.
Namun, Fu Xue menggeleng. "Pedang itu tak ada di sini. Sudah dibawa pergi oleh seorang ahli kuat bertahun-tahun lalu."
Sosok itu tidak percaya. Ia mengancam, memaksa, tapi Fu Xue tetap bersikukuh. Akhirnya, sosok hitam itu mengamuk.
Meski dulunya dijuluki Raja Tongkat, pemilik tongkat kayu yang bisa berubah menjadi ular mistis berkepala tujuh, kekuatan Fu Xue telah melemah drastis sejak gagal menembus ranah kultivasi setengah dewa.
Satu per satu rumah dibakar, warga dibantai. Jerit kesakitan mengisi udara. Chen Tian, Ling Xuan, dan Fu Xue berusaha melawan, namun kekuatan lawan mereka terlalu besar. Mereka gugur bersama warga desa lainnya.
"Xuan, Xuan, Xuan..."
Suara yang memanggil namanya terngiang-ngiang di telinganya, membuat Chen Xuan seketika terbangun.
Chen Xuan terengah-engah, nafasnya begitu cepat, dadanya naik turun, keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Segera ia mengelap keringat di wajahnya menggunakan punggung lengannya.
'Apa itu, kenapa ada bayangan seperti itu!' pikir Chen Xuan.
Chen Xuan tidak mengerti dengan apa yang baru saja terlintas di bayangan pikirannya. Namun, tragedi pembantaian Desa Embun Pagi tergambar jelas di ingatannya. Seolah-olah ia berada di tempat itu, pada saat terjadinya pembantaian yang keji.
"Xu— xuan ... ada apa denganmu?"
Xiao Ling'er nampak khawatir dengan Chen Xuan yang bersikap aneh. Ia pun memberikan secangkir teh hangat kepadanya.
Chen Xuan pun segera memalingkan pandangannya kepada Xiao Ling'er.
"Se— se, senior, aku ....!" kata Chen Xuan terbata-bata.
"Aiya ... minumlah, tenangkan dirimu terlebih dahulu!" ucap lembut Xiao Ling'er.
Gadis dingin yang di juluki sebagai gadis tanpa ekspresi itu nampak bohong. Di hadapan Chen Xuan, ia nampak sangat lembut, perhatian, penuh kasih sayang, dan sangat anggun. Benar-benar seperti seorang peri yang turun dari dunia fantasi.
"Te— terimakasih, senior." jawab Chen Xuan sembari mengambil secangkir teh hangat di tangan Xiao Ling'er.
Xiao Ling'er mengeluarkan sebuah sapu tangan dari sakunya, kemudian ia mengelap keringat di leher dan juga wajah Chen Xuan. Membuat Chen Xuan terdiam tak bergeming, seolah-olah ia membatu.
Namun di bayangan Chen Xuan. Gadis yang berada di depannya seketika berubah menjadi Hua Yun. Sosok gadis yang selalu menempati relung hatinya yang paling dalam.
"Kak Yun!" kata Xuan dengan nada yang rendah.
Xiao Ling'er mendengus. "Hua Yun, Hua Yun, selalu Hua Yun. Terus saja pikirkan dia sampai kamu benar-benar mati karna kecewa!" Xiao Ling'er mencibir keras.
Seketika wajah Chen Xuan terbangun. "Apa yang anda maksud, Senior Ling?" tanya Chen Xuan.
"Sudahlah, jangan pedulikan itu. Sebaiknya kamu rasakan aura yang berada di ruangan sebelah kita ini!" kata Xiao Ling'er dengan nada yang rendah.
Raungan! Chen Xuan bersama Xiao Ling'er pun tiba di sebuah hutan yang gelap, di dalam gunung hitam yang kelabu. Namun, mereka harus segera turun dari ketinggian, di saat suara raungan yang menggetarkan hutan terdengar. "Tempat ini tidak sederhana!" kata Chen Xuan, "Berhati-hatilah, Ling'er! Jangan jauh-jauh dariku!" sambung Chen Xuan, ia pun segera menarik tangan Xiao Ling'er. Xiao Ling'er tak berkata sepatah katapun, ia hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Tidak ada kata lain yang dapat menjelaskan Xiao Ling'er saat itu, dalam hatinya, ia hanya merasa bahagia. Tidak perduli suasana apapun yang tengah terjadi, selama ia bersama dengan Chen Xuan, hanya kebahagiaan dan rasa senang yang dapat menggambarkan perasaannya. Seolah-olah, rasa takut, cemas, itu telah lama mati. Chen Xuan pun berjalan memegang tangan Xiao Ling'er yang berjalan di belakangnya. Mereka pun menyusuri hutan, langkah mereka sangat begitu berhati-hati, pandangan Chen Xuan dan juga Xiao Ling'er tidak
Sangkar bunga kristal perlahan memudar. Terlihat Xiao Ling'er yang masih tertidur di atas tubuh Chen Xuan, tetapi pakaiannya masih berantakan. Setelah satu malam mereka melakukan itu, akhirnya pagi hari pun tiba. Chen Xuan nampak tengah mengelus-elus halus rambut hitam Xiao Ling'er yang lurus. "Dasar gadis bodoh!" kata Chen Xuan, tetapi ekspresi wajahnya terlihat bahagia. Ternyata, Xiao Ling'er juga telah bangun. Tetapi ia tidak ingin melepaskan dekapannya terhadap Chen Xuan, bahkan sedikitpun tidak ingin. Ia terus memejamkan matanya, kedua tangannya melilit tubuh Chen Xuan seperti ular. Tapi yang lebih menggodanya, kedua belahan puncak kembarnya yang tertekan di antara dada Chen Xuan. itu benar-benar sempurna. "Ling'er! Bangunlah! Kita harus melanjutkan perjalanan! ucap Chen Xuan, berbisik di telinganya. Akhirnya Xiao Ling'er pun terbangun. Ia pun tersenyum ketika kedua matanya perlahan terbuka, ia menyaksikan Chen Xuan yang nampak sangat senang saat itu. Saat itu, di pagi
Saat itu, Chen Xuan bersama Xiao Ling'er pun tiba di tepi sungai. Tetapi seluruh air di sungai sangat begitu aneh, di mana air itu berwarna merah seperti darah. Beberapa kali Xiao Ling'er memastikannya, tetapi di saat ia mencelupkan sebelah tangannya ke dalam air, itu benar-benar darah, bahkan bau amis darah segar masih begitu pekat. "Ini benar-benar darah!" kata Xiao Ling'er, rendah. "Berhati-hatilah, kita harus selalu waspada, Ling'er. Biar bagaimanapun, tempat ini adalah Medan Perang Kuno!" ujar Chen Xuan. Di saat ia berbicara, ia berjalan ke depan, melihat sebuah bukit kelabu di kejauhan. "Ling'er! Bagaimana kondisimu?" Chen Xuan bertanya, tetapi ia tak berani menatap Xiao Ling'er, melainkan berdiri di depannya dengan tubuh yang membelakangi Xiao Ling'er. Xiao Ling'er pun berjalan anggun, hingga ia pun berdiri bersisian di samping Chen Xuan. Dengan cepat Xiao Ling'er pun menggandeng tangan Chen Xuan. Dan ia pun berbicara. "Lumayan, hanya perlu sedikit waktu lagi untuk mem
"Ternyata wanita itu seorang praktisi Raja Tempur bintang 5," Ucap Lan Huo, terkejut. Kedua matanya terbelalak menatap Xiao Ling'er yang tengah berjalan ke depan dengan perlahan. "Li— Ling'er!" panggil Chen Xuan. Sebelah tangannya terangkat, tak ingin Xiao Ling'er mengambil langkah itu. Namun Xiao Ling'er sedikit memalingkan wajah, menoleh ke arah Chen Xuan, ia pun tersenyum tipis lalu berkata, "Tenang saja! Kekasihmu ini bukanlah wanita yang lemah!" ucap Xiao Ling'er, segaris senyuman masih menggantung. Tanpa sadar, Chen Xuan melupakan bara dendam yang membakar dada. Dia menghela nafas panjang, kemudian berbicara, "Selesaikan dengan cepat, Ling'er!" Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Chen Xuan, seolah-olah semangat api pertempuran tiba-tiba berkobar begitu hebat. Xiao Ling'er yang diliputi oleh semangat pertarungan, ia pun segera mengibaskan pedangnya. Dari kibasan pedang itu, membuat duri, duri, kristal es bermunculan, mengeluarkan suara, "Krak! Krak! Krak!" Segera Xiao Li
"Apa maksudnya ini, Xuan?" tanya Bai Shan, sangat begitu kaget. Kedua matanya terbuka lebar-lebar, menatap Chen Xuan dengan penuh rasa bingung. Hua Yun berjalan pelan, setiap langkahnya ragu, satu tangannya terangkat seolah-olah ingin menggapai sesuatu. Dengan raut wajah yang bersedih, Hua Yun pun berbicara, "A— adik! Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi sebenarnya, kenapa kamu berubah seperti ini?" tanya Hua Yun, air matanya menumpuk di pelupuk matanya. "Kau ... jangan pernah memanggilku dengan sebutan itu lagi!" sahut Chen Xuan dengan nadanya yang sangat dingin. Bahkan ia menunjuk Hua Yun menggunakan pedangnya tanpa ragu. Sikap Chen Xuan membuat Hua Yun sangat begitu bersedih. Bayang-bayang masa lalu kembali terlintas di pikirannya, di mana saat itu Chen Xuan sangat begitu dekat dengan Hua Yun, bahkan seperti seekor anak ayam yang tak ingin lepas dari induknya. Namun, kedekatan itu tidak disadari oleh Hua Yun, bahwa perasaan Chen Xuan terhadapnya berbeda dengan perasaannya terh
"Adik, akhirnya aku menemukanmu!" Hua Yun berbicara sembari menggambar ekspresi wajah bahagia, tetapi ia juga bersedih. Kedua tangannya di kecup di depan perut, kedua matanya sembab, air matanya menumpuk di pelupuk matanya. Namun, Chen Xuan tetap terdiam tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutnya untuk menjawab Hua Yun. "Adik junior! Syukurlah kau selamat dari kejadian saat itu!" ujar Chu Hao. Satu tangannya terangkat menengah, ia ingin sekali merangkul adik seperguruannya, tetapi dalam hati ia merasa canggung. Chu Hao menyadari bahwa sikap adik seperguruannya tidak sama seperti yang sebelumnya. Tudung jubah hitam bergerak. Di dalam tudung, Chen Xuan menoleh, tetapi tidak terlihat oleh siapapun. Sembari mengibaskan jubah hitamnya, Chen Xuan berjalan, tetapi mulutnya berbicara, "Aku tidak mengenal kalian!" katanya dengan nada yang sangat dingin. Hua Yun, Chu Hao, Bai Shan, dan sisa-sisa murid sekte Awan Biru yang tersisa tak lebih dari tiga puluh orang. Mereka semua ter