Pagi itu di lapangan depan rumah Ki Demang Antasena. tampak 100 orang telah berkumpul mendengarkan pengarahan dari Ki Demang. Mereka berdatangan dari beberapa desa. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang keluarganya telah menjadi korban keganasan warok-warok di hutan alas roban.
Kebanyakan dari mereka adalah pria muda yang sengaja dikirim oleh orang tua mereka untuk melawan penindasan yang dilakukan oleh komplotan Warok Bandar Jati. Maka semangat mereka untuk membantu wilayah mereka agar bangkit dari penindasan tersebut jadi menggebu-gebu. Ki Demang sendiri tak menyangka dengan warganya yang mau bahu membahu untuk melawan kekejaman yang sudah berlangsung lama. "Para warga sekalian. Aku disini sebagai Demang sangkal jaya mengucapkan terima kasih kepada kalian yang telah berani mengambil keputusan untuk melawan kekejaman para warok. Aku hargai keberanian kalian. Dan untuk selanjut nya sebelum kita memulai perlawanan, kalian akan dilatih terlebih dahulu oleh orang yang mungkin sudah harum namanya di Kademangan ini. Mari kita sambut pelatih kita..saudara Jaka Warangan.." Maka warga pun bertepuk tangan riuh bahkan ada yang bersiul ketika Jaka warangan tampil ke depan. Dan seperti biasa Jaka Warangan dengan santai nya melangkah sambil menghisap roko kesayangannya. "Ehemm..ehemm...aha..ternyata kalian punya keberanian untuk melakukan perubahan. Aku salut dengan kalian. Dan mulai saat ini hingga seminggu ke depan, aku akan sedikit meningkatkan keahlian bertempur kalian semua. Lalu setelah itu kita porak-porandakan markas mereka...bagaimana..setuju..?" Maka warga pun menyambut dengan antusias wejangan itu.. "Setujuuuu..." kompak semua berseru dalam semangat yang membara. "Bagus...behahaha..ohok-ohok..nah untuk latihan pertama kita akan pergi ke sungai praga. Tapi sebelum itu aku akan memeriksa satu persatu keadaan kalian.." Maka Jaka warangan menghampiri mereka satu persatu sambil merokok dan mengeluarkan tenaga dalam. Hingga hisapan rokok nya menghasilkan kebulan asap yang tebal. Karuan saja banyak dari mereka yang terbatuk-batuk. Namun beginilah cara jaka warangan mengirimkan tenaganya untuk meningkatkan tenaga dalam mereka. Setelah itu Jaka pun memerintahka semua untul menuju sungai praga dimana latihan akan dimulai. Jaka juga mempersiapkan dirinya untuk mengantisipasi hal-hal yang tak di inginkan dalam pelatihan. Setelah sampai di pinggir sungai jaka warangan menyuruh mereka untuk menyebrangi sungai itu dengan berenang. Kebetulan hari itu aliran sungai praga sedang deras-deras nya. Hingga membuat sebagian warga ciut nyalinya. "Jangan takut..aku akan menjaga kalian. Tak ada satu orang pun yang luput dari pantauanku. Sebrangi sungai itu. Inilah langkah pertama kalian untuk dapat membalas dendam keluarga kalian yang jadi korban keganasan warok-warok laknat itu..." Seru jaka warangan untuk memberi semangat. Mereka pun tersulut semangatnya dikala mengingat keluarga mereka yang telah menjadi korban keganasan para warok. Hingga satu persatu meluncur ke deras nya arus sungai praga. Namun memang tidak mudah menyebranginya. Bahkan buat yang ahli renang sekalipun. Hampir semua warga terseret arus hingga jauh. Namun berkat asap rokok yang mereka hisap..maka mereka pun berhasil juga mencapai tepian. Hasil ini akan berbeda bila jaka warangan tak mengalirkan energi murninya melalui asap rokok. Kemungkinan besar mereka akan hanyut dan mati tenggelam. Keesokan harinya jaka warangan mengulangi lagi latihan tersebut. Tapi kali ini jaka tak mengalirkan energi murninya lewat asap rokok. Hingga warga pun secara mandiri akan melakukan nya. Aliran sungai praga masih sederas kemarin. Namun karena keberhasilan yang mereka rasakan kemarin, itu membuat mereka memiliki kepercayaan diri yang lebih. Hingga dalam waktu singkat tanpa ikut hanyut. Mereka telah berhasil sampai di sebrang dengan selamat. Ini membuat ki demang antasena berdecak kagum. "Luar biasa cara kau melatih mereka jaka. Aku akui itu.." puji ki demang. "Ahh..ini belum selesai ki demang.." Hari ketiga. Ki demang telah menyediakan 100 batu kali yang lumayan besar. Ini adalah permintaan jaka warangan untuk melatih tahap selanjutnya. Maka warga pun keheranan ketika dihadapan mereka telah disiapkan batu sebesar badan mereka. Lalu yang lebih aneh lagi, jaka warangan membagikan rokok untuk mereka hisap. Karuan saja banyak dari mereka yang menolak. Namun atas bujukan ki demang dan jaka warangan akhirnya mereka mau juga. Maka satu lapangan itu bagai diliputi kabut. Lalu jaka warangan memerintahkan mereka untuk menghancurkan batu itu dengan pukulan mereka. Maka sambil menghisap rokok, mereka mulai menghantam batu itu bertubi-tubi. Erangan kesakitan menggema di lapangan itu. Namun semakin lama..tak terdengar lagi erangan itu. Yang terdengar adalah suara benturan pukulan para warga.Langit Mandira menjadi gelap tak wajar. Bukan karena malam, tapi karena sesuatu yang lebih tua dari malam itu sendiri. Di ujung cakrawala, awan membentuk pusaran kelam. Cahaya petir menyambar tanpa suara. Di barak Pengawal Dalam, Raja Mandira menatap peta yang kini berubah warna. Jalur ke Gunung Sepuh menghitam. Tinta pada kertas menetes sendiri, seperti luka yang mengalirkan darah. > “Gerbangnya terbuka...” bisik Raja. Panglima Adikara berdiri gelisah di belakangnya. > “Paduka, pasukan siap digerakkan. Tapi kabut yang datang... menghapus jejak.” > “Kita terlambat,” jawab sang Raja. “Satu-satunya harapan kita… adalah Warangan.” --- Di kaki Gunung Sepuh, Jaka dan rombongan membangun perlindungan darurat bagi anak-anak korban ritual. Kabut tipis terus menyelimuti tanah, dan hawa menjadi dingin seperti habis hujan padahal langit kering. Putri Lintang duduk di samping api kecil, menggenggam tangan seorang anak perempuan yang masih gemetar. > “Namamu siapa?” > “Nira,” b
Kabut pagi menyelimuti tepian Sungai Rengganis, tempat Jaka Warangan dan rombongannya mendirikan kemah darurat. Api unggun telah padam, menyisakan bara merah yang nyaris mati. Burung-burung rawa belum bernyanyi, seakan tahu dunia sedang tak tenang. Jaka berdiri di tepi air, mencuci wajah. Di balik aliran sungai, bayangan perbukitan Gunung Sepuh menjulang pucat. Tempat itu kini menjadi petunjuk yang harus mereka kejar. Putri Lintang muncul dari balik pohon, mengenakan pakaian rakyat biasa. Rambutnya dikepang seadanya. Tak ada lagi sanggul atau perhiasan. Tapi matanya masih menyala—bukan dengan kebangsawanan, tapi tekad. > “Aku sudah siap,” katanya pelan. Jaka menatapnya sebentar. Tak ada yang diucapkan, tapi pandangan itu cukup. Mereka saling percaya. Dan itu lebih penting dari segala sumpah. --- Di sisi lain, Tarno memeriksa tali pelana kuda sewaan mereka. Ia bersiul kecil, tapi sorot matanya gelisah. > “Kang,” gumamnya ke Sura, “kalau ketahuan kita bawa Putri, kita bisa dicap
Langit Mandira menyambut Jaka Warangan dengan awan kelabu. Gerbang utama istana terbuka perlahan, diiringi suara genderang kecil dari penjaga kehormatan. Tapi tak ada perayaan, tak ada senyum.Karena yang ia bawa… bukan kemenangan, melainkan tuduhan.Sura dan Tarno menyusul di belakang, berdebat soal nasi bungkus yang katanya dicuri penjaga gudang. Tapi Jaka hanya diam. Langkahnya ringan, tapi pikirannya berat.---Di dalam Balairung Wiyata, tempat para penasihat kerajaan berkumpul, suasana terasa panas. Pangeran Wirabasa duduk dengan tenang, memainkan cincin emas di jarinya. Di sampingnya, Putri Lintang menunduk dalam. Ratu Ayu tak hadir—konon sedang sakit karena kabut mimpi dari arah selatan.> “Jaka Warangan,” ujar Raja Mandira, suaranya berat. “Apa yang kau temukan di Langgasari?”Jaka meletakkan sehelai kain bersimbol darah di atas meja batu.Semua menahan napas.> “Aku menemukan pengkhianatan. Tapi bukan dari Langgasari… dari dalam.”> “Kau menuduh siapa?” tanya sang Raja.Jaka
Tiga hari setelah Festival Pendekar berakhir, Istana Langit Timur kembali sunyi. Namun pagi itu, langit berubah kelabu. Seekor burung hitam raksasa—Rajawali Gelap dari Kerajaan Langgasari—mendarat di pelataran istana, membawa dua orang bertudung ungu.Mereka adalah utusan khusus dari Raja Langgasari, kerajaan di utara yang selama ini bersikap netral, namun terkenal dengan siasat politik dan kekuatan mata-mata.> “Kami datang membawa undangan pertemuan rahasia,” kata salah satu utusan. Suaranya berat, matanya tajam seperti menyimpan racun.> “Dan kami minta satu orang saja untuk datang mewakili Kerajaan Mandira: Jaka Warangan.”---Raja Mandira terdiam lama saat menerima berita itu. Para penasihat protes. Bahkan Panglima Agung menolak keras.> “Itu jebakan! Kita tidak tahu siapa mereka sebenarnya!”Namun Putri Lintang berdiri, menatap ayahnya.> “Kalau mereka ingin bicara dengan Jaka… maka biarlah ia yang memutuskan. Bukan kita.”Jaka hanya mengangguk.> “Aku akan pergi. Tapi aku tak a
Fajar menyapu langit dengan warna emas pucat ketika genderang istana mulai ditabuh. Turnamen Cahaya Timur—ajang silat tertua antar perguruan di seluruh negeri—resmi dimulai. Kali ini, bukan hanya kehormatan yang dipertaruhkan, tapi juga aliansi politik dan takhta masa depan.Jaka Warangan berdiri di barisan peserta, mengenakan pakaian hitam sederhana, tak membawa lambang perguruan manapun. Di sebelahnya, Sura dan Tarno bersandar di pagar kayu, tak ikut bertanding, tapi ikut berjaga.> “Kau yakin ikut ini, Kang?” tanya Sura. “Pendekar dari segala arah datang. Ada yang pernah melawan harimau, ada yang katanya bisa membelah batu pakai suara.”> “Justru itu. Aku ingin tahu… apakah dunia masih sekejam dulu, atau sudah lebih adil untuk orang-orang seperti kita,” jawab Jaka tenang.---Turnamen dimulai.Babak penyisihan berlangsung cepat. Pendekar-pendekar saling menunjukkan teknik khas: jurus kipas sakti, pukulan halilintar, langkah kabut, bahkan gaya bertarung dari barat yang mirip tari pe
Langit di atas Kerajaan Mandira mulai cerah, tapi angin tetap dingin membawa kabar buruk dari timur. Di pelataran batu istana, Jaka Warangan berdiri di antara para pengawal. Jubahnya sudah berganti—bukan lagi gelap dan penuh luka, melainkan jubah biru laut dengan motif awan perak.Sura dan Tarno, kini berpakaian seperti ksatria istana, berdiri di sampingnya. Tarno bahkan mengenakan ikat kepala baru bertuliskan “ANTI SETAN”, hasil kreativitasnya sendiri.> “Kakang, kita sekarang jadi orang penting ya?” bisik Tarno sambil menyikut Sura.> “Iya, penting buat bersih-bersih kalau disuruh,” sahut Sura datar.Tapi suasana berubah saat seorang wanita turun dari tandu istana—anggun, berselendang merah muda, dan membawa tongkat bergagang kristal.Dialah Putri Lintang Madura, anak Raja Mandira yang dikabarkan memiliki ilmu membaca mimpi dan pengendali hujan. Dan begitu matanya bertemu dengan Jaka…> “Jadi… ini dia, pendekar yang katanya bisa mengusir kutukan langit?” katanya dengan senyum tipis.