Home / Fantasi / Pendekar Sinting dari Laut Selatan / 10. Prahara pun berlangsung!

Share

10. Prahara pun berlangsung!

last update Last Updated: 2025-01-26 14:20:48

Setelah membereskan ketiga prajurit penjaga, pasukan Dirgasura bergerak kembali mendekati tepi rawa. Gerakan mereka kali ini tak lagi lambat. Seperti sekawanan anjing lapar yang melihat tumpukan tulang di depan mata, mereka memburu ke tepi. Meski begitu, tak ada keributan berarti mereka ciptakan.

Di tepi rawa bakau, mereka melepaskan keranda pelindung. Selanjutnya pasukan yang terdiri dari kurang-lebih dua puluh lima orang itu mengendap-endap menuju barak-barak pasukan Demak Di barak pasukan Demak, Laskar Lawa Merah melanjutkan serangan gelap.

Beberapa penjaga yang terkantuk-kantuk dibelai hawa shubuh menemui ajal disergap secara tiba-tiba. Ada yang bernasib serupa dengan tiga prajurit penjaga, tertembus anak panah anak buah Dirgasura. Ada yang ditikam dari belakang dengan pisau. Ada juga yang digorok lehernya dengan telengas! Semua itu memang bagian dari rencana pemimpin gerombolan, Dirgasura.

Lelaki bertubuh mirip raksasa itu tahu benar, mereka tak akan memiliki kesempatan unggul jika harus menghadapi secara langsung kekuatan pasukan Demak yang bermarkas di sana. Kalau dibuat perbandingan, jumlah pasukannya cuma seperlima jumlah kekuatan pasukan Demak.

Satu-satunya taktik yang mungkin dijalankan adalah melakukan serbuan gelap. Dengan cara itu, sedikit demi sedikit kekuatan pasukan Demak terkikis. Setelah menumpas seluruh prajurit penjaga di luar barak, Dirgasura mengatur siasat selanjutnya.

Untuk melakukan perang terbuka, Dirgasura masih belum mau mengambil resiko. Meski sudah cukup banyak prajurit Demak terbunuh, namun jumlah mereka yang kini masih terlelap di dalam barak tetap tak imbang dengan jumlah anak buahnya. Karenanya, Dirgasura mencoba mengikis lebih jauh kekuatan pasukan Demak dengan cara yang tak kalah telengas dari sebelumnya.

Disiapkannya tabung-tabung racun. Tabung-tabung dari bambu itu memiliki sumbu. Jika sumbu dibakar, maka serbuk racun di dalam tabung akan mengeluarkan asap tipis mengandung racun mematikan. Jika dalam satu tarikan napas saja asap itu tersedot ke dalam paru-paru, maka dalam beberapa hitungan jari, korban akan menemui ajal dengan mulut mengeluarkan busa! Racun itu didapat salah seorang Manggala Majapahit di masa kekuasaan Prabu Kertarajasa lebih dari seratus tahun lalu, dari para prajurit Tartar.

Ketika pasukan Tartar di bawah pimpinan Ike Mese, Kau Shing dan Shih Pi bergabung dengan pasukan Majapahit untuk menyerang Kediri, si Manggala sempat mempelajari beberapa ilmu racun Cina. Termasuk racun asap mematikan yang kini hendak dipergunakan Dirgasura.

Beberapa tahun kemudian, Manggala itu justru mati oleh salah satu racun yang dipelajarinya. Catatan-catatannya hilang begitu saja. Rupanya ada orang dalam yang berhasrat menguasai ilmu racun Cina itu, lalu membunuh si Manggala secara licik. Orang tersebut adalah kakek Dirgasura.

Secara diam-diam ilmu racun Cina itu akhirnya diwariskan pada Dirgasura, tanpa pernah diketahui sama sekali oleh pihak istana yang lain. Karena kebetulan sekali barak-barak pasukan Demak dibuat dari tenda kulit hewan, maka dengan mudah asap beracun akan tertahan di dalam jika seluruh tenda tertutup.

Namun sebelum gerombolan perampok berdarah dingin itu memulai, mereka dikejutkan oleh suara tabuhan keras bertalu-talu dari satu bangunan kecil di sebelah timur barak.

Dung-dung-dung...!

Mereka terperanjat!

Pada saat yang sama, prajurit Demak di dalam barak mulai terbangun. Menyusul terdengar sayup-sayup suara seruan seseorang. Panjang, meliuk-liuk dan mengalun.

Rupanya, suara tabuhan keras, cepat dan bertalu itu berasal dari bedug di langgar kecil yang dibuat khusus oleh pasukan Demak untuk melaksanakan shalat. Sedangkan seruan panjang yang mengikutinya adalah suara azan.

Dalam keadaan tak terduga itu, salah seorang prajurit Demak sudah keluar dari barak. Salah seorang anak buah Dirgasura cepat melepas anak panahnya. Karena dilakukan dalam keadaan terburu, anak panah itu melesat tak tepat ke sasaran yang dituju. Mestinya dada kiri korban tujuannya, tapi yang terkena malah bahu kirinya.

"Aaaaaa! Ada serangan!" Teriakan si prajurit Demak yang terkena panah pun menyeruak awal shubuh yang semula hening. Maka, seluruh pasukan dalam barak bangun tersentak.

Mereka menerobos keluar dari barak-barak dengan senjata di tangan meskipun keadaan mereka belum lagi siap untuk melakukan pertempuran....

Telanjur diketahui, Dirgasura tak ingin mental anak buahnya jadi hancur. Segera saja dia meneriakkan seruan perang, menyulut api semangat anak buahnya.

"Seraaaaaaang!"

Menyusul setelah itu, bunyi denting senjata dan teriakan haus darah Laskar Lawa Merah. Dirgasura sendiri sudah lebih dahulu maju membabat beberapa prajurit Demak yang tak siap menghadapi terjangannya. Sepertinya dia tahu benar, dengan begitu anak buahnya tak akan memikirkan lagi jumlah mereka yang lebih sedikit.

Prahara pun berlangsung!

-o0o-

PAGI MENJELANG.

Kokok ayam jantan terus bersahut-sahutan dari menjelang shubuh hingga kini. Matahari mulai menghangatkan bumi, mengenyahkan embun yang bergerak lamat-lamat. Sinar mulai benderang di ufuk timur.

"Pagiiii! Selamat pagi!!!!"

Gila-gilaan, Angon Luwak berteriak sendiri di puncak pohon jangkung.

Di salah satu batang yang cukup untuk menahan tubuhnya, anak itu duduk bertengger sambil mengayun-ayunkan kaki seenaknya. Entah pada siapa tabik itu hendak ditujukannya. Tak ada yang tahu. Barangkali, bocah itu sendiri tak tahu juga.

Dia hanya ingin meneriakan salam, maka dia teriakan. Itu saja. Yang jelas, pagi bugar ini membawa kesegaran dalam dirinya, meski hampir semalaman dia tak tidur. Apalagi karena perutnya sudah aman dari rasa lapar setelah menandaskan sepotong ayam panggang bakar dinihari tadi.

"He! kambing buduk! Jangan seenaknya berteriak! Memangnya cuma kau saja yang punya telinga?!"

Di bawahnya, Tresnasari sudah berdiri bertolak pinggang. Dia dongkol sekali pada teriakan Angon Luwak barusan. Karena teriakan itu, dia jadi bangun mendadak. Kepalanya berdenyut-denyut. Matanya berkunang-kunang. Dikiranya ada gempa bumi. Tak tahunya ada 'bocah setengah sinting' berteriak-teriak tak karuan dari atas pohon.

Ketika terjaga semalam, Tresnasari melanjutkan tidurnya. Tawaran ayam panggang Angon Luwak ditolaknya mentah-mentah. Lebih baik dia melanjutkan tidur dengan perut keroncongan daripada menerima tawaran bocah yang membuatnya sebal itu.

Angon Luwak tak keberatan dengan penolakan Tresnasari. Pikirnya, dengan bakal ada jatah ayam panggang tambahan yang bisa disikatnya untuk sarapan pagi.

"Pagi, Nona...," Salam Angon Luwak.

Dipasangnya senyum semenawan mungkin. Dipandangan gadis tanggung berparas ayu yang disalaminya, senyum itu benar-benar menyebalkan. Sekali lagi menyebalkan.

Tak pernah mimpi, bangun tidur disambut senyum seekor kambing buduk, dengus Tresnasari dalam hati. Terus memasang wajah bebas lepasnya, Angon Luwak turun dari atas pohon. Gayanya seperti seekor anak kera. Lincah dan cepat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   18. Jual Mahal Sibocah

    "Hendak ke mana kau?!" Bentak Ki Kusumo, baru saja empat langkah Angon Luwak menjejakkan kaki di atas pasir pantai.Mendadak saja, tubuh Angon Luwak sulit digerakkan. Bukan cuma sepasang kakinya yang memberat seperti dipaku langsung ke dalam bumi, tubuhnya pun sulit digerakkan. Anak itu mematung dalam posisi orang melangkah, membelakangi Ki Kusumo."Kalau kau ingin terus berdiam diri di situ sampai beberapa hari, kau boleh menolak ajakanku sekarang," Ancam Ki Kusumo. Main-main tentunya. Angon Luwak tidak menyahut. Meski Ki Kusumo tidak membuat otot mulutnya kaku juga."Aku cuma ingin bicara padamu. Apa salahnya?" Bujuk Ki Kusumo."Salahnya, kau terlalu memaksa Pak Tua," Ucap Angon Luwak akhirnya, keras kepala."Tapi aku ingin membicarakan satu hal penting.""Tapi mestinya kau menanyakan dulu padaku, apakah aku mau kau ajak bicara atau tidak," Sengit Angon Luwak.Si orang tua yang sampai saat itu belum diketahui jati diri sesungguhnya

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   17. Sakit Parah

    "Kau yang menyebabkan Nyai terluka parah, Kambing Buduk Brengsek!" Makinya seperti suara orang hendak menangis."Sudahlah, Cah Ayu...," Ki Kusumo mencoba menengahi. Kalau tidak, pasti satu jotosan bersarang empuk kembali di wajah Angon Luwak. Bisa jadi juga berkali-kali. Mungkin sampai Angon Luwak pingsan lagi. Siapa tahu? Masih dengan dada turun-naik dibakar kegusaran, si dara tanggung meninggalkan gubuk.Pintu dikuaknya lebar-lebar, membiarkan sinar matahari lancang menerobos masuk. Mata Angon Luwak menyipit, silau diterjang sinar terang."Apa yang terjadi dengan Bibik, Pak Tua?" Tanya Angon Luwak tergesa, ketika terngiang hardikan Tresnasari terakhir."Ibu perempuan itu yang kau maksud?"Ki Kusumo meminta kejelasan seraya menyerahkan gelas bambu pada Angon Luwak. Angon Luwak menerima. Sambil menyambut sodoran gelas bambu tadi, ditunggunya jawaban orang tua yang sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam mangkuk tanah liat dengan tangan kanannya.

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   16. Ki Kusumo

    Darah hitam termuntah dari mulutnya. Kalau saja dia tak dalam keadaan sakit, tentu luka dalam yang dideritanya tak akan separah itu. Tresnasari meraung-raung memanggil-manggil ibunya. Dari tempatnya berdiri, dia berlari memburu Nyai Cemarawangi! Tiba di dekatnya, disergapnya tubuh perempuan itu sambil bersimpuh."Nyai tidak apa-apa?" Tanya gadis ayu itu tersendat-sendat dihadang isak.Air mata membasahi kedua pipi kemayunya. Ibunya tak bisa menjawab, kecuali menggelengkan kepala. Dia ingin meyakinkan anaknya kalau keadaan dirinya tak perlu dikhawatirkan.Sayang, darah kehitaman yang terus merembes keluar dari sela-sela bibir pucatnya mengatakan suatu yang lain. Beranglah Tresnasari. Cepat dicabutnya kembali sepasang belati dari ikat pinggang. Dia bangkit dengan wajah mengeras."Orang itu harus membayar perlakuannya terhadap Nyai," Geramnya."Jjj... jangan, Tresna...."Sang ibunda hendak menahan. Tresnasari sudah telanjur berlari menghambur k

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   15. Semua Terbengong

    Orang tua sakti misterius itukah yang telah sengaja menyalurkan tenaga dalamnya ke diri Angon Luwak hingga membuatnya sanggup bertahan terhadap terjangan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan Dirgasura dalam bentakannya? Ah, Ki Kusumo sendiri saat itu malah sedang sibuk menggeleng-gelengkan kepala. Biar mampus disambar capung, dia terheran-heran menyaksikan si bocah sehat wal'afiat.Padahal Ki Kusumo sudah mengukur kekuatan teriakan bertenaga dalam kedua Dirgasura. Teriakan itu lebih kuat dari sebelumnya. Mestinya, keadaan Angon Luwak akan semakin parah. Bahkan bisa-bisa pula tak sadarkan diri.Semalam dia dibuat bertanya-tanya dalam hati karena si bocah yang ditaksirnya hendak dijadikan murid ternyata sanggup mengalahkan 'sirap'nya. Kini terjadi hal lain lagi. Benar-benar tak bisa dimengerti!Merasa telah dikelabui dari awal, Dirgasura jadi penasaran. "Siapa kau sebenarnya?" Tanya Dirgasura, ditujukan pada Angon Luwak.Angon Luwak tak memperhatikan. Dia

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   14. Mendadak Sakti

    Sementara sekumpulan orang yang menjadi sasaran rambahan serbuk tadi di udara, tak pernah menyadari bahwa tangan-tangan maut siap menjemput! Mereka hanya menatap tak mengerti dengan wajah penuh tanda tanya. Sampai akhirnya beberapa orang pertama terkena tebaran serbuk. Teriakan mereka memecah keheningan suasana dan keheningan pagi muda.Kala itulah yang lain menyadari kalau serbuk tadi adalah racun ganas. Sayang, mereka sudah terlambat untuk menghindar. Tak ada beberapa tarikan napas saja, seluruh prajurit malang tadi sudah menggelepar-gelepar di lapangan rumput yang masih dilembabi embun. Kulit mereka berubah memerah laksana terpanggang. Ketika tangan mereka menggaruk-garuk liar, kulit pun mengelupas. Mereka bergelinjangan terus. Saling tindih, saling menyentak. Sampai akhirnya, racun yang terserap kulit mereka digiring aliran darah dan sampai ke jantung. Jantung mereka terbakar.Seluruh prajurit tewas! Saat itulah, entah bagaimana salah seorang dari mereka ternyata l

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   13. Kemunculan Dirgasura, gembong Laskar Lawa Merah!

    Wrrr....!Krakh!Ketika gulungan tubuh Tresnasari terbuka, sebelah kakinya menghentak amat keras ke tengah-tengah batang tombak. Tombak terpatah dua. Patahannya memburu deras ke arah tubuh lelaki bengis.Creph! "Ukh!"Hanya sempat memperdengarkan hentakan napas teramat pendek tercekat, si lelaki bertubuh kekar ambruk dengan leher tertembus patahan batang tombak dari samping!"Kau tak perlu berbuat itu padanya, Tresna...," Tegur Nyai Cemarawangi."Tapi dia pantas menerimanya. Apa Nyai tak lihat sifatnya tak lebih baik dari binatang?" Kilah Tresna.Si perempuan menjelang tengah baya menggeleng-gelengkan kepala lamat."Bocah perempuan keparat!!!"Sebuah suara lantang melantun kasar. Dedaunan bergemerisik. Sebagian berguguran. Tubuh Angon Luwak tersentak kejang. Pertahanan anak tak berbekal ilmu bela diri itu langsung ambrol. Dia jatuh berlutut dalam keadaan menggigil.Tresnasari pun tersentak.Cuma dia tak sep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status