Tanpa banyak tedeng aling-aling, Ular Merah langsung melancarkan sebuah serangan. Serangan yang sederhana. Namun justru sangat mematikan!
Pedangnya menebas dari arah kanan ke kiri. Kecepatan serangan itu sukar untuk dilukiskan. Orang-orang yang ada di sana, tidak ada yang mampu menyaksikannya secara jelas. Kecuali hanya mereka yang sudah mempunyai kemampuan diatas rata-rata. Satu detik kemudian, sebuah kepala tiba-tiba jatuh menggelinding. Tubuh orang tersebut baru ambruk setelah beberapa saat kemudian. "Tuan ..." beberapa orang berseru secara bersamaan. Rupanya kepala yang menggelinding itu milik Cui Si. Dia tewas sebelum sempat mengeluarkan golok andalan yang selama ini telah mengantarkan namanya ke puncak kejayaan. Kini, si Golok Panjang Cui Si hanya tinggal namanya saja. Kalau tidak menyaksikan secara langsung, niscaya siapa pun tidak akan ada yang percaya bahwa dia tewas tanpa perlawanan sedikit pun. "Apakah masih ada yang ingin enasib dengan dirinya?" si Ular Merah melirik ke arah orang-orang Jasa Ekspedisi Elang Putih. Sembari berkata, dia mendekatkan pedang yang masih berlumuran darah ke mulutnya. Kemudian ia menjilati darah yang masih berceceran pada senjata tersebut. Setelah menyaksikan kejadian barusan, tentu saja orang-orang itu tidak ada yang berani bertindak bodoh. Memangnya siapa pula yang mau memberikan nyawanya dengan percuma? "Mana barang itu?" tanya si Ular Hitam sambil membentak. "I-ini, Tuan," seseorang tiba-tiba berkata sambil memberikan sebuah kotak yang ukurannya cukup besar. Si Ular Hitam mengambil kotak itu. Ia lalu membuka dan melihat isinya. Setelah dipastikan benar, dia langsung mengajak rekannya pergi. Keduanya sudah bersiap untuk melangkahkan kaki dari warung arak tersebut. Namun sebelum benar-benar pergi, tiba-tiba si Ular Merah memandang ke arah meja lain. "Tidak kusangka, ternyata di tempat ini juga ada seorang pendekar muda yang namanya cukup terkenal," ucapnya dengan suara nyaring. Matanya menatap ke arah meja di mana A San dan si pemuda duduk sambil minum arak. "Bukankah dia adalah Li Bing, Tuan Muda Li yang kabarnya lenyap belasan tahun lalu?" tanya si Ular Hitam sambil melirik ke rekannya. "Benar. Memang dialah orangnya," "Rupanya kalian juga mengenalku. Salam kenal, aku senang bisa bertemu dengan Sepasang Ular Dari Timur," kata Li Bing sambil bangkit berdiri. "Ternyata kabar yang tersiar dalam dunia persilatan bukanlah omong kosong. Kecepatan pedang yang sungguh luar biasa," "Tuan Muda Li terlalu memuji," si Ular Merah tersenyum simpul. Namun tidak dapat dipungkiri, dalam senyuman itu terselip rasa angkuh yang sulit disembunyikan. "Kami harap kau tidak akan ikut campur dalam persoalan ini," kata Ular Hitam menyambung. "Aku memang tidak menginginkan barang itu, jadi kalian tenang saja. Tapi entah dengan orang lain," "Asalkan kau tidak ikut campur, orang lain bukanlah suatu masalah," "Baiklah. Semoga kalian bisa berumur panjang," "Terimakasih," Selesai bercakap-cakap dengan Li Bing, Sepasang Ular Dari Timur segera melanjutkan langkahnya yang terhenti. Li Bing tidak menghiraukan mereka lagi. Dia kembali minum arak yang masih tersedia di atas meja. "Tuan Muda, apakah kau tahu apa isi dari kotak tersebut?" tanya A San secara tiba-tiba. "Entahlah. Tapi aku yakin, isi dari kotak itu adalah suatu barang yang sangat berharga dan mempunyai nilai jual tinggi," "Bagaimana Tuan Muda bisa seyakin itu?" "A San, apakah kau tahu siapa sebenarnya Sepasang Ular Dari Timur?" A San menggelengkan kepala. Pertanda bahwa dia tidak mengetahui mereka secara mendalam, kecuali ketenaran nama dan kejamnya Sepasang Ular Dari Timur. Li Bing meminum arak dalam cawannya. Setelah arak masuk ke dalam perut, dia baru melanjutkan bicara. "Asal kau tahu saja, Sepasang Ular Dari Timur adalah jenis orang-orang yang sangat mementingkan uang. Mereka tidak pernah mau melakukan sesuatu jika tidak menghasilkan uang sama sekali," katanya secara singkat. "Jadi karena itulah Tuan Muda yakin bahwa barang itu merupakan sesuatu yang sangat berharga?" Li Bing tidak menjawab. Dia hanya mengangguk tanda mengiyakan. "Kira-kira, barang apa yang ada dalam kotak tersebut?" "Yang pasti sebuah benda mustika," A San dan Li Bing tidak berbicara lagi. Mereka kembali meneruskan minum arak dan menyantap daging segar yang tadi dipesan. Setelah arak dan daging habis, keduanya segera pergi dari warung arak tersebut. "Tuan Muda, apakah kita akan tetap menuju ke sana?" tanya A San sebelum menjalankan kembali kereta kuda. "Ya," jawab Li Bing mengangguk. "Aku ingin melihat bagaimana keadaan rumah Keluarga Li sekarang," Li Bing sangat penasaran dengan rumahnya yang dulu. Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah rumah itu masih berdiri kokoh? Ataukah sudah hancur lebur dan menyatu dengan tanah? Bagaimana pula keadaan di sekitarnya? A San tidak banyak bicara lagi. Dia langsung menjalankan kereta kuda, menuju ke pusat Kota Yu Nan. Tempat di mana rumah Keluarga Li berdiri. Sepanjang perjalanan, Li Bing tiada hentinya menenggak arak yang sempat dia beli di warung tadi. Sementara itu, diluar sana salju terus saja turun tanpa henti. Jalanan yang ada semakin dipenuhi oleh salju. Jejak-jejak roda kereta pun terlihat dengan jelas. Pada saat itu, tiba-tiba kereta berhenti secara mendadak. "Ada apa, A San?" tanya Li Bing karena dia pun merasa kaget. "Ada mayat yang tergeletak di tengah jalan, Tuan Muda," "Berapa orang?" "Dua orang," Dua orang? Apakah kedua mayat itu adalah Sepasang Ular Dari Timur? Tanpa bicara lagi, Li Bing langsung turun dari kereta kuda dan berjalan ke depan sana. Ia mendekat ke arah di mana dua mayat itu berada. Ternyata dugaannya benar, yang tergeletak itu adalah Sepasang Ular Dari Timur. Li Bing berjongkok dan segera memeriksa keduanya. Si Ular Hitam telah mati. Namun si Ular Merah masih bernafas. Walaupun keadaannya saat itu tidak berbeda jauh dengan orang yang sudah mati. Buru-buru dia memberikan sebutir pil kepadanya. "Siapa yang telah menyerang kalian?" tanyanya setelah Ular Merah berhasil menelan pil tersebut. "Seseorang yang memakai cadar hitam," jawabnya dengan susah payah. "Sebenarnya barang apa yang kalian bawa itu?" "Se-sebuah sarung tangan," Saat itu Li Bing ingin mengajukan pertanyaan yang selanjutnya. Namun sebelum bertanya, si Ular Merah sudah tewas lebih dulu. Rupanya dia tidak sanggup lagi bertahan dari luka-luka yang diderita di seluruh tubuhnya. Anak muda itu segera bangkit berdiri. Ia mengawasi keadaan di sekeliling. Li Bing juga menatap ke atas sana. Ternyata tanpa dia sadari hari sudah gelap. Hawa dingin semakin menusuk tulang. Angin malam berhembus secara perlahan layaknya belaian seorang kekasih. "Sepertinya dunia persilatan akan mengalami badai yang besar," katanya bergumam seorang diri. "Tuan Muda, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya A San. "Tetap pada tujuan awal," jawab Li Bing sambil masuk kembali ke dalam kereta. "Apakah Tuan Muda tidak mau menyelidiki persoalan ini?" "Sebenarnya sih tidak. Tapi bagaimana lagi, mau tidak mau kita tetap harus melakukannya,""Benarkah? Apa kau begitu yakin akan ucapanmu?" tanya Li Bing masih terlihat santai. "Aku sangat-sangat yakin. Sebab seluruh area Kuil Seribu Budha, saat ini sudah dikepung oleh pasukanku," kayanya dengan nada dingin.Li Bing tergetar. Diam-diam dia merasa kaget. Rupanya biksu sesat itu benar-benar telah merencanakan semua ini dengan sangat sempurna. Bahkan dia sudah mengantisipasi apabila rencana gagal. Hebat. Harus Li Bing akui bahwa orang tua itu mempunyai kecerdasan diatas rata-rata. Namun meskipun demikian, Li Bing tidak memperlihatkan keterkejutannya. Dia masih terlihat tenang dan santai. "Tidak aku sangka, ternyata kau juga memiliki pasukan yang bisa diandalkan," katanya seraya tersenyum. "Itu karena aku tidaklah sesederhana yang kau lihat, bocah keparat!" "Oh, benarkah? Sayangnya, aku tidak peduli akan hal itu," Kemarahan Biksu Bertangan Delapan semakin bergejolak. Semakin dia bicara lebih lama dengan pemuda itu, semakin panas juga hatinya. "Kubunuh kau!" Wushh!!! B
Menghadapi serangan yang bertenaga keras, Li Bing tidak mau bertindak gegabah. Buru-buru ia mundur ke belakang sambil menahan pukulan beruntun yang dilancarkan oleh si Elang Hitam.Plakk!!! Benturan telapak tangan terjadi! Elang Hitam merasa tangannya tergetar. Hawa panas segera menjalar ke seluruh bagian lengannya.'Tenaga sakti yang dia miliki sangat tinggi. Padahal aku sudah mengeluarkan Pukulan Bayangan, tapi ternyata ia masih mampu membalikkan tenaga yang aku berikan,' batinnya sambil menatap Li Bing dengan tajam. Sementara di pihak lain, Li Bing juga merasa telapak tangannya sedikit tergetar. Tapi ia memang sengaja tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya. Li Bing ingin tahu setinggi apa tenaga musuhnya itu. Setelah terjadinya benturan barusan, Li Bing jadi tahu bahwa kemampuan si Elang Hitam setidaknya masih berada tiga tingkat di bawahnya. 'Kalau aku bertarung langsung melawan Sepasang Elang Hitam Putih dengan kekuatan penuh, mungkin aku bisa membereskannya dalam waktu ti
"Baik, baik. Aku akan menuruti apa yang kau katakan, Biksu To," ujar Li Bing setelah dia terdiam untuk beberapa saat. "Tetapi ada syaratnya," "Syarat apa?" tanya Biksu To dengan cepat. Sekilas wajahnya menggambarkan kegembiraan ketika Li Bing mengatakan akan menuruti ucapannya. Namun ekspresi kegirangan tersebut sirna dalam sekejap pada saat pemuda itu mengajukan sebuah syarat. "Asal kalian bisa bertahan selama lima puluh jurus dari semua seranganku, maka aku akan mengatakan bahwa akulah yang membunuh Biksu Agung Berhati Suci!" katanya dengan suara tegas. Setiap patah kata yang ia ucapkan seolah-olah mengandung daya kekuatan yang mampu menggetarkan hati orang lain. Puluhan orang itu terdiam. Tidak ada satu pun yang berani bicara. Mereka hanya bisa saling pandang satu sama lain. Li Bing juga belum mengambil tindakan apapun. Ia sedang menatap mereka secara bergantian. Tatapan matanya sangat tajam. Setajam pedang pusaka! Ekspresi wajahnya juga berubah menjadi dingin.
Sampai dua puluh lima jurus kemudian, semua usaha yang dilakukan oleh Biksu Bertangan Delapan tidak pernah membuahkan hasil sedikit pun. Setiap jurus dan serangan yang dia lancarkan, selalu bisa dihindari oleh Li Bing. Pemuda itu benar-benar seperti hantu. Ia sangat sulit untuk disentuh. Gerakannya juga cepat bagai kilat. Kenyataan ini semakin membuat Biksu To penasaran. Bagaimana mungkin seorang pendekar muda seperti Li Bing mampu menghindari semua jurusnya? Padahal setiap jurus yang dia keluarkan bukan jurus kelas rendah. Semua itu adalah jurus kelas atas yang bahkan tidak bisa dipandang sebelah mata oleh pendekar kelas satu sekali pun. Tetapi nyatanya, di hadapan pemuda yang berjuluk Pendekar Tangan Dewa itu, semua jurus yang selama ini dia banggakan seolah-olah sudah hilang keampuhan-nya. "Li Bing!" seru Biksu To yang sudah mengganti panggilannya. "Kenapa kau tidak membalas seranganku?" tanyanya geram. ."Aku tidak ingin mencari permusuhan denganmu, Biksu To. Oleh karena itu
"Dari percakapan itu. Mereka yang terlibat bukan hanya membicarakan tentang bagaimana cara menjebakmu. Mereka juga membicarakan bagaimana cara membunuhku," "Apa yang mereka lakukan?" "Mereka telah menyerangku dengan pukulan beracun. Menurut firasatku, aku hanya bisa bertahan selama tujuh hari. Dan sekarang adalah hari yang terakhir," Semakin lama Li Bing bercakap-cakap dengan Biksu Agung Berhati Suci, maka semakin terkejut dan marah juga dirinya. Licik! Kejam! Tidak manusiawi! Rasanya hanya tiga kata itu saja yang cocok untuk menggambarkan orang-orang yang menjadi dalang dibalik sandiwara ini! "Biksu Agung, bolehkah aku tahu, kenapa kau bisa terluka?" tanya Li Bing lebih lanjut. Sekarang dia sudah tidak punya pilihan lain lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Maka dari itu, Li Bing hanya ingin tahu lebih banyak tentang sandiwara yang sedang berlangsung saat ini. "Seseorang telah menyimpan racun yang tidak berbau dan tidak berwana dalam makananku. Tidak berhenti sampai di situ, bahk
Biksu To segera tersenyum sambil mengangguk. Ia kemudian berdiri dan mengajak Li Bing menemui Biksu Agung Berhati Suci.Pemuda itu pun segera mengikuti di belakangnya. Keduanya lalu berjalan ke tempat di mana Biksu Agung Berhati Suci selama ini mengasingkan diri. Rupanya, orang tua itu tinggal di sebuah pondok sederhana, tepat di belakang Kuil Seribu Budha. Keadaan di sana sepi sunyi. Tidak ada seorang murid pun yang melakukan penjagaan. "Selama ini guru beristirahat di sana, Tuan Muda Li," kata Biksu To menjelaskan. "Guru menginginkan suasana yang tenang dan sunyi. Sehingga aku tidak memperbolehkan seorang murid pun yang mendekat ke area ini," "Jadi, ini adalah tempat terlarang?" "Ya, bisa dibilang begitu," Li Bing memperhatikan suasana di sekitarnya. Di sana memang tidak ada bangunan lain lagi, kecuali hanya pondok itu saja. Di kanan kirinya diliputi oleh pepohonan yang berjajar. "Tuan Muda Li, silahkan," katanya memberi isyarat supaya Li Bing segera pergi ke sana. Li Bing m