Ki Darmo menggeleng.
“Tidak Arya, ada juga perempuan. Tapi, memang para warga yang diculik itu laki-laki dan perempuan masih muda atau belum menikah,” jawab Ki Darmo.
Arya nampak mengganguk.
Sepertinya, dia telah paham penyebab kenapa para warga yang justru kesehariannya mencari ikan di sungai tidak pernah jadi korban.
Mereka semuanya laki-laki yang telah berkeluarga. Siluman ini sepertinya tak tertarik dengan mereka. Ia butuh manusia-manusia yang dapat ia manfaatkan tenaganya.
“Baiklah Ki, sekarang saya mohon izin ke kawasan lubuk tengkorak itu untuk menyelidiki. Siapa tahu saja, ada petunjuk yang saya dapatkan nanti berupa cara masuk ke dalam lubuk itu membebaskan para warga yang diculik."
"Pasti, ada pintu rahasianya hingga Gento Ireng yang dulunya merupakan bagian warga desa ini bisa ke luar masuk dari lubuk tengkorak itu,” jelas Arya lagi.
Ki Darmo menarik napas panjang. Ia khawatir dengan keputusan anak muda di depannya itu.
Tapi, tak ada yang ia bisa lakukan. Perlahan, warga di sini bisa hilang semua jika tak ada tindakan. “Silakan Nak Arya, apa perlu saya panggil beberapa orang warga di sini untuk menemani?”
“Tidak usah Ki, justru nanti akan mengundang kecurigaan dan saya tidak dapat menyelidiki secara diam-diam lubuk tengkorak itu.
“Baiklah, hati-hati Nak Arya.”
Arya hanya menggangguk sembari tersenyum, lalu ia bangkit dari duduknya kemudian berlalu meninggalkan Ki Darmo dan pendapa itu.
Karena lubuk tengkorak yang akan dituju itu sudah diketahui Arya sebelumnya, ia tak perlu lagi meminta salah seorang warga desa untuk menunjuk letak lubuk itu.
Tepat saat dia berada di beberapa tombak dari tebing sungai di depan lubuk, Arya menghentikan langkahnya lalu mengitari pandangannya ke kawasan seputar lubuk tengkorak itu.
Selain semak-semak dan pepohonan kecil yang rapat di sisi kanan dan kiri lubuk tengkorak, terdapat juga beberapa pohon besar dan tinggi yang salah satunya begitu lama diperhatikan Arya.
“Hemmm, sebaiknya aku menyelidiki lubuk tengkorak dari atas pohon itu saja. Jika aku melihatnya secara dekat dengan berdiri di tepi lubuk pasti akan mengundang kecurigaan dari Ratu Siluman Buaya Putih dan pengikutnya,” gumam Arya.
“Wuuuuus...!”
Dengan menghentakan kedua kakinya di tanah, tubuh Arya pun melesat bak anak panah ke atas salah satu pohon besar dan juga tinggi.
Letaknya yang tak jauh dari tebing di pinggir lubuk tengkorak itu, membuat ia dapat leluasa mengamati lubuk tengkorak.
Dengan santai, Arya bertengger di salah satu dahan menghadap lurus ke arah lubuk yang berada di bawah.
Saat itu, air sungai tak keruh seperti kemarin, melainkan telah jernih. Namun, dasar lubuk itu tak mampu dilihat Arya walaupun telah memusatkan pandangan dan juga tenaga dalamnya.
Saking jernihnya di permukaan lubuk itu terlihat biru seperti langit yang siang itu sangat cerah.
Arya masih belum menemukan tanda-tanda yang akan ia cari berupa pintu rahasia masuk ke dalam lubuk tengkorak itu.
“Sama sekali tidak ada terlihat celah sedikitpun di permukaan lubuk itu yang aku curigai sebagai pintu rahasia, apa mungkin pusaran air yang berada di tengah-tengah itu jalan masuk hingga ke dasar lubuk itu?” Arya bergumam dalam hati seraya memperhatikan dengan seksama pusaran air yang ada di tengah-tengah lubuk.
Namun pemuda itu seketika menggeleng.
Jika memang itu pintu rahasianya, tidak akan mungkin manusia akan tetap hidup masuk ke pusaran air itu.
Arya yang tadinya sesekali terlihat jongkok di atas dahan pohon besar itu, kini beringsut ke pangkal dahan dengan duduk berjuntai sembari bersandar ke batang pohon.
Ia nampak mengaruk-garuk kepalanya dengan pandangan tetap mengarah ke lubuk tengkorak yang ada tepat di bawah juntaian dahan pohon besar itu.
Posisinya sangat tinggi. Arya yakin tak akan mengundang kecurigaan dari penghuni Lubuk Tengkorak.
Cukup lama ia bersandar memikirkan cara memecahkan rahasia itu.
Ia harus bisa masuk ke lubuk untuk membebaskan para warga yang diculik. Ia yakin mereka masih hidup hingga saat itu.
Arya pun memutuskan untuk kembali melesat turun dari dahan pohon memijakan kedua kakinya di tanah.
Pemuda itu kemudian berjalan perlahan-lahan menyibak semak-semak dan pepohonan kecil di atas lereng tebing tepat di depan lubuk tengkorak itu.
Pandangan dan pendengarannya, ia pasang lebih tajam dibandingkan pada saat ia berada di atas pohon besar tadi.
************
“Siapa pemuda tampan itu dan apa yang ia cari di tebing sungai?” Ratu Siluman Buaya Putih bergumam saat melihat cermin rahasia yang ada di dinding kamarnya.
Rupanya, siang itu, Dewi Purbalara alias Ratu Siluman Buaya Putih sudah berada di kamar pribadinya dan mengamati kerajaannya lewat cermin.
Cermin rahasianya itu memang mampu memperlihatkan, bukan hanya kawasan di sekeliling lubuk tengkorak itu saja, melainkan juga Desa Serayu serta tempat-tempat yang lebih jauh.
Cukup lama Dewi Purbalara mengamati gerak-gerik Arya yang berada di atas tebing pinggiran sungai.
Karena penasaran terhadap sosok Arya dan apa yang sedang dilakukannya di atas tebing di pinggir lubuk itu, Dewi Purbalara kemudian ke luar dari kamarnya lalu memerintahkan salah seorang penjaga di ruangan singasana memanggil Gento Ireng.
Salah satu bekas warga Desa Serayu yang kini menjadi orang kepercayaan Ratu Siluman Buaya putih itu, pun menghadap.
"Maaf, Ratu. Apa ada yang harus hamba lakukan?" ucapnya, "atau hamba singkirkan?"
“Benar, silahkan duduk.” Gento Ireng memberi salam hormat, kemudian duduk di kursi yang ada di depan singasana tempat Dewi Purbalara duduk terlebih dahulu beberapa saat sebelumnya. “Terima kasih, ada apa yang mulia tiba-tiba saja memanggil saya untuk menghadap?” Gento Ireng bertanya demikian bukan tanpa sebab, ia merasa heran saja karena memang Ratu Siluman Buaya Putih tak biasanya memintanya menghadap setelah berhasil menjalankan tugas yaitu menculik salah seorang warga desa untuk dijadikan pengikutnya. Biasanya Dewi Purbalara memberi perintah sebulan atau dua bulan berikutnya untuk melakukan hal yang sama, tapi kali ini baru beberapa hari saja Gento Ireng diminta menghadap lagi. “Hemmm, kamu tentu merasa heran kenapa kamu saya minta menghadap?” “Benar yang mulia, maafkan apabila saya lancang bertanya seperti itu.” “Tidak apa-apa, ini memang terkesan mendadak karena saya melihat ada seorang pemuda di pinggiran lubuk dengan gerak gerik mencurigakan. Saya ingin kamu memeriksanya
Diam-diam Arya mengamati lelaki yang berdiri di sampingnya, meskipun pria itu tersenyum namun tak dapat ia sembunyikan jika raut wajahnya terkesan bengis. Kulitnya berwarna hitam dan di lehernya melingkar sebuah kalung yang di tengah-tengahnya terdapat bandul berupa kepala buaya berwarna putih, darah Arya langsung berdesir dan menyakini jika pria itu salah seorang dari anak buah Ratu Siluman Buaya Putih. “Apakah dia yang bernama Gento Ireng? Melihat dari ciri-cirinya yang dikatakan Ki Darmo berkulit hitam dan bertampang bengis?” Arya bergumam dalam hati. “Sepertinya benda yang saya cari sulit ditemukan, saya mohon diri saja Kisanak untuk melanjutkan perjalanan,” ujar Arya menghentikan kepura-puraannya mencari sesuatu dengan menyibak semak-semak di pinggiran lubuk tengkorak itu. “Oh, silahkan. Kisanak hendak ke mana?” “Saya ingin melanjutkan perjalanan ke arah sana,” Arya menunjuk ke arah utara. “Apakah Kisanak ingin ke Desa Serayu?” Gento Ireng bertanya kembali. “Desa Serayu? Me
Dewi Purbalara bersegera menemui Gento Ireng yang berada di ruangan di mana di sana terdapat singasananya, tanpa duduk terlebih dahulu Ratu Siluman Buaya Putih itupun berucap. “Pemuda itu berada di Desa Serayu.” “Berarti dia singgah di desa itu sebelum melanjutkan perjalanannya ke utara seperti yang dia katakan.” Gento Ireng terlihat memegang dagunya sendiri, seperti memikirkan sesuatu. “Benar, pemuda itu singgah di rumah Ki Darmo.” “Hah?! Ada keperluan apa dia hingga singgah ke rumah tetua Desa Serayu itu yang mulia?” Dewi Purbalara gelengkan kepalanya, karena memang ia hanya bisa melihat akan tetapi tak bisa mendengar suara atau pun percakapan Arya dengan Ki Darmo yang saat itu duduk di pendopo. “Kalau saat ini yang mulia perintah saya untuk menemui pemuda itu dan mengajaknya ke sini, saya rasa tidak mungkin yang mulia. Sebab pastinya Ki Darmo atau para warga desa yang lain jika melihat saya tidak akan membiarkan saya sampai di rumah tetua desa itu,” tutur Gento Ireng. Dewi
Arya bergumam dalam hati menduga jika ada sepasang mata yang saat itu tengah mengamatinya dari kejauhan di kegelapan malam, Arya kemudian berbicara pada Ki Darmo dengan suara pelan setengah berbisik perihal itu. Arya seperti berpamitan untuk meninggalkan pendopo, itu terlihat setelah berbicara sang pendekar berdiri dari duduknya kemudian melangkah meninggalkan Ki Darmo yang masih duduk bersila sembari menikmati sisa kopi di cangkir bambu itu. “Hendak ke mana pemuda itu? Apakah mungkin malam-malam begini melanjutkan perjalanannya?” sosok di kegelapan malam yang diduga Arya mematainya bergumam. “Sebaiknya aku ikuti saja dia, begitu aman dari para warga aku akan menghampirinya.” Kembali sosok itu bergumam dalam hati, lalu dengan perlahan ia melangkah dari tempat ia berdiri memantau Arya di pendopo tadi. Tak jelas hendak ke mana Arya dari pendopo berpamitan dengan Ki Darmo tadi, yang pasti ia melangkah ke arah utara dari pendopo itu. Tepat di tempat sepi di mana tak ada satu orang wa
Ki Darmo bergumam dalam hati, cemas akan yang baru saja dikatakan Arya mengenai Gento Ireng yang mengajaknya bertemu di pinggiran lubuk tengkorak. “Apa Nak Arya tak merasa sesuatu yang aneh dengan diajaknya Nak Arya bertemu dengannya besok pagi di pinggiran lubuk tengkorak itu?” Arya menatap ke arah tetua Desa Serayu itu untuk beberapa saat, kemudian ia pun nampak tersenyum. “Tentu saja saya merasa aneh dengan ajakan Gento Ireng itu, akan tetapi apapun tujuannya saya sudah siap menghadapinya. Bahkan saya pikir ada baiknya juga memenuhi ajakannya itu Ki, bukankah dengan begitu saya nanti memiliki kesempatan untuk merebut kalung berbandul kepala buaya putih itu darinya?” “Hemmm, benar juga dengan yang kamu katakan itu Nak Arya. Akan tetapi Nak Arya harus berhati-hati, saya yakin Gento Ireng memiliki sesuatu rencana terhadapmu jangan sampai Nak Arya masuk dalam perangkapnya.” Kembali Arya tersenyum setelah mendengar penuturan dari Ki Darmo, sekaligus memberi nasehat kepadanya. “Ki
Gento Ireng berkata itu setelah merogoh kantong bajunya dan memperlihatkan pada Arya sebuah kalung seperti yang ia kenakan di lehernya. “Dengan kalung itu.....?!” Arya pura-pura terkejut dengan melongo melihat kalung bermandul kepala buaya putih di tangan Gento Ireng, kemudian arahkan pandangannya ke leher lelaki berkulit hitam yang duduk di sampingnya itu. “Kalung ini sama persisi dengan yang kamu kenakan di lehermu itu.” Gento Ireng tersenyum lalu mengangguk. “Ya, kalung ini memang sama dengan yang saya kenakan. Dengan mengenakannya juga di lehermu, kamu akan dapat bertahan lama berada di dalam air.” Kembali Arya terlihat melongo mendengar penuturan Gento Ireng. “Lalu siapa orang yang akan kita temui di dasar lubuk itu?” Gento Ireng arahkan pandangannya ke tengah-tengah lubuk tengkorak, Arya pun ikut pula mengarahkan pandangannya ke sana. “Dia seorang Ratu yang cantik dan kaya raya, kamu akan hidup senang jika bersedia menjadi bagian dari Istana Buaya Putih. Apapun yang kam
Tarno yang ditanya oleh kedua sahabatnya tak menjawab karena ia sendiri bingung harus melakukan apa, sementara Arya dan Gento Ireng telah masuk ke dalam lubuk tengkorak. “Sebelum kita berangkat ke sini bukankah Mas Arya mengatakan kalau kita tak perlu melakukan tindakan apa-apa selain kembali ke desa melaporkan apa yang kita lihat pada Ki Darmo,” ujar Tarno. Kedua sahabatnya saling pandang, lalu menganggukan kepala sepertinya mereka juga ingat akan yang dikatakan Arya ketika mereka akan ikut ke kawasan pinggiran lubuk tengkorak itu untuk memantau pertemuan Arya dan Gento Ireng. “Nah, sekarang ayo kita segera kembali ke desa menemui Ki Darmo..!” ajak Tarno. Tanpa menunggu waktu lama lagi mereka pun bergegas menuju Desa Serayu menemui Ki Darmo, mereka tentunya akan melaporkan semua yang mereka lihat mengenai pertemuan Arya dan Gento Ireng di tepi lubuk tengkorak itu. ******* Tubuh Arya dan Gento Ireng meluncur ke dasar lubuk, kedua kaki mereka menjejak tanah tepat di depan pintu g
Dewi Purbalara tak meneruskan perkataannya, dia tiba-tiba saja melihat pada Gento Ireng mungkin apa yang hendak ia katakan tadi itu tidak ingin didengar orang lain selain Arya. Arya sendiri sama sekali tak merasa penasaran akan ucapan Dewi Purbalara yang tiba-tiba saja ia hentikan itu, Arya tetap terlihat santai saja. “Mari silahkan kita nikmati semua hidangan yang ada di meja ini,” ajak Dewi Purbalara. Gento Ireng dan Arya mengangguk, kemudian ikut menikmati hidangan sebagai jamuan makan oleh Dewi Purbalara di meja makan itu. Arya tiba-tiba saja berhenti saat baru sesuap nasi beserta lauk yang ia kunyah dan telan, ia arahkan pandangannya ke seluruh hidangan yang ada di meja makan itu. “Hidangan ini sangat enak dan tak ada yang terlihat aneh, barang kali perempuan ini saja yang sebangsa siluman tidak ikut pula dengan yang dihidangkan untuk dimakan pengikutnya di istana ini,” gumam Arya dalam hati. Tanpa ia duga ternyata Dewi Purbalara memperhatikan sikapnya yang tiba-tiba berhen