Waktu berlalu begitu cepat. Lima belas tahun telah lewat kembali. Keadaan di setiap penjuru kota telah banyak berubah. Kotaraja semakin maju. Gunung Thai San juga tampak semakin agung.
Lalu bagaimana dengan Kota Yu Nan? Apakah di sana juga telah terjadi banyak perubahan? Apakah semakin maju? Atau malah sebaliknya? Apakah pemandangan alamnya masih indah dan alami? Atau pemandangan itu telah hilang dan digantikan dengan gedung-gedung yang mewah serta megah? Saat itu musim salju telah tiba. Setiap jalanan yang ada dipenuhi oleh salju putih. Sebuah kereta sederhana yang ditarik oleh dua ekor kuda tampak berjalan dengan perlahan. Kereta kuda itu datang dari luar kota dan mungkin berniat untuk memasuki wilayah Kota Yu Nan. Ternyata hal itu tidak salah. Kereta kuda sederhana tersebut benar-benar masuk ke dalam kota. Setelah melewati pemeriksaan, sang kusir kembali menjalankan kudanya. Di dalam kabin kereta, di sana tampak ada seorang pemuda yang sedang duduk sambil menikmati arak. Dia minum arak dengan cara langsung menenggak dari guci nya. Pemuda itu mempunyai wajah tampan. Alisnya tebal, hidungnya mancung, mulutnya berbentuk busur panah dan kulitnya juga putih halus layaknya seorang gadis remaja. Ia pun mempunyai rambut panjang yang di gelung dan ditusuk dengan tusuk konde perak. Pemuda itu mengenakan pakaian ringkas sederhana berwarna putih. Penampilannya sangat mirip dengan orang-orang dunia persilatan. Meskipun barang-barang yang ada padanya bukanlah barang mewah, tapi justru hal itulah yang membuatnya tampak lebih tampan dan berkharisma. "A San, apakah di sekitar sini ada warung yang menjual arak?" tanya si pemuda kepada sang kusir. Suara pemuda itu terdengar merdu namun penuh wibawa. Seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah perintah. "Aku belum melihatnya, Tuan Muda," jawab sang kusir dengan rasa penuh hormat. "Tapi aku rasa, harusnya sih ada. Apalagi Kota Yu Nan adalah kota besar," Pada zaman ini, arak seolah-olah menjadi salah satu kebutuhan yang utama. Setiap orang, terutama pria, pasti akan menyukai arak. Entah itu arak yang keras, ataupun arak yang lembut. Tidak terkecuali dengan mereka berdua. Keduanya adalah setan arak. Setiap hari, entah berapa banyak arak yang masuk ke dalam perutnya. Satu hari saja tidak minum arak, mungkin keduanya akan mati karena kehausan. Namun di antara mereka, yang paling kuat takaran minumnya adalah si pemuda. Sudah beberapa kali keduanya bertanding minum arak, dan pemenangnya tetap orang yang sama. "Baiklah. Kalau kau melihat warung arak, langsung saja berhenti. Arak yang aku bawa tadi sudah habis," "Baik, Tuan Muda Li," Kusir yang bernama A San itu mengangguk. Dia kembali menjalankan kereta kuda sambil menoleh ke kanan kiri. Dia berharap di sekitar sana ada warung arak yang masih buka. Dan ternyata harapannya langsung dikabulkan. Tidak berapa jauh kereta kuda itu berjalan, tiba-tiba sepasang mata A San melihat ada warung arak. "Tuan Muda, di depan sana ada warung arak," kata A San penuh semangat. "Bagus. Kalau begitu mari kita segera ke sana," "Tapi, sepertinya itu hanya warung arak kecil. Di sana tidak mungkin tersedia arak lembut yang biasa Tuan Muda minum," "Tidak masalah, arak keras pun akan tetap aku minum. Yang penting tetap arak, bukan air kencing," Keduanya tertawa terbahak-bahak. Dalam waktu yang bersamaan, mereka juga segera menuju ke sana. Setelah tiba di depan warung arak, A San lalu menyimpan kudanya di tempat yang sudah disediakan oleh pemilik warung. Kemudian mereka berdua segera masuk ke dalam. Ternyata suasana di dalam warung arak terhitung ramai. Saat itu, kebetulan matahari baru saja tenggelam di ufuk sebelah barat. Sehingga sangat wajar apabila ada banyak orang yang singgah. Baik itu untuk melepaskan lelah dan beristirahat, ataupun sekedar ingin menghangatkan badan. Apalagi saat malam tiba, hawa dingin semakin menusuk tulang. A San dan pemuda itu langsung duduk di bangku yang masih kosong. Mereka kemudian pesan dua guci arak dan satu krat daging segar. Sembari menikmati arak, keduanya juga memperhatikan dan mendengarkan obrolan dari orang-orang tersebut. Di dengar dari obrolannya, sepertinya kebanyakan dari mereka merupakan para pendekar dunia persilatan. "A San, bukankah mereka adalah Sepasang Ular Dari Timur?" tanya si pemuda secara tiba-tiba. Sambil bertanya, sepasang matanya melihat ke pintu masuk. Pada saat itu, dari luar memang terlihat ada dua orang yang baru saja datang. Yang satu mengenakan pakaian warna merah. Sedangkan satunya lagi mengenakan pakaian warna hitam. Wajah mereka terlihat sangar. Apalagi jubah yang dikenakan keduanya. "Benar, Tuan Muda. Tapi, mengapa mereka berdua ada di sini?" A San membenarkan ucapannya. Namun di satu sisi, dia pun merasa heran karena kehadiran mereka berdua. "Sepertinya sebentar lagi akan terjadi sesuatu," A San mengangguk. Dia langsung diam dan memperhatikan gerak-gerik Sepasang Ular Dari Timur. Dua orang yang dimaksud saat ini sudah ada di dalam warung arak. Mereka tidak mencari tempat duduk. Melainkan justru menghampiri sebuah meja yang diisi oleh satu kelompok. "Apakah kalian berasal dari Jasa Ekspedisi Elang Putih?" tanya salah satu Sepasang Ular Dari Timur. Sekelompok orang yang tadinya sedang bercerita itu, tiba-tiba langsung terdiam. Mereka kemudian memandangi dua orang tersebut secara selidik. "Siapa Tuan berdua ini?" tanya salah seorang. "Jawab saja pertanyaanku barusan. Iya atau tidak?" "Benar. Kami memang orang-orang dari Jasa Ekspedisi Elang Putih. Apakah Tuan mempunyai keperluan?" "Siapa yang memimpin perjalanan kali ini?" bukannya menjawab pertanyaan, orang tersebut justru malah bertanya lagi. "Aku," salah seorang langsung berdiri. Orang itu mempunyai tubuh tinggi kekar dengan kulit sawo matang. Di pinggangnya terselip sebatang golok panjang. "Kau?" "Ya. Perkenalkan, namaku Cui Si. Orang-orang biasa menyebutku si Golok Panjang Cui Si," katanya memperkenalkan diri secara singkat. Bicaranya tegas. Dia pun memasang wajah serius. "Sebenarnya Tuan berdua mempunyai keperluan apa?" "Kami tidak punya keperluan apa-apa. Kami hanya menginginkan barang yang akan kau antar ke Kota Ji Nan," Wajah Cui Si langsung berubah serius setelah mendengar ucapan tersebut. Sepasang matanya memandangi mereka mulai dari atas sampai bawah. "Kenapa kau malah diam? Mau memberikan barang itu atau tidak?" bentaknya dengan keras. "Tunggu dulu, bukankah kalian adalah Sepasang Ular Dari Timur?" tanya Cui Si menegaskan. "Kau si Ular Merah, dan kau si Ular Hitam," "Hahaha ... tidak malu kau menjadi orang persilatan. Ternyata kau pun mengenali kami berdua," si Ular Merah tertawa lantang. Begitu tawanya berhenti, dia kembali bertanya. "Ini kesempatan yang terakhir. Kau mau memberikan barang itu atau tidak?" "Tidak!" jawab si Golok Panjang Cui Si dengan tegas dan mantap. "Baik, kalau memang itu keputusanmu. Aku harap kau tidak menyesal," Selesai berkata, si Ular Merah langsung mengeluarkan sebuah pedang yang dililitkan di pinggangnya. Begitu digerakkan sedikit, pedang yang lentur tersebut tiba-tiba mengeras layaknya pedang pada umumnya.Tie Gu, sang penjaga lembah, mengeluarkan jurus Bayangan Menusuk Sumsum, membuat dua pendekar Balai Hitam tersungkur sambil memuntahkan darah hitam.Di sisi lain, Nona Lin melompat ringan di antara reruntuhan dan melepaskan belasan jarum perak dari lengan bajunya. Tujuh dari jarum itu menancap di dada dan leher lawan, membuat mereka roboh bahkan sebelum menyadari arah datangnya serangan.Li Bing tidak bergerak. Ia masih berdiri dan menunggu.Seorang lelaki bertopeng dengan jubah ungu-abu melangkah ke depan. Gerakannya tidak cepat, tapi angin di sekitar tubuhnya seolah mundur dari jalannya. Di dadanya, terdapat lambang Balai Hitam dengan tiga cakar melingkar."Tuan Muda Li," ucapnya, suaranya dalam seperti gua tua. "Berikan peta itu, dan kami akan biarkan tempat ini tetap berdiri.""Tempat ini mungkin akan roboh," jawab Li Bing pelan. "Tapi kalian akan roboh lebih dulu."Dan pertempuran pun meletus!Lelaki bertopeng melancarkan jurus Jaring Racun Bayangan Jiwa, serangan berbentuk ling
Dalam dunia persilatan yang diliputi kabut dan darah, tak ada jalan yang benar-benar lurus. Hanya mereka yang bersedia mengorbankan ketenangan jiwanya yang sanggup menembus tirai rahasia dan menemukan cahaya di ujung lorong gelap. Li Bing, pemuda yang memikul warisan leluhur, melangkah tidak sekedar dengan tekad, tapi juga dengan luka yang terus menganga.Di perbatasan selatan, gerimis menyambut langkah kaki mereka. Kabut menggantung rendah, seakan menutupi jalan menuju nasib yang tak menentu. Di sanalah berdiri desa tua bernama Mingzhi, desa perantara menuju wilayah Perguruan Ular Emas—sebuah tempat yang disebut-sebut dalam bisik-bisik sebagai sarang dari segala tipu muslihat.Desa itu sunyi, malah terlalu sunyi. Tidak ada suara ayam, tidak ada tawa anak-anak, hanya suara embusan angin yang menerpa dedaunan. Pintu-pintu rumah terkunci, jendela-jendela tertutup rapat. Hanya satu kedai tua tampak terbuka separuh, digoyang angin seperti ingin menelan siapa pun yang masuk.Di dalam k
Angin dari utara membawa bau dingin dan samar getir darah. Sepanjang perjalanan, kabut tipis menyelimuti hutan cemara yang menjulang di kanan kiri jalan tanah. Li Bing dan Nona Lin berjalan dalam diam, seakan waktu pun segan memecah kesunyian mereka. Sejak keluar dari Kota Arwah, langkah kaki keduanya menjadi lebih berat, bukan karena lelah, melainkan oleh beban pertanyaan dan takdir yang kian menyesakkan."Bahkan langit pun seperti menyimpan rahasia," gumam Nona Lin pelan. "Mendung terus menggantung, tapi tak pernah benar-benar turun hujan."Li Bing tidak menoleh, tapi bibirnya menggerakkan satu kalimat."Karena langit pun sedang ragu, apakah yang akan turun adalah hujan ..., atau darah."Setelah tiga hari perjalanan tanpa nama, mereka tiba di depan gerbang Perguruan Batu Langit. Dulu, tempat ini adalah pusat ilmu dan kebijaksanaan, para pendekar dari utara dan selatan menaruh hormat yang dalam. Namun kini, gerbang batu itu ditumbuhi lumut dan cat tembok mulai retak."Tak ada penja
Bayangan Tua tidak datang sendiri. Empat orang muncul dari bayang-bayang pilar kuil, masing-masing membawa senjata pusaka lama—bukan untuk membunuh, tapi untuk menguji."Jika kau tidak lolos, maka dunia akan tahu bahwa warisan itu bukan untukmu," ucap mereka bersamaan.Li Bing maju tanpa ragu. Pertarungan pun dimulai.Satu lawan empat.Tapi jurus-jurus Li Bing telah matang. Ia menggabungkan jurus Bayangan Kematian Menyelimuti Dunia dengan jurus Langkah Naga Sakti, bergerak seperti hantu dan membalas secepat kilat. Pertarungan berlangsung dalam diam. Tidak ada sorak, hanya suara napas dan hantaman tenaga dalam.Nona Lin hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, tangan menggenggam gagang pedangnya dengan erat. Hawa di sekitar tubuhnya terasa dingin menusuk, tapi ia tahu, ini adalah ujian pribadi Li Bing.Satu per satu, para penjaga itu jatuh berlutut. Tidak terluka parah, hanya dibuat tak sanggup melanjutkan."Kau lulus ..., bukan karena kekuatanmu, tapi karena kau tidak membunuh kami," kat
Fajar baru belum sempat mengoyak kabut yang menyelimuti Lembah Sunyi. Embun membeku di ujung-ujung dedaunan, dan udara mengandung keheningan yang dalam, seolah seluruh alam berhenti sejenak untuk menyaksikan perubahan besar yang baru saja terjadi.Li Bing berdiri menghadap timur. Di belakangnya, Kitab Leluhur Langit telah kembali ke altar, menyimpan rahasia agung dalam keheningan suci. Nona Lin berada di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya menyimpan ribuan tanya. Jian Yu berdiri beberapa langkah di belakang, memberi ruang bagi pemuda itu untuk menyelami apa yang telah ia pelajari."Apa yang akan kau lakukan sekarang, Tuan Muda Li?" tanya Jian Yu, suaranya nyaris seperti bisikan angin.Li Bing tidak segera menjawab. Tatapannya jauh, menembus awan-awan tipis yang menggantung rendah."Aku harus kembali ke utara. Ke Perguruan Batu Langit. Di sana, guruku dulu menyimpan naskah perjanjian lima leluhur. Jika benar Balai Hitam bergerak, maka mereka pasti mengincar pusaka yang tersebar
"Tapi Balai Hitam mengincar ini!" Nona Lin menyela. "Mereka bahkan mengirim pembunuh bayaran untuk menghentikan kami! Jika ini berbahaya, bukankah kita harus mencegah mereka mendapatkannya?" "Mereka memang menginginkannya, dan itulah mengapa aku tidak bisa membiarkan siapa pun, bahkan kalian, mengambil risiko." Jian Yu menarik napas panjang. "Kitab Leluhur Langit hanya bisa diaktifkan oleh keturunan langsung dari lima leluhur pendiri perguruan. Dan dari sisa darah yang mengalir di dunia persilatan saat ini, kau adalah satu-satunya yang memenuhi syarat, Tuan Muda Li." Li Bing terdiam. Ucapan itu menggaung dalam benaknya, mengaitkan dengan potongan-potongan informasi yang ia kumpulkan, keluarganya, Peta Rahasia Langit, dan kini Kitab Leluhur Langit. Jadi, semua ini memang terhubung dengan darahnya. "Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Li Bing, menatap lurus ke mata Jian Yu. "Kau akan menghentikan kami dengan paksa?" Jian Yu mengangkat kedua tangannya. Tidak ada tan