Beberapa bulan telah berlalu sejak Lembah Kembar kembali tenang. Tidak ada lagi pasukan bayangan yang berkeliaran di perbatasan. Tidak ada lagi langit hitam yang mengancam kota-kota. Dunia perlahan belajar bernapas kembali, dan dalam nafas itu… Kael memilih untuk menjauh dari semua hiruk pikuk kekuasaan.Ia tidak tinggal di istana. Tidak pula memimpin pasukan atau menerima gelar kehormatan.Sebaliknya, Kael kembali ke sebuah desa kecil di lereng gunung utara—Desa Elwind, tempat ibunya pernah menanam ladang lavender di musim semi. Tempat yang dulu terasa terlalu sunyi untuk seorang pejuang… kini terasa seperti satu-satunya tempat yang layak disebut “pulang”.--- Hidup BaruKael membeli sebuah rumah kayu tua yang hampir runtuh di ujung jalan berkelok desa. Ia memperbaikinya sendiri. Paku demi paku, atap demi atap. Tangannya masih terasa lemah, tapi hatinya menguat dari hari ke hari.Setiap pagi, ia bangun sebelum matahari terbit. Ia menyiram kebun kecil di belakang rumah, menanam herba
Lembah Kembar mengerang dalam keheningan yang menyesakkan. Dua sisi tebing curam berdiri seperti penjaga bisu, menyaksikan benturan takdir yang akan datang. Langit menghitam, dan angin membawa aroma besi dan hujan.Kael, dengan jubah gelap dan mata setajam obsidian, melangkah perlahan ke tengah medan. Gelap Raga, pedang naga hitam, menggantung di punggungnya, berdenyut pelan seperti makhluk hidup yang sedang menahan lapar.Di seberangnya, Ravon, Jenderal Bayangan dan mantan pelindung kerajaan, berdiri dengan tombak bermata dua yang bersinar ungu gelap. Tubuhnya dibalut zirah bersimbah sihir kegelapan.“Sudah lama,” kata Ravon, suaranya datar. “Aku menunggumu di sini. Kukira kau akan mati dalam pemurnian.”Kael tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan saat membuka matanya kembali, cahaya naga hitam menyala samar di balik bola matanya.“Aku sudah mati sekali,” bisik Kael. “Yang berdiri di sini… adalah kehendak yang tidak kau kenal.”Petir menyambar — dan me
Hujan turun deras, menghantam atap dan tanah dengan suara seperti denting ribuan panah. Di tengah halaman istana yang sepi, Kael berdiri dengan mantel hitamnya yang basah kuyup, matanya menatap tajam ke arah sosok yang baru saja muncul dari bayang-bayang.Arsel.Sahabatnya. Pengkhianatnya.“Berani juga kau datang,” suara Kael serak, bukan karena cuaca, tapi karena amarah yang sudah lama membara.Arsel berjalan perlahan, tanpa pedang, hanya membawa kata-kata.“Aku tidak datang untuk bertarung, Kael.”“Tapi aku datang untuk membalas,” sahut Kael dingin.Kilatan petir menyambar langit. Dan di saat itulah pedang naga hitam Kael muncul di tangannya, seperti menjawab panggilan darahnya sendiri.Arsel mengangkat tangan. “Apa kau pikir aku yang menjebakmu di Benteng Suda? Kau tahu siapa dalangnya.”“Cukup! Kau diam saat aku dipenjara! Kau diam saat mereka menyiksa murid-muridku! Itu lebih buruk daripada pengkhianatan!”Kael melompat ke depan, pedangnya menebas udara. Arsel berguling menghinda
Pasukan kerajaan tiba di medan perang dengan kemegahan yang menggetarkan bumi. Barisan rapi dengan bendera berkibar tinggi, sorak sorai prajurit, dan sihir pelindung yang menyelimuti langit. Cahaya seolah kembali menyinari ladang kehancuran.Arsel berdiri di barisan depan bersama Kael, mengamati betapa besarnya kekuatan kerajaan. Untuk sesaat, harapan muncul kembali.Namun harapan itu hanya ilusi.Malam itu, saat tenda-tenda didirikan dan pasukan beristirahat, Arsel dipanggil ke tenda komando oleh Jenderal Taris, tangan kanan Kaisar. Di sana, bukan strategi pertempuran yang dibicarakan, melainkan rencana yang mengejutkan.“Arsel,” kata Taris, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Kaisar telah membuat kesepakatan. Kita tidak akan melawan Dorian.”Arsel menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”“Kaisar tahu kekuatan para naga tak bisa dimenangkan dengan kekuatan biasa. Jadi, dia memilih untuk bernegosiasi. Sebagian wilayah akan diserahkan. Sebagai gantinya, kerajaan akan dibiarkan utuh... dan a
Asap mengepul membumbung tinggi ke langit kelam, membungkus medan pertempuran dengan aroma hangus dan getir. Kael berdiri sendiri, tubuhnya penuh luka dan napasnya kian berat. Di hadapannya, kegelapan menjelma dalam wujud pasukan bayangan yang tak kenal lelah, terus merangsek maju. Suara denting logam telah lama pudar, tergantikan oleh jeritan dan derak reruntuhan.Pasukan yang bersamanya telah tumbang satu per satu, meninggalkan jejak darah dan bisu yang menggantung di udara. Kael berjuang sendirian kini—tanpa bala bantuan, tanpa kabar dari Arsel. Di setiap detik yang berlalu, harapannya mulai merapuh.Cahaya dari pedang naga hitamnya mulai redup, seolah kehabisan tenaga, tak lagi menyala dengan kemarahan seperti sebelumnya. Kael menggenggamnya erat, namun ia tahu: kekuatan itu hampir habis. Dan tanpa kekuatan itu, ia bukan tandingan kegelapan yang berdiri di hadapannya."Arsel... di mana kau?" bisiknya lirih, hampir tak terdengar di tengah riuhnya kehancuran.Langit menggelap sepenu
Zaren membuka mata. Di sekelilingnya, hamparan kaca mengambang di udara seperti pecahan mimpi yang belum selesai. Setiap kaca menampilkan potongan masa lalu: wajah-wajah yang ia khianati, kota-kota yang ia biarkan jatuh, dan senyum-senyum yang berubah menjadi jerit.Ia berdiri di tengah lingkaran kenangan. Udara dingin menusuk, tapi bukan karena suhu—melainkan rasa bersalah yang menggantung di setiap napas.“Sudah lama, Zaren.”Suara itu keluar dari balik pantulan. Sosok yang muncul bukan siapa-siapa… selain dirinya sendiri. Tapi versi yang berbeda—lebih muda, lebih ambisius, dan lebih haus kuasa. Jubahnya masih bersih. Matanya memancarkan keyakinan yang dulu pernah Zaren miliki.“Kau lupa untuk apa kita dulu memulai?” tanya bayangan Zaren.“Kita ingin meruntuhkan sistem bobrok. Kita ingin kekuatan agar tak lagi dibodohi para penguasa.”Zaren menggeleng perlahan. “Dan dalam jalan menuju kekuatan itu… kita menghancurkan lebih banyak jiwa dari yang kita selamatkan.”Bayangan Zaren terta