Share

Bab 6. Ke Lubuk Tengkorak

Ki Darmo menggeleng.

“Tidak Arya, ada juga perempuan. Tapi, memang para warga yang diculik itu laki-laki dan perempuan masih muda atau belum menikah,” jawab Ki Darmo.

Arya nampak mengganguk.

Sepertinya, dia telah paham penyebab kenapa para warga yang justru kesehariannya mencari ikan di sungai tidak pernah jadi korban. 

Mereka semuanya laki-laki yang telah berkeluarga. Siluman ini sepertinya tak tertarik dengan mereka. Ia butuh manusia-manusia yang dapat ia manfaatkan tenaganya.

“Baiklah Ki, sekarang saya mohon izin ke kawasan lubuk tengkorak itu untuk menyelidiki. Siapa tahu saja, ada petunjuk yang saya dapatkan nanti berupa cara masuk ke dalam lubuk itu membebaskan para warga yang diculik."

"Pasti, ada pintu rahasianya hingga Gento Ireng yang dulunya merupakan bagian warga desa ini bisa ke luar masuk dari lubuk tengkorak itu,” jelas Arya lagi.

Ki Darmo menarik napas panjang. Ia khawatir dengan keputusan anak muda di depannya itu.

Tapi, tak ada yang ia bisa lakukan. Perlahan, warga di sini bisa hilang semua jika tak ada tindakan. “Silakan Nak Arya, apa perlu saya panggil beberapa orang warga di sini untuk menemani?”

“Tidak usah Ki, justru nanti akan mengundang kecurigaan dan saya tidak dapat menyelidiki secara diam-diam lubuk tengkorak itu.

“Baiklah, hati-hati Nak Arya.”

Arya hanya menggangguk sembari tersenyum, lalu ia bangkit dari duduknya kemudian berlalu meninggalkan Ki Darmo dan pendapa itu.

Karena lubuk tengkorak yang akan dituju itu sudah diketahui Arya sebelumnya, ia tak perlu lagi meminta salah seorang warga desa untuk menunjuk letak lubuk itu.

Tepat saat dia berada di beberapa tombak dari tebing sungai di depan lubuk, Arya menghentikan langkahnya lalu mengitari pandangannya ke kawasan seputar lubuk tengkorak itu.

Selain semak-semak dan pepohonan kecil yang rapat di sisi kanan dan kiri lubuk tengkorak, terdapat juga beberapa pohon besar dan tinggi yang salah satunya begitu lama diperhatikan Arya.

“Hemmm, sebaiknya aku menyelidiki lubuk tengkorak dari atas pohon itu saja. Jika aku melihatnya secara dekat dengan berdiri di tepi lubuk pasti akan mengundang kecurigaan dari Ratu Siluman Buaya Putih dan pengikutnya,” gumam Arya.

“Wuuuuus...!”

Dengan menghentakan kedua kakinya di tanah, tubuh Arya pun melesat bak anak panah ke atas salah satu pohon besar dan juga tinggi.

Letaknya yang tak jauh dari tebing di pinggir lubuk tengkorak itu, membuat ia dapat leluasa mengamati lubuk tengkorak.

Dengan santai, Arya bertengger di salah satu dahan menghadap lurus ke arah lubuk yang berada di bawah.

Saat itu, air sungai tak keruh seperti kemarin, melainkan telah jernih. Namun, dasar lubuk itu tak mampu dilihat Arya walaupun telah memusatkan pandangan dan juga tenaga dalamnya.

Saking jernihnya di permukaan lubuk itu terlihat biru seperti langit yang siang itu sangat cerah.

Arya masih belum menemukan tanda-tanda yang akan ia cari berupa pintu rahasia masuk ke dalam lubuk tengkorak itu.

“Sama sekali tidak ada terlihat celah sedikitpun di permukaan lubuk itu yang aku curigai sebagai pintu rahasia, apa mungkin pusaran air yang berada di tengah-tengah itu jalan masuk hingga ke dasar lubuk itu?” Arya bergumam dalam hati seraya memperhatikan dengan seksama pusaran air yang ada di tengah-tengah lubuk.

Namun pemuda itu seketika menggeleng.

Jika memang itu pintu rahasianya, tidak akan mungkin manusia akan tetap hidup masuk ke pusaran air itu.

Arya yang tadinya sesekali terlihat jongkok di atas dahan pohon besar itu, kini beringsut ke pangkal dahan dengan duduk berjuntai sembari bersandar ke batang pohon.

Ia nampak mengaruk-garuk kepalanya dengan pandangan tetap mengarah ke lubuk tengkorak yang ada tepat di bawah juntaian dahan pohon besar itu.

Posisinya sangat tinggi. Arya yakin tak akan mengundang kecurigaan dari penghuni Lubuk Tengkorak.

Cukup lama ia bersandar memikirkan cara memecahkan rahasia itu.

Ia harus bisa masuk ke lubuk untuk membebaskan para warga yang diculik. Ia yakin mereka masih hidup hingga saat itu.

Arya pun memutuskan untuk kembali melesat turun dari dahan pohon memijakan kedua kakinya di tanah.

Pemuda itu kemudian berjalan perlahan-lahan menyibak semak-semak dan pepohonan kecil di atas lereng tebing tepat di depan lubuk tengkorak itu.

Pandangan dan pendengarannya, ia pasang lebih tajam dibandingkan pada saat ia berada di atas pohon besar tadi.

************

“Siapa pemuda tampan itu dan apa yang ia cari di tebing sungai?” Ratu Siluman Buaya Putih bergumam saat melihat cermin rahasia yang ada di dinding kamarnya.

Rupanya, siang itu, Dewi Purbalara alias Ratu Siluman Buaya Putih sudah berada di kamar pribadinya dan mengamati kerajaannya lewat cermin.

Cermin rahasianya itu memang mampu memperlihatkan, bukan hanya kawasan di sekeliling lubuk tengkorak itu saja, melainkan juga Desa Serayu serta tempat-tempat yang lebih jauh.

Cukup lama Dewi Purbalara mengamati gerak-gerik Arya yang berada di atas tebing pinggiran sungai.

Karena penasaran terhadap sosok Arya dan apa yang sedang dilakukannya di atas tebing di pinggir lubuk itu, Dewi Purbalara kemudian ke luar dari kamarnya lalu memerintahkan salah seorang penjaga di ruangan singasana memanggil Gento Ireng.

Salah satu bekas warga Desa Serayu yang kini menjadi orang kepercayaan Ratu Siluman Buaya putih itu, pun menghadap.

"Maaf, Ratu. Apa ada yang harus hamba lakukan?" ucapnya, "atau hamba singkirkan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status