Malam semakin larut. Pasukan Xu Jian mendapati diri mereka sangat kewalahan. Serangan oleh pasukan gerilya Cao Yun datang dan pergi bagaikan sekumpulan lalat pengganggu.
Mereka melancarkan serangan panah dari dalam lebatnya hutan yang gelap. Begitu dikejar mereka menghilang bak hantu. Ini karena tiap-tiap kelompok pasukan itu hanya terdiri dari 5-10 orang. Serangan bisa datang dari mana saja dan tanpa mengenal waktu. Hanya dalam waktu satu jam, pasukan Xu Jian sudah menderita kekalahan 100 orang lebih. * Tenda utama pasukan Xu Jian berdiri kokoh di tengah perkemahan. Obor-obor menyala di sekelilingnya, menebar cahaya kekuningan yang menari di atas kain hitam. Di dalam tenda itu, sebuah meja besar dikelilingi para perwira, penuh dengan peta dan laporan medan peperangan yang sedang berlangsung. Xu Jian duduk di kursi tinggi, punggungnya tegap, jari-jari tangannya mengetuk perlahan pada gagang tombak yang bersandar di samping. Di tengah pipinya yang cekung, ada sorot mata yang menatap dingin, seakan menembus gulungan peta di hadapannya. Seorang perwira menunjuk ke arah jalur hutan pada peta. “Jenderal, pasukan Cao Yun membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka menyerang secara bergantian, memukul lalu menghilang. Jika kita terus mengejar, prajurit kita bisa terpecah.” Perwira lain menimpali, wajahnya masih pucat. “Apakah kita akan terus terjebak dengan cara kotor itu? Bukankah lebih baik memancing mereka keluar, lalu menghabisinya?” Xu Jian terdiam beberapa saat, lalu menatap mereka satu per satu. “Cao Yun bukan musuh yang bisa dipancing dengan cara biasa. Jika kalian terus melihatnya sebagai pecundang pengecut, kalian sendiri yang akan menerima akibatnya.” "Jangan terpancing irama lawan!" suara Xu Jian menghentak. Keheningan menekan seisi tenda. Beberapa perwira menunduk dalam-dalam, sadar kata-kata itu bukan sekadar teguran, melainkan peringatan. Xu Jian lalu berdiri, mantel hitamnya bergeser menyentuh lantai. Dengan suara datar ia memutuskan: “Formasi tetap rapat. Kirim pasukan kecil saja yang akan mengejar pasukan gerilya mereka. Berhenti mengejar jika mereka masuk terlalu dalam!" "Kita tidak pelu berpencar. Dan malam ini, kirimkan pasukan pemburu khusus. Aku ingin markas Cao Yun ditemukan, bagaimanapun caranya!” "Segera laksanakan!" Perwira-perwira itu menunduk patuh. Di luar tenda, suara genderang malam terdengar berat, seakan ikut mengiringi tekad sang Jenderal. * Malam merambat sunyi ketika sekelompok pengintai Xu Jian merayap di lereng berbatu. Nafas mereka tertahan. Mereka melangkah sehalus mungkin, hingga akhirnya mereka tiba di bawah sebuah tebing menjulang. Dari atas, samar-samar terlihat bayangan tenda, panji-panji berkibar, dan cahaya api unggun kecil berkelip tertiup angin. Salah seorang pengintai berbisik, suaranya hampir tak terdengar. “Markas Cao Yun …, ada di atas sana.” Mereka saling bertukar pandang, lalu segera bergegas turun, meninggalkan tebing itu tanpa menimbulkan suara. Tak lama kemudian, di dalam kemah besar Xu Jian, seorang anggota pasukan pengintai sudah berlutut memberi laporan. Xu Jian duduk di kursi utama, tangannya mengetuk-ngetuk gagang pedang. Tatapannya tajam menyambar setiap kata yang keluar. “Jadi benar …, Cao Yun bersembunyi di atas tebing itu?” suaranya rendah, tapi mengandung bara. “Benar, Jenderal,” jawab salah seorang pengintai, menunduk dalam-dalam. “Kami melihat tanda-tanda tenda dan panji. Tidak mungkin salah. Kami yakin markas musuh terletak di tebing itu.” Ruangan mendadak hening. Beberapa perwira saling pandang, sebagian tersenyum yakin. Xu Jian akhirnya bangkit, mantel hitamnya bergoyang diterpa angin malam yang masuk dari celah pintu kemah. “Bagus.” Ia menoleh pada para perwiranya. “Siapkan seluruh pasukan. Kita serang malam ini juga. Biarkan Cao Yun terkepung di sarangnya!" "Besok pagi, aku ingin kepalanya tergantung di depan perkemahan ini!” Para perwira menunduk serempak. “Siap, Jenderal!” Tidak lama berselang seorang perwira kembali datang terburu-buru. Dia hanya melangkah cepat ke samping Xu Jian dan membisikkan sesuatu di telinganya. "Cepat ambilkan peta!" perintah Xu Jian menanggapi info yang barusan diterimanya. Untuk sejenak Xu Jian terdiam melihat peta teraebut. Para perwira sekelilingnya hanya berbisik-bisik. "Bawa lima ratus orang pasukan, segera menuju tempat ini!" Perintah Xu Jian pada perwira yang berbisik tadi. Titik yang ditunjuk Xu Jian adalah sebuah daerah di wilayah utara. "Hahah ..!" Xu Jian menyeringai tipis, suaranya dingin. “Cao Yun …, mari kita akhiri permainanmu.” * Kabut malam turun perlahan ketika pasukan Xu Jian mulai menyerang tebing. Dipimpin seorang perwira gagah, ribuan prajurit mendekat bagaikan ombak hitam, obor mereka berkobar di kegelapan. Di atas sana, lima puluh prajurit Cao Yun sudah menunggu. Wajah mereka pucat oleh dingin, namun mata menyala penuh tekad. Sang komandan kecil mengangkat tangan, memberi aba-aba. “Panah siap!” Anak-anak panah menukik deras dari ketinggian, meluncur seperti hujan bintang. Barisan terdepan pasukan Xu Jian porak-poranda, tubuh mereka berjatuhan menutup tanah berbatu. Namun gelombang berikutnya terus maju, tak gentar oleh jatuhnya rekan-rekan mereka. “Dorong kayu!” Serentak, beberapa prajurit mendorong gelondongan kayu yang sudah dipersiapkan sejak siang. Gulungan raksasa itu meluncur ke bawah, menghantam lereng. Suaranya bergemuruh, menghancurkan formasi pendaki. Teriakan bergema, tubuh-tubuh remuk tergilas. Tapi jumlah musuh tak terbendung. Meskipun puluhan tewas, ribuan lainnya tetap mendaki. Tali-tali dilempar ke atas, cakar besi mencengkeram batu. Mereka naik setahap demi setahap, meski panah hujan tiada henti. Para prajurit Cao Yun bertahan mati-matian. Panah terakhir dilepaskan, pedang terhunus, bahkan batu-batu besar dijatuhkan untuk menahan gelombang para pendaki. Kelelahan mulai menggerogoti mereka. “Ada yang naik!” teriak seorang prajurit, berusaha menebas musuh yang berhasil memanjat. Denting senjata berbunyi nyaring, jeritan bercampur pekik semangat. Namun, jumlah musuh terlalu banyak. Lambat laun, pasukan Xu Jian berhasil merebut puncak. "Sudah cukup! Ayo kita melarikan diri!" perintah sang komandan. Tubuh lima puluh prajurit Cao Yun berlarian dan berpencar-pencar masuk ke dalam hutan dan menghilang tanpa bekas seperti menyatu dalam kabut malam. Ketika akhirnya pasukan menguasai puncak, yang tersisa hanyalah tenda-tenda kosong. Juga Api unggun yang tinggal bara. Senjata dan perlengkapan sengaja ditinggalkan, seakan mengejek pasukan yang baru saja mengorbankan puluhan anggotanya. Seorang Perwira Xu Jian hanya bisa melongo dengan mulut ternganga, wajahnya merah padam. “Ke mana mereka?! Bagaimana mungkin markas sebesar ini kosong?” Hening menyelimuti puncak tebing, hanya disertai desir angin malam yang membawa bau darah. Sementara jauh di sana, di balik kabut gelap, langkah-langkah cepat Jenderal Cao Yun beserta 20 orang anggota pasukan Serigala Hitam sudah bergerak menuju sasaran sebenarnya. Jantung pasukan Xu Jian. ***** Bersambung“Mei Lan! Seranganmu terlalu dangkal!” teriak Cao Yun sambil menahan gempuran pedang naga Shen Liang yang hampir merobek pundaknya. Suara benturan logam menggema keras, percikan cahaya Qi liar beterbangan ke udara. Formasi Bintang bukan hanya soal posisi. Itu tarian maut, di mana tiap langkah dan tiap tebasan harus seirama, setara, tanpa keraguan sedikit pun. Satu orang goyah, seluruh formasi bisa runtuh. Mei Lan menggertakkan giginya. Dadanya naik-turun, keringat bercampur darah menetes dari pelipis. Dirinya sadar jenderal Cao Yun benar. Belatinya terlalu ringan, terlalu hati-hati. Ada keraguan di tangannya setiap kali bilahnya hampir menusuk tubuh Shen Liang. “Maaf, Jenderal…” suaranya nyaris tak terdengar, tapi sorot matanya mulai mengeras. Cao Yun menekan pedangnya, lalu berteriak lantang: “Serigala! Serang!” Wu Ling dan Wu Lan langsung melesat bagai bayangan hitam. Wu Ling menusuk dengan pedang pendeknya beruntun, kilatan baja berdesir seperti hujan rintik. Wu Lan
Mo Tian menatap tajam pedang pusaka berkepala naga itu. Jemarinya yang kurus tapi bertenaga menyentuh permukaan bilahnya, seakan mencoba membaca jejak waktu dari dingin logam tersebut.“Sejak kapan Pangeran memegang pedang ini?" “Murid tidak tahu pasti, Guru. Hamba hanya melihat pedang itu selalu ada di sisinya.”Mei Lan ikut menyambung, “Seingatku… sejak hari aku pertama kali menemuinya.""Saat itu istana sudah dilalap api kudeta. Pangeran Shen Liang lolos dengan luka-luka parah, tapi pedang ini tergenggam erat di tangannya. Sejak hari itu, pedang ini tak pernah lepas darinya.”Mo Tian mengangguk tipis, seolah-olah jawaban itu meneguhkan kecurigaannya. Matanya memicing menatap Shen Liang yang terbaring, lalu kembali pada bilah pusaka yang memantulkan cahaya temaram gua.“Qi Liar ini memang telah berakar dalam tubuhnya,” gumamnya pelan, “namun terasa baru". "Biasanya Qi yang berakar sudah bersemayam puluhan bahkan ratusan tahun dalam garis darah pemiliknya. Tapi kasus Pangeran ini b
Wu Ling hanya terdiam, keringat dingin merembes di pelipisnya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya: apakah sosok di depan mereka punya lebih dari satu wujud? Atau suara di luar tadi hanyalah dari kekuatan anehnya?Kalau ternyata itu memang kekuatannya, orang tua di hadapan mereka ini, tentu tak terukur kesaktiannya.Sosok tua berjubah putih itu membuka matanya perlahan. Sepasang mata yang jernih, setenang dan sedalam danau gunung, menatap mereka semua. Dalam tatapan itu, Wu bersaudara dan Mei Lan merasa seperti seluruh tubuh mereka bisa dibaca hingga ke tulang.Hening menekan. Hanya suara gemericik air terjun kecil yang mengisi udara.Cao Yun melangkah maju, lalu berlutut kembali dengan kedua tangan merapat di depan dada. Suaranya dalam, seperti penuh penyesalan.“Guru, murid menghaturkan beribu maaf karena telah berani melanggar perintahmu. Guru sudah melarangku menginjakkan kaki di gunung ini lagi … tapi keadaan memaksa. Murid merasa tak punya pilihan lain.”Orang tua berjubah putih i
"Justru karena di sini berbahaya, maka tempat ini paling aman untuk bersembunyi," jawab Cao Yun pada Wu Lan dengan pandangan berbinar."Lagipula, kaliankan Pasukan Serigala yang bergerak bagaikan kilat. Membunuh dengan cepat. Hantu mana yang berani menggangu kalian?""Tch," Wu Lan hanya mendengus singkat mendengar jawaban Jenderal Cao Yun.Tentu saja Wu Lan tak takut dengan manusia. Entah berapa liter darah yang pernah mampir di senjata cakar besinyaTapi kalau lawannya makhluk antah berantah, hantu, dedemit atau semacamnya, bahkan dirinya si ratu Serigala paling buas, tidak yakin kalau cakarnya bisa banyak berguna.Wu Ling dan Mei Lan hanya menahan tawa melihat kontradiksi seorang Perwira Pasukan Serigala Hitam bernama Wu Lan. Kejam, beringas, berdarah dingin tapi takut hantu.Pendakian panjang akhirnya membawa mereka tiba di puncak. Kabut yang tebal perlahan tersibak, menyingkap sebuah dataran luas.Di tengah puncak itu terbentang lapangan alami yang dikelilingi ngarai-ngarai raksas
Seminggu kemudian. Kabut pagi masih menggantung di sekitar desa kecil itu. Embun terasa segar membasahi halaman bambu di belakang rumah Guo Shan. Wu Lan bergerak cepat, cakarnya berkelebat, menyambar ke arah Mei Lan. Tapi Serigala Kecil itu memiringkan tubuhnya lincah, kaki kirinya menjejak tanah dan tubuhnya berputar, menangkis serangan dengan kedua belatinya. Trang! Bunyi senjata beradu nyaring. Mei Lan terdorong dua langkah ke belakang, bahunya naik-turun menahan nafas, wajahnya pucat namun matanya bersinar penuh semangat. “Heheh …, belum pulih sepenuhnya, tapi gerakanmu lumayan cepat,” ujar Wu Lan, sudut bibirnya terangkat. Mei Lan mengusap keringat di pelipisnya dan menyeringai tipis. “Aku tidak bisa berlama-lama lemah. Kita masih dalam pengejaran.” Jenderal Cao Yun dan Wu Ling berkelebat muncul dari arah hutan Wu Lan dan Mei Lan serempak langsung menunduk hormat. “Jenderal!” Cao Yun berjalan mendekat, tatapannya menyapu singkat lalu berhenti pada wajah Mei Lan.
Shen… Liang…” suara Mei Lan yang lemah menembus kabut darah dan kegilaan. “Shen Liang…” Mei Lan melangkah terseok-seok dan perlahan, menembus lingkaran para pasukan Serigala Hitam menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan tiba-tiba datang menghadang, di depan “Oi, Mei Lan! Kau mau bunuh diri, ya?!” Tapi Mei Lan nampak tidak peduli. Dia terus saja berjalan menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan berniat memukul tengkuk Mei Lan untuk membuatnya pingsan. Tapi Jenderal Cao Yun tiba-tiba bersuara. "Biarkan dia!" Tanpa mereka sadari Sang Jenderal juga sudah muncul di arena pertarungan. Pandangan matanya berbinar dengan sorot mata yang bening saat melihat Mei Lan yang semakin mendekat ke arah Shen Liang. Jenderal Cao Yun seakan-akan menikmati sebuah pertunjukan. Wu bersaudara saling menatap. Para pasukan Serigala Hitam siaga penuh. Karena bila Si Pangeran Gila kembali mengamuk, mereka sudah siap menyerang dengan Formasi Bintang Sembilan. Juga, sebisa mungkin mereka harus berusaha menyelamatka