Share

9. Laskar Lawa Merah

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-26 14:19:44

Banyak buaya liar berkeliaran. Selain itu, pasukan yang mencoba menerobos ke sana harus menempuh perjalanan tanpa kendaraan menembus rawa setinggi pusar selama satu malam. Lebatnya hutan bakau tak memungkinkan untuk menggunakan perahu. Besar kemungkinan selama merambah bentangan rawa, mereka akan diserang nyamuk-nyamuk pembawa penyakit. Kesiapan tempur mereka akan terkoyak setibanya di batas rawa penghubung ke wilayah kekuasaan pasukan Demak. Belum lagi banyaknya hewan-hewan melata berbisa. Namun, Dirgasura tak ingin melakukan bunuh diri terhadap pasukan sendiri. Dia telah mempersiapkan perambahan rawa tersebut secara cermat dan matang.

Untuk mengatasi serangan buaya-buaya penghuni rawa, sang pemimpin gerombolan perampok memerintahkan anak buahnya membuat keranda setinggi dada manusia. Bagian bawah dan atasnya terbuka, hingga memungkinkan seseorang bisa berjalan bebas di dalam kurungan keranda. Keranda itu terbuat dari rotan memanjang yang disatukan satu dengan yang lain dengan tali dari samakan urat binatang. Panjangnya cukup untuk mengurung tubuh tiga orang. Dengan keranda rotan itu, mereka akan merambah rawa bakau.

Buaya tak akan bisa mendekati mereka karena terhalang keranda. Sedangkan ikatan tali dari samakan urat banteng pada rotan menyebabkan keranda tersebut dapat lentur meliuk ke sana-ke sini di antara tetumbuhan bakau. Untuk menghindari serangan nyamuk-nyamuk rawa pembawa bibit penyakit menular, Dirgasura mendatangi seorang tabib ahli yang pernah dikenalnya ketika sebelum menggalang para perampok. Diperintahnya tabib itu untuk membuat ramuan mengusir nyamuk yang diborehkan ke kulit.

-o0o-

Menjelang pagi, Laskar Lawa Merah berhasil merambahi rawa bakau. Mereka terus bergerak lambat mendekati batas wilayah kekuasaan pasukan Demak dengan pertahanan terlemah. Di tepi bentangan rawa sebelah barat sebelumnya, mereka meninggalkan kuda tunggangan masing-masing.

Keranda yang mereka persiapkan untuk mengarungi rawa bakau mereka turunkan dari sisi pelana kuda. Lalu setiap tiga orang mengurung tubuh bagian pinggang hingga ke kaki dengan tiap keranda, dan mulai turun ke dalam air rawa yang keruh dan dingin. Tangan mereka memegangi batang kayu yang diikatkan pada puncak keranda. Sedangkan seluruh senjata mereka digantungkan di punggung. Setelah berhasil menempuh waktu hampir satu malam dan berhasil mengatasi serangan buaya-buaya lapar dengan susah-payah, mereka berhasil juga mendekati daerah sasaran.

Di kejauhan, terlihat kerlap-kerlip lampu-lampu minyak yang berasal dari rumah-rumah penduduk dan tenda-tenda prajurit Demak. Jauh di tepi rawa, cuma ada satu menara kayu yang dibangun setinggi empat tombak.

Ada tiga orang di sana. Satu orang berdiri di menara. Sisanya terlihat berdiri di bawah pohon besar. Keduanya bercakap-cakap sambil menghisap lintingan rokok kawung.

Tepat seperti perkiraan Dirgasura, batas wilayah itu memang tak dianggap berbahaya oleh pasukan Demak. Buktinya mereka hanya menempatkan tiga prajurit. Dan itu membuat Dirgasura makin bernafsu untuk secepatnya menjarah harta dan membawa lari beberapa wanita dari daerah tersebut. Belum lagi harta rampasan perang milik pasukan Demak yang kabarnya belum sempat dikirim ke pusat.

"Bagus...," Desis Dirgasura. Matanya berkilat-kilat nyalang.

"Saatnya kita berpesta-pora!"

Lalu mereka mulai bergerak lambat kembali. Pada jarak yang dianggap cukup dekat dari tiga prajurit Demak, Dirgasura memerintah tiga orang anak buah ahli panahnya untuk memulai aksi.

Tak jauh dari wilayah sasaran serangan Laskar Lawa Merah, tepatnya di tempat Angon Luwak, Nyai Cemarawangi dan Tresnasari beristirahat, dua orang lelaki bertaut usia amat jauh masih terlibat percakapan.

"Jadi, kau ini sebenarnya siapa, Pak Tua Kusumo?" Tanya Angon Luwak.

"Kau tak perlu menanyakan itu."

"Kenapa tak perlu? Aku bahkan merasa harus menanyakan siapa dirimu sebenarnya. Sebab aku curiga. Sebelumnya kau berpura-pura menjadi seorang pemilik warung kecil. Dan tiba-tiba, kau muncul dengan 'kedok' aslimu...," Sengit Angon Luwak.

Di tangannya masih tersisa sepotong besar panggang ayam. Setengah bagiannya sudah tandas ke dalam perutnya tanpa tedeng aling-aling.

Ki Kusumo terkekeh.

Padahal siapa pun tak akan menganggap ucapan Angon Luwak barusan sebagai suatu yang lucu. Apalagi sampai ditertawakan. Tapi sekali ini rupanya orang tua itu punya alasan yang cukup tepat.

"Kau bilang kau curiga padaku. Tapi kau menyikat begitu saja ayam bawaanku...."

Angon Luwak menatap sejenak sisa besar panggangan ayam di tangannya. Mulutnya masih terus mengunyah tiada henti seperti seekor anak lembu

"Terang saja aku akan memakannya. Aku sudah begitu lapar!"

"Bukan itu, maksudku. Mestinya kau curiga juga kalau-kalau aku meracuni ayam itu," Ki Kusumo terkekeh lagi.

"Iya-ya...," Ujar Angon Luwak kebodohan. Tapi terus saja dia mengunyah daging di mulutnya.

"Jadi apa alasanmu sebenarnya menanyakan siapa diriku? Tentu bukan curiga, kan?"

Angon Luwak menyikat lagi panggang ayam di tangannya. Belum lagi kunyahan di mulut tertelan.

"Apa ya? Ah, tak tahulah. Pokoknya aku penasaran pada dirimu, Pak Tua!"

"He-he-he. Sebenarnya, aku juga penasaran pada dirimu, Cah Bagus!"

"Penasaran bagaimana?"

Ki Kusumo tak segera menjawab. Tresnasari yang tertidur beberapa tindak didekatnya mulai bergeliat.

"Mmm, tampaknya aku mesti segera pergi...," Ucap Ki Kusumo.

"Tapi, Pak Tua..."

Belum selesai kalimat Angon Luwak, tubuh si orang tua sudah melenting ringan ke atas dahan pohon. Di atas dia berkelebat dan hilang di kegelapan.

Ayam jantan hutan mulai terdengar berkokok di kejauhan. Subuh telah tiba. Tresnasari terbangun. Menyaksikan ada tiga ekor ayam panggang di atas api unggun, dia menatap Angon Luwak terheran-heran.

Bagaimana si kambing buduk ini sempat-sempatnya berburu ayam hutan di malam hari? Empat ekor pula?

"Ayo, mhakan. Jhangan malhu-malfu!" Angon Luwak mempersilakan dengan mulut masih terjejal daging panggang.

Sepertinya memang benar-benar dia yang telah susah payah mencari ayam hutan! Di penghujung dini hari, sebelum warna kuning pucat matahari pagi menyembul perlahan di sebelah timur, orang-orang Laskar Lawa Merah melakukan serangan gelapnya.

Tiga orang prajurit Demak yang sedang berjaga di batas rawa bakau mengalami nasib naas terkena anak panah. Tepat di dada kiri masing-masing, anak panah milik anak buah Dirgasura menghujam sasaran. Prajurit di atas menara pengawas tak sempat melempar teriakan sedikit pun. Ketika terkena, tubuhnya terhuyung sebentar. Tangannya mendekap bagian dada yang tertembus. Setelah itu tubuhnya limbung ke depan dan jatuh melayang deras ke bawah.

Tepat pada saat bersamaan, dua prajurit di bawah pun mengalami kejadian serupa. Keduanya hanya sempat mengeluh tertahan. Keduanya kemudian tersungkur ke dalam rawa.

Beberapa ekor buaya yang kebetulan berada di sekitar tempat itu segera memburu ke arah dua prajurit tadi. Binatang-binatang berdarah dingin itu berebutan, menciptakan riak permukaan rawa yang kemudian berwarna kemerah-merahan. Mereka berpesta pora menikmati sarapan pagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 5 (Kembar Jelita)

    Tiga sodokan sisi telapak kakinya kembali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bahkan oleh mata lawan yang banyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Terbukti dengan dimenangkannya satu partai pertandingan belum lama.Kepala lawan yang tertutup tudung seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri, kepala orang bertudung tahu-tahu sudah condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki perlente membuat satu putaran dengan bertumpu pada sends lututnya. Seakan hendak dipeluntirnya kepala orang bertudung.Jika orang bertudung hanya menggerakkan lehernya sekali ini, maka tak akan ada kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab, putaran kaki lawan menutup ruang gerak yang bisa dijangkau otot lehernya.Wukh! Tep!Bergerak bagai bayangan, tangan orang bertudung mendadak sontak terangkat, dan disa

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 4 (Kembar Jelita)

    Disana terdapat taman kecil asri. Beberapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di tengah-tengah taman, ada semacam kolam pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau bukan di tempat orang, dia akan segera buka pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bugil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecilnya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke laut lepas di pantai Ketawang....Hey, Angon Luwak terhenyak. Sebagian ingatan masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini, bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali tak terngiang di benaknya. Selagi tertakjub dengan sekelumit ingatannya, perhatian pemuda itu diusik oleh suara tangisan seorang wanita dari balik dinding kayu bangunan. Karena suara tangisan itu begitu halus, Angon Luwak beringsut mendekati dinding kayu di bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.‘Jangan-jangan cuma salah dengar,’ pikirnya.Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar, memang ada seorang perempuan sedang menangis di dalam sana."S

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 3 (Kembar Jelita)

    Di sampingnya, Bupati Kudus turut melangkah terburu. Seorang lelaki menjelang tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya mengembang. Wajahnya bersih dan enak dipandang."Waduh, waduh Gusti Patih, selamat datang!" sambut sang Saudagar, berlebihan.Bagaspati turun dari punggung kuda. Diikuti Angon Luwak dan Tresnasari. Kuda mereka digiring seorang kacung ke kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam, sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Angon Luwak dan Tresnasari untuk melangkah ke pendapa rumahnya.Beberapa undangan di pendapa serentak bangkit dan menghaturkan hormat pada tiga orang tamu yang baru datang. Hidung Angon Luwak kembang-kempis. Baru sekali ini dia merasakan suasana seperti itu. Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya digagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih yang dihormati.‘Sekali-kali, bolehlah bermimpi,’ gumam Angon Luwak dalam hati. Ngaco! Coba ka

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 2 (Kembar Jelita)

    Bagaspati terpaksa tersenyum lagi mendengar cerocos Angon Luwak. Padahal, sebelumnya pemuda itu justru yang tak sabar meminta penjelasan. Sampai akhirnya Angon Luwak menyadari sendiri kebodohannya."He he he, aku terlalu banyak ngomong, ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan malu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).“Kau siap mendengar penjelasanku?" tanya Patih Bagaspati.Angon Luwak mengangguk. Dia tak ingin membiarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang bingung. mulutnya sering kali sulit dikendalikan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon."Begini..." Bagaspati memulai. "Sebenarnya, tindakanku menyelinap di atas wuwungan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendiri....""Ah, masa'!" perangah Angon Luwak. Matanya membesar. Langkahnya terhenti."Ya. Beliau bermaksud menguji kepandaianmu selaku seorang pendekar muda. Lalu, aku diperintah untuk mengujinya.'"Ah, buat apa menguji aku segala" Angon Luwak tak percaya. Benar-benar tak perca

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 1 (Kembar Jelita)

    KERATON Demak di penghujung dini hari. Kekacauan baru saja pupus, berkawal kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Seluruh prajurit Keraton Demak berkumpul di luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peristirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara mereka, mengawasi kejadian di samping satu tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk kekacauan, parasnya sama sekali tak berubah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukannya. Seolah badai hebat pun tak bisa mempengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.Di tengah-tengah pelataran Taman Sari, seorang lelaki berpakaian hitam-hitam tergeletak lemah. Mulut dan hidungnya mengalirkan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh demikian pucat. Menderita sekali tampaknya. Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia berusaha bergerak bangkit.Di atas wuwungan ruang peristirahatan, berdiri seorang pemuda gagah berambut lurus panjang kemerahan hingga sebatas bahu. Dia mengenakan rompi putih dari kulit bin

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   69. Part 21 (Dendam Nini Jonggrang)

    Lagi-lagi Angon Luwak cengar-cengir lugu. Dalam hati, Angon Luwak merasa tak pantas mendapat pujian dari orang besar dan mulia seperti Raden Patah yang sudah berusia cukup lanjut. Kalau mengingat bagaimana masa-masa muda gemilang pendiri Kerajaan Demak itu yang sering didengarnya dari cerita-cerita masyarakat, Angon Luwak merasa tak berarti apa-apa.Pernah Angon Luwak mendengar, masa muda Raden Patah sudah diisi dengan perjuangan tak kunjung padam. Tak kenal letih. Tak kenal waktu. Bahkan sampai kini, di usianya yang sudah cukup tua. Bukan karena dalam dirinya masih mengalir darah raja-raja Majapahit. Melainkan karena keluhuran budi pekertinya dalam godokan pemuka-pemuka masyarakat yang tak diragukan pula keluhuran jiwanya.Membayangkan masa muda Raden Patah; membuat dorongan semangat dalam diri Angon Luwak untuk mengikuti jejaknya.Malam sudah cukup larut. Angon Luwak diberi kamar di dekat ruang pasang-rahan. Tresnasari mendapat kamar tersendiri, berseberangan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status