Home / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / 66. Api dan Bayangan

Share

66. Api dan Bayangan

last update Last Updated: 2025-04-15 21:58:45

Malam sudah turun sempurna ketika Kael dan Arsel menyusup ke tepian desa Arvind. Api dari ladang yang dibakar para bandit menyala redup di kejauhan, cukup untuk membuat siluet musuh terlihat… dan cukup untuk menyembunyikan dua sosok dalam bayang-bayangnya.

“Jangan langsung menyerang,” bisik Arsel. “Kita belum tahu berapa banyak dari mereka.”

Kael mengangguk. Mereka melangkah pelan di antara rumah-rumah yang hangus. Bau kayu terbakar dan hembusan angin malam menyatu dengan suara teredam tawa kasar para bandit di kejauhan. Beberapa penduduk terlihat diikat di depan balai desa. Tak ada penjaga yang terlalu waspada. Mereka terlalu percaya diri.

“Mereka bukan hanya bandit… lihat simbol itu.”

Arsel menunjuk salah satu bendera kecil yang tertancap di tanah—gambar ular berlingkar pada tengkorak.

“Kelompok pemburu sihir. Mereka pernah muncul di perbatasan barat.”

Kael merapat ke dinding. Pandangannya tajam.

“Berarti kita tidak boleh sembarangan. Kalau salah langkah, warga bisa jadi sande
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Naga   91. Pilihan Takdir

    Kael dan Arsel berdiri diam di atas batu hitam besar, jauh dari kerumunan. Dari tempat itu, mereka bisa melihat ke bawah—ke lembah Ronvara, tempat Pertandingan Antar Akademi berlangsung.Cahaya dari arena masih menyala samar, meski sebagian telah padam usai babak kedua. Kabut ilusi perlahan surut. Suara sorak telah lama hilang. Yang tersisa hanyalah bekas pertempuran… dan aroma sihir yang belum padam.Arsel menyilangkan tangan, menatap langit. “Kita tak ikut… tapi dunia tetap bergerak. Anak-anak itu bertarung seperti hidup mereka yang jadi taruhannya.”Kael tak menjawab. Tatapannya terkunci pada satu titik—seorang pemuda bertubuh kurus dengan jubah alkemis, tengah membantu temannya berdiri di tengah lapangan puing ilusi.“Zidan,” gumam Kael. “Dia tumbuh cepat. Lebih cepat dari yang kupikir.”Arsel melirik Kael sejenak. “Kau bangga?”Kael menarik napas dalam. “Bukan soal bangga. Aku takut.” Ia menoleh, matanya tajam. “Kalau anak seperti dia harus menanggung beban seberat ini… berapa la

  • Pendekar Pedang Naga   90. Lonceng Kuno

    Kabut terakhir dari kuil keenam belum sepenuhnya menghilang ketika tanah bergetar pelan. Arsel mendongak, menggenggam gagang pedangnya erat. Aura naga di dalam tubuhnya bereaksi—bukan karena musuh, tapi karena sesuatu yang sangat akrab.Dari ujung jalan berbatu yang terbuka perlahan, sosok hitam dengan jubah terbakar di ujungnya muncul, berjalan perlahan namun penuh kepastian. Kael.Tapi bukan Kael yang Arsel kenal dulu.Kini tubuhnya dikelilingi semacam pusaran energi gelap yang tidak liar, tapi teratur. Tatapannya dalam, tapi tidak dingin. Dan di punggungnya—terpahat simbol naga purba dalam cahaya ungu samar.Arsel tak berkata apa pun, hanya menatapnya. Tapi dalam hatinya, ada ribuan kata yang mendesak keluar.Kael berhenti hanya beberapa langkah dari sahabatnya. Ia menatap Arsel dengan senyum kecil—langka, tapi tulus."Aku kembali," katanya pelan. "Dan aku tidak datang untuk mati di kuil ketujuh."Arsel mendengus ringan, nyaris lega. “Kau lambat. Aku hampir mengira kau memutuskan t

  • Pendekar Pedang Naga   89. Kuil Naga

    Mengetahui bahwa kuil keenam akan menguji mereka dengan kehilangan dan pengorbanan, Kael dan Arsel tidak langsung melanjutkan perjalanan. Di sebuah lembah tersembunyi, dikelilingi batu-batu naga yang memancarkan energi purba, mereka memutuskan untuk berlatih—bukan hanya untuk mempertajam teknik, tapi juga untuk menyatukan ritme jiwa dan kekuatan naga masing-masing.Matahari terbit menjadi saksi latihan yang bukan lagi seperti duel biasa. Setiap tebasan Kael membawa nafas kegelapan yang telah ia jinakkan dari kuil kelima. Aura naga hitam menyelimuti pedangnya, namun kini tak lagi liar—melainkan tajam, fokus, dan presisi.Sementara itu, Arsel mulai membangkitkan sisi terdalam dari naga emas dalam dirinya. Ia belajar mengendalikan Cahaya Pemutus Ilusi, teknik rahasia yang muncul saat ia berdamai dengan kemungkinan kehilangan Kael. Cahaya itu bisa menembus tipu daya dan bayangan—sesuatu yang sangat penting menghadapi kuil yang konon menyesatkan hati.Mereka berlatih siang dan malam. Gerak

  • Pendekar Pedang Naga   88. Kekuatan Besar

    Fajar mulai menyentuh pucuk pepohonan ketika Kael dan Arsel duduk bersebelahan di tepian danau. Air tenang memantulkan cahaya lembut, dan embun pagi membuat dunia terasa sejenak damai. Untuk pertama kalinya sejak pertempuran itu, mereka tak merasa diburu.Arsel memandang telapak tangannya, yang masih sedikit bergetar. “Aku… hampir membunuhmu di dalam kuil itu.”Kael menghela napas pelan, matanya menatap air. “Bukan kau yang menyerang. Itu segel Vermarath.”“Tetap saja,” suara Arsel berat. “Kalau aku tak bisa melawan kendali itu, bagaimana nanti kalau ia kembali menguasai?”Kael menoleh, menatap sahabatnya. “Kau melawan pada akhirnya. Kau melindungiku, bahkan saat kau sendiri hampir hilang kendali. Itu cukup bagiku.”Hening sejenak. Hanya suara burung pagi dan riak air.Arsel menyeringai kecil, getir. “Kau selalu percaya pada hal-hal yang bahkan aku ragukan dalam diriku sendiri.”Kael menepuk pundaknya. “Karena kalau kita berhenti percaya satu sama lain, maka Vermarath sudah menang—bah

  • Pendekar Pedang Naga   87. Naga Yang Terpilih

    Begitu tubuh mereka terhempas ke dalam kuil, lantai batu di bawah mereka memancarkan cahaya merah darah. Dinding-dinding yang sebelumnya tampak seperti reruntuhan mulai berdenyut, seolah kuil itu hidup dan menyadari kehadiran mereka.Kael terbatuk, berdiri tertatih. Arsel masih mengacungkan pedang, tapi tubuhnya gemetar—segel di lehernya semakin bersinar, dan dari bayang-bayang altar utama, muncul sosok yang selama ini tersegel: Naga Purba Vermarath, penguasa kehendak dan ilusi.“Dua wadah sempurna,” suara Vermarath menggetarkan udara. “Satu dirasuki amarah, satu diselimuti keraguan. Kalian akan memberiku bentuk baru.”Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka pecah. Pilar-pilar energi muncul, membentuk lingkaran sihir yang berusaha menjerat mereka. Arsel berteriak, tubuhnya melayang dan diserap ke dalam pusaran cahaya—kekuatan naga emas di dalam dirinya sedang dilahap perlahan.Kael melompat, menebas satu pilar energi dengan pedang naga hitamnya. Tapi untuk setiap pilar yang ia hancurkan

  • Pendekar Pedang Naga   86. Bayangan Hitam

    Dengan peta dari altar di tangan Kael, mereka meninggalkan reruntuhan kuil ketiga. Angin lembah membawa aroma tanah basah dan reruntuhan sihir yang perlahan lenyap, namun hati mereka tetap waspada. Kuil keempat tidak berada di permukaan—ia tersembunyi jauh di perut bumi, di sebuah wilayah yang dikenal sebagai Lembah Terlarang, tempat tidak ada kompas sihir yang bisa diandalkan.Hari baru belum mencapai tengah ketika langkah mereka terhenti."Kau dengar itu?" bisik Arsel sambil meraih gagang pedangnya.Kael mengangguk pelan. Udara mendadak menegang. Pepohonan bergoyang meski angin tidak bertiup. Lalu tiba-tiba—sesosok makhluk meluncur turun dari langit, mendarat di hadapan mereka dengan dentuman keras.Tubuhnya tinggi dan ramping, dibalut zirah gelap yang menyerap cahaya. Jubahnya berkibar dengan gerakan lambat seperti asap, dan matanya menyala biru dingin."Kalian telah melangkah terlalu jauh," ucapnya. Suaranya datar, namun mengandung kekuatan yang menekan.Kael melangkah maju, "Siap

  • Pendekar Pedang Naga   85. Pertarungan Tanpa Batas

    Langkah Kael dan Arsel semakin mendekat ke celah batu menjulang itu. Kabut kian menebal, menyelimuti tanah dan memburamkan pandangan. Suasana berubah sunyi—terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada desir angin. Hanya gemerisik langkah kaki mereka di atas tanah lembap.“Tempat ini… terasa berbeda,” gumam Arsel sambil menajamkan pendengaran.Tiba-tiba, bumi bergetar ringan. Kabut di depan mereka terbelah, memperlihatkan sesuatu yang tak mereka duga.Sosok-sosok hitam bermantel merah darah muncul dari balik celah batu. Wajah mereka tersembunyi di balik topeng kayu tua.“Pengikut Bayangan Hitam…” desis Kael, langsung menarik pedang naga hitamnya.Salah satu dari mereka maju selangkah, suaranya berat dan bergaung—seperti gema dari dunia lain.“Kuil ini bukan milik kalian. Yang tak dipilih, harus binasa.”Seketika tanah di sekitar mereka meledak, menciptakan lingkaran api kehijauan yang melingkupi tempat itu. Sebuah jebakan sihir kuno—dan mereka sudah berada di tengahnya.Arsel langs

  • Pendekar Pedang Naga   84. Pencarian Kuil ke empat

    Malam turun perlahan, membawa serta udara dingin yang menyusup di balik lapisan pakaian. Kael dan Arsel duduk bersandar di balik batu besar, jauh dari tempat pertempuran sebelumnya. Api unggun kecil menyala redup di antara mereka, cukup untuk mengusir hawa dingin tapi tidak mencolok di tengah hutan yang gelap.Kael menatap api itu lama, diam. Tangannya masih terasa berat, tapi pikirannya jauh lebih tenang.Arsel menyodorkan kantung air. “Minumlah. Kau hampir kehilangan kesadaran tadi.”Kael menerimanya, lalu tersenyum lelah. “Aku tahu. Tapi kalau saat itu aku ragu, kita sudah mati.”“Kau terlalu sering menanggung semuanya sendiri,” sahut Arsel, menatap Kael dengan mata serius. “Aku ada di sini, Kael. Bukan hanya sebagai penjaga punggungmu. Tapi teman. Saudara.”Kael menghela napas. “Aku tahu… dan mungkin itu yang membuatku bisa bertahan.” Ia menunduk, mengingat bayangan kekuatan hitam, luka di tubuh Arsel, dan musuh yang tak pernah berhenti datang.“Tapi aku tak ingin ka

  • Pendekar Pedang Naga   83. Lembah Arwah

    Lembah Untaian Arwah. Sebuah nama yang hampir tak terdengar lagi dalam peta-peta baru. Namun dalam catatan kuno dan bisikan para penjelajah tua, lembah itu disebut-sebut sebagai tempat di mana jiwa-jiwa yang hilang belum menemukan kedamaian.Kael dan Arsel tiba di tepi lembah menjelang senja. Kabut menggulung perlahan seperti napas makhluk besar yang tidur. Angin berdesir tanpa suara, membawa bau tanah basah dan sesuatu yang asing… seperti dupa lama yang pernah terbakar.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Arsel, menatap ke arah kabut tebal yang menutupi lembah.“Pola simbol di peta dan arah energi yang kurasakan… semuanya menunjuk ke sini,” jawab Kael, tegas. Tapi dalam hatinya, bahkan ia tak sepenuhnya yakin. Satu langkah ke dalam lembah, dan suara dunia luar seperti lenyap. Hening, menyesakkan.Mereka terus berjalan, namun kabut tak menipis—justru semakin padat, seolah menolak kehadiran mereka. Arsel terbatuk. Udara di sini berbeda. Kaki mereka kadang menyentuh tanah padat, ka

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status