“Benar, silahkan duduk.”
Gento Ireng memberi salam hormat, kemudian duduk di kursi yang ada di depan singasana tempat Dewi Purbalara duduk terlebih dahulu beberapa saat sebelumnya.
“Terima kasih, ada apa yang mulia tiba-tiba saja memanggil saya untuk menghadap?”
Gento Ireng bertanya demikian bukan tanpa sebab, ia merasa heran saja karena memang Ratu Siluman Buaya Putih tak biasanya memintanya menghadap setelah berhasil menjalankan tugas yaitu menculik salah seorang warga desa untuk dijadikan pengikutnya.
Biasanya Dewi Purbalara memberi perintah sebulan atau dua bulan berikutnya untuk melakukan hal yang sama, tapi kali ini baru beberapa hari saja Gento Ireng diminta menghadap lagi.
“Hemmm, kamu tentu merasa heran kenapa kamu saya minta menghadap?”
“Benar yang mulia, maafkan apabila saya lancang bertanya seperti itu.”
“Tidak apa-apa, ini memang terkesan mendadak karena saya melihat ada seorang pemuda di pinggiran lubuk dengan gerak gerik mencurigakan. Saya ingin kamu memeriksanya ke atas apa yang tengah dilakukan pemuda itu,” Dewi Purbalara menuturkan sekaligus memberi perintah.
“Seorang pemuda dengan gerak gerik mencurigakan? Aneh, bukankah selama ini tak ada seorangpun yang berani mendekat ke kawasan lubuk tengkorak ini yang mulia? Saya rasa dia bukan warga Desa Serayu dan saya juga mengira pemuda itu tak tahu sama sekali akan lubuk tengkorak ini,” ujar Gento Ireng.
“Bisa jadi begitu, makanya saya perintahkan kamu untuk menyelidikinya.”
“Baik yang mulia, saya akan segera melaksanakan perintah yang mulia itu.”
“Sebentar Gento.”
Gento Ireng yang telah berdiri dari duduknya dan bersiap melaksanakan perintah dari Dewi Purbalara, duduk kembali di kursinya.
“Kamu cukup menyelidikinya saja tidak perlu membawa pemuda itu ke sini karena saya rasa sudah cukup dengan para pengikut kita yang ada sekarang,” sambung Ratu Siluman Buaya Putih.
“Baik yang mulia, saya tidak akan membawa pemuda itu secara paksa ke istana ini.”
“Laksanakanlah tugasmu itu sekarang, saya akan memantau dari cermin sakti di kamar.”
Gento Ireng berdiri kembali lalu memberi salam hormat, setelah Dewi Purbalara menganggukan kepalanya Gento Ireng pun berlalu meninggalkan ruangan itu bersiap naik ke permukaan lubuk tengkorak.
Sementara di atas daratan tepatnya di lereng tebing di pinggiran lubuk tengkorak itu Arya Mandu masih terlihat menyibak-nyibak rerumputan dan perpohonan kecil sambil sesekali mengarahkan pandangannya ke tengah-tengah lubuk, Arya sengaja melakukan itu untuk menghindari kecurigaan yang bisa saja timbul atas keberadaannya di pinggiran lubuk tengkorak itu.
“Wuuuuus...”
Sekelebat bayangan yang berasal dari pusaran air di tengah-tengah lubuk itu melesat ke daratan berjarak 12 tombak dari posisi Arya berdiri, Arya sempat melihat sekilas bayangan itu dan membuatnya terkejut akan tetapi ia cepat berpura-pura seolah tak melihat sama sekali sosok yang berkelebat dari dalam lubuk tengkorak tepat di pusaran air itu.
Arya merasa kehadirannya di tepi lubuk tengkorak itu diketahui oleh Ratu Siluman Buaya hingga ia memerintahkan salah seorang pengikutnya untuk menyelidiki dirinya, makanya Arya saat ini berpura-pura mencari sesuatu di sela-sela rimbunnya semak di pinggiran lubuk itu agar tak mengundang kecurigaan lebih lagi dari Ratu Siluman Buaya Putih beserta pengikutnya itu.
“Apa yang dilakukan pemuda itu di sana? Sepertinya dia tengah mencari sesuatu yang bisa jadi berupa benda miliknya yang terjatuh di lereng tebing itu,” gumam Gento Ireng dalam hati sembari mengamati Arya dari jarak 12 tombak di sela-sela rimbunnya semak-semak dan pepohonan kecil pula di pinggiran sungai di hulu lubuk tengkorak itu.
Setelah berfikir dan mempertimbangkan secara matang, Gento Ireng memutuskan untuk menghampiri Arya dengan berpura-pura sebagai warga Desa Serayu yang tengah mencari ikan di kawasan lubuk tengkorak itu.
Meskipun posisi Arya saat ini membelakanginya, akan tetapi sang pendekar tahu jika sosok yang melesat dari dalam lubuk tadi itu menghampirinya.
“Ehem, Kisanak sedang apa di sini?” sapa Gento Ireng membuat Arya pura-pura terkejut dan membalikan tubuhnya ke arah Gento Ireng.
“Eh, ada orang lain rupanya di pinggiran sungai ini. Saya sampai terkejut, maaf saya tengah mencari barang saya yang tadi terjatuh di semak-semak ini.”
“Memangnya Kisanak dari mana hingga barang Kisanak itu sampai terjatuh di kawasan pinggiran lubuk ini?” Gento Ireng bertanya kembali.
“Saya baru saja menyeberang di hulu lubuk di sana, lalu saya bermaksud hendak naik ke atas tebing. Karena tebing di sana itu tinggi untuk dinaiki makanya saya sampai ke sini yang tebingnya lebih rendah. Saat saya berhasil naik ke atas tebing tiba-tiba saya menyadari benda yang tadi saya taruh di saku celana ini terjatuh makanya saya turun kembali mencarinya,” tutur Arya.
“Oh begitu.”
“Ya, Kisanak sendiri sedang apa di sini?” Arya balik bertanya.
“Saya sedang menangkap ikan di hulu lubuk, tiba-tiba saya melihat Kisanak di sini lagi menyibak semak-semak. Saya kira tadi ada apa rupanya Kisanak tengah mencari sesuatu benda yang terjatuh,” jawab Gento Ireng berusaha pula agar Arya tak curiga padanya yang merupakan salah seorang kepercayaan dari Ratu Siluman Buaya Putih penghuni lubuk tengkorak itu.
Dewi Purbalara yang saat itu berada di kamarnya kembali memperhatikan dan mendengar jelas apa yang diperbincangkan Arya dan Gento Ireng di pinggiran lubuk tengkorak melalui cermin saktinya, dia juga menyimpulkan jika pemuda yang tadi ia curigai ternyata sama sekali tak tahu jika di dasar lubuk tengkorak ada istana miliknya dan juga seluruh kawasan lubuk merupakan daerah kekuasaannya.
Cukup lama Dewi Purbalara memperhatikan Arya mulai dari bentuk tubuhnya yang kekar serta memiliki wajah yang tampan, hingga caranya bertutur begitu ramah dan bersahabat dengan Gento Ireng.
Jika tadi dia hanya meminta Gento Ireng untuk menyelidikinya saja, namun entah kenapa tiba-tiba saja muncul di lubuk hatinya rasa suka pada pemuda tampan yang juga berpakaian serba putih berdiri dan bercakap-cakap dengan anak buahnya itu.
Dewi Purbalara jadi bingung sendiri harus bagaimana agar Gento Ireng bisa mengetahui keinginannya untuk membawa Arya ke istananya saat itu juga, jika ia mengutus salah seorang dari pengawal istananya menyusul Gento Ireng pasti akan menimbulkan kecurigaan karena Arya tentunya melihat suruhannya itu muncul dari tengah-tengah lubuk tengkorak.
"Ah, bagaimana ini?!" Dewi Purbalara gundah.
Diam-diam Arya mengamati lelaki yang berdiri di sampingnya, meskipun pria itu tersenyum namun tak dapat ia sembunyikan jika raut wajahnya terkesan bengis. Kulitnya berwarna hitam dan di lehernya melingkar sebuah kalung yang di tengah-tengahnya terdapat bandul berupa kepala buaya berwarna putih, darah Arya langsung berdesir dan menyakini jika pria itu salah seorang dari anak buah Ratu Siluman Buaya Putih. “Apakah dia yang bernama Gento Ireng? Melihat dari ciri-cirinya yang dikatakan Ki Darmo berkulit hitam dan bertampang bengis?” Arya bergumam dalam hati. “Sepertinya benda yang saya cari sulit ditemukan, saya mohon diri saja Kisanak untuk melanjutkan perjalanan,” ujar Arya menghentikan kepura-puraannya mencari sesuatu dengan menyibak semak-semak di pinggiran lubuk tengkorak itu. “Oh, silahkan. Kisanak hendak ke mana?” “Saya ingin melanjutkan perjalanan ke arah sana,” Arya menunjuk ke arah utara. “Apakah Kisanak ingin ke Desa Serayu?” Gento Ireng bertanya kembali. “Desa Serayu? Me
Dewi Purbalara bersegera menemui Gento Ireng yang berada di ruangan di mana di sana terdapat singasananya, tanpa duduk terlebih dahulu Ratu Siluman Buaya Putih itupun berucap. “Pemuda itu berada di Desa Serayu.” “Berarti dia singgah di desa itu sebelum melanjutkan perjalanannya ke utara seperti yang dia katakan.” Gento Ireng terlihat memegang dagunya sendiri, seperti memikirkan sesuatu. “Benar, pemuda itu singgah di rumah Ki Darmo.” “Hah?! Ada keperluan apa dia hingga singgah ke rumah tetua Desa Serayu itu yang mulia?” Dewi Purbalara gelengkan kepalanya, karena memang ia hanya bisa melihat akan tetapi tak bisa mendengar suara atau pun percakapan Arya dengan Ki Darmo yang saat itu duduk di pendopo. “Kalau saat ini yang mulia perintah saya untuk menemui pemuda itu dan mengajaknya ke sini, saya rasa tidak mungkin yang mulia. Sebab pastinya Ki Darmo atau para warga desa yang lain jika melihat saya tidak akan membiarkan saya sampai di rumah tetua desa itu,” tutur Gento Ireng. Dewi
Arya bergumam dalam hati menduga jika ada sepasang mata yang saat itu tengah mengamatinya dari kejauhan di kegelapan malam, Arya kemudian berbicara pada Ki Darmo dengan suara pelan setengah berbisik perihal itu. Arya seperti berpamitan untuk meninggalkan pendopo, itu terlihat setelah berbicara sang pendekar berdiri dari duduknya kemudian melangkah meninggalkan Ki Darmo yang masih duduk bersila sembari menikmati sisa kopi di cangkir bambu itu. “Hendak ke mana pemuda itu? Apakah mungkin malam-malam begini melanjutkan perjalanannya?” sosok di kegelapan malam yang diduga Arya mematainya bergumam. “Sebaiknya aku ikuti saja dia, begitu aman dari para warga aku akan menghampirinya.” Kembali sosok itu bergumam dalam hati, lalu dengan perlahan ia melangkah dari tempat ia berdiri memantau Arya di pendopo tadi. Tak jelas hendak ke mana Arya dari pendopo berpamitan dengan Ki Darmo tadi, yang pasti ia melangkah ke arah utara dari pendopo itu. Tepat di tempat sepi di mana tak ada satu orang wa
Ki Darmo bergumam dalam hati, cemas akan yang baru saja dikatakan Arya mengenai Gento Ireng yang mengajaknya bertemu di pinggiran lubuk tengkorak. “Apa Nak Arya tak merasa sesuatu yang aneh dengan diajaknya Nak Arya bertemu dengannya besok pagi di pinggiran lubuk tengkorak itu?” Arya menatap ke arah tetua Desa Serayu itu untuk beberapa saat, kemudian ia pun nampak tersenyum. “Tentu saja saya merasa aneh dengan ajakan Gento Ireng itu, akan tetapi apapun tujuannya saya sudah siap menghadapinya. Bahkan saya pikir ada baiknya juga memenuhi ajakannya itu Ki, bukankah dengan begitu saya nanti memiliki kesempatan untuk merebut kalung berbandul kepala buaya putih itu darinya?” “Hemmm, benar juga dengan yang kamu katakan itu Nak Arya. Akan tetapi Nak Arya harus berhati-hati, saya yakin Gento Ireng memiliki sesuatu rencana terhadapmu jangan sampai Nak Arya masuk dalam perangkapnya.” Kembali Arya tersenyum setelah mendengar penuturan dari Ki Darmo, sekaligus memberi nasehat kepadanya. “Ki
Gento Ireng berkata itu setelah merogoh kantong bajunya dan memperlihatkan pada Arya sebuah kalung seperti yang ia kenakan di lehernya. “Dengan kalung itu.....?!” Arya pura-pura terkejut dengan melongo melihat kalung bermandul kepala buaya putih di tangan Gento Ireng, kemudian arahkan pandangannya ke leher lelaki berkulit hitam yang duduk di sampingnya itu. “Kalung ini sama persisi dengan yang kamu kenakan di lehermu itu.” Gento Ireng tersenyum lalu mengangguk. “Ya, kalung ini memang sama dengan yang saya kenakan. Dengan mengenakannya juga di lehermu, kamu akan dapat bertahan lama berada di dalam air.” Kembali Arya terlihat melongo mendengar penuturan Gento Ireng. “Lalu siapa orang yang akan kita temui di dasar lubuk itu?” Gento Ireng arahkan pandangannya ke tengah-tengah lubuk tengkorak, Arya pun ikut pula mengarahkan pandangannya ke sana. “Dia seorang Ratu yang cantik dan kaya raya, kamu akan hidup senang jika bersedia menjadi bagian dari Istana Buaya Putih. Apapun yang kam
Tarno yang ditanya oleh kedua sahabatnya tak menjawab karena ia sendiri bingung harus melakukan apa, sementara Arya dan Gento Ireng telah masuk ke dalam lubuk tengkorak. “Sebelum kita berangkat ke sini bukankah Mas Arya mengatakan kalau kita tak perlu melakukan tindakan apa-apa selain kembali ke desa melaporkan apa yang kita lihat pada Ki Darmo,” ujar Tarno. Kedua sahabatnya saling pandang, lalu menganggukan kepala sepertinya mereka juga ingat akan yang dikatakan Arya ketika mereka akan ikut ke kawasan pinggiran lubuk tengkorak itu untuk memantau pertemuan Arya dan Gento Ireng. “Nah, sekarang ayo kita segera kembali ke desa menemui Ki Darmo..!” ajak Tarno. Tanpa menunggu waktu lama lagi mereka pun bergegas menuju Desa Serayu menemui Ki Darmo, mereka tentunya akan melaporkan semua yang mereka lihat mengenai pertemuan Arya dan Gento Ireng di tepi lubuk tengkorak itu. ******* Tubuh Arya dan Gento Ireng meluncur ke dasar lubuk, kedua kaki mereka menjejak tanah tepat di depan pintu g
Dewi Purbalara tak meneruskan perkataannya, dia tiba-tiba saja melihat pada Gento Ireng mungkin apa yang hendak ia katakan tadi itu tidak ingin didengar orang lain selain Arya. Arya sendiri sama sekali tak merasa penasaran akan ucapan Dewi Purbalara yang tiba-tiba saja ia hentikan itu, Arya tetap terlihat santai saja. “Mari silahkan kita nikmati semua hidangan yang ada di meja ini,” ajak Dewi Purbalara. Gento Ireng dan Arya mengangguk, kemudian ikut menikmati hidangan sebagai jamuan makan oleh Dewi Purbalara di meja makan itu. Arya tiba-tiba saja berhenti saat baru sesuap nasi beserta lauk yang ia kunyah dan telan, ia arahkan pandangannya ke seluruh hidangan yang ada di meja makan itu. “Hidangan ini sangat enak dan tak ada yang terlihat aneh, barang kali perempuan ini saja yang sebangsa siluman tidak ikut pula dengan yang dihidangkan untuk dimakan pengikutnya di istana ini,” gumam Arya dalam hati. Tanpa ia duga ternyata Dewi Purbalara memperhatikan sikapnya yang tiba-tiba berhen
Tarno dan kedua rekannya dengan napas yang tersengal-sengal tiba di depan pendopo, dari pinggiran lubuk tengkorak tadi rupanya mereka berlari agar segera tiba di sana. Kedatangan mereka membuat Ki Darmo yang duduk di ruangan depan segera ke luar menemui mereka, tetua Desa Serayu itu menunjukan raut wajah terkejut dan juga cemas. “Apa yang terjadi?! Kenapa kalian datang seperti orang yang dikejar-kejar setan?” Tarno dan kedua sahabatnya masih berusaha mengatur napas mereka, melihat hal itu Ki Darmo menahan rasa penasarannya. “Mari duduk dan minum dulu, agar diri kalian tenang supaya dapat menceritakan dengan tenang hal terjadi hingga membuat kalian datang ke sini tergesa-gesa.” Tarno dan kedua sahabatnya pun duduk lalu meneguk air di dalam kendi secara bergantian, kendi yang berisi air yang telah dimasak dan terasa sejuk itu selalu ada di pendopo baik ada maupun tidak tamu yang duduk di sana. “Begini Ki, kami yang Ki Darmo perintahkan untuk memantau Mas Arya bertemu dengan Gento I