Share

Bab 5. Istana Buaya Putih

Sepintas, jika dilihat dari atas tebing, lubuk tengkorak sama dengan lubuk-lubuk yang ada di sungai-sungai besar lainnya.

Permukaan airnya juga tenang dan lebih dalam tentunya sulit untuk melihat dasarnya. Terlebih, sungai itu saat ini keruh akibat hujan lebat di hulu yang membuat sungai itu makin besar.

Di atas permukaan lubuk itu, sesekali juga terlihat pusaran dan gelembung-gelembung air yang berasal dari dasar.

Sejauh ini, memang tak ada seorangpun yang berani melewati lubuk itu menggunakan rakit atau juga perahu karena di samping ada pusaran air yang secara tiba-tiba muncul dapat menyedot benda apa saja di atasnya lubuk itu juga terlihat angker.

Terlebih, semua warga Desa Serayu mengetahui jika di lubuk tengkorak itu terdapat Ratu Siluman Buaya Putih yang kerap meneror mereka.

Para warga yang juga bermata pencarian mencari ikan di sungai itu, lantas memilih lokasi penangkapan jauh dari lubuk sekitar satu kilometer jaraknya di atas atau di hilir lubuk tengkorak.

Ajaibnya, meskipun lubuk tengkorak itu terlihat keruh di permukaannya ketika air sungai lebih besar saat hujan lebat di hulu, tetapi sekitar dua meter ke dalam, airnya sangat jernih.

Tak diketahui seberapa meter dalamnya lubuk tengkorak itu dari permukaan hingga dasarnya, yang jelas di dasar lubuk tengkorak itu terdapat hal yang tak biasa di bandingkan lubuk-lubuk di sungai besar lainnya.

Padahal, ada sebuah bangunan berupa istana yang sangat megah ternyata berdiri di dasar lubuk itu.

Para penghuninya sepintas terlihat seperti manusia yang hidup di daratan. Tak ubahnya sebuah istana Kerajaan, dari depan pintu masuk bangunan itu, terlihat beberapa orang yang berjaga-jaga mengenakan pakaian seragam seperti prajurit bersenjata tombak.

Begitu pula di dalam bangunan itu, terdapat prajurit yang berjaga mulai depan pintu saat dibuka hingga ke ruangan di mana terdapat sebuah singasana, penjagaannya sangat ketat dan berlapis-lapis.

Kursi singasana yang berbentuk mulut buaya yang senang menganga itu berwarna putih ke perak-perakan, di situlah seorang perempuan cantik berpakaian putih memakai mahkota tepat di tengah-tengah mahkota itu terdapat pula permata berbentuk mata buaya.

Meskipun berparas cantik akan tetapi perempuan itu terlihat kejam dari sorot matanya, dialah yang disebut-sebut sebagai Ratu Siluman Buaya Putih penguasa lubuk tengkorak itu.

Siang itu terlihat dua orang laki-laki yang juga berpakaian prajurit datang menghadap ke singasana di mana Ratu Siluman Buaya Putih itu duduk.

Di sisi kanan dan kirinya juga tampak dua orang perempuan yang selalu mengipas-ngipas ke arahnya.

“Kami datang menghadap yang mulia Ratu,” ucap salah satu dari dua laki-laki setelah mereka membungkuk memberikan salam hormat dengan kedua tangan seperti menyembah.

“Apakah laki-laki yang baru kau bawa itu, sudah kau latih dan ajarkan tata cara hidup di Istana Buaya Putih ini, Gento?”

“Sudah yang mulia Ratu, semuanya telah saya ajarkan termasuk dasar-dasar gerakan ilmu bela diri seperti halnya pada saat mengangkat prajurit di istana ini,” jawab lelaki yang dipanggil Gento itu.

Ratu Siluman alihkan pandangannya pada laki-laki yang berdiri di samping Gento, meskipun sorot matanya terkesan kejam akan tetapi Ratu Siluman Buaya Putih itu juga memiliki senyuman manis dan itu salah satu ilmu daya tarik yang ia gunakan untuk membuat orang tunduk padanya.

“Siapa namamu?”

“Nama saya Wiryo yang mulia,” jawab lelaki yang berdiri di sebelah Gento itu.

“Bagaimana? Apakah kau suka tinggal dan mengabdi di istana ini?” tanyanya dengan angkuh.

“Ya, yang mulia. Saya senang dan bersedia menjadi abdi di Istana Buaya Putih ini.”

“Hemmm, bagus. Kau sekarang saya angkat menjadi prajurit, jika kemampuanmu di atas rata-rata mereka dapat pula saya jadikan pengawal nantinya,” tutur Ratu Siluman Buaya Putih yang memiliki nama asli Dewi Purbalara itu.

Lelaki yang memperkenalkan dirinya bernama Wiryo itu membungkuk memberi salam hormat, seperti yang dilakukannya tadi bersama Gento pada saat datang menghadap tadi.

“Saya akan setia pada yang mulia Ratu di manapun saya nantinya akan yang mulia tempatkan.”

“Baiklah sekarang kau boleh bergabung dengan para prajurit lainnya, sementara kau Gento tetap di sini karena masih ada yang ingin saya bicarakan padamu,” perintah Dewi Purbalara.

“Baik yang mulia,” ucap Gento dan Wiryo bersamaan.

Wiryo kembali membungkuk memberi salam hormat.

Setelah itu, ia membalikkan tubuhnya ke luar dari ruangan singasana, sementara Gento masih berdiri di sana.

Tak lama setelah Wiryo meninggalkan ruangan singasana itu, Dewi Purbalara pun memberi kode dengan tangannya agar Gento lebih mendekat dan duduk di kursi yang ada di depannya berjarak tiga tombak.

"Ada yang harus kau kerjakan..."

********

Sementara itu, di pendapa, Arya yang baru saja dijamu makan siang oleh Kepala Desa Serayu itu nampak duduk selonjorkan kedua kakinya di atas pendapa itu.

Hanya beberapa menit saja Sang Pendekar berjuluk Rajawali Dari Andalas itu selonjoran. Begitu melihat Ki Darmo menghampirinya, kedua kakinya segera Arya tarik dengan posisi duduk bersila.

“Bagaimana Nak Arya setelah bermalam di sini? Apakah Nak Arya merasa betah?”

“Nyaman sekali Desa Serayu ini Ki, tengah hari begini hawa di sini masih saja terasa sejuk,” jawab Arya diiringi senyumnya.

“Ya, tapi malamnya sangat dingin terlebih jika hujan turun atau selepas hujan ketika sore hari.”

Wajah tua Ki Darmo mengerut, seolah berpikir dalam.

Arya merasa tetua desa ini memiliki beban berat.

Perlahan, ia pun berkata. “Wajar saja Desa Serayu ini berhawa dingin Ki, karena di sebelah barat, timur dan utara dikelilingi perbukitan. Sementara di sebelah selatannya terdapat sungai besar,” ujar Arya.

Ki Darmo pun mengangguk. “Seperti nama desa ini, sungai besar di sebelah selatan itu juga bernama Serayu, bermacam-macam jenis ikan air tawar yang ada di sana hingga sebagian dari penduduk desa ini menangkap ikan di sungai itu sebagai mata pencaharian mereka.”

Arya terdiam mendengar penuturan Ki Darmo.

Sungai menjadi tempat hidup sebagian warga. Pantas saja, Ratu Siluman Buaya Putih dan pengikutnya itu begitu mengganggu kelangsungan masyarakat di sini.

Setelah beberapa saat terdiam seperti memikirkan sesuatu, Arya pun kembali berbicara. “Apa beberapa orang warga yang pernah diculik Gento Ireng lalu dibawa ke dalam lubuk tengkorak itu merupakan para warga yang kesehariannya mencari ikan itu, Ki?”

Ki Darmo terdiam. Seketika, ia merasakan keanehan. “Justru, tidak ada satupun di antara mereka yang menjadi korban, Nak. Meskipun para warga menangkap ikan di sungai, tetapi mereka menjaga jarak yang cukup jauh dengan lubuk tengkorak.”

Arya kembali terdiam. Ia berusaha mencari tahu sebab kenapa korban penculikan justru para warga yang ada di pemukiman.

Mengapa bukan yang kesehariannya mencari ikan di bantaran Sungai Sedayu itu?

Tapi, ada satu hal lagi yang perlu Arya pastikan.

“Aneh juga ya Ki. Maaf, apa yang diculik laki-laki saja, Ki?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status