Share

Pendekar Tiga Iblis
Pendekar Tiga Iblis
Penulis: Rudi Hendrik

1. Iblis Jelita

Ada orang yang menantang Iblis Jelita di Tugu Setia yang ada di pusat kota Gampartiga, ibu kota Kadipaten Dadariwak.

Kedatangan Iblis Jelita yang menunggangi kuda seorang diri menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, wanita berpakaian biru terang berusia tiga puluh lima tahun itu berkuda dengan dua paha putih mulusnya tersingkap ke mana-mana.

Rok pakaian pendekarnya memiliki belahan yang tinggi di sisi kanan dan kiri. Di sisi lain, sembulan dada ranumnya sangat menggoda iman para lelaki.

Urusan kecantikan sudah tidak diragukan lagi. Paras yang cantik jelita membuatnya menyandang kata “Jelita” di namanya. Warna gincunya juga biru terang mengikuti warna pakaiannya, tetapi tidak dengan rambutnya yang sebagian tersanggul dengan tusukan dari emas. Telinganya terlihat cemerlang dengan giwang emas. Kedua tangan wanita berhidung mancung itu memiliki kuku dua warna. Kelima kuku tangan kanannya berwarna hitam sehitam arang dan kuku tangan kiri berwarna ungu. Kuku-kuku itu panjang, tapi tidak sepanjang kuku setan.

Meski penampilan Iblis Jelita begitu mencemerlangkan mata dan hati, serta membuat fresh otak para lelaki, tetapi mereka hanya bisa sebatas menikmati secara visual tanpa ada yang berani datang menjamah karena mereka tidak mau mati. Mereka semua sudah mengenal siapa itu Iblis Jelita.

Iblis Jelita seorang pendekar wanita berkesaktian tinggi yang tidak sungkan membunuh siapa saja. Dia juga terkenal sebagai pemain lelaki, lelaki mana saja, yang tidak takut mati di tangannya demi urusan asmara dan gairah.

Konon katanya, lelaki yang pernah bermain asmara dengan Iblis Jelita akan memiliki dua nasib, yaitu dibunuh atau dibiarkan hidup dengan syarat jangan pernah muncul di depan matanya lagi.

Boleh dilihat, dipegang jangan, dipelototi hati-hati. Kira-kira itulah aturan bagi para lelaki yang ingin menikmati keindahan kulit tubuh Iblis Jelita.

Iblis Jelita sudah tiba di dekat sebuah tugu batu yang berbentuk tombak raksasa menjulang ke arah langit. Tugu itu memiliki tebal dua pelukan tangan orang dewasa. Jika tombak sungguhan memiliki mata yang runcing, tetapi tombak batu itu tidak lancip, tapi tumpul, sehingga terlihat seperti simbol keperkasaan lelaki. Tingginya empat kali tinggi tubuh lelaki ideal. Itulah yang disebut Tugu Setia, simbol kesetiaan seorang lelaki. Yang jelas tugu itu memiliki cerita panjang sendiri.

Iblis Jelita menghentikan kudanya. Pandangannya mengedar mencari orang yang katanya ingin mengadu sakti dengannya. Namun, sosok orang yang dia cari tidak terlihat di antara keramaian warga Gampartiga.

Karena tidak melihat keberadaan orang yang dicari, Iblis Jelita memilih menjalankan kudanya menuju ke sebuah kedai makan yang cukup besar wujudnya dan cukup ramai oleh pelanggan.

Lagi-lagi kedatangan Iblis Jelita menjadi pusat perhatian. Lelaki mana yang sudi melewatkan pemandangan paha dan dada gratis? Yang terpenting tidak buat urusan dengan iblis itu.

Kedatangan kuda Iblis Jelita ke depan kedai makan disambut oleh seorang bocah lelaki tidak berbaju, tapi bercelana. Bocah berusia dua belas tahun itu berambut gondrong, sebagian wajahnya tertutupi oleh rambutnya yang tidak tersisir.

Bocah itu memegangi tali pada wajah kuda. Padahal, tanpa dipegangi pun, Iblis Jelita tidak akan mendapat masalah.

“Siapa namamu, Nak?” tanya Iblis Jelita sebelum turun dari pelananya.

“Aldo, Nyai,” jawab anak lelaki yang badannya sudah mulai berisi oleh otot-otot mungil, menunjukkan bahwa dia anak pekerja keras. Dia menunduk tidak berani memandang Iblis Jelita, apalagi jika terlihat sengaja memandang paha putih mulus yang terpampang sangat dekat dengannya.

“Kenapa kau memegangi tali kudaku?” tanya Iblis Jelita lagi.

“Mungkin Nyai mau membeliku uang sekepeng,” jawab Ardo, masih menunduk.

“Membelimu dengan harga sekepeng?” tanya Iblis Jelita karena mendengar perkataan aneh anak itu.

“Bukan, Nyai. Aku cadel. Maksudku, mungkin Nyai mau membayalku uang sekepeng,” ralat anak yang sebenarnya bernama Ardo. Dia kali ini mendongak menatap Iblis Jelita.

Setelah melihat kecantikan orang dewasa itu, Ardo buru-buru kembali menunduk.

“Hihihi! Jadi kau cadel?” tawa Iblis Jelita.

“Betul, Nyai,” jawab Ardo sambil mengangguk.

“Jadi, namamu Aldo atau Ardo?” tanya Iblis Jelita.

“Aldo, Nyai,” jawab Ardo.

“Bagaimana aku percaya namamu Aldo jika kau cadel? Coba kau lihat tanganku!”

Ardo pun menurut dan kembali mendongak. Dia pun melihat segala keindahan yang seharusnya tidak dia lihat dari seorang wanita dewasa.

“Ardo,” sebut Iblis Jelita sambil mengepalkan tangan kanannya di depan dada, membuat anak itu dengan gamblang memandang sembulan dada si pendekar wanita yang seperti mutiara besar. “Atau Aldo?”

Iblis Jelita mengepalkan tangan kirinya saat menyebut nama “Aldo”.

“Tunjuk tangan yang mana!” perintah Iblis Jelita.

“Aldo, Nyai!” jawab Ardo sambil menunjuk kepal tangan kanan Iblis Jelita.

“Jadi namamu Ardo?” tanya Iblis Jelita lagi untuk mempertegas.

“Benal, Nyai.”

“Tundukkan kembali wajahmu, nanti kau bisa dewasa sebelum waktunya dan tua sebelum mati!” perintah Iblis Jelita.

Ardo pun menundukkan kembali wajahnya dengan tetap memegangi tali di wajah kuda.

“Untuk apa kau sekecil ini mencari uang?” tanya Iblis Jelita lagi.

“Ibuku pellu biaya belobat, Nyai.”

“Sakit apa ibumu?”

“Kata tabib sakit pelsendian. Ibu tidak bisa beldiri dan beljalan.”

Iblis Jelita lalu bergerak turun. Itulah saat-saat yang sejak tadi ditunggu oleh para pria yang ada di dalam kedai makan dan sekitarnya. Gerakan kaki Iblis Jelita yang membuka ketika turun memberikan pemandangan yang membahagiakan perasaan dan membangunkan pecundang di bawah perut. Namun, Iblis Jelita tidak peduli dengan ulah para lelaki itu. Memang seperti itulah cara Iblis Jelita menebar pesonanya.

“Sisiri kudaku agar cantik seperti aku!” perintah Iblis Jelita kepada Ardo karena dia melihat anak itu memiliki sisir kuda di pinggang belakangnya.

“Baik, Nyai,” ucap Ardo bernada semangat sambil membungkuk, padahal matanya otomatis melihat sembulan kaki putih yang indah.

“Ini untukmu,” kata Iblis Jelita sambil memberikan dua kepeng kepada Ardo, upah yang mahal hanya sekedar menyisir surai kuda.

“Telima kasih, telima kasih, Nyai!” ucap Ardo begitu senang, lalu buru-buru turun bersujud di depan kaki Iblis Jelita.

Ketika Ardo bersujud karena senang, Iblis Jelita melangkah pergi meninggalkan kudanya dan anak itu. Dia pergi memasuki kedai makan.

“Selamat datang, Pendekar!” sambut seorang pelayan lelaki sambil tersenyum. Senyumnya bukan karena mesum melihat penampilan sang pendekar, tetapi karena sudah SOP baginya untuk ramah kepada pelanggan untuk semua jenis.

“Bawakan aku minuman saja!” perintah Iblis Jelita yang di masa lalu sudah beberapa kali makan minum dan pipis di kedai makan itu. Jika pipis di belakang, ada kakus yang terjaga kebersihannya.

“Baik, Pendekar,” ucap pelayan itu patuh. Dia tetap tersenyum. Bahkan ketika pergi menuju ke dapur, dia masih tersenyum. Untuk senyum yang dibawa sampai ke dapur, jelas itu bukan senyum keramahan, tetapi senyum mesum.

Iblis Jelita mendatangi dua lelaki yang duduk di meja pinggir, yang bisa dengan bebas memandang ke depan kedai dan mendapat angin alam yang menyejukkan.

“Minggir!” perintah Iblis Jelita.

“Iya, Pendekar,” ucap kedua pendekar itu kompak dan patuh. Mereka buru-buru pindah dengan membawa semua hidangan mereka. Takut jika telat, mereka jadi korban Iblis Jelita yang disukai, tapi juga ditakuti pada saat yang sama.

Tidak lupa kedua lelaki itu juga mengelap meja dengan tangan baju mereka.

“Silakan, Pendekar,” ucap salah satu dari lelaki tersebut.

Iblis Jelita lalu duduk di bangku pendek. Dari posisi itu dia bisa memantau kerja Ardo dan juga leluasa memandang ke Tugu Setia. (RH)

Komen (13)
goodnovel comment avatar
Rudi Hendrik
terima kasih
goodnovel comment avatar
Rosdiana Galaxy
tetap semangat
goodnovel comment avatar
Rosdiana Galaxy
barunyimak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status