Ada orang yang menantang Iblis Jelita di Tugu Setia yang ada di pusat kota Gampartiga, ibu kota Kadipaten Dadariwak.
Kedatangan Iblis Jelita yang menunggangi kuda seorang diri menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, wanita berpakaian biru terang berusia tiga puluh lima tahun itu berkuda dengan dua paha putih mulusnya tersingkap ke mana-mana.
Rok pakaian pendekarnya memiliki belahan yang tinggi di sisi kanan dan kiri. Di sisi lain, sembulan dada ranumnya sangat menggoda iman para lelaki.
Urusan kecantikan sudah tidak diragukan lagi. Paras yang cantik jelita membuatnya menyandang kata “Jelita” di namanya. Warna gincunya juga biru terang mengikuti warna pakaiannya, tetapi tidak dengan rambutnya yang sebagian tersanggul dengan tusukan dari emas. Telinganya terlihat cemerlang dengan giwang emas. Kedua tangan wanita berhidung mancung itu memiliki kuku dua warna. Kelima kuku tangan kanannya berwarna hitam sehitam arang dan kuku tangan kiri berwarna ungu. Kuku-kuku itu panjang, tapi tidak sepanjang kuku setan.
Meski penampilan Iblis Jelita begitu mencemerlangkan mata dan hati, serta membuat fresh otak para lelaki, tetapi mereka hanya bisa sebatas menikmati secara visual tanpa ada yang berani datang menjamah karena mereka tidak mau mati. Mereka semua sudah mengenal siapa itu Iblis Jelita.
Iblis Jelita seorang pendekar wanita berkesaktian tinggi yang tidak sungkan membunuh siapa saja. Dia juga terkenal sebagai pemain lelaki, lelaki mana saja, yang tidak takut mati di tangannya demi urusan asmara dan gairah.
Konon katanya, lelaki yang pernah bermain asmara dengan Iblis Jelita akan memiliki dua nasib, yaitu dibunuh atau dibiarkan hidup dengan syarat jangan pernah muncul di depan matanya lagi.
Boleh dilihat, dipegang jangan, dipelototi hati-hati. Kira-kira itulah aturan bagi para lelaki yang ingin menikmati keindahan kulit tubuh Iblis Jelita.
Iblis Jelita sudah tiba di dekat sebuah tugu batu yang berbentuk tombak raksasa menjulang ke arah langit. Tugu itu memiliki tebal dua pelukan tangan orang dewasa. Jika tombak sungguhan memiliki mata yang runcing, tetapi tombak batu itu tidak lancip, tapi tumpul, sehingga terlihat seperti simbol keperkasaan lelaki. Tingginya empat kali tinggi tubuh lelaki ideal. Itulah yang disebut Tugu Setia, simbol kesetiaan seorang lelaki. Yang jelas tugu itu memiliki cerita panjang sendiri.
Iblis Jelita menghentikan kudanya. Pandangannya mengedar mencari orang yang katanya ingin mengadu sakti dengannya. Namun, sosok orang yang dia cari tidak terlihat di antara keramaian warga Gampartiga.
Karena tidak melihat keberadaan orang yang dicari, Iblis Jelita memilih menjalankan kudanya menuju ke sebuah kedai makan yang cukup besar wujudnya dan cukup ramai oleh pelanggan.
Lagi-lagi kedatangan Iblis Jelita menjadi pusat perhatian. Lelaki mana yang sudi melewatkan pemandangan paha dan dada gratis? Yang terpenting tidak buat urusan dengan iblis itu.
Kedatangan kuda Iblis Jelita ke depan kedai makan disambut oleh seorang bocah lelaki tidak berbaju, tapi bercelana. Bocah berusia dua belas tahun itu berambut gondrong, sebagian wajahnya tertutupi oleh rambutnya yang tidak tersisir.
Bocah itu memegangi tali pada wajah kuda. Padahal, tanpa dipegangi pun, Iblis Jelita tidak akan mendapat masalah.
“Siapa namamu, Nak?” tanya Iblis Jelita sebelum turun dari pelananya.
“Aldo, Nyai,” jawab anak lelaki yang badannya sudah mulai berisi oleh otot-otot mungil, menunjukkan bahwa dia anak pekerja keras. Dia menunduk tidak berani memandang Iblis Jelita, apalagi jika terlihat sengaja memandang paha putih mulus yang terpampang sangat dekat dengannya.
“Kenapa kau memegangi tali kudaku?” tanya Iblis Jelita lagi.
“Mungkin Nyai mau membeliku uang sekepeng,” jawab Ardo, masih menunduk.
“Membelimu dengan harga sekepeng?” tanya Iblis Jelita karena mendengar perkataan aneh anak itu.
“Bukan, Nyai. Aku cadel. Maksudku, mungkin Nyai mau membayalku uang sekepeng,” ralat anak yang sebenarnya bernama Ardo. Dia kali ini mendongak menatap Iblis Jelita.
Setelah melihat kecantikan orang dewasa itu, Ardo buru-buru kembali menunduk.
“Hihihi! Jadi kau cadel?” tawa Iblis Jelita.
“Betul, Nyai,” jawab Ardo sambil mengangguk.
“Jadi, namamu Aldo atau Ardo?” tanya Iblis Jelita.
“Aldo, Nyai,” jawab Ardo.
“Bagaimana aku percaya namamu Aldo jika kau cadel? Coba kau lihat tanganku!”
Ardo pun menurut dan kembali mendongak. Dia pun melihat segala keindahan yang seharusnya tidak dia lihat dari seorang wanita dewasa.
“Ardo,” sebut Iblis Jelita sambil mengepalkan tangan kanannya di depan dada, membuat anak itu dengan gamblang memandang sembulan dada si pendekar wanita yang seperti mutiara besar. “Atau Aldo?”
Iblis Jelita mengepalkan tangan kirinya saat menyebut nama “Aldo”.
“Tunjuk tangan yang mana!” perintah Iblis Jelita.
“Aldo, Nyai!” jawab Ardo sambil menunjuk kepal tangan kanan Iblis Jelita.
“Jadi namamu Ardo?” tanya Iblis Jelita lagi untuk mempertegas.
“Benal, Nyai.”
“Tundukkan kembali wajahmu, nanti kau bisa dewasa sebelum waktunya dan tua sebelum mati!” perintah Iblis Jelita.
Ardo pun menundukkan kembali wajahnya dengan tetap memegangi tali di wajah kuda.
“Untuk apa kau sekecil ini mencari uang?” tanya Iblis Jelita lagi.
“Ibuku pellu biaya belobat, Nyai.”
“Sakit apa ibumu?”
“Kata tabib sakit pelsendian. Ibu tidak bisa beldiri dan beljalan.”
Iblis Jelita lalu bergerak turun. Itulah saat-saat yang sejak tadi ditunggu oleh para pria yang ada di dalam kedai makan dan sekitarnya. Gerakan kaki Iblis Jelita yang membuka ketika turun memberikan pemandangan yang membahagiakan perasaan dan membangunkan pecundang di bawah perut. Namun, Iblis Jelita tidak peduli dengan ulah para lelaki itu. Memang seperti itulah cara Iblis Jelita menebar pesonanya.
“Sisiri kudaku agar cantik seperti aku!” perintah Iblis Jelita kepada Ardo karena dia melihat anak itu memiliki sisir kuda di pinggang belakangnya.
“Baik, Nyai,” ucap Ardo bernada semangat sambil membungkuk, padahal matanya otomatis melihat sembulan kaki putih yang indah.
“Ini untukmu,” kata Iblis Jelita sambil memberikan dua kepeng kepada Ardo, upah yang mahal hanya sekedar menyisir surai kuda.
“Telima kasih, telima kasih, Nyai!” ucap Ardo begitu senang, lalu buru-buru turun bersujud di depan kaki Iblis Jelita.
Ketika Ardo bersujud karena senang, Iblis Jelita melangkah pergi meninggalkan kudanya dan anak itu. Dia pergi memasuki kedai makan.
“Selamat datang, Pendekar!” sambut seorang pelayan lelaki sambil tersenyum. Senyumnya bukan karena mesum melihat penampilan sang pendekar, tetapi karena sudah SOP baginya untuk ramah kepada pelanggan untuk semua jenis.
“Bawakan aku minuman saja!” perintah Iblis Jelita yang di masa lalu sudah beberapa kali makan minum dan pipis di kedai makan itu. Jika pipis di belakang, ada kakus yang terjaga kebersihannya.
“Baik, Pendekar,” ucap pelayan itu patuh. Dia tetap tersenyum. Bahkan ketika pergi menuju ke dapur, dia masih tersenyum. Untuk senyum yang dibawa sampai ke dapur, jelas itu bukan senyum keramahan, tetapi senyum mesum.
Iblis Jelita mendatangi dua lelaki yang duduk di meja pinggir, yang bisa dengan bebas memandang ke depan kedai dan mendapat angin alam yang menyejukkan.
“Minggir!” perintah Iblis Jelita.
“Iya, Pendekar,” ucap kedua pendekar itu kompak dan patuh. Mereka buru-buru pindah dengan membawa semua hidangan mereka. Takut jika telat, mereka jadi korban Iblis Jelita yang disukai, tapi juga ditakuti pada saat yang sama.
Tidak lupa kedua lelaki itu juga mengelap meja dengan tangan baju mereka.
“Silakan, Pendekar,” ucap salah satu dari lelaki tersebut.
Iblis Jelita lalu duduk di bangku pendek. Dari posisi itu dia bisa memantau kerja Ardo dan juga leluasa memandang ke Tugu Setia. (RH)
Ada tiga anak remaja lelaki yang usianya antara 15 hingga 17 tahun. Mereka berpakaian bagus, sangat tidak seperti anak-anak rakyat biasa yang bajunya terlihat lusuh dan bahkan suka tidak berbaju. Anak yang badannya paling kecil bahkan memakai blangkon. Gaya jalannya pun jumawa, menunjukkan bahwa dia bukan anak sembarangan, ya setidaknya memiliki orangtua yang punya jabatan tinggi. Sebut saja mereka bernama Anoman bagi yang berblangkon, Gugusan yang berbadan paling besar, dan Kuncung yang badannya agak gemuk. Ketiganya berjalan di dekat Tugu Setia yang jika dilihat dari jauh mirip pusaka kaum batangan. “Anoman, lihat. Itu Ardo Cadel sedang menyisir kuda!” kata Gugusan sambil menunjuk ke arah depan kedai makan. Anoman dan Kuncung segera memandang ke arah depan kedai makan. “Hahaha! Ayo kita ejek!” kata Anoman bersemangat. Sepertinya dialah pemimpin di antara mereka. “Ayo. Kita buat dia menangis!” kata Kuncung pula. Bak tiga orang jagoan tukang onar, mereka berjalan menghampiri Ar
Lawan yang dimaksud oleh Iblis Jelita adalah seorang wanita berusia matang, yakni 45 tahun, sepuluh tahun lebih tua darinya. Wanita yang seluruh rambutnya digelung di atas itu mengenakan pakaian warna hijau tua, sesuai dengan usianya. Tangan kanannya memegang tali kendali kuda, tangan kiri memegang pedang bersarung yang modelnya bagus berwarna perak dan hitam. Wanita agak gemuk itu termasuk cantik, terlebih dandanannya rapi dengan bibir bergincu merah terang dan kelopak mata hijau kehijau-hijauan. Dia juga termasuk orang dunia persilatan ternama. Namanya Nyai Wetong yang menyandang julukan Pendekar Pedang Buas. “Ardo, ayo kita bertaruh,” ajak Iblis Jelita yang masih duduk di kedai makan bersama anak penyisir kuda yang bernama Ardo. “Ah? Beltaluh, Nyai?” tanya Ardo kurang paham dan takut kalah. “Jika aku tidak bisa membunuh lawanku perempuan berkuda di sana....” Iblis Jelita menunjuk ke Tugu Setia. Ardo pun menengok dan memandang jauh ke Tugu Setia, di mana di dekat tugu batu itu
Iblis Jelita hanya tersenyum meremehkan melihat Nyai Wetong tidak kuat menahan dua hantaman Sentilan Dewi Hitam tingkat satu. “Sepertinya kau akan mati di tanganku, Nyai,” kata Iblis Jelita dengan senyum sinisnya. “Lebih baik aku mati terhormat dari pada hidup tapi kalah oleh wanita rendah sepertimu!” teriak Nyai Wetong, lalu dia menghentakkan tangan kanannya ke arah langit dengan jari-jari tegang mencengkeram. Sementara tangan kirinya memegang pedang yang belum dia cabut. “Hihihi! Ya sudah, matilah!” tawa Iblis Jelita. Sesss! Tiba-tiba terdengar suara desisan energi yang mengalir dari angkasa masuk ke tangan kanan Nyai Wetong. Di tangan kanan muncul gumpalan energi sinar merah. Debu-debu di sekitar Nyai Wetong beterbangan karena muncul angin kencang dari pergerakan energi tersebut. Melihat itu, Iblis Jelita tidak mau tinggal menunggu diserang. Dia berinisiatif cepat berlari maju kepada Nyai Wetong. Melihat Iblis Jelita mulai banyak bergerak, para penonton yang hampir semua kau
Adipati Banting Arak datang berkuda dikawal oleh dua pengawal pendekarnya yang juga berkuda. Pengawal yang berjari tangan komplit bernama Codet Maut dan pengawal yang berjari tangan sembilan bernama Pembunuh Jauh. Bagi Pembunuh Jauh, sulit dicari tahu jari tangan mana yang tidak ada, karena memang tidak ada yang begitu peduli dengan nasib kesempurnaan jari-jari tangannya. Posisi berkuda membuat Adipati Banting Arak bisa melihat dengan leluasa area yang dikepung. Dia pun dengan mudah dipandang oleh dua wanita petarung yang sudah siap bunuh-bunuhan tanpa memikirkan nasib anak dan suami. Iblis Jelita belum punya suami dan anak, meski dia sudah berulang kali dimasuki “kepala” banyak lelaki. Berbeda dengan Nyai Wetong, seorang janda dengan empat anak, tetapi anak-anaknya hidup jauh bersama dengan kakek neneknya demi menuntut ilmu dunia dan persilatan, bukan ilmu akhirat. Jadi dia sudah tidak memikirkan nafkah untuk anak atau siapa yang kelak mengasuhnya jika dia mati. Sebentar sang adi
Kemenangan Iblis Jelita atas Nyai Wetong yang berjuluk Pendekar Pedang Buas membuat dia memenangkan taruhan dengan Ardo Kenconowoto.Setelah memastikan kemenangannya, wanita cantik yang berkeringat itu langsung mengunci Ardo di dalam ingatannya. Jadi, dia langsung mencari keberadaan anak cadel berambut gondrong itu.“Leee leee leee!” teriak Ardo heboh sendiri sambil menonjok-nonjok langit yang tidak bersalah, sebagai ekspresi dari kegembiraannya karena pendekar wanita jagoannya menang. Dia sedikit pun tidak menunjukkan rasa iba kepada Nyai Wetong yang mati mengerikan.Menyaksikan pembunuhan atau sesuatu yang mengerikan, sudah beberapa kali Ardo lihat, apakah itu memang niat melihat atau yang terjadi begitu saja di depan mata. Di era hukum rimba ini, banyak kejadian memperlihatkan yang kuat menghancurkan yang lemah dan buruk menjahati yang baik.Seperti yang baru saja terjadi. Pertarungan antara Iblis Jelita dengan Nyai Wetong menunjukkan yang kuat menghancurkan yang lemah.Karena pert
Setelah mendapat izin dari ibunya, Ardo Kenconowoto pun berpamitan kepada sang ibu. Dia memeluk erat ibunya yang menangis karena akan ditinggal pergi oleh putra berbaktinya, meski tidak ditinggal untuk selamanya.Di saat Upir Rammi menangis, Ardo justru tertawa-tawa, menertawakan ibunya sambil menghibur sang ibu.“Aku akan seling-seling datang melihat kondisi, Ibu,” kata Ardo. “Aku pamit, Bu. Nyai Sakti sudah menunggu aku.”Upir Rimma hanya mengangguk sembari tersenyum getir. Ia menyeka air matanya di saat putranya juga memeluk adik baiknya.“Kakang titip Ibu. Kau halus kuat, Linta,” kata Ardo memberi pesan.“Iya. Aku akan menjadi wanita kuat, Kakang,” kata Rinta Kemiri optimis.Ardo lalu berlari kecil menyusul Iblis Jelita yang sudah menunggu di luar.Upir Rimma meraih sekantung kecil kepeng yang sebelumnya diberikan oleh Iblis Jelita. Dia begitu senang memiliki stok kepeng yang nyaris tidak pernah terjadi selama dia menderita sakit persendian pada kedua kakinya.Sementara di luar ru
Ketika hendak sampai di rumah bambunya yang bisa dibilang megah, Iblis Jelita mencium aroma yang akrab dan dia kenal, yaitu bau kunyahan sirih.Karena tidak melihat ada orang lain di luaran rumahnya, Iblis Jelita menduga tamunya sedang ada di dalam.Jleg!Bertepatan dengan mendaratnya kaki Iblis Jelita di lantai bambu, dari dalam rumah berjalan keluar seorang lelaki berjubah merah terang, kian memberi warna pemandangan di sungai itu. Sulit mencari warna merah di tempat itu, karena gincu wanita yang biasanya merah, Iblis Jelita justru memakai gincu biru. Entah apa bahan utama dari warna pembiru bibirnya.Lelaki berjubah merah itu sepuluh tahun lebih tua dari Iblis Jelita. Artinya dia berusia empat puluh lima tahun. Rambut gondrong terbatasnya diikat sederhana di belakang, sehingga terlihat seperti ekor burung berekor pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan jenggot. Alisnya pun tipis, seolah-olah hanya digaris pakai arang kayu. Mulutnya mengunyah dan ada bercak-bercak warna merah di bibi
Ratu Senja bisa dibilang satu generasi dengan Iblis Jelita. Sama-sama wanita berusia menuju senja. Mereka sama-sama tidak punya anak. Jika Iblis Jelita memang tidak mau punya anak meski berhubungan dengan banyak lelaki dewasa, maka Ratu Senja awalnya adalah janda berkembang, baru nikah sudah ditinggal mati suami. Meski sudah pernah dicocoktanami, tetapi dia tidak hamil.Jadi, Ratu Senja adalah janda yang setia. Bukan di setiap tikungan ada, tetapi memang setia menjanda tanpa main ilegal dengan lelaki manapun. Dia bisa bertahan sampai hampir lebih sepuluh tahun menjanda.Iblis Jelita dan Ratu Senja bisa disebut sahabat, meski Iblis Jelita cenderung berkarakter golongan hitam dan Ratu Senja terbilang wanita baik, terbukti dia teguh mempertahankan keperawanannya terhitung sejak suaminya meninggal.Ratu Senja tinggal di tengah-tengah sebuah kebun petai. Itu miliknya, tetapi orang yang mengurus kebunnya adalah orang bayaran dari kota Gampartiga. Ada dua orang bayaran, keduanya berusia tua