Beberapa hari setelah pertemuan dengan Guru Besar, Kael dan Arsel menerima gulungan laporan rahasia. Isinya adalah informasi tentang Kerajaan Virella, salah satu kerajaan kecil di timur yang kini berada di ambang kehancuran.Virella dulunya dikenal sebagai kerajaan damai yang kaya akan pertanian dan seni. Mereka tidak memiliki pasukan militer kuat, tapi bergantung pada aliansi-aliansi lama untuk perlindungan. Namun semua berubah sejak perdana menteri mereka menghilang secara misterius tiga bulan lalu.Kini, Virella berada dalam bayang-bayang. Desa-desa terbakar diam-diam. Tokoh penting satu per satu lenyap. Pasar dan jalur logistik dibajak oleh kelompok tak dikenal.Satu nama mulai beredar di lorong gelap Virella: “Kalajengking Merah.”Dari laporan yang dibaca Kael:“…Kelompok ini tidak menyerang terbuka. Mereka merusak dari dalam. Beberapa pengawal istana telah diketahui menghilang dan kembali dengan sikap yang berbeda. Mata mereka merah. Nafas mereka berat. Mereka bukan orang ya
Malam itu hening, hanya suara dedaunan yang bergoyang tertiup angin. Kael dan Arsel duduk mengelilingi api kecil, bersama pria tua yang kini mulai pulih dari luka dan ketakutan. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan beban besar yang ia simpan selama ini.“Aku dulu penasihat militer,” katanya perlahan. “Tapi ketika kelompok Kalajengking Merah mulai masuk ke istana… aku disingkirkan.”Kael menatapnya tajam. “Siapa mereka sebenarnya? Dan apa hubungan mereka dengan Bayangan Hitam?”Si tua menarik napas panjang, lalu menjawab: “Bayangan Hitam bukan sekadar pasukan. Mereka... hasil dari ritual kuno. Manusia yang tubuhnya diikat dengan energi kegelapan, membuat mereka tak bisa merasa sakit… dan tak bisa berpikir sendiri.”Arsel bergumam, “Itu sebabnya gerakan mereka seperti boneka.”“Mereka dikendalikan,” lanjut si tua, “oleh satu inti—semacam batu sihir yang disebut *Inti Kegelapan*. Selama batu itu tak hancur, Bayangan Hitam akan terus hidup… dan berkembang.”Kael
Pertempuran berlangsung sengit, namun seiring waktu, ritme Kael dan Arsel semakin selaras. Tebasan Kael yang cepat dan gelap menyatu dengan serangan Arsel yang kuat dan berkilau seperti cahaya matahari yang membelah bayang-bayang. Setiap gerakan mereka seperti sudah terlatih sejak lama—mereka saling melindungi, saling membuka celah, dan saling mempercayai tanpa ragu.Musuh yang awalnya bergerak lincah dan mengerikan, kini mulai goyah.Kael melompat tinggi, menebas dari udara, sementara Arsel menyapu tanah dengan putaran pedangnya yang menghancurkan barisan lawan. Satu per satu para penjaga inti sihir runtuh, tubuh mereka pecah menjadi abu dan asap hitam.Saat suara pertempuran berhenti, hanya suara napas mereka yang tersisa.Kael menoleh pada Arsel yang berdiri tak jauh darinya, pedang emasnya masih bersinar hangat. “Kalau kau tak datang, aku mungkin sudah jadi abu di tengah lembah.”Arsel menghela napas sambil tersenyum, “Kalau kau jadi abu, siapa yang akan kuberi pelajaran saat du
Sinar senja mulai memudar di balik barisan pepohonan rimbun yang melindungi perkemahan mereka. Udara terasa dingin, namun bukan hawa malam yang membuat Kael merasa berat. Ia duduk bersandar pada batang pohon tua, memandang jauh ke arah cakrawala yang mulai dilahap kegelapan."Kita udah kumpulin cukup info. Tapi tetap aja… tempat itu bisa jadi jebakan," ucap Kael pelan, matanya tetap menatap lurus seolah sedang mencoba membaca isi kegelapan malam. Dalam pikirannya, peta kuil dan informasi samar tentang pergerakan kelompok Bayangan Hitam terus berputar.Arsel berdiri di dekat api unggun kecil, tangannya sibuk mengasah ujung tombak cadangan. Ia tak langsung menjawab, tapi ketika suaranya terdengar, itu penuh tekad. "Aku tahu. Tapi kalau kita nunggu lebih lama, mereka bisa pindah lagi. Kita harus ambil risiko."Kael menoleh, menatap Arsel dengan sedikit kelelahan. "Kau selalu bicara soal risiko, tapi kadang aku bingung, Kael… kau sebenarnya punya rencana matang, atau kau hanya mengandal
Dengan segenap kekuatan, Kael dan Arsel mengerahkan segala yang mereka miliki. Ruangan tempat ritual berlangsung berubah menjadi medan pertempuran sengit. Api kecil dari ledakan awal masih membakar reruntuhan altar, menciptakan cahaya berkedip yang membuat bayangan menari-nari di dinding batu.Kael maju dengan sigap, menangkis serangan sihir dari salah satu penyihir dengan gerakan pedangnya yang cepat. Meskipun pedang naga hitam belum kembali sepenuhnya, kekuatan sejatinya sudah terasah—tubuhnya bergerak seperti air, mengikuti naluri dan pengalaman yang telah ia tempa selama ini.Di sisi lain, Arsel menebas musuh dengan pedang naga emas yang bersinar terang di tengah gelap. Cahaya dari pedangnya seperti mengusir keputusasaan yang menyelimuti ruangan. Ia tak membiarkan satu pun serangan musuh mengenai Kael—mereka saling menutup celah, saling melindungi.“Kita harus hancurkan simbol utama di tengah ruangan itu!” teriak Kael sambil menunjuk lingkaran sihir berwarna merah gelap di lantai.
Senja hampir merayap ketika Kael dan Arsel akhirnya tiba di gerbang utama Akademi Pedang. Langit berwarna jingga keemasan, seolah menyambut kepulangan dua pendekar muda yang membawa lebih dari sekadar debu perjalanan. Di tangan mereka—dan dalam ingatan mereka—tersimpan serpihan penting tentang ancaman yang lebih besar dari sekadar bandit biasa.Saat mereka turun dari kuda, penjaga gerbang langsung membuka jalan. Salah satu murid senior segera berlari ke dalam, memberi tahu para pengajar bahwa Kael dan Arsel telah kembali.Tak butuh waktu lama sebelum mereka diantar langsung ke ruang Guru Besar.Di ruangan yang tenang dan dingin itu, Kael meletakkan gulungan catatan dan potongan artefak dari kuil yang mereka temukan di atas meja batu.“Ini bukan kuil utama,” ucap Kael. “Tapi cukup untuk memberi gambaran tentang pola gerakan mereka. Ada lebih dari satu tempat yang dipakai kelompok bayangan hitam. Dan… mereka tampaknya sudah merancang jaringan kuil gelap jauh hari sebelumnya.”Guru Besar
Perjalanan mereka dimulai sebelum fajar menyingsing. Hutan di depan membentang seperti rimba mimpi buruk—lebat, sunyi, dan dipenuhi aura tua yang membisikkan kutukan dalam setiap desiran angin. Langkah Kael mantap di depan, sementara Arsel membuntuti dengan tatapan siaga. Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama. Mereka tahu, diam kadang lebih berguna daripada kata-kata.“Masih ingat kuil di utara lembah Kauren?” tanya Arsel akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ranting yang patah di bawah langkah mereka.Kael mengangguk. “Kuil dengan patung yang menangis darah. Aku tak pernah lupa.”“Kuil yang sekarang… lebih tua dari itu. Dan lebih hidup.”Mereka tiba di dataran tinggi menjelang senja, dan di sanalah berdiri kuil itu—tertutup kabut, dindingnya retak tapi tak roboh, seperti makhluk tua yang menolak mati. Pilar-pilar batu menjulang seperti jari raksasa yang hendak mencengkeram langit, dan di antara celah-celahnya, semburat merah samar menyala… seperti nafas dari dalam.Kael
Udara di sana lebih tipis, matahari jarang muncul, dan kabut abadi menyelimuti kaki gunung seperti tirai dari masa lalu yang menolak dibuka. Penduduk desa terdekat menolak menyebutkan nama tempat itu. Mereka menyebutnya hanya dengan satu julukan:“Lubang ingatan.”“Dulu ada desa di atas sana,” ujar seorang tetua sebelum mereka berangkat. “Tapi sekarang, tak ada yang kembali dari atas sana. Kalau kalian tetap naik, bawalah satu sama lain sebagai jaminan. Kalau salah satu hilang, setidaknya yang lain bisa mengingatkan dunia bahwa kalian pernah ada.”Kael tak menjawab, hanya menatap Arsel, dan Arsel membalas tatapannya dengan anggukan. Mereka tahu risikonya. Tapi mereka juga tahu: kuil ini menyimpan kebenaran.Tiga hari naik. Dua hari tanpa cahaya. Dan pada malam keempat, mereka menemukannya.Tidak berdiri megah. Tidak seperti kuil-kuil lain yang menampakkan sisa-sisa kejayaan masa lalu. Kuil ini… terkubur. Dindingnya menyatu dengan akar dan bebatuan. Hanya satu pintu, sempit, dengan u
Langkah Kael dan Arsel semakin mendekat ke celah batu menjulang itu. Kabut kian menebal, menyelimuti tanah dan memburamkan pandangan. Suasana berubah sunyi—terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada desir angin. Hanya gemerisik langkah kaki mereka di atas tanah lembap.“Tempat ini… terasa berbeda,” gumam Arsel sambil menajamkan pendengaran.Tiba-tiba, bumi bergetar ringan. Kabut di depan mereka terbelah, memperlihatkan sesuatu yang tak mereka duga.Sosok-sosok hitam bermantel merah darah muncul dari balik celah batu. Wajah mereka tersembunyi di balik topeng kayu tua.“Pengikut Bayangan Hitam…” desis Kael, langsung menarik pedang naga hitamnya.Salah satu dari mereka maju selangkah, suaranya berat dan bergaung—seperti gema dari dunia lain.“Kuil ini bukan milik kalian. Yang tak dipilih, harus binasa.”Seketika tanah di sekitar mereka meledak, menciptakan lingkaran api kehijauan yang melingkupi tempat itu. Sebuah jebakan sihir kuno—dan mereka sudah berada di tengahnya.Arsel langs
Malam turun perlahan, membawa serta udara dingin yang menyusup di balik lapisan pakaian. Kael dan Arsel duduk bersandar di balik batu besar, jauh dari tempat pertempuran sebelumnya. Api unggun kecil menyala redup di antara mereka, cukup untuk mengusir hawa dingin tapi tidak mencolok di tengah hutan yang gelap.Kael menatap api itu lama, diam. Tangannya masih terasa berat, tapi pikirannya jauh lebih tenang.Arsel menyodorkan kantung air. “Minumlah. Kau hampir kehilangan kesadaran tadi.”Kael menerimanya, lalu tersenyum lelah. “Aku tahu. Tapi kalau saat itu aku ragu, kita sudah mati.”“Kau terlalu sering menanggung semuanya sendiri,” sahut Arsel, menatap Kael dengan mata serius. “Aku ada di sini, Kael. Bukan hanya sebagai penjaga punggungmu. Tapi teman. Saudara.”Kael menghela napas. “Aku tahu… dan mungkin itu yang membuatku bisa bertahan.” Ia menunduk, mengingat bayangan kekuatan hitam, luka di tubuh Arsel, dan musuh yang tak pernah berhenti datang.“Tapi aku tak ingin ka
Lembah Untaian Arwah. Sebuah nama yang hampir tak terdengar lagi dalam peta-peta baru. Namun dalam catatan kuno dan bisikan para penjelajah tua, lembah itu disebut-sebut sebagai tempat di mana jiwa-jiwa yang hilang belum menemukan kedamaian.Kael dan Arsel tiba di tepi lembah menjelang senja. Kabut menggulung perlahan seperti napas makhluk besar yang tidur. Angin berdesir tanpa suara, membawa bau tanah basah dan sesuatu yang asing… seperti dupa lama yang pernah terbakar.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Arsel, menatap ke arah kabut tebal yang menutupi lembah.“Pola simbol di peta dan arah energi yang kurasakan… semuanya menunjuk ke sini,” jawab Kael, tegas. Tapi dalam hatinya, bahkan ia tak sepenuhnya yakin. Satu langkah ke dalam lembah, dan suara dunia luar seperti lenyap. Hening, menyesakkan.Mereka terus berjalan, namun kabut tak menipis—justru semakin padat, seolah menolak kehadiran mereka. Arsel terbatuk. Udara di sini berbeda. Kaki mereka kadang menyentuh tanah padat, ka
Asap dan debu perlahan mereda. Kael berdiri di tengah kawah kecil yang tercipta akibat benturan dahsyat tadi. Nafasnya masih berat, tapi sorot matanya tak bergeming.Di seberang sana, sang petinggi Kalajengking Merah terhuyung-huyung. Tubuhnya dipenuhi luka, jubah merahnya hangus terbakar di beberapa bagian. Wajahnya menegang—tak percaya telah dipukul mundur oleh Kael."Bocah sialan..." desisnya, sambil mengangkat kristal kecil dari dalam jubahnya. "Kau… akan menyesali ini. Kau telah menunjukkan terlalu banyak."Seketika, energi kegelapan mengelilingi tubuhnya, menciptakan lorong bayangan.“Tunggu!” Kael melangkah maju, mencoba menghentikannya. Tapi energi itu terlalu cepat.“Kita akan bertemu lagi… dan saat itu, kau takkan berdiri lagi.” Dengan kata terakhirnya, sosok sang petinggi lenyap ke dalam kegelapan, meninggalkan bekas hangus di tanah.Kael berdiri diam, menatap tempat musuh itu menghilang. Arsel menghampiri, tertatih namun masih tegar.“Kau menahan diri, ya?” tanya
Malam mulai menyelimuti kota, tapi Kael dan Arsel belum berhenti bergerak. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain—kedai tua, rumah penyimpan barang antik, bahkan berbincang dengan pengemis tua yang katanya pernah melihat "pintu batu yang menelan cahaya".Namun, semuanya masih kabur. Tak ada satu pun informasi yang benar-benar mengarah pada kuil tersembunyi yang mereka cari.Kael duduk di tepi pancuran batu di alun-alun kecil, pandangannya kosong menatap air yang tenang. “Terlalu rapi,” gumamnya. “Seolah kuil itu disembunyikan bukan hanya oleh waktu, tapi oleh kehendak.”Arsel berdiri tak jauh, bersandar pada tiang kayu. "Mungkin memang begitu. Kuil ini… bukan untuk ditemukan dengan mudah."Kael menarik napas dalam-dalam. Ia membuka kembali gulungan peta tua yang ia temukan di kios tadi pagi. Tak ada tanda kuil, tapi bentuk jalan-jalan di bagian barat kota… aneh. Melingkar, seakan memutari sesuatu. Sesuatu yang tak tergambar di peta."Lihat ini," katanya pada Arsel,
Keesokan paginya, Kael dan Arsel bergerak cepat. Mereka berpisah di dalam kota, saling menyamar sebagai pelancong biasa. Target mereka jelas: mencari jejak tentang kuil berikutnya.Kael masuk ke beberapa kios tua di pasar belakang. Ia pura-pura mengamati gulungan peta dan perhiasan antik, sambil mendengarkan percakapan orang-orang."Kau dengar soal reruntuhan di sebelah utara?" bisik seorang pedagang tua pada temannya. "Katanya, tanahnya retak sendiri… ada sesuatu yang terbangun di bawahnya."Kael mencatatnya dalam pikirannya. Reruntuhan di utara—mungkin itu kuil keempat.Sementara itu, Arsel berbicara dengan pemilik kedai. Mencoba mengorek informasi dengan santai, seolah sekadar penasaran tentang legenda lokal. Tapi saat Arsel menyebut "reruntuhan," wajah pemilik kedai itu mendadak kaku."Kau sebaiknya menjauh dari sana," katanya. "Banyak yang pergi… tak ada yang kembali."Arsel hanya tersenyum tipis, membayar minuman, lalu pergi.Mereka bertemu kembali di sudut pasar, sali
Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han
Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu
Pagi berikutnya disambut kabut tipis dan embun yang menempel di dedaunan. Kael sudah bangun lebih dulu, duduk di beranda sambil menulis ulang potongan peta yang ia susun dari berbagai informasi. Arsel datang membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di sebelah Kael.“Kukira istirahatmu cukup,” kata Arsel dengan nada menggoda.Kael hanya mengangguk singkat. “Cukup untuk mengingat sesuatu.”Ia membuka halaman catatan yang sebelumnya tampak acak. Tapi pagi ini, pikirannya terasa jernih. Ada satu simbol yang terus muncul di berbagai cerita rakyat, potongan peta, bahkan di tembok kuil ketiga yang mereka hancurkan: seekor burung yang menggenggam bulan.“Burung Bulan,” Kael menggumam. “Itu bukan nama kuil. Tapi bisa jadi nama penjaganya… atau pelindung lokasi kuil.”Arsel mengernyit. “Burung bulan? Aku pernah dengar itu. Dari seorang pengelana tua. Ia bilang pernah melihat patung itu di tebing patah, arah barat laut dari sini.”Tebing Patah. Nama itu menggema dalam ingatan Kael. Se