LOGINSetelah membereskan ketiga prajurit penjaga, pasukan Dirgasura bergerak kembali mendekati tepi rawa. Gerakan mereka kali ini tak lagi lambat. Seperti sekawanan anjing lapar yang melihat tumpukan tulang di depan mata, mereka memburu ke tepi. Meski begitu, tak ada keributan berarti mereka ciptakan.
Di tepi rawa bakau, mereka melepaskan keranda pelindung. Selanjutnya pasukan yang terdiri dari kurang-lebih dua puluh lima orang itu mengendap-endap menuju barak-barak pasukan Demak Di barak pasukan Demak, Laskar Lawa Merah melanjutkan serangan gelap.
Beberapa penjaga yang terkantuk-kantuk dibelai hawa shubuh menemui ajal disergap secara tiba-tiba. Ada yang bernasib serupa dengan tiga prajurit penjaga, tertembus anak panah anak buah Dirgasura. Ada yang ditikam dari belakang dengan pisau. Ada juga yang digorok lehernya dengan telengas! Semua itu memang bagian dari rencana pemimpin gerombolan, Dirgasura.
Lelaki bertubuh mirip raksasa itu tahu benar, mereka tak akan memiliki kesempatan unggul jika harus menghadapi secara langsung kekuatan pasukan Demak yang bermarkas di sana. Kalau dibuat perbandingan, jumlah pasukannya cuma seperlima jumlah kekuatan pasukan Demak.
Satu-satunya taktik yang mungkin dijalankan adalah melakukan serbuan gelap. Dengan cara itu, sedikit demi sedikit kekuatan pasukan Demak terkikis. Setelah menumpas seluruh prajurit penjaga di luar barak, Dirgasura mengatur siasat selanjutnya.
Untuk melakukan perang terbuka, Dirgasura masih belum mau mengambil resiko. Meski sudah cukup banyak prajurit Demak terbunuh, namun jumlah mereka yang kini masih terlelap di dalam barak tetap tak imbang dengan jumlah anak buahnya. Karenanya, Dirgasura mencoba mengikis lebih jauh kekuatan pasukan Demak dengan cara yang tak kalah telengas dari sebelumnya.
Disiapkannya tabung-tabung racun. Tabung-tabung dari bambu itu memiliki sumbu. Jika sumbu dibakar, maka serbuk racun di dalam tabung akan mengeluarkan asap tipis mengandung racun mematikan. Jika dalam satu tarikan napas saja asap itu tersedot ke dalam paru-paru, maka dalam beberapa hitungan jari, korban akan menemui ajal dengan mulut mengeluarkan busa! Racun itu didapat salah seorang Manggala Majapahit di masa kekuasaan Prabu Kertarajasa lebih dari seratus tahun lalu, dari para prajurit Tartar.
Ketika pasukan Tartar di bawah pimpinan Ike Mese, Kau Shing dan Shih Pi bergabung dengan pasukan Majapahit untuk menyerang Kediri, si Manggala sempat mempelajari beberapa ilmu racun Cina. Termasuk racun asap mematikan yang kini hendak dipergunakan Dirgasura.
Beberapa tahun kemudian, Manggala itu justru mati oleh salah satu racun yang dipelajarinya. Catatan-catatannya hilang begitu saja. Rupanya ada orang dalam yang berhasrat menguasai ilmu racun Cina itu, lalu membunuh si Manggala secara licik. Orang tersebut adalah kakek Dirgasura.
Secara diam-diam ilmu racun Cina itu akhirnya diwariskan pada Dirgasura, tanpa pernah diketahui sama sekali oleh pihak istana yang lain. Karena kebetulan sekali barak-barak pasukan Demak dibuat dari tenda kulit hewan, maka dengan mudah asap beracun akan tertahan di dalam jika seluruh tenda tertutup.
Namun sebelum gerombolan perampok berdarah dingin itu memulai, mereka dikejutkan oleh suara tabuhan keras bertalu-talu dari satu bangunan kecil di sebelah timur barak.
Dung-dung-dung...!
Mereka terperanjat!
Pada saat yang sama, prajurit Demak di dalam barak mulai terbangun. Menyusul terdengar sayup-sayup suara seruan seseorang. Panjang, meliuk-liuk dan mengalun.
Rupanya, suara tabuhan keras, cepat dan bertalu itu berasal dari bedug di langgar kecil yang dibuat khusus oleh pasukan Demak untuk melaksanakan shalat. Sedangkan seruan panjang yang mengikutinya adalah suara azan.
Dalam keadaan tak terduga itu, salah seorang prajurit Demak sudah keluar dari barak. Salah seorang anak buah Dirgasura cepat melepas anak panahnya. Karena dilakukan dalam keadaan terburu, anak panah itu melesat tak tepat ke sasaran yang dituju. Mestinya dada kiri korban tujuannya, tapi yang terkena malah bahu kirinya.
"Aaaaaa! Ada serangan!" Teriakan si prajurit Demak yang terkena panah pun menyeruak awal shubuh yang semula hening. Maka, seluruh pasukan dalam barak bangun tersentak.
Mereka menerobos keluar dari barak-barak dengan senjata di tangan meskipun keadaan mereka belum lagi siap untuk melakukan pertempuran....
Telanjur diketahui, Dirgasura tak ingin mental anak buahnya jadi hancur. Segera saja dia meneriakkan seruan perang, menyulut api semangat anak buahnya.
"Seraaaaaaang!"
Menyusul setelah itu, bunyi denting senjata dan teriakan haus darah Laskar Lawa Merah. Dirgasura sendiri sudah lebih dahulu maju membabat beberapa prajurit Demak yang tak siap menghadapi terjangannya. Sepertinya dia tahu benar, dengan begitu anak buahnya tak akan memikirkan lagi jumlah mereka yang lebih sedikit.
Prahara pun berlangsung!
-o0o-
PAGI MENJELANG.
Kokok ayam jantan terus bersahut-sahutan dari menjelang shubuh hingga kini. Matahari mulai menghangatkan bumi, mengenyahkan embun yang bergerak lamat-lamat. Sinar mulai benderang di ufuk timur.
"Pagiiii! Selamat pagi!!!!"
Gila-gilaan, Angon Luwak berteriak sendiri di puncak pohon jangkung.
Di salah satu batang yang cukup untuk menahan tubuhnya, anak itu duduk bertengger sambil mengayun-ayunkan kaki seenaknya. Entah pada siapa tabik itu hendak ditujukannya. Tak ada yang tahu. Barangkali, bocah itu sendiri tak tahu juga.
Dia hanya ingin meneriakan salam, maka dia teriakan. Itu saja. Yang jelas, pagi bugar ini membawa kesegaran dalam dirinya, meski hampir semalaman dia tak tidur. Apalagi karena perutnya sudah aman dari rasa lapar setelah menandaskan sepotong ayam panggang bakar dinihari tadi.
"He! kambing buduk! Jangan seenaknya berteriak! Memangnya cuma kau saja yang punya telinga?!"
Di bawahnya, Tresnasari sudah berdiri bertolak pinggang. Dia dongkol sekali pada teriakan Angon Luwak barusan. Karena teriakan itu, dia jadi bangun mendadak. Kepalanya berdenyut-denyut. Matanya berkunang-kunang. Dikiranya ada gempa bumi. Tak tahunya ada 'bocah setengah sinting' berteriak-teriak tak karuan dari atas pohon.
Ketika terjaga semalam, Tresnasari melanjutkan tidurnya. Tawaran ayam panggang Angon Luwak ditolaknya mentah-mentah. Lebih baik dia melanjutkan tidur dengan perut keroncongan daripada menerima tawaran bocah yang membuatnya sebal itu.
Angon Luwak tak keberatan dengan penolakan Tresnasari. Pikirnya, dengan bakal ada jatah ayam panggang tambahan yang bisa disikatnya untuk sarapan pagi.
"Pagi, Nona...," Salam Angon Luwak.
Dipasangnya senyum semenawan mungkin. Dipandangan gadis tanggung berparas ayu yang disalaminya, senyum itu benar-benar menyebalkan. Sekali lagi menyebalkan.
Tak pernah mimpi, bangun tidur disambut senyum seekor kambing buduk, dengus Tresnasari dalam hati. Terus memasang wajah bebas lepasnya, Angon Luwak turun dari atas pohon. Gayanya seperti seekor anak kera. Lincah dan cepat.
Tiga sodokan sisi telapak kakinya kembali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bahkan oleh mata lawan yang banyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Terbukti dengan dimenangkannya satu partai pertandingan belum lama.Kepala lawan yang tertutup tudung seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri, kepala orang bertudung tahu-tahu sudah condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki perlente membuat satu putaran dengan bertumpu pada sends lututnya. Seakan hendak dipeluntirnya kepala orang bertudung.Jika orang bertudung hanya menggerakkan lehernya sekali ini, maka tak akan ada kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab, putaran kaki lawan menutup ruang gerak yang bisa dijangkau otot lehernya.Wukh! Tep!Bergerak bagai bayangan, tangan orang bertudung mendadak sontak terangkat, dan disa
Disana terdapat taman kecil asri. Beberapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di tengah-tengah taman, ada semacam kolam pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau bukan di tempat orang, dia akan segera buka pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bugil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecilnya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke laut lepas di pantai Ketawang....Hey, Angon Luwak terhenyak. Sebagian ingatan masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini, bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali tak terngiang di benaknya. Selagi tertakjub dengan sekelumit ingatannya, perhatian pemuda itu diusik oleh suara tangisan seorang wanita dari balik dinding kayu bangunan. Karena suara tangisan itu begitu halus, Angon Luwak beringsut mendekati dinding kayu di bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.‘Jangan-jangan cuma salah dengar,’ pikirnya.Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar, memang ada seorang perempuan sedang menangis di dalam sana."S
Di sampingnya, Bupati Kudus turut melangkah terburu. Seorang lelaki menjelang tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya mengembang. Wajahnya bersih dan enak dipandang."Waduh, waduh Gusti Patih, selamat datang!" sambut sang Saudagar, berlebihan.Bagaspati turun dari punggung kuda. Diikuti Angon Luwak dan Tresnasari. Kuda mereka digiring seorang kacung ke kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam, sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Angon Luwak dan Tresnasari untuk melangkah ke pendapa rumahnya.Beberapa undangan di pendapa serentak bangkit dan menghaturkan hormat pada tiga orang tamu yang baru datang. Hidung Angon Luwak kembang-kempis. Baru sekali ini dia merasakan suasana seperti itu. Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya digagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih yang dihormati.‘Sekali-kali, bolehlah bermimpi,’ gumam Angon Luwak dalam hati. Ngaco! Coba ka
Bagaspati terpaksa tersenyum lagi mendengar cerocos Angon Luwak. Padahal, sebelumnya pemuda itu justru yang tak sabar meminta penjelasan. Sampai akhirnya Angon Luwak menyadari sendiri kebodohannya."He he he, aku terlalu banyak ngomong, ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan malu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).“Kau siap mendengar penjelasanku?" tanya Patih Bagaspati.Angon Luwak mengangguk. Dia tak ingin membiarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang bingung. mulutnya sering kali sulit dikendalikan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon."Begini..." Bagaspati memulai. "Sebenarnya, tindakanku menyelinap di atas wuwungan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendiri....""Ah, masa'!" perangah Angon Luwak. Matanya membesar. Langkahnya terhenti."Ya. Beliau bermaksud menguji kepandaianmu selaku seorang pendekar muda. Lalu, aku diperintah untuk mengujinya.'"Ah, buat apa menguji aku segala" Angon Luwak tak percaya. Benar-benar tak perca
KERATON Demak di penghujung dini hari. Kekacauan baru saja pupus, berkawal kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Seluruh prajurit Keraton Demak berkumpul di luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peristirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara mereka, mengawasi kejadian di samping satu tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk kekacauan, parasnya sama sekali tak berubah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukannya. Seolah badai hebat pun tak bisa mempengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.Di tengah-tengah pelataran Taman Sari, seorang lelaki berpakaian hitam-hitam tergeletak lemah. Mulut dan hidungnya mengalirkan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh demikian pucat. Menderita sekali tampaknya. Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia berusaha bergerak bangkit.Di atas wuwungan ruang peristirahatan, berdiri seorang pemuda gagah berambut lurus panjang kemerahan hingga sebatas bahu. Dia mengenakan rompi putih dari kulit bin
Lagi-lagi Angon Luwak cengar-cengir lugu. Dalam hati, Angon Luwak merasa tak pantas mendapat pujian dari orang besar dan mulia seperti Raden Patah yang sudah berusia cukup lanjut. Kalau mengingat bagaimana masa-masa muda gemilang pendiri Kerajaan Demak itu yang sering didengarnya dari cerita-cerita masyarakat, Angon Luwak merasa tak berarti apa-apa.Pernah Angon Luwak mendengar, masa muda Raden Patah sudah diisi dengan perjuangan tak kunjung padam. Tak kenal letih. Tak kenal waktu. Bahkan sampai kini, di usianya yang sudah cukup tua. Bukan karena dalam dirinya masih mengalir darah raja-raja Majapahit. Melainkan karena keluhuran budi pekertinya dalam godokan pemuka-pemuka masyarakat yang tak diragukan pula keluhuran jiwanya.Membayangkan masa muda Raden Patah; membuat dorongan semangat dalam diri Angon Luwak untuk mengikuti jejaknya.Malam sudah cukup larut. Angon Luwak diberi kamar di dekat ruang pasang-rahan. Tresnasari mendapat kamar tersendiri, berseberangan







