“Harghh!” Suara Danang terdengar seperti dia baru saja berhasil mendapatkan oksigen setelah terkungkung lama di ruangan kedap udara. ‘Sebentar, di mana aku sekarang? Kenapa aku di sini?’ Danang seperti orang kebingungan ketika mendapati dirinya berada di lingkungan asing dengan sekeliling ruangan yang tak biasa.
Danang teringat bahwa dia baru saja bermimpi aneh dan kini terbangun. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika menyadari bahwa dia bangun bukan di tempat tidurnya, melainkan di ranjang yang sangat berbeda.
‘Ini … kasur apa? Kenapa kasar dan keras sekali? Bukan ranjang busa?’ Tangan Danang menelusuri tempat tidur yang terasa kasar dan tidak biasa baginya.
Danang semakin terkejut luar biasa ketika dia mengamati ruangan cukup kecil berukuran 3 x 4 meter persegi.
‘Tunggu dulu! Ini bahkan bukan kamarku! Mana mungkin kamarku bisa berubah interior dan dekorasinya?’ Danang termangu menatap sekelilingnya.
Matanya menyusuri dinding anyaman rotan dan terkesan kumuh serta lawas. Dia sebenarnya ada di mana?!
‘Kenapa ini … ini rasanya seperti kamar yang ada di film klasik Tiongkok kuno? Apakah aku masih bermimpi? Aku belum bangun? Kenapa kedua pergelangan tanganku dibalut perban? Tapi bukannya baru saja … argh! Aku bisa memegang tanganku sendiri dan ouch! Ternyata mencubit diri sendiri memang menyakitkan!’ Danang mulai mencubiti pelan lengannya dan ternyata dia mendapatkan fisik solid.
Bukankah harusnya tidak demikian apabila masih di dunia mimpi? Danang terus bertanya-tanya mengenai situasinya saat ini.
“Errghh!” Mendadak saja kepalanya seperti ditusuk ribuan jarum sekaligus, membuat dia mengerang sambil meremas kepalanya yang serasa hendak meledak. Segera, ada banyak kilasan ingatan masuk ke kepalanya.
Dia langsung teringat mimpi anehnya ketika tiba di malam sebuah era Tiongkok kuno dan di depannya ada rumah cukup besar yang terbakar, sedangkan dia hanya menjadi penonton tanpa bisa berbuat apa-apa dalam tubuh transparannya.
Di mimpinya, Danang bisa menyaksikan orang-orang dari dalam rumah besar itu berhamburan keluar dan berlarian panik sambil menjerit, terdengar memilukan. Namun, mereka langsung ditebas pedang orang-orang berseragam serba hitam dengan penutup wajah dari kain sebelum berhasil melarikan diri.
Kemudian, Danang melihat seorang remaja 16 tahun keluar bersama lelaki dan wanita yang pastinya orang tua remaja tersebut.
“Arghh! Chen’er!” Jeritan wanita yang melarikan diri bersama si remaja terdengar memilukan.
“Ibu!” Si remaja menyeru sambil berusaha membantu wanita yang baru saja ditebas punggungnya oleh salah satu pria bertopeng kain.
“Chen’er! Selamatkan dirimu! Cepat!” Si ayah menyeru sambil mendorong putranya agar menjauh dari mereka dan segera mencegah para penyerang yang mendekat ke keluarganya.
Remaja itu menggelengkan kepalanya dengan enggan, dia bukan anak durhaka.
“Kalian pikir kalian bisa lolos? Wu Haotian! Li Zhangmei! Kalian harus mati di depan anak kalian, Wu Zaochen!” Setelah itu, pria asing itu menebaskan pedangnya ke orang tua si remaja.
“Hei, kalian kejam sekali pada keluarga Wu Zaochen!” Danang kala itu meraungkan emosinya ke pria bertopeng kain meski tahu dirinya tak akan didengar mereka, sekeras apa pun dia berteriak. Tatapannya iba ke Wu Zaochen.
“Ayah! Ibu!” raung Wu Zaochen sambil menerjang para penyerang meski hanya menggunakan ilmu bela diri Ranah Dasar, Tingkat Pengumpulan Qi level akhir.
Sayang sekali, lawan Wu Zaochen adalah para ahli beladiri yang sudah berada di Ranah Lanjutan. Dengan mudah mereka menaklukkan Wu Zaochen di tanah.
“Ramai sekali di sini!” Muncul pemuda berpakaian ala bangsawan borjuis warna hitam dan emas dengan hiasan bulu-bulu di bahunya. Di tangannya ada kipas kertas dikibaskan santai sambil menampilkan wajah arogannya.
Melihat siapa yang datang, Wu Zaochen menggeram, “Di Yuxian!” Dengan cepat dia memahami siapa dalang pembakaran rumah dan pembunuhan keluarganya.
“Panggil yang benar!” Pria bertopeng kain memukul Wu Zaochen lagi sehingga pemuda malang itu pun tersungkur di tanah, memuntahkan seteguk darah.
Serempak, semua pria bertopeng membuka kain yang menutupi wajah mereka dan menghormat ke Di Yuxian.
Sementara itu, penduduk hanya menatap dari jauh tanpa berani mendekat karena mengerti bahwa yang sedang berperkara adalah tuan muda dari Bangsawan Muda Di.
Penduduk Kota Sungai Perak tahu bahwa mereka tidak akan punya kuasa untuk berurusan dengan orang berkasta cukup tinggi seperti Di Yuxian yang orang tuanya sudah diangkat sebagai Bangsawan Muda oleh penguasa regional.
“Panggil dia Tuan Muda Di Terhormat!” Anak buah Di Yuxian menjejakkan kakinya ke punggung Wu Zaochen.
Darah kembali dimuntahkan Wu Zaochen, sedangkan Danang hanya bisa meneriaki mereka dengan berbagai sumpah-serapah.
“Jangan harap!” Suara parau Wu Zaochen membawa kegigihan harga dirinya. Mata tajamnya ingin merobek Di Yuxian, dipancarkan dengan niat membunuh yang membumbung tinggi. “Kau! Hanya karena menginginkan tunanganku, kau tega membunuh orang tuaku dan memusnahkan rumahku?! Kau sungguh tidak tahu malu! Merebut tunangan orang!”
“Merebut tunangan orang? Shang Meili sendiri yang menyetujui tawaranku menjadi wanitaku dan tanpa ragu meninggalkanmu, anak pedagang sutra kecil! Bahkan orang tuanya langsung setuju membatalkan pertunangan kalian! Kau ingin bersaing denganku, heh?!” Mata Di Yuxian langsung berkilat marah. Maka, dia merampas pedang di tangan salah satu anak buahnya dan mendekat ke Wu Zaochen sambil berteriak, “Pegangi dia!”
Dua anak buah segera mengangkat kedua lengan Wu Zaochen agar pemuda itu berlutut di depan tuan mereka sambil ditahan.
“Puih!” Wu Zaochen masih menyisakan tenaganya untuk meludahkan darah di mulutnya ke Di Yuxian. “Arrghh!” Setelah itu, teriakan dan raungan kesakitan mulai membahana dari mulut Wu Zaochen, mengakibatkan penduduk di sekitarnya merinding ngeri atas apa yang terjadi pada anak pedagang sutra itu.
Maka, dalam waktu semalam, Wu Zaochen menjadi orang cacat tanpa ada siapa pun berani menolongnya. Danang menjadi saksi kejadian tragis itu tanpa bisa berbuat apa pun.
“Dengar, kalau kalian tidak ingin berurusan denganku, maka jangan menolongnya, hari ini atau pun nanti!” Di Yuxian berbicara lantang ke penduduk yang masih berkumpul cukup jauh darinya. Lalu dia menyeringai puas ke Wu Zaochen yang tergeletak pingsan.
Kilasan mimpi itu selesai dan kepala Danang sudah lebih baik, hanya saja masih bingung kenapa usai bermimpi aneh, dia malah bangun di ruangan yang bukan merupakan kamarnya?
‘Ya, aku yakin gubuk reot begini ada di film klasik Tiongkok. Tapi kenapa aku di sini? Bukankah aku hanya bermimpi? Kenapa ketika bangun malah tidak di kamarku?’ Dia terus membatin dan mencoba bersuara. “Awgh … haawgh?” Betapa terkejutnya dia ketika menyadari ternyata dirinya tak bisa bicara.
Matanya membola lebar dengan jantung berdentum kencang ketika memikirkan sebuah dugaan.
Saat dia meraba ke dalam mulutnya dengan tangan gemetaran sambil berusaha menepis pikiran buruknya … tak ada!
‘Aku tak punya lidah yang normal!’ Danang panik. ‘Tolong, semoga ini bukan seperti yang kupikirkan!’
Meski dirinya mencoba mengalihkan dugaan di kepalanya, tapi tangan yang meraba pangkal pahanya membuat dia tersentak.
“Harkhh!” Tangan Danang segera dijauhkan dari pangkal pahanya karena terlalu syok. ‘Kenapa aku punya kondisi seperti Wu Zaochen?’ Dia mempertanyakan ini dengan perasaan frustrasi.
‘Ke mana lidah dan alat masa depanku? Kenapa menghilang semuanya? Aku … aku tak mungkin bernasib sama seperti Wu Zaochen! Ini hanya mimpi, ‘kan?’ Mana mungkin Danang tidak syok mendapati kondisi dirinya sekarang.
‘Bagaimana cara agar lepas dari alam mimpi ini? Aku tak mau bermimpi begini! Kalaupun harus datang ke mimpi di dunia para pendekar kultivator, aku ingin menjadi ahli bela diri yang keren dan hebat! Bukan yang cacat begini!’ Dia semakin frustrasi.
Baru saja hendak turun, Danang menyadari wajahnya terasa menyakitkan ketika tak sengaja menyentuhnya sehingga jeritan segera keluar dari mulutnya.
“Kau sudah bangun, Wu Zaochen?” Terdengar suara berat seorang pria yang masuk ke ruangan tempat Danang terbaring. “Setelah hampir satu bulan tak sadarkan diri, sekarang kau bangun. Bagus!”
Haihai, Diablo di sini dengan buku baru, cerita baru. Ini mengenai perjalanan lintas dimensi dan waktu. Yuk, dukung buku ini sampai akhir, yak! Jangan sungkan kalo pengen nyapa aku di komen atau mampir aja ke IG aku, bisa dilihat di deskripsi buku ;')) Semoga aja cerita baru yang aku sampaikan di buku ini sesuai dengan selera kalian.
“Bumi, ya?”Yao Chen menoleh perlahan, menatap wajah Sima Honglian yang tampak kebingungan.Dalam hatinya, dia sadar, rahasia tentang asal-usulnya bukan sesuatu yang pantas dia bagikan pada siapapun sekarang. Termasuk pada istrinya.Tidak, belum saatnya. Dunia ini belum siap untuk tau tentang Bumi, planet kecil yang jauh bahkan bagi para dewa sekalipun.“Ada tempat … yang dulu kukira hanyalah mimpi.” Yao Chen tersenyum tipis, mencoba menenangkannya. “Sebuah tempat yang selalu terlintas di kepalaku tiap malam. Aku hanya penasaran apakah tempat itu benar-benar ada atau cuma bayangan semata. Hanya itu.”Sima Honglian menatapnya lebih lama, seolah ingin membaca isi hatinya lebih dalam.Namun, pada akhirnya dia tersenyum samar. “Aku takkan bertanya lebih jauh. Tapi apapun tempat yang kau maksud, aku percaya … suamiku tak akan pernah meninggalkan kami begitu saja demi sesuatu yang bahkan tak pasti.”Yao Chen menggenggam tangan istrinya. “Benar, aku tak akan pergi kemana pun. Tidak sekarang.
“Apakah itu … pusaka?” Gongsun Huojun melanjutkan pertanyaannya.Yao Chen tercekat. Haruskah dia menjelaskan mengenai pusakan dewa itu?“Ha ha ha … baguslah kalau kamu memiliki benda sebaik itu.” Tiba-tiba saja Gongsun Huojun tertawa sambil menepuk bahu putranya.“Anda sungguh beruntung memiliki putra sebaik dan sehebat dia, Tuan Gongsun.” Sima Ye menimpali dari samping.Gongsun Huojun mengangguk setuju. “Aku tidak salah menjadikannya pewaris Tanah Suci.”Mereka bertiga pun keluar dan ketakjuban melingkupi sanubari Gongsun Huojun.“Ini … tempat ini ….” Gongsun Huojun tak bisa berkata-kata lebih banyak.Sepanjang matanya memandang, hanya ada keasrian. Bahkan Tanah Suci sebelum diserang Kaisar Iblis Langit pun tidak seasri ini.Senyuman muncul di wajah Yao Chen.Kemudian, ketiga istri Yao Chen datang mendekat. Mereka memberi salam pada Gongsun Huojun dan Sima Ye.“Kakak Chen melakukan restorasi terhadap semua ekosistem di Tanah Suci.” Putri Suci menjelaskan ketika mendengar Gongsun Huoj
Langit masih memantulkan cahaya keemasan dari kristal Hukum Kehidupan yang telah diserap oleh Yao Chen.Dantiannya masih hangat, namun kesadarannya telah kembali tenang. Kini, dia berdiri di tepi Tanah Suci yang dulunya porak-poranda, memandangi hamparan tanah kering dan retak yang menghampar sejauh mata memandang.“Sekarang, mari kita coba …,” ucapnya perlahan, tangannya terangkat ke udara.Dari pusat telapak tangannya, serpihan cahaya hijau keemasan merembes, membentuk pola hukum yang kompleks.Kristal hukum kehidupan yang kini terpatri dalam tubuhnya mulai bekerja.Dia melangkah perlahan di antara reruntuhan dan menyentuh tanah dengan telapak tangannya, mengalirkan energi hukum itu langsung ke bumi.Gruughh … gruuugghh …..Suara lembut bergemuruh dari dalam tanah.Dalam sekejap, retakan-retakan mulai menutup. Dari sela-sela batu yang tandus, tunas-tunas hijau menerobos naik, menggeliat dengan semangat kehidupan yang luar biasa. Pohon-pohon kecil tumbuh dengan cepat, rerumputan mene
“Bocah Yao, kau benar-benar disukai langit. Keberuntunganmu akan membuat iri siapa pun.” Kaisar Manusia di dalam dirinya terkekeh.Tapi Yao Chen justru tersenyum kecut. Disukai langit? Kalau langit memang menyukainya, kenapa Ujian Langit untuknya melebihi yang seharusnya?Mengabaikan pemikiran sinisnya mengenai langit, Yao Chen kembali memandang kristal Hukum Kehidupan di sana.Yao Chen meyakini kristal itu bukan benda biasa. Ini adalah sumber hukum kehidupan murni yang mampu memperluas kendali atas elemen dan memberi kekuatan pengendalian regenerasi—harta yang tak ternilai bagi siapa pun yang mengejarnya.“Itu akan menjadi hal yang sangat baik bagi dirimu, Bocah Yao.” Kaisar Manusia ikut bersemangat.“Tetua benar.” Yao Chen setuju.Namun, ketika dia melangkah maju, udara di sekelilingnya mendadak menjadi berat. Formasi alamiah mengunci seluruh area pohon.Hembusan angin berubah menjadi bilah-
“Hancurlah untukku!”Akhirnya, tinjunya berhasil memotong petir surgawi menjadi dua bagian, menghancurkan tombak surgawi dengan kekuatan mutlak.Awan bencana tercerai-berai.Setelahnya, langit perlahan cerah.Yao Chen terhuyung di udara, tubuhnya nyaris tinggal tulang dan darah. Dia jatuh menukik dengan cepat, menuju tanah.“Aku menang … Gao Long … aku menang.” Dia berbisik pelan sambil tubuhnya terus terjun ke bawah.Sambil terpejam dan tersenyum puas, dia membayangkan ekspresi Gao Long jika melihat aksinya ini. Mencibir, tapi pasti merasa bangga padanya.“Huh! Bocah bau, apa yang perlu kau sombongkan? Hanya petir kecil seperti itu saja. Kau harus lihat seberapa besar dan ganas petir yang kuhadapi dulunya.”Ya, dia yakin Gao Long akan mengucapkan itu.“Chen!” Sima Honglian melesat lebih dulu, diikuti Yuwen Furong dan Sheng Meiyu.Dengan kecepatan kilat, Sima Honglian menangkap tubuh Yao Chen sebelum menyentuh tanah.“Lihat … aku memukul langit.” Yao Chen tersenyum lemah di pelukan is
“Yichen! Kau gila!” teriak Sheng Meiyu sambil menatap cemas suaminya.“Dia … dia benar-benar pergi menantang petir surgawi di udara!” bisik Putri Suci dengan napas tercekat.Sima Honglian mengepalkan tangan di depan dadanya, tubuhnya gemetar. “Chen … kenapa harus seperti itu?”Ketiga istrinya menatap Yao Chen yang terus membumbung ke angkasa.Gruudduukk! Gruduuukkk!Langit seakan murka, menggulung dalam pusaran kelam, seolah hendak menelan segalanya. Ular-ular petir menari liar, kilatan cahayanya membelah awan tebal seperti cambuk surgawi yang siap menghakimi siapa pun yang lancang menentangnya.Namun Yao Chen tak bisa mundur. Inilah jalan dan beban yang dia pilih untuk menjadi lebih kuat.Maka, dengan tubuh yang masih dipulihkan Tasbih Semesta, dia terus terbang ke angkasa tanpa gentar.“Ayo! Turunkan semuanya padaku!” teriaknya dengan suara lantang, gemetar bukan karena takut, melainkan karena semangatnya yang membara.Seolah mendengar tantangan itu, langit menjatuhkan petir kedua.